syariah. Sebaliknya JII-lah yang aktif melakukan penyeleksian saham-saham yang tidak bertentangan dengan syariah. Secara langsung JII tidak mempengaruhi
perilaku bisnis perusahaan yang sahamnya masuk JII. Dari metode seleksinya, maka dapat diduga bahwa saham-saham yang
tercatat dalam JII adalah sama dengan saham-saham di LQ45 setelah dikeluarkan saham perusahaan lembaga keuangan konvensional dan saham perusahaan rokok.
Jika saja LQ45 diubah lagi menjadi LQ30, dan dipastikan tidak ada saham-saham perusahaan rokok dan bank konvensional, niscaya kita akan mendapatkan JII.
Dengan kata lain JII adalah LQ30 tanpa rokok dan bank. Tidak heran kalau kinerja JII lebih baik dari kinerja IHSG atau LQ 45. Pasca krisis sampai dengan
tahun 2006 kinerja JII adalah +102, sementara itu LQ45 +96, dan IHSG +97. Saham dalam JII adalah juga saham yang tercatat di LQ45.
2.3. Gambaran Pasar Modal Syariah di Indonesia
Sejak secara resmi Badan Pengawas Pasar Modal Bapepam meluncurkan prinsip pasar modal syariah pada tanggal 14 dan 15 Maret 2003 dengan
ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI, maka dalam perjalanannya
perkembangan dan pertumbuhan transaksi efek syariah di pasar modal Indonesia terus meningkat. Harus dipahami bahwa ditengah maraknya pertumbuhan
kegiatan ekonomi syariah secara umum di Indonesia, perkembangan kegiatan investasi syariah di pasar modal Indonesia masih dianggap belum mengalami
kemajuan yang cukup signifikan, meskipun kegiatan investasi syariah tersebut
telah dimulai dan diperkenalkan sejak pertengahan tahun 1997 melalui instrumen reksa dana syariah serta sejumlah fatwa DSN-MUI berkaitan dengan kegiatan
investasi syariah di pasar modal Indonesia. Dilihat dari kenyataannya, walaupun sebagian besar penduduk Indonesia
mayoritas beragama Islam namun perkembangan pasar modal yang berbasis syariah dapat dikatakan sangat tertinggal jauh terutama jika dibandingkan dengan
Malaysia yang sudah bisa dikatakan telah menjadi pusat investasi berbasis syariah di dunia, karena telah menerapkan beberapa instrumen keuangan syariah untuk
industri pasar modalnya. Kenyataan lain yang dihadapi oleh pasar modal syariah kita hingga saat ini adalah minimnya jumlah pemodal yang melakukan investasi,
terutama jika dibandingkan dengan jumlah pemodal yang ada pada sektor perbankan.
Dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia misalnya, Indonesia terlihat begitu tertinggal jauh dalam mengembangkan kegiatan investasi syariah di
pasar modal. Malaysia pertama kali mengembangkan kegiatan pasar modal syariah sejak awal tahun 1990 dan saat ini terus mengalami kemajuan yang cukup
pesat. Sebagai contoh, data menunjukkan hingga akhir tahun 2004 total Nilai Aktiva Bersih NAB Reksa Dana Syariah mencapai 7,7 tujuh koma tujuh
perseratus dari total NAB industri Reksa Dana di Malaysia, sedangkan Indonesia baru mencapai 0,51 nol koma lima puluh satu per seratus dari total NAB
industri reksa dana. Untuk obligasi syariah, di Malaysia hingga akhir tahun 2004 mencapai kenaikan 31,69 dari total nilai obligasi yang tercatat di pasar modal
Malaysia, sementara di Indonesia hingga akhir Desember 2004 baru mencapai Rp.
1.424 Triliun atau 1,72 dari total nilai emisi obligasi di Indonesia pada tahun yang sama yaitu sebesar Rp. 83.005,345 Triliun.
Pada sisi lain, harus diakui bahwa masih terdapat beberapa permasalahan mendasar yang menjadi kendala berkembangnya pasar modal yang berprinsip
syariah di Indonesia. Kendala-kendala dimaksud diantaranya adalah selain masih belum meratanya pemahaman dan atau pengetahuan masyarakat Indonesia tentang
investasi di pasar modal yang berbasis syariah, juga belum ditunjangnya dengan peraturan yang memadai tentang investasi syariah di pasar modal Indonesia serta
adanya anggapan bahwa untuk melakukan investasi di pasar modal syariah dibutuhkan biaya yang relatif lebih mahal apabila dibandingkan dengan investasi
pada sektor keuangan lainnya.
2.4. Dow Jones Islamic Market DJIM Index