Analisis Struktural Terhadap Novel Sebuah Lorong Di Kotaku Karya Nh. Dini

(1)

ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

SKRIPSI

MULIWARI HANANI T NIM : 070701029

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

OLEH

MULIWARI HANANI T NIM : 070701029

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Pertampilan S. Brahmana, M.Si Dra. Yulizar Yunas, M.Hum.

NIP: 1958101319860101 1 002 NIP: 195004111981022001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si NIP 196209251989031017


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, Pebruari 2014 Penulis,

Muliwari Hanani T


(4)

ANALISIS STRUKTURAL DALAM NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

Muliwari Hanani T

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mendeskripsikan beberapa unsur pembangun dalam sebuah novel Bahasa Indonesia yang berjudul Sebuah Lorong di Kotaku karya Nh.Dini dalam membentuk unsur intrinsik dalam pengkajian novel Indonesia. Teori yang digunakan adalah strukturalisme murni. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak yang didukung oleh teknik catat. Pada pengkajian data digunakan metode deskriptif yakni metode dengan teknik membaca secara heuristik dan teknik membaca secara hermeneutik. Disimpulkan bahwa struktur pembangun unsur intrinsik dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku bertemakan kekeluargaan dengan amanat yang terkandung mengenai menjalani hidup dalam keluarga yang harmonis. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku memiliki sifat yang berbeda-beda dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan di dalam bermasyarakat.

Kata kunci: Struktur intrinsik, tema, amanat, penokohan, nilai-nilai, Teori Struktural, Sastra.


(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya yang tiada henti-hentinya kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Struktural dalam Novel Sebuah Lorong di Kotaku Karya Nh, Dini” ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sastra di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Selama dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa bantuan moril maupun bantuan materi. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku ketua Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Pertampilan S. Brahmana, M.Si., selaku pembimbing I dan Ibu Dra. Yulizar Yunas, M.Hum., selaku pembimbing II. Terimakasih atas kesabaran dan kesediaan Bapak dan Ibu yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing penulis serta memberikan sumbangan pemikiran dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(6)

5. Bapak dan Ibu staff pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan baik dalam bidang linguistik, sastra maupun bidang-bidang ilmu lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

6. Kak Tika yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan segala urusan administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

7. Kedua orang tua saya yang tersayang, Ayahanda Alm. Selamat Tarigan, Ibunda Ngalemi Br. Ginting yang telah memberikan saya dukungan moral, material, kasih sayang yang tiada habisnya dan doa yang tidak pernah berhenti. Kiranya kasih dan karunia Tuhan yang senantiasa melindungi dan memberkati ayahanda dan ibunda.

8. Kepada saudara-saudara saya Tigantara Gamelial Tarigan, dan Martisa Elsana Br. Tarigan, terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis selama perkuliahan dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada semua sepupu-sepupu terbaik B’ Alek, K’ Melda, Dek Maya, Dek Yanti, Dek Gita Putri, yang telah membantu dari segi sarana dan prasarana bahkan bantuan materil, dan semua sepupu tersayang yang namanya tak dapat dicantumkan satu persatu, terima kasih atas motivasi yang diberikan kepada penulis serta kesabaran dalam mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(7)

10.Terima kasih buat teman terbaikku Irene Sani dan Pesta yang selalu tak pernah berhenti mengingatkan dan memarahi penulis untuk tetap semangat dan jangan pernah malas mengerjakan skripsi ini.

11.Buat sahabat-sahabat kampusku tersayang anak-anak Stambuk 2007 terima kasih atas semangat dan selalu ada buat penulis baik dalam suka maupun duka. Kalian sahabat-sahabat terbaikku.

12.Kepada senior stambuk 2006 K’ Triana, terima kasih atas dukungan sarananya dan motivasinya kepada penulis.

Walaupun telah berusaha memberikan yang terbaik, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga berkat Tuhan melimpah bagi kita semua.

Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai Strukturalisme Murni.

Medan, Pebruari 2014

Penulis Muliwari Hanani T NIM 070701029


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ABSTRAK PRAKATA DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Masalah ... 3

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1Tinjauan Pustaka ... 5

2.2Konsep ... 12

2.2.1 Karya Sastra ... 12

2.2.2 Struktural ... 12

2.2.3 Nilai-nilai ... 13

2.3Landasan Teori ... 14

2.3.1 Karya Sastra ... 14

2.3.2 Strukturalisme ... 15


(9)

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1Bahan Analisis ... 23

3.2Metode Analisis ……… 23

3.3Teknik Analisis Data ... 24

3.4Metode Pengumpulan Data ... 24

BAB IV PEMBAHASAN ……… 25

4.1 Pendahuluan ……… 25

4.2 Tema dan Amanat ……… 28

4.3 Penokohan ………. 31

4.3.1 Ayah ……… 32

4.3.2 Ibu ……… 34

4.3.3 Heratih ……… 36

4.3.4 Nugroho ……… 38

4.3.5 Maryam ………. 40

4.3.6 Teguh ………. 42

4.3.7 Dini ‘Aku’ ……… 44

4.4 Nilai-nilai ……….. 49


(10)

4.4.2 Nilai Kekeluargaan ……… 52

4.4.3 Nilai Pengajaran ……… 54

4.4.4 Nilai Kasih Sayang ………. 58

4.4.5 Nilai Kepemimpinan ………. 60

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……….. 63

5.1 Simpulan ……… 63

5.2 Saran ……… 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN Ringkasan Cerita ... 68


(11)

ANALISIS STRUKTURAL DALAM NOVEL SEBUAH LORONG DI KOTAKU KARYA NH. DINI

Muliwari Hanani T

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba mendeskripsikan beberapa unsur pembangun dalam sebuah novel Bahasa Indonesia yang berjudul Sebuah Lorong di Kotaku karya Nh.Dini dalam membentuk unsur intrinsik dalam pengkajian novel Indonesia. Teori yang digunakan adalah strukturalisme murni. Dalam pengumpulan data digunakan metode metode simak yang didukung oleh teknik catat. Pada pengkajian data digunakan metode deskriptif yakni metode dengan teknik membaca secara heuristik dan teknik membaca secara hermeneutik. Disimpulkan bahwa struktur pembangun unsur intrinsik dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku bertemakan kekeluargaan dengan amanat yang terkandung mengenai menjalani hidup dalam keluarga yang harmonis. Tokoh-tokoh yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku memiliki sifat yang berbeda-beda dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan di dalam bermasyarakat.

Kata kunci: Struktur intrinsik, tema, amanat, penokohan, nilai-nilai, Teori Struktural, Sastra.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra merupakan ilmu yang batasan-batasannya sulit untuk dijabarkan. Sastra sangat berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan dijabarkan dalam bentuk tulisan. Luxemburg dalam bukunya Pengantar Ilmu Sastra (1984:23) menyatakan “Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu.” Dari pernyataan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra merupakan hasil karya yang dibuat dalam kurun waktu tertentu di dalam lingkungan kemasyarakatan.

“Ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yaitu bahwa objek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak keruan” (Teeuw, 1984:19). Pendapat ini berhubungan dengan penelaahan ilmu sastra yang termasuk di dalamnya terdapat sosiologi, psikologi, dan filsafat.

Karya sastra yang mengekspresikan seorang pengarang lahir dari pengaruh lingkungan masyarakat di sekitar tempat pengarang menciptakan karyanya. Sastra menjadi wadah untuk mengekspresikan dan mencurahkan buah pikiran pengarang yang didasarkan pada pengalaman, baik itu pengalaman si pengarang sendiri maupun pengalaman orang lain yang diterima oleh pengarang. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Suwondo (2001:58) “Di dalam karya sastra, fungsi sarana sastra


(13)

adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas.”

Novel cenderung mengungkap pengalaman atau kenangan dari si pengarang. Hal ini seperti yang terjadi pada novel Sebuah Lorong Di Kotaku karya Nh. Dini. Dalam novel ini diceritakan tentang masa kecil pengarang pada akhir penjajahan Belanda hingga awal penjajahan Jepang. Nh. Dini menceritakan kembali tentang masa kecilnya, baik yang berupa kenangan manis maupun kenangan pahit. Dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku ini, Nh. Dini menceritakan peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya pada akhir pendudukan Belanda hingga awal pendudukan tentara Jepang. Dalam novel ini diceritakan pula antara lain tentang pengalaman Nh. Dini bersama kakak-kakaknya dan sang ayah beramai-ramai menyerok ikan di belakang rumah saat banjir, pengalaman mengunjungi kakek dan nenek dari pihak ayah juga dari pihak ibu, saat pertama masuk sekolah, saat ikut mengungsi, dan lain sebagainya.

Kisah-kisah ini sangat menarik untuk dibahas karena Novel Sebuah Lorong di Kotaku ini adalah cerita kenangan pengarang sendiri. Novel ini juga menjadi penting untuk dibahas karena masalah yang akan penulis angkat di sini adalah mengenai struktur yakni tema, penokohan, setting, dan alur serta nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku. Hal ini tentunya diharapkan dapat menjadi penelitian yang berguna bagi ilmu pengetahuan, terutama ilmu sastra dalam penelitian sastra selanjutnya.

Pemaparan masalah unsur ekstrinsik tentunya menarik untuk diteliti. Pemaparan seperti ini akan dapat memberi manfaat pada masyarakat pembaca,


(14)

karena masyarakat jadi lebih mengetahui secara detail tentang hubungan sastra dengan dunia kehidupan. Pemaparan masalah ini juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis untuk meningkatkan kemampuan berpikir dalam penyelesaian penelitian selanjutnya.

1.2 Masalah

Masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

(1) Bagaimana struktur cerita dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku dilihat dari unsur tema, amanat, dan tokoh?

(2) Bagaimanakah nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku karya Nh. Dini?


(15)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Melihat bagaimana struktur novel Sebuah Lorong di Kotaku ditinjau dari tema, amanat, dan tokoh?

2. Mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk mengungkap misalnya tema, amanat, dan tokoh yang terdapat di dalam sebuah novel, serta nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku. Maka dengan membaca skripsi ini, diharapkan pembaca dapat memahami tema, amanat, penokohan, serta nilai-nilai yang terdapat di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Tinjuan Pustaka 2.1.1 John Stuart Tarigan

John Stuart Tarigan dengan judul skripsi Tinjauan Nilai-nilai Sosiologis

Terhadap Novel Padang Ilalang Di Belakang Rumah karya Nh. Dini, menentukan

tentang macam-macam nilai yang terdapat dalam novel Padang Ilalang Di Belakang Rumah yang ditinjau melalui pandangan (teori) sosiologisnya.

Hal penting dari penelitian John Stuart Tarigan yang paling utama adalah unsur intrinsik yang terdapat dalam novel tersebut serta unsur-unsur ekstrinsik yang berupa nilai kasih sayang, nilai moral, nilai kekeluargaan. Yang menjadi bagian lain namun sangat penting dalam novel ini yaitu tentang peperangan pada masa itu dan ketakutan masyarakat yang diakibatkan oleh peperangan itu. Penelitian yang terdapat pada skripsi John Stuart Tarigan ini, menceritakan tentang kehidupan tokoh utama (Dini) bersama keluarga intinya, yakni ayah, ibu, kakak perempuan, dan kakak laki-laki.

Penelitian novel Padang Ilalang Di Belakang Rumah ini merujuk pada unsur intrinsik yang menyangkut tema, tokoh, dan latarnya. Juga tentang unsur ekstrinsik yang mencakup nilai kasih sayang, moral dan ketakutan yang melanda akibat adanya masa penjajahan. Nilai-nilai kasih sayang dalam penelitian ini tertuju pada kasih sayang antara keluarga, yakni kasih sayang orang tua kepada anaknya, kakak terhadap adiknya, ataupun sebaliknya. Nilai moral yang ditanamkan oleh


(17)

ayah dan ibu kepada anak-anaknya. Serta ketakutan keluarga tokoh utama saat penjajah datang ke rumah melalui padang ilalang yang terletak di belakang rumah tokoh utama.

2.1.2 Kalara Sagala

Kalara Sagala menganalisis novel Nh. Dini berjudul Sekayu, dengan judul skripsi Analisis Pengunaan Jenis Makna dalam Novel Sekayu Karya Nh. Dini. Dalam skripsi ini Kalara Sagala menggunakan teori semantik yang membahas tentang jenis-jenis makna yang digunakan oleh pengarang dalam novel Sekayu. Penelitian ini menggunakan teknik studi kepustakaan yang berarti analisisnya dengan menggunakan buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan.

Penelitian dalam judul skripsi Kalara Sagala ini mengarah pada jenis-jenis makna yang terdapat dalam novel ini, yakni makna konotasi yang mengarah pada nilai rasa, makna gramatikal, makna referenfsial, dan makna nonreferensial. Dari sederet makna yang diteliti oleh Kalara Sagala ini, tampaknya ada beberapa jenis makna yang tidak terdapat di dalamnya yaitu, makna kata dan istilah, makna konseptual, makna idiomatis, dan makna peribahasa.


(18)

2.1.3 Kristian TM Hutapea

Kristian TM Hutapea dalam skripsinya yang berjudul Analisis Objek Stilistika terhadap Novel Keberangkatan karya Nh. Dini meneliti tentang objek-objek stilistika yang terdapat dalam novel Keberangkatan.

Teori yang digunakan dalam penelitian Kristian TM Hutapea ini menggunakan teori stilistika yang megkaji tentang gaya bahasa yang terdapat dalam karya sastra. Dalam penelitian ini, Kristian TM Hutapea mengkaji penggunaan objek stilistika yakni peribahasa ungkapan dan aspek kalimat. Dalam penelitian ini, peribahasa dan aspek kalimat memiliki jumlah frekuensi penggunaan yang berbeda-beda. Peribahasa dan aspek kalimat dapat dijumpai seluruhnya dalam novel

Keberangkatan ini. Artinya, novel ini lebih banyak menggunakan ungkapan

dibandingkan dengan peribahasanya.

Penggunaan aspek kalimat dalam penelitian ini, kalimat progresif lebih sedikit dipergunakan. Kalimat progresif ini adalah kalimat yang memiliki pola dua kata, dan dalam novel Keberangkatan tersebut hanya satu contoh yang didapatkan oleh peneliti.


(19)

2.1.4 Leni Fitriah

Leni Fitriah dengan judul Citra Perempuan Dalam Novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri Karya Nh. Dini: Kajian Feminisme Sastra.

Leni Fitriah, membahas (1) Mendeskripsikan struktur yang terdapat dalam novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya Nh. Dini dan (2) Mendeskripsikan citra perempuan dalam novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya Nh. Dini dengan kajian feminisme sastra.

Penelitian Leni Fitriah ini menggunakan metode deskriptif, dengan objek penelitian adalah citra perempuan dalam novel Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya Nh. Dini dengan menggunakan analisis feminisme sastra.

Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) analisis struktur alur, penokohan dan latar merupakan penunjang tema. Latar tempat di Paris. Kehidupan aku sebagai seorang istri mempunyai berbagai konflik dengan suami mempengaruhi alur cerita dalam novel dan mendukung tema yang dipilih, yaitu: hidup menyendiri berpisah dengan suami dan anak-anaknya. (2) Citra perempuan dalam novel

Argenteuil Hidup Memisahkan Diri karya Nh. Dini, yaitu: (a) citra perempuan

sebagai seorang istri, (b) citra perempuan sebagai ibu, (c) citra perempuan sebagai warga masyarakat, (d) citra perempuan di bidang pendidikan, dan (e) citra


(20)

2.1.6 Kurnia Nur Safitri

Kurnia Nur Safitri dengan judul Pandangan Hidup Tokoh Dini Dalam Novel La Grande Borne Karya Nh. Dini (tinjauan Sosio Budaya).

Manusia Jawa memiliki cara pandang dan kebijaksanaan hidup yang khas dan berbeda dengan suku bangsa lain. Kekhasan kebijaksanaan hidup dapat ditemukan dalam buku Franz Magnis Suseno: Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksaan Hidup Jawa. Berawal dari teori-teori tentang pandangan Jawa yang muncul dalam buku tersebut, penulis memilih novel La Grande Borne karya Nh. Dini sebagai bahan analisis. Di dalam novel La Grande Borne muncul berbagai pandangan dan sikap hidup Jawa, yaitu cara berinteraksi manusia dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan.

Tujuan dari penelitian Kurnia Nur Safitri adalah menemukan atau mengungkap pandangan hidup Jawa pada tokoh utama novel La Grande Borne. Dalam penelitian ini sosiologi sastra digunakan sebagai dasar pijakan penelitian. Teori sosiologi sastra mengkaji karya sastra yang mencakup sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan teori sosiologi yang berhubungan dengan karya sastra itu sendiri yang mengkaji aspek moral atau sikap hidup manusia Jawa dalam novel La Grande Borne karya Nh. Dini.

Sementara itu sebagai alat bantu mendapatkan tokoh utama dalam cerita, penulis menggunakan teori struktural. Strukturalisme adalah paham yang memandang karya sastra secara otonom, terbangun oleh struktur-struktur pembentuknya antara lain: tokoh, latar, dan alur. Berdasarkan analisis sosiologi


(21)

sastra diperoleh pandangan hidup manusia Jawa yang muncul dalam novel La Grande Borne, berupa prinsip keselarasan yang meliputi sikap rukun dan hormat.

Selain itu adanya pandangan dunia Jawa yang meliputi takdir, darma serta karma. Keberadaan prinsip dasar serta pandangan dunia yang tepat menuntut manusia untuk memiliki sikap batin yang tepat pula seperti sabar, ikhlas, rila, nrima serta eling. Dan eling sendiri merupakan sikap batin paling inti sebagai wujud peringatan akan adanya kematian setelah kehidupan. Berbagai pandangan dan sikap hidup tersebut dapat ditemukan melalui karakter tokoh utama, yaitu Dini seorang wanita Jawa yang sangat memegang adat istiadat dan budaya leluhur nenek moyangnya. Ia dapat dengan mudah beradaptasi di lingkungan barunya, sikap hidup Jawa yang ia pegang dijadikan acuan dalam melangkah. Dini selalu berusaha menjaga kerukunan dan menghindari konflik terbuka. Selain itu ia harus menempatkan diri sehingga sikap hormat kepada orang lain dapat selalu dipenuhi. Dengan pembawaan yang halus dan tidak suka meledak-ledak itulah Dini tetap

menjaga pribadi Jawanya.

2.1.7 Aquarini Priyatna Prabasmoro

Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul

yang mempergunakan perspektif feminis dan pascakolonial terhadap tiga novel karya Nh. Dini, yaitu Pada Sebuah Kapal, La Barka, Namaku Hiroko. Analisis dalam tesis ini menyoroti konstruksi seksualitas dan subjektivitas perempuan dalam budaya patriarki yang dilakukan melalui kajian struktur dan kajian wacana yang


(22)

terfokuskan pada wacana tubuh dan penubuhan, serta wacana berahi, seks dan cinta (Prabasmoro, 2006:50-52).

Simpulan yang didapatkan Aquarini Priyatna Prabasmoro adalah pada ketiga novel Nh. Dini yakni adanya perbedaan atas laki-laki dan perempuan dengan meresistensi konstruksi patriarki atas asumsi masyarakat tentang salah satu bagian tubuh pria dan perempuan. Sebagaimana yang terbangun dalam ketiga novel Nh. Dini dan direpresentasikan oleh tokoh-tokoh dalam novel-novel tersebut.

Penelitian-penelitian yang menjadi tinjauan pustaka di atas menggunakan teori yang berbeda dengan teori penelitian ini. Akan tetapi, semua penelitian-penelitian di atas menggunakan analisis struktural murni sebagai penelitian-penelitian awal. Hal ini terjadi karena dalam penelitian karya sastra, struktural adalah analisis dasar utama. Penelitian ini menggunakan analisis struktural murni, yakni penelitian terhadap karya sastra dengan melihat karya sastra itu sendiri tanpa terkait dengan hal-hal dari luar yang mempengaruhi dengan karya sastra tersebut.


(23)

2.2 Konsep

2.2.1 Karya Sastra

Karya sastra menurut Chamamah (2001:14), “adalah satu wujud kreativitas manusia yang tergolong konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya dapat menjadi kaidah.” Dari sini dapat terlihat bahwa karya sastra itu memperlihatkan gejala universal yang sifatnya umum namun unik sekaligus khusus.

Pradopo (2001:73) menyatakan bahwa “karya sastra (sastra) merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri.” Sastra memiliki ragam-ragam, yaitu ragam prosa dan puisi.

2.2.2 Struktural

Struktural merupakan hal yang menjadi dasar utama dalam penelitian karya sastra. Seperti yang dinyatakan oleh Teeuw (1984:61) “Analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain.” Analisis struktural ini didasarkan pada anggapan bahwa karya sastra adalah dunia yang mempunyai makna intrinsik yang hanya bisa digali melalui karya sastra itu sendiri.

“Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan.”(Pradopo dkk, 1985: 6)


(24)

2.2.3 Nilai-nilai

Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menark minat seseorang atau kelompok. Jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu benda.

nilai yang terdapat di seluruh dunia sangat banyak macamnya. Nilai-nilai tersebut yaitu antara lain Nilai-nilai moral, Nilai-nilai material, Nilai-nilai estetika, Nilai-nilai sosial, nilai kehidupan, dan lain sebagainya. Nilai-nilai moral adalah yang paling terikat dalam masyarakat, terutama dalam ranah karya sastra Indonesia.


(25)

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Karya Sastra

“Karya sastra (sastra) merupakan sebuah sistem yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri.” (Pradopo, 2001: 73) Sastra memiliki ragam-ragam, yakni ragam prosa dan ragam puisi. Prosa memiliki ragam cerpen, novel, drama, dan roman. Kemudian puisi memiliki ragam gurindam, soneta, pantun, syair, puisi lirik, balada, dan lain-lain. Semua ragam-ragam karya sastra itu memiliki konvensi-konvensi sendiri.

Sastra dalam penelitiannya berguna sebagai kegiatan yang diperlukan untuk menghidupkan, mengembangkan, dan mempertajam suatu ilmu. Pengembangan penelitian ilmiah tentang sastra selalu berkaitan dengan konsep sastra yang sifatnya universal namun, menyimpan sifat individualitas juga. Konsep sastra pada masyarakat Indonesia adalah produknya yang bernama karya sastra. “Produk sastra Indonesia sejalan dengan karakteristik kesastraannya, menjangkau karya-karya yang tercipta dari berbagai latar penciptaan, tempat penciptaan, dan waktu penciptaan.” (Chamamah, 2001:22).

Karya sastra dan kehidupan sangat erat hubungannya. Istilah sastra sering menunjukkan gejala budaya yang dapat dijumpai pada masyarakat. Sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahan. Dalam kehidupan, bahasa merupakan salah satu dari kebudayaan dan merupakan kebutuhan dalam hidup, karena kehidupan memerlukan komunikasi dan komunikasi dapat terjalin bila ada bahasa.


(26)

2.3.2 Strukturalisme

Strukturalisme adalah pendekatan yang hanya melihat isi dari karya sastra melalui karya itu sendiri. “Pendekatan strukturalisme dinamakan juga pendekatan objektif, yaitu pendekatan dalam penelitian sastra yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi.” (Iswanto, 2001: 62). Pendapat Iswanto tersebut dapat diartikan bahwa pemaknaan karya sastra dengan pendekatan strukturalisme ini harus diserahkan pada eksistensi karya itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang ada di luar struktur signifikasinya.

Pendekatan ini mulanya dikembangkan oleh kaum Formalis Rusia dan aliran New Criticism Amerika dengan istilah strukturalisme otonom atau strukturalisme murni. “Gerakan ini menganggap bahwa memahami karya sastra adalah usaha mencari ciri khasnya terlepas dari psikologi, sejarah, atau penelitian kebudayaannya.” (Teeuw, 1984: 129). Pradopo dalam bukunya Struktur Cerita

Pendek Jawa menyatakan bahwa:

“Satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan.”(Pradopo dkk, 1985: 6).

Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa mencari makna karya sastra itu harus dikaji berdasarkan maknanya sendiri yang terlepas dari latar belakang sejarah, diri dan niat penulis, juga terlepas dari efeknya pada pembaca.

Hawks dalam Teeuw (1984: 120) mengatakan bahwa “strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur.” Menurutnya, dunia ini tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-benda


(27)

yang ada. Setiap unsur yang itu tidak memiliki makna sendiri kecuali bila terhubung dengan anasir-anasir lainnya. Anasir-anasir ini menyangkut kepada kaidah-kaidah intrinsik yang menjadi penentu keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.

Teeuw (1984:61) berpendapat bahwa “Analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain.” Dalam hal ini pemahaman yang berdasarkan pada makna intrinsik yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri. Jadi, bila ingin memahami karya sastra secara optimal, harus dipahami dahulu secara menyeluruh tentang struktur yang terdapat dalam keutuhan karya sastranya.

Maka pendekatan struktural adalah pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Strukturalisme yang dimaksud dalam penelitian ini adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur tersebut disebut juga sebagai unsur intrinsik.

Stanton (dalam Nurgiyantoro 2005:25) membedakan unsur pembangun sebuah karya sastra terdiri atas:

1. Tema

2. Tokoh dan penokohan 3. Plot

4. Setting

5. Sudut pandang 6. Gaya bahasa


(28)

2.3.2.1 Tema

Dalam Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa tema merupakan gagasan, ide, pikiran utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Tema dibedakan dari subjek atau topik (Zaidan, 2007: 204). Tema merupakan dasar yang penting dalam sebuah karya sastra, karena tanpa adanya tema maka tidak mungkin tercipta sebuah karya sastra. Tema menjadi sangat penting sebab tema adalah gagasan atau ide dari seorang pengarang untuk menjadi dasar suatu karya sastra. Secara singkatnya, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita atau sesuatu yang menjiwai cerita dan menjadi pokok masalah dalam cerita.

Untuk menentukan tema sebuah karya sastra diperlukan pemahaman secara mendalam terhadap karya sastra yang akan diteliti. Setelah karya sastra dibaca dan dipahami, maka akan mudah diketahui tema karya sastra tersebut. Dalam novel atau roman, tema akan sangat mudah diketahui karena merupakan inti dari permasalahan, dan biasanya sangat sering disebutkan dalam novel atau roman tersebut.

2.3.2.2 Tokoh dan penokohan

Tokoh adalah orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Berkaitan dengan itu, terdapat pula penokohan yakni proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita. Penokohan ini dapat dilakukan melalui teknik kisahan dan teknik ragaan (Zaidan, 2007: 206). Karya sastra terutama novel dan roman tidak terlepas dari adanya tokoh-tokoh.


(29)

Pada umumnya tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel atau roman adalah manusia, namun dapat juga berupa binatang atau benda yang dimanusiakan.

Tokoh dapat dibedakan atas dua, yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh utama dan dibagi atas tokoh sentral protagonis dan tokoh sentral antagonis. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung tokoh sentral. Untuk menciptakan suatu tokoh dalam novel atau roman diperlukan proses penciptaan citra suatu tokoh.

2.3.2.3 Plot

Alur merupakan unsur struktur yang berwujud jalinan peristiwa dalam karya sastra yang memperlihatkan kepaduan tertentu yang terwujud oleh adanya hubungan sebab akibat, tokoh, tema atau penggabungan dari ketiganya (Zaidan, 2007: 36). Alur dalam sebuah karya sastra terbagi atas dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah gaya penceritaan yang dimulai dari awal hingga akhir, sedangkan alur mundur cerita yang disampaikan dimulai dari akhir cerita yang kemudian kembali ke awal cerita hingga berlangsung sampai akhir cerita kembali.

2.3.2.4 Setting (latar)

Dalam Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa latar adalah waktu dan tempat terjadinya lakuan di dalam karya sastra atau drama. Dinyatakan juga bahwa latar merupakan dekor pemandangan dalam pementasan drama seperti pengaturan tempat kejadian, penncahayaan, dan perlengkapan (2007:118). Dalam KBBI, setting atau latar adalah keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (2007:643). Latar sering menjadi petunjuk mengenai


(30)

waktu, ruang dan situasi suatu peristiwa yang terjadi dalam cerita. Setting atau latar ini menentukan

2.3.2.5 Sudut pandang

Sudut pandang adalah titik tolak pengarang sebagai pencerita akuan yang berada dalam cerita atau penceritaan diaan yang berada di luar cerita; pusat kiasan (point of view)” (Zaidan, 2007:194). Sudut pandang merupakan cara pandang dan penghadiran tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan narator pada posisi tertentu. Melalui sudut pandang ini terdapat dua pengisahan dengan sudut pandang berbeda, yakni sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.

2.3.2.6 Gaya bahasa

Gaya merupakan cara pengungkapan dalam prosa atau puisi. Analisis gaya meliputi pilihan kata, majas, sarana retorik, bentuk kalimat, bentuk paragraf; pendeknya, setiap bahasa pemakaiaannya oleh penulis; langgam ((Zaidan, 2007: 76). Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan dan lisan. Gaya bahasa juga diartikan sebagai keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra (KBBI, 2007:340). Gaya bahasa yang digunakan oleh setiap pengarang pada karya sastra yang mereka ciptakan merupakan suatu cara pengungkapan yang khas bagi masing-masing pengarang. Gaya bahasa seorang pengarang tidak akan sama dengan gaya bahasa pengarang lainnya, karena pengarang akan menyajikan hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan lingkungan si pengarang juga selera dari masing-masing pengarang.


(31)

2.3.3 Nilai-nilai

2.3.3.1 Hakikat Nilai

Memahami tentang pembahasan nilai merupakan hal yang rumit. Hal ini karena sifat dari nilai itu yang abstrak dan tersembunyi di belakang fakta. Nilai merupakan kemampuan yang dipercayai pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Dari penjelasan tersebut dinyatakan bahwa nilai itu terkait dengan suatu objek.

Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004:33), mengatakan bahwa hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:

1. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif tergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri.

2. Nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.

3. Nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.

2.3.3.2 Pengertian Nilai

Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu dari kebudayaan selain sistem sosial dan karya. Nilai sering disebut sebagai kemampuan yang dipercayai manusia pada suatu benda untuk memuaskan keinginan manusia itu sendiri. Hal ini dikarenakan nilai itu berasal dari budi yang fungsinya untuk mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Jadi, nilai itu kenyataan tersembunyi dibalik


(32)

kenyataan-kenyataan lainnya. Artinya menilai bermakna menimbang segala sesuatu kegiatan manusia untuk dapat terhubung dengan kegiatan lainnya sehingga dapat diambil

suatu keputusan.

2.3.3.3 Jenis-Jenis Nilai

Alport mengidentifikasikan macam-macam nilai dalam kehidupan masyarakat, yakni nilai ekonomi, nilai estetika, nilai religi, nilai politik, nilai teori, dan nilai sosial. Hierarki nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu-masyarakat terhadap sesuatu objek.

Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan:

1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita, atau tidak enak.

2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai yang penting untuk hidup seperti jasmani, kesehatan, serta kesejahteraan hidup.

3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan, dan pengetahuan murni.

4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan yang didalamnya terdapat modalitas nilai yang suci.


(33)

Di lain pihak, Notonagoro membedakan nilai menjadi tiga bagian;

1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. 2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk

mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.

3. Nilai kerohanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rohani manusia.

Nilai-nilai moral seperti kesetiaan, kepemimpinan, kedermawanan, ketakwaan, persahabatan, dan kesabaran merupakan nilai-nilai yang paling banyak dijumpai dalam karya sastra Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat di Indonesia masih terikat pada adat istiadat dan merupakan masyarakat yang beragama. Dalam adat istiadat dan agama, moral adalah nilai yang paling penting dan menjadi penentu sifat seseorang dalam lingkungan masyarakat.


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Analisis

Judul : Sebuah Lorong Di Kotaku

Pengarang : Nh. Dini

Tebal Buku : 107 hlm.

Penerbit : Gramedia Pustaka

Cetakan : Kedua

Tahun terbit : 2002

Warna Sampul : Coklat

Ukuran Buku : 15x20 cm

3.2 Metode Analisis

Metode adalah “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapau tujuan yang ditentukan” (KBBI, 2007:740). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yakni metode membaca heuristik dan hermeneutik. Membaca heuristik dan hermeneutik adalah pembacaan melalui struktur kebahasaan dan pembacaan ulang terhadap novel Sebuah Lorong di Kotaku.


(35)

3.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan adalah teknik catat, yaitu mencatat dan mengindentifikasi struktur, seperti tema, penokohan, setting, alur, dan nilai-nilai yang terkandung di dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, yakni mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang ada. Kemudian data yang ada ditafsirkan sesuai dengan permasalahan yang telah ditentukan dalam penelitian.


(36)

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan

Dalam bab pembahasan ini, walaupun penulis menggunakan teori strukturalisme dalam pengkajian ini, namun tidak semua unsur strukturalisme penulis bahas. Penulis hanya membicarakan novel Nh. Dini yang berjudul Sebuah

Lorong di Kotaku ini dari segi tema dan amanat, penokohan, dan nilai-nilai.

Alasannya adalah tema dan amanat merupakan hal yang paling mendasar dalam sebuah karya sastra terlebih dalam sebuah novel. Sebuah karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang dengan latar belakang ingin memberitahukan sesuatu hal kepada masyarakat. Hal-hal yang ingin diberitahukan tersebut diawali dengan tema dan amanat

Tema merupakan hal paling utama dalam penciptaan karya sastra. Dalam

Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa tema merupakan gagasan, ide, pikiran

utama, atau pokok pembicaraan di dalam karya sastra yang dapat dirumuskan dalam kalimat pernyataan. Tema dibedakan dari subjek atau topik (Zaidan, 2007: 204). Dari pengertian tema tersebut, jelas bahwa dalam pembahasan karya sastra tema menjadi hal yang paling utama untuk dibahas. Hal tersebut dikarenakan sebelum sebuah karya sastra tercipta, pengarang harus memikirkan ide dan gagasan dalam menciptakan karya sastra.


(37)

Amanat menjadi hal yang sangat penting untuk dibahas karena sebuah amanat dalam karya sastra merupakan sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Dalam Kamus Istilah Sastra dinyatakan bahwa amanat adalah pesan pengarang kepada pembaca baik tersurat maupun tersirat yang disampaikan melalui karyanya (Zaidan, 2007: 27). Pengertian tersebut menyimpulkan bahwa setiap karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang dengan menempatkan sebuah amanat di dalamnya. Dengan demikian jelaslah bahwa penulis harus membahas mengenai amanat di dalam pengakajian novel Sebuah Lorong di Kotaku.

Mengenai penokohan tentunya sebuah novel tidak terlepas dari karakter tokoh-tokoh yang menjalani sebuah peristiwa dalam sebuah novel. Tokoh merupakan orang yang memainkan peran dalam karya sastra. Dalam kaitan itu, penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan pemberian watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita (Zaidan, 2007: 206). Sebuah cerita dalam novel memerlukan karakter yang menjalani setiap proses cerita. Dengan alasan ini penulis berpikir bahwa analisis tokoh dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku adalah salah satu hal terpenting untuk dikaji. Dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku tokoh-tokoh yang terdapat di dalamnya sangat beragam dengan karakter yang berbeda-beda, maka penulis tertarik untuk mengkaji.

Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra sangat mudah ditemukan karena karya sastra selalu berhubungan dengan kehidupan masyarakat yang dipenuhi nilai-nilai kehidupan. Sastra dan nilai-nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam hakikatnya sebagai sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Sastra sebagai produk kehidupan., mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan


(38)

sebagainya baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempunyai penyodoran konsep baru (Suyitno, 1986: 3). Sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilai-nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti total. Melalui penjelasan di atas maka pentinglah bagi penulis untuk membahas nilai-nilai yang terdapat dalam novel Sebuah Lorong di Kotaku ini.


(39)

4.2 Tema dan Amanat

Novel Sebuah Lorong di Kotaku (SLdK) berpusat pada kehidupan sebuah keluarga yang hidup pada masa peralihan penjajahan Belanda ke Jepang. Novel SLdK ini bertemakan kenangan manis seorang anak usia praskolah dalam keluarga yang banyak dialami oleh tokoh utama. Walaupun terdapat juga kenangan yang pahit saat peralihan penjajah yang menyebabkan perang, namun novel SLdK ini lebih menekankan pada kenangan manis dalam keluarga. Keluarga yang terdiri atas ayah dan ibu serta lima orang anak.

Begitulah, dengan kesadaran yang ayem dan penuh kepercayaan, ibuku dapat berkata bahwa itu adalah rumah mereka berdua, rumah ibu dan ayahku. Di sanalah kakakku sulung Heratih tumbuh dan besar. Di sanalah dia disusul oleh ketiga adiknya: Muhamad Nugroho, Siti Maryam, Teguh Asmar.

Dan anak terakhir ibu dan ayahku yang lahir di rumah itu adalah diriku sendiri.(SLdK, hlm. 10)

Keluarga besar yang hidup sederhana di sebuah rumah di daerah Semarang. Rumah yang dinyatakan memiliki halaman terluas di daerah tersebut, dengan kebun di bagian belakang yang dipenuhi oleh pohon-pohon buah dan berpagar alami.

Terletak di pojok kampung, rumah itu adalah satu-satunya yang memiliki halaman luas di muka dan salah satu sisinya. Sedangkan di belakang, kebun besar, kaya dengan pohon buah-buahan, dipagari oleh rentetan bambu yang rapi. Paling sedikit delapan belas depa dari batas tersebut, mengalir Sungai Semarang yang langsung turun dari Gunung Pati di Ungaran.(SLdK, hlm. 9)

Amanat yang coba disampaikan penulis dalam novel SLdK ini adalah pengajaran hidup oleh orang tua dalam mengajarkan kehidupan pada kelima anak-anaknya. Pengajaran kehidupan keluarga dalam mendidik anak-anak dan mengatasi masalah-masalah kebutuhan hidup. Segala macam pengajaran kepada kakak-kakak


(40)

‘aku’ yang dilihat melalui sisi pandangan anak bungsu yakni tokoh aku. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.

… Kata ibuku, makanan harus dinikmati dengan diam. Kalau orang terlalu cerewet pada waktu makan, itu berarti tidak menghormati makanan yang ada di depannya. Padahal makanan adalah kurnia Tuhan. Dan harus dihormati. Juga menurut ibuku, makanan harus dikunyah dengan lambat tetapi sebanyak kali kesanggupan kita. Tanpa suara dan dengan mulut tertutup. Pandang orang yang sedang makan tidak patut jika ditujukan kemana-mana selain pada makanan yang ada di depannya. Jika kami makan dengan tangan, kami harus mencuci tangan kanan di kobokan yang tersedia dengan suara sesedikit mungkin. Tangan kiri harus tertompang dengan sopan di atas meja di tentangan dada. Tetapi jika kami mempergunakan senduk dan garpu, harus dijaga jangan sampai sentuhan kedua benda itu pada piring membikin bunyi yang mengejutkan tetangga semeja.(SLdK, hlm. 20)

Kutipan tersebut menyatakan kehidupan keluarga yang penuh pengajaran ibu bahkan pengajaran tata cara makan yang baik yang terlihat dari pandangan Dini tokoh ‘aku’. Dini yang merupakan seorang anak kecil yang berusia prasekolah dan hanya mengerti bahwa setiap pengajaran yang dia terima dari ibunya adalah pengajaran baik dan tata karma yang memang harus dan layak dilakukan.

Kehidupan keluarga dalam novel SLdK memang terjadi pada masa akhir penjajahan Belanda hingga awal masa penjajahan Jepang yang dinyatakan sulit, tapi yang lebih ditonjolkan penulis pada novel SLdK ini lebih banyak adalah cerita kehidupan sang tokoh dengan keluarga yang cukup menyenangkan karena berisi tentang kenangan si tokoh ‘aku’ yang menceritakan perlakuan masing-masing anggota keluarga pada si ‘aku’ yang merupakan anak terkecil.

Ayah selalu berusaha menyenangkan hati semua anaknya. Dielusnya pipiku sebentar. Pandangannya lembut ketika menjawab:


(41)

“Menyerok ikan siang ini? Tentu saja!” lalu dia meneruskan, “Tapi apakah kau tidak mau juga pergi ke desa seminggu lagi?”

Aku tahu bahwa pergi ke desa berarti ke rumah kakek. Tapi waktu itu pikiranku hanya tertuju kepada genangan air yang tak jauh dari ruangan makan itu.

“Mau,” kataku asal menjawab. “Tapi kita menyerok ikan dulu. Boleh aku turut ya, pak. Boleh?”

“Kau masih terlalu kecil!” kakakku sulung menyahut.

“Ya, kalau jatuh ke air, belum bisa berenang,” yang ketiga turut bersuara.

“Siapa tahu ikan-ikannya lebih besar daripada kau,” yang keempat menyeletuk.

“Kalau kau jatuh ke air, tentulah ada yang mau menelanmu bulat-bulat,” yang kedua selalu menemukan kata-kata lebih jahat daripada lain-lainnya.

Ibu diam saja selama itu.(SLdK, hlm. 21)

Kutipan di atas menyatakan segala sikap masing-masing anggota keluarga terhadap tokoh utama yang masa itu masih kecil dan belum bersekolah. Ada yang dengan lembut menyampaikan sanggahannya kepada tokoh utama, tapi ada juga yang ketus bahkan dianggap terlalu jahat dalam menyampaikan sanggahannya.


(42)

4.3 Penokohan

Dalam SLdK terdapat tokoh utama Dini yakni tokoh ‘aku’ dan terdapat beberapa tokoh yang tidak hanya mendukung tokoh ‘aku’ tetapi memang tokoh-tokoh yang menjadi pusat penceritaan. Hal ini karena novel SLdK merupakan novel yang menceritakan tentang kehidupan keluarga tokoh ‘aku’. Setiap tokoh memiliki peran yang cukup membangun kepribadian tokoh ‘aku’.

Tokoh utama yakni Dini (aku), menceritakan kehidupannya bersama keluarga dan apa saja yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Novel SLdK memaparkan tokoh-tokoh yang sangat berhubungan erat dengan tokoh utama karena merupakan kakak-kakak dan orang tua tokoh utama. Ada ayah, ibu, Heratih, Nugroho, Maryam, dan Teguh. Tokoh-tokoh itu, berdasarkan pengamatan pada umumnya berperan sangat penting dalam mengiringi tokoh utama. Kehadiran tokoh-tokoh itu tidak dapat tersampingkan karena sangat erat kaitannya dalam menemani tokoh utama.

Analisis penokohan di dalam novel SLdK ini bertujuan untuk mengetahui peran para tokoh yang sebenarnya. Dalam hal ini, tokoh utamalah yang paling banyak mendapat perhatian untuk dianalisis sedangkan tokoh-tokoh yang lain perlu juga dianalisis sesuai dengan peran yang diungkapkan tokoh utama. Di dalam hakikatnya, “peran tokoh dalam sebuah cerita berhubungan erat dengan alur cerita, karena kedua unsur itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan keduanya tidak dapat dipisahkan” (Hasjim, 1989:58).

Sehubungan dengan itu, novel SLdK ini sesuai dengan yang dikatakan Hasjim, yakni alur cerita di dalam novel ini saling berkaitan dengan peran para


(43)

tokoh. Dalam hal ini, peran para tokoh itu sangat menunjang dan memperjelas penyampaian tema dan amanat sehingga cerita ini tampak hidup karena mereka saling mendukung.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini analisis tokoh-tokoh di dalam novel SLdK.

4.3.1 Ayah

Tokoh ayah di dalam novel SLdK tidak terlalu dijelaskan secara fisik, hanya digambarkan tentang sifatnya yang sangat sayang terhadap keluarga dan bertanggung jawab penuh terhadap keuangan keluarga. Terutama dalam mengangsur uang pembayar pembelian rumah kepada mertua.

Seperti telah dijanjikan, kakek dari kedua belah pihak mengeluarkan biaya masing-masing sebagai uang pembeli. Pengeluaran tersebut diiringi keterangan, bahwa keluarga memerlukan tempat persinggahan di kota Semarang. Karena sampai saat itu, sanak saudara yang perlu berkunjung dari satu sudut ke sudut yang lain dari seluruh tanah air tidak memiliki tempat bermalam selayaknya di Pulau Jawa bagian tengah utara. Rumah tersebut juga akan dipergunakan sebagai rumah keluarga. Dan untuk menjaga harga diri, ayahku harus mengembalikan sejumlah uang kepada orang tua ibuku. Dengan demikian, dia juga turut beriuran.(SLdK, hlm. 10)

Pada kutipan di atas dapat dilihat bahwa ayah orang yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga dan sangat menjaga harga dirinya sebagai seorang suami dengan berusaha mencicil uang pinjaman pembeli rumah dari mertua.

Ayah juga sangat sabar bahkan bisa menerima bila ibu mengomel karena kelonggaran yang diberikan ayah kepada semua anak-anaknya.


(44)

Sewaktu ibu marah-marah menyesali tingkah kami semuanya, dari suami sampai kepada anak-anak, ayah memandang kepadaku sambil mengerjapkan sebelah mata. Menerima tanda perkomplotan itu, aku tersenyum membalasnya. Lalu kami pun siap sedia memulai lagi permainan yang sama.(SLdK, hlm. 47)

Pada kutipan tersebut sangat jelas bahwa ayah sangat mengerti akan keinginan anak-anaknya untuk bebas bermain walaupun hal tersebut menjadi larangan bagi si ibu dikarenakan menurut ibu permainan yang dilakukan membawa banyak akibat mulai dari lecet-lecet, baju kotor dan kepala banyak pasir.

Ayah disebutkan bekerja sebagai pegawai PT. KAI yang mempunyai gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup dan mengangsur cicilan pembelian rumah kepada mertua.

Sebagai komis pada Jawatan Kereta Api, yang waktu itu disebut NIS, setiap bulan ayahku wajib menyisihkan sebagian gajinya untuk dikirim pada mertuanya.(SLdK, hlm. 10)

Ayah juga digambarkan sebagai orang yang mampu memanjakan setiap anak-anaknya dengan caranya sendiri, tetapi juga sosok yang tegas dan mampu bertindak sebagai pemimpin dalam mengatur anak-anak. Hal-hal tersebut akan terlihat pada kutipan-kutipan berikut ini.

Ayah memiliki cara tersendiri untuk memanjakan anak-anaknya. Masing-masing dari kami berlima pun mempunyai kebiasaan kesenangan berbeda. Ayah memanjakan Teguh, dengan sekali-sekali membiarkannya pergi ke sungai tanpa diketahui oleh ibu. Untuk Heratih, sekali-sekali membelikan buku pola sulaman yang dia inginkan. Untuk Nugroho aku tidak pernah mengetahuinya. Dan untuk Maryam dan aku sendiri, berupa makanan. …(SLdK, hlm.77)

Akhirnya ayah memanggil kakak-kakakku. Sebentar diterangkannya apa yang harus mereka kerjakan….(SLdK, hlm. 27)


(45)

Suara ayah tegas tidak memerlukan perbantahan…(SLdK, hlm. 26)

Kemudian, seperti biasa, ayah menjadi wasit.(SLdK, hlm. 29) ….Seperti biasa, ayahku dapat mengakhiri keributan yang tidak berguna itu….(SLdK, hlm. 35)

….Tetapi dengan cepat ayah memanggilnya kembali. Suaranya tegas, tidak memerlukan pendapat orang lain. Aku agak terkejut melihat kepadanya. Hanya soal jambu, apakah yang dikhawatirkannya? Tetapi mukanya bersungguh-sungguh, mengulangi perintah agar anaknya segera kembali duduk bersama kami.(SLdK, hlm. 73)

Melihat kepada kutipan-kutipan yang menceritakan betapa ayah adalah orang yang tegas tapi juga sangat sayang terhadap keluarga terutama dalam memanjakan masing-masing anak menunjukkan bila ayah adalah sosok yang bijak dan baik dalam memimpin keluarga.

4.3.2 Ibu

Ibu yang tergambarkan dalam novel SLdK juga tidak tergambarkan secara fisiknya. Namun, kelihatan jelas bahwa tokoh aku sangat mengagumi kedua orang tuanya, terutama tokoh ibu. Ibu disini sangat berperan penting dalam mengajarkan anak-anak. Terutama pengajaran hidup berkeluarga yang baik.

“Awas hati-hati,” cepat ibu mengingatkan. “Berapa kali sudah kukatakan, kau harus meletakkan kembali segala macam benda apa pun dengan perlahan-lahan.”(SLdK, hlm.13)

Kata-kata yang diucapkan oleh ibu tersebut adalah pengajaran yang baik dan biasa diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Mengajarkan agar anak-anak berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu merupakan hal yang paling sering dikatakan oleh orang tua.


(46)

Tokoh ibu digambarkan sebagai orang yang sangat perhatian kepada suami dan anak-anaknya. Ibu juga orang yang hidup sederhana dan selalu berusaha memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan masing-masing anak-anaknya. Tentang masalah keuangan si ibu sangat menjaga agar mereka sekeluarga tercukupi kebutuhan, dan ibu selalu bersyukur atas rezeki yang di dapat. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berikut.

“Bagaimana, Bu, mau ke desa?”

“Mau saja, tetapi bagaimana keuangannya. Apa sudah mendapat rezeki?”

“Ya. Besok pagi bisa diterima.” “Sukurlah.”

Dan aku tahu bahwa dalam hati ibuku memuji kebesaran nama Tuhan Yang Penyayang.(SLdK, hlm. 21-22)

Pada kutipan tersebut tampak ibu sangat menjaga agar keuangan keluarga tidak terganggu karena rencana pergi ke desa dan ibu dikatakan mengucap rasa syukur di dalam hatinya atas rezeki yang di dapat suaminya.

Kutipan lain yang menyatakan bahwa ibu sangat menjaga keuangan dalam keluarga yaitu saat akan bepergian, ibu selalu mengusahakan agar tidak perlu mengeluarkan biaya dalam membeli makanan seperti berikut ini.

Bepergian ke luar kota bersama lima anaknya, bagi ibuku berarti harus mempersiapkan makanan secukup mungkin untuk dibawa di dalam keba, yaitu tas yang terbuat dari anyaman daun pandan air. Dia tidak suka membeli makanan di perjalanan; kecuali buah-buahan atau jenis makanan keistimewaan daerah atau koata yang kami lalui. Selain soal keuangan, ibu mempunyai alasan yang lain.(SLdK, hlm. 31)

Kutipan di atas menunjukkan sikap ibu yang berusaha menghemat pengeluaran keluarga dengan berusaha membawa-bawa makanan yang secukupnya untuk seluruh keluarga selama bepergian. Hal ini dilakukan ibu untuk menjaga


(47)

keuangan keluarga meskipun sikap ibu ini menyebabkan kerepotan karena harus membawa tas anyaman tempat makanan yang disebut dengan keba.

4.3.3 Heratih

Heratih merupakan anak tertua dalam keluarga Dini-‘aku’. Sebagai kakak tertua tampak bahwa Heratih sangat menjaga adik-adiknya terutama Dini sebagai anak terkecil. Pengarang menceritakan bahwa Heratih adalah siswa HIS, merupakan kakak yang mempunyai sifat keibuan dan hatinya lembut. Heratih juga anak yang patuh dan penurut pada orang tua, baik itu perintah ayah maupun ibu.

Dia bersekolah di HIS. Disana murid-murid harus berbicara dalam bahasa Belanda dengan guru dan di antara murid. Tetapi begitu kembali ke rumah, ayah mewajibkan kakakku berbahasa Jawa. Kalau dia mengucapkan kata Belanda sepatah pun, dikenakan denda karenanya, uang saku ditarik kembali atau mengerjakan tugas rumah tangga. Di antara kawan-kawan kakakku terdapat beberapa anak Belanda. Kakakku sulung yang berhati halus itu tidak mengira, bahwa pemerintah yang terdiri dari orang-orang Belanda itu berkelakuan tidak adil terhadap ayah ataupun orang-orang pribumi lain.(SLdK, hlm. 22)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Heratih gadis yang sangat lemah-lembut sehingga tidak menyangka bahwa orang Belanda dapat berlaku tidak adil. Tokoh utama tampaknya sangat dekat dengan Heratih karena pengarang menuliskan bahwa Heratih adalah sosok yang paling sering mengurus ‘aku’ selain ibu.

Kakakku sulung mencuci muka dan kakiku…(SLdK, hlm. 23) Tetapi Heratih, kakakku sulung, tidak beranjak dari sampingku. Tangannya erat memegang tanganku.(SLdK, hlm. 25)

Ketika aku dibantu berpakaian oleh Heratih, ….(SLdK, hlm. 32)


(48)

….Tadi kakakku sulung membangunkanku, mencuci mukaku, mendandaniku, mengenakan sepatuku, menyisir rambutku. Di meja keluarga, menyuapkan isi piringku….(SLdK, hlm. 33) Heratih membawaku ke pancuran buat mencuci tangan, menunjukkan gudang dan ruangan….(SLdK, hlm. 40)

Pagi-pagi di hari tersebut, Heratih menolongku berpakaian,…(SLdK, hlm. 85)

Heratih menangkapku, menarikku ke kamar mandi. Memakaikan baju bersih, sepatu dan jas rangkapan yang biasa kami pakai di hari-hari bepergian.(SLdK, hlm. 90)

Sifat keibuan yang dimiliki Heratih tampaknya merupakan sikap yang ia tiru dari ibu, karena Heratih tampaknya mengurusi ayahnya sesuai dengan yang dilakukan atau diperintahkan ibu.

Kakakku sulung menghampiri andong, mengambil kain itu dari dalam tasku, lalu diberikannya kepada ayah.

“Jasnya juga sekarang, Pak?” kakakku bertanya.

“Ah, tidak! Aku tidak sakit! Mengapa kalian ribut begitu?” Kuterka suara ayah yang jengkel! Kadang-kadang dia dianggap seperti anak kecil, ibu mengingatkankannya memakai ini dan itu. Heratih turut menirunya.(SLdK, hlm. 46)

Kutipan di atas menunjukkan hal-hal yang dilakukan oleh Heratih sebagai anak sulung yang bersifat keibuan dan tampak seperti pamong tokoh utama. Selain itu, banyak hal lain yang dituliskan oleh penulis tentang sikap Heratih yang bersifat dewasa.


(49)

4.3.4 Nugroho

Anak kedua dalam keluarga ‘aku’ adalah seorang anak laki-laki yang sepertinya tidak disukai tokoh ‘aku’. Di awal cerita bahkan pengarang yang berlaku sebagai tokoh utama yakni tokoh ‘aku’ langsung menyebutkan bahwa Nugroho yang merupakan anak kedua dalam keluarga selalu menyebutkan kata atau kalimat yang lebih jahat dari anak-anak yang lain.

“Kalau kau jatuh ke air, tentulah ada yang mau menelanmu bulat-bulat,” yang kedua selalu menemukan kata-kata yang lebih jahat daripada yang lain-lainnya.(SLdK, hlm. 21)

Dalam novel SLdK, ‘aku’ menceritakan bahwa Nugroho adalah anak yang agak kasar dan sering berkelahi dengan Teguh. ‘Aku’ juga menyatakan bahwa ia tidak terlalu menyukai kedua kakak laki-lakinya, terutama kakak keduanya Nugroho. Alasan mengapa ia tidak menyukai Nugroho bahkan dijelaskannya secara panjang lebar.

“Dengan Nugroho atau Teguh?” Tanya kakek. “Saya tidak suka pada mereka.”

“Mengapa?”

“Karena mereka juga tidak suka kepada saya.” “Kau membenci saudaramu laki-laki?”

“Tidak. Tapi saya tidak menyukai mereka.”

“Jadi kau tidak membenci, tetapi tidak menyukai mereka.” Aku hanya mengangguk.

“Katakan apa sebabnya.”

“Mereka tidak peduli. Mereka kasar. Kalau dimintai tolong selalu tidak mau. Dan macam-macam lagi.”(SLdK, hlm. 59-60)

Kutipan di atas merupakan hal yang dijadikan alasan oleh ‘aku’ mengenai hal-hal yang membuat ‘aku’ tidak menyukai kedua kakak laki-lakinya. Mengenai tokoh Nugroho ini, terdapat kutipan panjang yang menjadi alasan yang diutarakan ‘aku’ mengenai hal-hal yang membuatnya sangat jauh dari Nugroho.


(50)

Waktu makan berlalu tanpa kejadian penting. Kecuali Nugroho yang hampir berhantam dengan Teguh, karena adiknya itu menumpahkan teh panas sehingga mengenai sepatunya sedikit. Kakakku kedua selalu siap sedia memukul siapa saja yang merugikannya. Sifatnya yang kasar dan amat berbeda dari kakak-kakak lainnya membuatku merasa jauh daripadanya hingga di kemudian hari. Tangannya selalu ringan buat menempeleng, kakinya terangkat seperti angin buat menendang ayam atau kucing yang lewat atau duduk diam-diam tanpa mengganggu siapa pun…. Dan dari keempat kakak yang lahir mendahuluiku itu, Nugroho adalah satu-satunya yang paling sering memperingatkan aku di mana dan sampai di mana aku boleh bertindak. Setelah mulai tumbuh, dan mulai sadar akan segala hal yang baik dan tidak baik, kakakku yang seorang itu bahkan hampir membubuhiku dengan sifat rendah diri yang berlebihan, ialah karena aku paling kecil, berarti tidak berhak berbuat sesuatu pun, dan tidak mungkin bisa berhasil dalam sesuatu pekerjaan pun.(SLdK, hlm. 39)

Kutipan di atas menerangkan banyak hal yang membuat ‘aku’ tidak menyukai kakaknya, Nugroho. Bahkan ‘aku’ juga menyatakan bahwa Nugroho adalah kakaknya yang sifatnya sangat berbeda dari semua kakak yang ‘aku’ miliki. Sifat Nugroho yang kasar itu membuat ‘aku’ jauh dari Nugroho yang artinya ‘aku’ tidak akrab dengan Nugroho. Hal ini sangat wajar bila dilihat dari ceritanya yang menyatakan bahwa Nugroho memberi banyak larangan pada ‘aku’ bahkan hampir membuat ‘aku’ memiliki rasa rendah diri yang berlebihan.


(51)

4.3.5 Maryam

Dari seluruh keluarga, hanya Maryam yang dijelaskan nama panjangnya Sri Sukati Siti Maryam. Menurut ‘aku’ nama tersebut sangat bagus dan megah, tidak seperti nama julukan Maryam, yang biasanya digunakan oleh masyarakat Jawa, yang menurut ‘aku’ adalah hal yang buruk.

…Ditambah lagi dengan kebiasaan keluarga yang bagiku amat buruk, ialah memberi nama julukan yang kadang-kadang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nama asli yang bagus-bagus. Seperti halnya kakakku ketiga, Maryam, mendapat sebutan Genuk, yang berarti botol tempat garam yang terbuat dari tanah. Karena menurut cerita, ketika dia masih kecil, badannya gendut seperti bentuk tempat garam. Panggilan demikian kuanggap tidak bagus, baik menurut pendengaran maupun artinya, juga karena akan terus terikat hingga kami dewasa. Padahal namanya yang terdaftar pada kantor pencatatan sipil adalah Sri Sukati Siti Maryam, bagus dan megah. Aku lebih suka memanggilnya Maryam di dalam cerita ini.(SLdK, hlm. 51)

‘Aku’ tidak terlalu menceritakan bagaimana sifat Maryam, tetapi sepertinya Maryam anak yang cukup aktif, cekatan dan berlainan sikapnya dari anak tertua yaitu Heratih yang keibuan, bahkan Maryam juga tidak segan-segan melawan perkataan saudaranya yang laki-laki dan melakukan tindakan yang biasa dilakukan anak laki-laki yakni memanjat. Dijelaskan pula bahwa tokoh utama sangat dekat dengan kakaknya Maryam ini yang menurut ‘aku’ memiliki banyak kesamaan dengan ‘aku’ dibandingkan dengan kakak sulungnya Heratih.

Tanpa kusadari, Maryam telah berganti, mengenakan pakaian renangnya. Tetapi Heratih, kakakku sulung, tidak beranjak dari sampingku. Tangannya erat memegang tanganku….(SLdK, hlm. 25)

…. Pada waktu itulah sesuatu yang berwarna hitam berkilat meloncat di dekat kakakku perempuan. Seketika dilepaskannya tali penarik untuk menangkap benda yang melayang di sebelah kirinya.


(52)

Dia berteriak:

“Aku menangkapnya! Aku menangkapnya!”(SLdK, hlm. 28) “Maryam yang cepat reaksinya,” kata ayah seolah membetulkan perkataan anaknya laki-laki.

….

“Ah, kamu enak saja ngomong! Coba pegang sendiri! Licinnya bukan main,” kakakku perempuan dengan suara jengkel membantah.(SLdK, hlm. 29)

…. Ketika kami menjenguknya, Maryam naik dan memetik dua buahnya yang besar dan kuning….(SLdK, hlm. 100) Dan akhirnya, liburan Puasa itu membikin aku menemukan dua orang kawan yang sebenarnya: paman dan Maryam…. Sedangkan Maryam, sejak kunjungan ke Ponorogo, kami lebih sering bersama. Kesempatan kami tinggal di tempat kakek lebih menunjukkan kesamaan rasa dalam berbagai hal. Aku memang lebih merasa dekat dengan saudaraku perempuan daripada dengan saudaraku laki-laki. Heratih umurnya terlalu banyak berbada denganku, sehingga sikap dan sifat keibuan selalu ditunjukkannya terhadapku. Dia lebih merupakan seorang pamong daripada seorang kawan.(SLdK, hlm. 83)

Dalam novel SLdK ini, tampaknya Maryam adalah tokoh yang tidak terlalu menonjol seperti tokoh-tokoh lain. Hal ini terlihat dari banyaknya penyebutan Maryam yang lebih sering diceritakan disamping tokoh-tokoh lain yang sedang mendapat bagian cerita.

Dibantu oleh kakakku laki-laki, kemudian juga oleh Maryam, ayah membikin bendungan.(SLdK, hlm. 25)

Menurut Teguh airnya bening seperti keluar dari pipa air kotapraja. Maryam berkata bahwa batu-batu besar-kecil yang ada di sana mempunyai bentuk yang menakjubkan.(SLdK, hlm. 58)

“Kalau tidak turut Belanda, lalu siapa yang perang?” tanya Maryam.

“Bodoh kamu!” bentak Nugroho. “Kenapa tidak mendengarkan kalau ayah menerangkan. Ada tentara dari negara di utara yang terus menyerbu ke selatan. Namanya kata ayah, bangsa Jepang. Orangnya seperti Cina, kuning bermata sipit. Mereka yang mau mengusir orang Belanda dari Nusantara, kata ramalan.”(SLdK, hlm. 79)


(53)

Selain kutipan di atas, masih banyak lagi hal-hal yang diceritakan tentang Maryam. Namun seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Maryam hanya akan ada disamping tokoh-tokoh lain yang diceritakan ‘aku’.

4.3.6 Teguh

Teguh merupakan kakak termuda ‘aku’. Anak laki-laki kedua dan berada diurutan keempat dalam kelahiran anak dalam keluarga. Berbeda dari Nugroho yang sangat tidak disukai ‘aku’, Teguh yang awalnya tidak disukai oleh ‘aku’ berubah menjadi kakak yang sangat perhatian pada ‘aku’. Hal itu terjadi akibat liburan mereka ke desa yang melibatkan peranan paman, adik ayah yang termuda, Sarosa.

…Paman lebih sering bersamaku. Teguh dan Nugroho berkali-kali memintanya agar bermain-main dengan mereka. Pada akhirnya, paman hampir selalu berada di antara kami kaum wanita: ibuku, Heratih, Maryam, dan aku. Nugroho menjadi iri, semakin kasar dan sering mengganggu saudara-saudaranya wanita. Berlainan dengan Teguh. Sejak dilihatnya paman menjadi pamongku, kakakku keempat itu lebih berperhatian terhadapku. Seolah-olah di baru tahu bahwa seorang adik perempuan sekecil aku juga bisa diajak bermain, juga menarik untuk diajak berbicara. Pada waktu-waktu paman membuat rencana akan kesana atau kemari, tidak lupa dia selalu mencariku. Bertanya kepada ayah dan ibu apakah aku boleh dibawanya. Berkali-kali Nugroho berkata. “Dini tidak usah diajak karena hanya akan merepotkan saja.” Tetapi kalimat semacam itu tidak sekalipun kudengar keluar dari mulut Teguh. Dia mengikuti semua perbuatan paman tanpa membantah. Mulai dari waktu itulah kakakku yang keempat itu lebih memperhatikan aku, barangkali berpendapat bahwa kehadiranku di dunia ini sebagai adik juga ada artinya bagi anak laki-laki seperti dia.(SLdK, hlm. 67)

Kutipan tersebut menunjukkan perubahan sikap Teguh kepada adik bungsunya ‘aku’. Teguh dikatakan lebih perhatian dan selalu ingin mengajak ‘aku’


(54)

ketika ia ingin pergi dengan pamannya. Bahkan Teguh tampaknya tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan oleh kakak laki-lakinya, Nugroho, yang selalu berusaha menepis kehadiran ‘aku’.

Teguh dinyatakan sebagai anak yang lebih menyukai kebebasan yang memang biasanya dilakukan anak laki-laki. Teguh agak malas mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh ibu, seperti saat makan.

Semua gerak dan kelakuan kami di waktu makan tidak sedikit pun lepas dari mata ibuku. Sebab itulah kakakku Teguh lebih sering datang terlambat agar mendapat dalih buat makan sendirian atau makan di dapur bersama pembantu. Karena dengan demikian dia lebih bebas bergerak maupun berbicara.(SLdK, hlm. 20)

Teguh sangat suka pergi ke sungai dan ia dikatakan hampir mengenal seluruh sungai di Semarang. Dari cerita itu juga dapat dilihat bahwa Teguh selalu berusaha tidak mengikuti aturan ibu, dikarenakan sifat ingin bebasnya.

Ayah memiliki cara tersendiri untuk memanjakan anak-anaknya. Masing-masing dari kami berlima pun mempunyai kebiasaan kesenangan berbeda. Ayah memanjakan Teguh, dengan sekali-sekali membiarkannya pergi ke sungai tanpa diketahui ibu…(SLdK, hlm. 77)

“Betul itu!” tiba-tiba suara Teguh menyambung. “Yang ada di kamar mandi bagus-bagus. Sedangkan ikan kali tidak ada warnanya. Semua putih.”

Aku dapat mempercayainya, karena dia mengenal hampir semua sungai di kota Semarang.(SLdK, hlm. 25)

Demikianlah kutipan-kutipan yang menceritakan sikap tokoh Teguh yang seperti namanya sepertinya tokoh Teguh ini adalah anak yang cukup teguh dengan pendiriannya dan teguh dengan sikap atau hal-hal yang menjadi keinginannya.


(55)

4.3.7 Dini-‘Aku’

Tokoh terakhir yang akan dibahas adalah Dini yang merupakan tokoh utama dalam novel SLdK ini. Dini atau yang lebih sering dinyatakan dengan ‘aku’ merupakan anak bungsu, anak kelima, dan dalam novel diceritakan masih berusia prasekolah.

Pagi itu aku bangun seperti biasa, setelah semua kakakku berangkat ke sekolah.(SLdK, hlm. 12)

Kutipan diatas menyatakan bahwa ‘aku’ baru bangun ketika kakak-kakaknya sudah pergi ke sekolah, sedangkan ‘aku’ di rumah. Hal ini menunjukkan bahwa ‘aku’ masih kecil dan belum mencapai usia sekolah. ‘Aku’ dinyatakan telah bersekolah di akhir-akhir cerita novel SLdK yang menyampaikan pengajaran oleh ayah kepada ‘aku’ yang baru memasuki sekolah.

…Aku yang baru masuk kelas terendah, belum mendapat pelajaran secara sungguh-sungguh. Pada waktu itulah ayah mengajarku membaca. Buku yang dipergunakannya adalah terjemahan bahasa Melayu Surat dari Raja, karangan pengarang India bernama Rabindranath Tagore. Ayah menerangkan kepadaku siapa penulis itu, apa yang dimaksudkannya pada setiap kalimat di dalam buku itu.(SLdK, hlm. 102)

Setiap hari dengan sabar aku diajarinya mengenal hurup-hurup cetakan, lalu membaca kata demi kata. Setelah beberapa waktu berlalu,dia memberiku buku bergaris-garis, di mana aku menyalin hurup Latin yang telah disiapkannya.(SLdK, hlm. 103)

‘Aku’ banyak menceritakan pengalamannya yang sangat menyenangkan karena ‘aku’ masih kecil dan hanya menginginkan hal-hal yang baik-baik dan banyak bermain tanpa mendapat tugas yang memang biasanya tidak akan didapatkan anak-anak seusianya.


(56)

Dari bawah meja bilyar aku pindah ke kamar tidur. Mencoba bermain dengan segala macam benda yang dapat kuraih. Dari kamar tidur satu ke kamar tidur lain, aku kembali ke ruang tengah, naik kursi untuk melihat isi laci bupet tempat ayahku menyimpan berbagi majalah. Dari sana ke ruang makan, duduk sebentar di samping ibuku. Sambil mendengarkan ceritanya, mengamati dan mengagumi kelincahan tangannya menggariskan gambar-gambar yang begitu kukenal dengan canting dan lilin panas.(SLdK, hlm. 19)

Tanpa menunggu lagi, kutarik lengan baju ayahku sambil berseru lebih keras dari kakak-kakakku:

“Aku mau menyerok ikan! Aku mau menyerok ikan!”(SLdK, hlm. 21)

Aku tidak dapat menahan diri untuk memanggil-manggil ayah buat mengingatkan kehadiranku. Karena aku juga ingin mengikuti kegiatan mereka dengan perbuatan nyata. Dan satu-satunya yang bisa kuperlihatkan hanyalah suaraku.(SLdK, hlm. 26)

‘Aku’ dalam novel SLdK ini menceritakan kenangannya saat masih kecil dan apa saja yang terjadi dalam keluarganya, dan apa saja yang dilakukannya selama itu. ‘Aku’ menyatakan bahwa masa yang dialaminya pada usia ini merupakan ‘kenangan yang lembut dan terkasih.’

Sejauh ingatanku, hari itu adalah hari pertama yang tertera dengan jelas dalam kepalaku. Sampai masa-masa remaja dan dewasaku, setiap kali aku teringat kepada ibuku, kepada kebun di belakang rumah, segera muncul gambaran kakakku Maryam bersedekap memeluk seekor ikan di dadanya. Lalu bergiliran gambar-gambar lain menyusul, melanjutkan kenangan yang lembut dan terkasih.(SLdK, hlm. 30)

‘Aku’ sangat mengagumi ayah dan ibunya, karena menurutnya ayah dan ibu adalah orang-orang yang mampu memberi pengajaran yang baik bagi ‘aku’. ‘Aku’ menganggap ayahnya adalah seorang pemimpin dalam keluarga yang mampu menyenangkan anak-anaknya dan juga dapat bertindak atau berkata tegas kepada anak-anaknya.


(57)

Ayah selalu berusaha menyenangkan hati semua anaknya. Dielusnya pipiku sebentar. Pandangannya lembut ketika menjawab:...(SLdK, hlm. 21)

Sekali-sekali ayah melambaikan tangannya kepadaku. Diserukannya sesuatu untuk membujuk atau menyenangkanku…

Suara ayah tegas tidak memerlukan perbantahan. Aku mengerti artinya…(SLdK, hlm. 26)

Kemudian, seperti biasa, ayah menjadi wasit.

Katanya, kami semua memberikan bagian tenaga untuk menagkap ikan yang luar biasa itu. Bersama Teguh dan Nugroho dia menggiringnya menuju ke bendungan. Maryam menangkapnya dengan tepat. Sayangnya, seorang anak tidak dapat memegang ikan sebesar itu lebih dari satu atau dua menit. Karena selain kekuatan binatang tersebut guna menyelamatkan diri, juga karena tubuhnya yang licin. Maryam telah berusaha sebaik-baiknya. Tetapi tangannya terlalu kecil. Ikan itu berhasil melepaskan diri. Tetapi untunglah aku berada di dekat sana. Padahal baru kali itulah aku berada di sana. Ember yang kutumpangi menjadi dua kali berguna: sebagai perahu dan sebagai penangkap ikan. Lalu Teguh mendapat pujian dari ayah karena mempunyai pikiran

cepat dengan menusukkan batang kayu yang

ditemukannya…(SLdK, hlm. 29-30)

Kutipan di atas dinyatakan oleh ‘aku’ bahwa ayah adalah orang yang sering berusaha menyenangkan anaknya dengan menjadi penengah perkelahian anak-anaknya. Dikatakan bhwa ayah berusaha menjelaskan pada anak-anaknya bahwa masing-masing memiliki andil atas tertangkapnya ikan besar yang menandai keberhasilan mereka dalam menyerok ikan. Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa ‘aku’ sangat mengagumi ayahnya yang dianggap mampu menyenangkan semua anak-anaknya, dan seperti yang telah dijelaskan tadi, kejadian bersama-sama menyerok ikan di belakang rumah merupakan cerita salah satu kenangan yang paling berkesan bagi ‘aku’ di dalam novel SLdK ini.

Sejauh ingatanku, hari itu adalah hari pertama yang tertera dengan jelas dalam kepalaku. Sampai masa-masa remaja dan dewasaku, setiap kali aku teringat kepada ibuku, kepada


(58)

kebun di belakang rumah, segera muncul gambaran kakakku Maryam bersedekap memeluk seekor ikan di dadanya. Lalu bergiliran gambar-gambar lain menyusul, melanjutkan kenangan yang lembut dan terkasih.(SLdK, hlm. 30)

Dalam novel SLdK ini, pengarang melukiskan ‘aku’ yang menceritakan kenangan-kenangan manis yang dialami ‘aku’ pada masa akhir penjajahan Belanda dan memasuki penjajahan Jepang. Mengenai saat masuknya masa penjajahan Jepang diceritakan ‘aku’ saat ia baru memasuki masa sekolah. Kenangan saat baru memasuki sekolah juga menjadi hal yang mengesankan bagi ‘aku’ yang awalnya berpikir bahwa sekolah adalah penjara yang akan mengurungnya hingga siang.

Sekolah bagiku adalah tempat yang akan mengurungku dari pagi sampai siang, tempat aku harus duduk tak bergerak di atas bangku sempit dan tinggi. Perasaan khawatir, takut, sekaligus ingin tahu, ketiganya bercampur-aduk mengganggu tidurku sejak kami kembali di rumah Semarang. Ibu seperti tidak menduga, memberiku berbagai janji buah pengetahun yang menunggu di ujung jalan.(SLdK, hlm. 85)

Kutipan di atas menunjukkan sikap ‘aku’ yang sangat memikirkan hari-hari yang harus ia lalui saat sekolah. Tampaknya ‘aku’ orang yang mudah merasa bosan dan sangat memikirkan segala hal yang mungkin tidak dapat dilakukannya bila ia telah bersekolah. Hal seperti ini sangat wajar terjadi pada anak-anak terutama bila dilihat dari sifat ‘aku’ yang memang sejak awal cerita tampak sangat aktif dan mudah merasa bosan.

Begitu sampai di anak tangga terakhir, aku segera melepaskan diri dari pegangan pembantu, lalu berlari ke pintu belakang. Sekejap itu pula pembantu telah sampai di sampingku. Dengan sekali tekan dia menyorong palang kayu buat mengunci pintu bagian bawah. Daun pintu sebelah atas telah terbuka lebar melekat ke dinding.(SLdK, hlm.16)

Setelah jemu dengan pemandangan tersebut, seperti di hari-hari lain, aku berkeliaran di dalam rumah. Justru pada hari-hari itu penungguan terasa amat panjang. Ibuku tidak


(59)

memperbolehkanku keluar dari pendapa. Gerimis masih terus turun. Kadang-kadang diselingi oleh tumpahan yang lebih deras, yang kemudian reda dengan tiba-tiba seperti juga datangnya yang mendadak.(SLdK, hlm.18)

Hari itu aku tidak dapat berdiam di suatu tempat pun.

Dari bawah meja bilyar aku pindah ke kamar tidur. Mencoba bermain dengan segala macam benda yang dapat kuraih. Dari kamar tidur satu ke kamar tidur lain, aku kembali ke ruang tengah, naik kursi untuk melihat isi laci bupet tempat ayahku menyimpan berbagi majalah. Dari sana ke ruang makan, duduk sebentar di samping ibuku. Sambil mendengarkan ceritanya, mengamati dan mengagumi kelincahan tangannya menggariskan gambar-gambar yang begitu kukenal dengan canting dan lilin panas. Lalu aku tiba-tiba berdiri, pergi ke dapur mengunjungi si Blirik dan anak-anaknya. Sosok-sosok bulu berwarna kuning itu berkeliaran leluasa dari sudut satu ke sudut lain. Pada saat-saat tertentu si Blirik berkotek dengan nada datar panjang. Sekejap itu juga, seperti menggelinding, bola-bola hidop itu berlari ke dekat kurungan, masing-masing berdesakan ke dalam lingkaran anyaman bambu hendak masuk bersama induknya.

Namun si Blirik pun tidak dapat menahanku lebih lama dari kesibukan lain. Aku berjalan perlahan menghindari tempat-tempat yang kuanggap licin, pergi ke pintu kebun. Di sana aku kembali bermenung di depan genangan air.

Begitulah dari pagi sampai siang aku gelisah menunggu ayah dan kakak-kakakku.(SLdK, hlm. 19)

Semua hal-hal yang diungkapkan oleh kutipan di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa ‘aku’ adalah anak yang sangat aktif dan tidak suka berlama-lama dalam melakukan suatu hal yang menunjukkan bahwa ‘aku’ adalah anak yang mudah bosan. Tentu hal ini wajar membuat ‘aku’ was-was dengan sekolah yang dianggap ‘aku’ akan mengurungnya.


(60)

4.4 Nilai-nilai

Dalam sebuah karya sastra terdapat banyak nilai-nilai, baik itu nilai-nilai yang baik maupun nilai-nilai yang buruk. Adapun nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari isi cerita karya sastra tersebut. Nilai-nilai moral seperti kesetiaan, kepemimpinan, kedermawanan, ketakwaan, persahabatan, dan kesabaran merupakan nilai-nilai yang paling banyak dijumpai dalam karya sastra Indonesia. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat di Indonesia masih terikat pada adat istiadat dan merupakan masyarakat yang beragama. Dalam adat istiadat dan agama, moral adalah nilai yang paling penting dan menjadi penentu sifat seseorang dalam lingkungan masyarakat.

Dalam novel SLdK ini banyak terdapat nilai-nilai moral yang baik. Nilai kekeluargaan yang sangat kental dalam kehidupan keluarga yang sederhana yang diselingi dengan nilai-nilai moral lainnya seperti nilai kesabaran yang harus ditunjukkan masing-masing anak terutama anak-anak perempuan. Nilai pengendalian diri yang sangat erat kaitannya dengan nilai kesabaran, hingga nilai kepemimpinan yang tentunya terdapat pada tokoh ayah yang merupakan pemimpin rumah tangga dalam keluarga.

Nilai-nilai lain yang dapat terlihat dalam novel SLdK ini terutama adalah nilai pengajaran yang banyak diberikan oleh tokoh ibu kepada anak-anaknya. Nilai-nilai pengajaran dalam melakukan tata cara hidup yang baik dan kesopanan yang harus dijaga dalam berkehidupan dalam bermasyarakat.


(61)

4.4.1 Nilai Kesabaran dan Pengendalian Diri

Nilai kesabaran dalam novel SLdK banyak terlihat dalam penceritaan. Penulis banyak menuliskan hal-hal yang menguji kesabaran anak-anak bahkan anak-anak dalam novel SLdK ini diceritakan memiliki kesabaran yang baik, terutama pada anak-anak perempuan.

Ketika mereka pulang, aku masih harus bersabar lagi.(SLdK, hlm. 20)

Aku mencari-cari kalimat hendak membicarakan penyerokan ikan siang itu ketika ayah mulai bicara.(SLdK, hlm. 21)

“Airnya kotor. Meskipun sehabis terkena air itu aku mandi dengan air bersih, tetapi masih gatal. Sejak itu ibu tidak mengizinkan aku membantu menyerok ikan. Sebetulnya ingin juga. Tetapi daripada gatal!” (SLdK, hlm. 24)

Ketiga kutipan di atas merupakan nilai-nilai kesabaran yang ditunjukkan oleh ‘aku’ dan kakak tertua. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ‘aku’ dan anak tertua mampu bersabar demi hal-hal yang yang sebenarnya sangat ingin mereka lakukan namun karena sesuatu hal yang lain mereka terpaksa menahan keinginan tersebut tentunya dengan lebih bersabar. Mengenai nilai kesabaran ini juga dapat terlihat dari sikap ayah dan adiknya, yakni paman Sarosa.

Waktu itulah aku untuk pertama kali belajar berenang. Dengan kesabaran yang kadang-kadang menakutkan, paman dan ayah bergantian menunjukkan gerakan-gerakan sederhana agar aku bisa mengapungkan diri. Paman lebih sering bersamaku. Teguh dan Nugroho berkali-kali memintanya agar bermain-main dengan mereka. Pada akhirnya, paman hampir selalu berada di antara kami kaum wanita: ibuku, Heratih, Maryam, dan aku. Nugroho menjadi iri, semakin kasar dan sering mengganggu saudara-saudaranya wanita…(SLdK, hlm.66-67)

Kutipan di atas jelas menunjukkan nilai kesabaran yang dimiliki ayah dan adiknya. Kesabaran yang dimiliki anak-anak keluarga ini tampaknya menurun dari


(1)

Pradopo, Rachmat Djoko. 2001. “Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sagala, Kalara. 1997. “Analisis Penggunaan Jenis Makna Dalam Novel Sekayu Karya Nh. Dini: Skripsi Departemen Sastra Indonesia”. Medan: USU. Soeratno, Siti Chamamah. 2001. “Penelitian Sastra Tinjauan Tentang Teori dan

Metode Sebuah Pengantar.” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Suwondo, Tirto. 2001. “Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan dalam Penelitian Sastra.” dalam Jabrohim (ed.). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Tarigan, John Stuart. 1996. “Tinjauan Nilai-nilai Sosiologis Terhadap Novel Padang Ilalang Di Belakang Rumah karya Nh. Dini: Skripsi Departemen Sastra Indonesia”. Medan: USU.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.


(2)

Sumber Internet

http://etd.eprints.ums.ac.id/8487/2009/03/14/ http://eprints.undip.ac.id/5341/2010/11/11/


(3)

Lampiran

Ringkasan Cerita

Diawali dengan penjabaran tentang sebuah rumah yang terletak di kota Semarang. Rumah itu adalah rumah yang memiliki halaman terluas dibandingkan dengan rumah-rumah disekitarnya. Rumah yang terletak di pojok kampung dengan halaman luas dan kebun besar yang terletak dibelakang rumah, ditumbuhi bermacam-macam pohon buah. Disanalah kakak-kakak tokoh aku dilahirkan termasuk juga si aku. Dalam rumah tersebut mereka besar bersama dan tumbuh dengan didikan yang baik oleh orang tuanya. Ayahnya adalah seorang pegawai PT. KAI pada masa itu. Masa penjajahan Belanda dan Jepang mewarnai kehidupan keluarga ini. Keluarga ini terdiri atas ayah, ibu, Heratih, Nugroho, Maryam, Teguh, dan Dini (tokoh aku). Mereka keluarga besar yang hidup sederhana walaupun sebenarnya mereka adalah keluarga yang berpenghasilan lebih dari cukup.

Keluarga ini hidup tentram dalam bimbingan ibu yang penuh kelembutan dan ayah yang berwibawa serta bijaksana. Suatu hari seluruh keluarga pergi ke rumah di desa, menumpang kereta api dan andong. Mereka sangat gembira setelah sampai di rumah kakek. Mereka sekeluarga berbincang-bincang dengan kakek. Pada hari kedua mereka di desa, bersama paman anak-anak melihat isi kebun kakek, memetik kelapa, melihat kejernihan air sungai yang mengalir di kebun. Terdengar derit tali timba, bunyi hewan, kicau burung, dan udara segar.

Banyak yang dilakukan selama mereka di rumah kakek. Turut menjaga ladang, menghalau burung, ikut memandikan kerbau dan menggembala bersama


(4)

kakak laki-laki, Teguh dan Nugroho. Setelah dua hari, mereka sekelurga harus pulang meninggalkan desa kakek, berpisah dengan paman. Sebelum kembali ke Semarang singgah di Madiun. Di Madiun mereka singgah ke rumah Pak De dan Bu De. Di rumah ini kegiatan anak-anak selalu diawasi. Bu De di Madiun sangat berbeda dengan kakek di desa, Bu De selalu hendak serba teratur. Karena itu Dini ‘aku’ merasa tidak puas.

Tokoh ayah dan ibu hanya diceritakan sebagaimana sifat orang tua pada anak-anaknya. Ibu dalam keluarga ini adalah ibu yang baik dalam urusan mengurus anak-anaknya dan juga dalam mengurus hal di dapur, meskipun mereka memiliki pembantu tetapi ibu tetap yang mengurusi makanan untuk keluarganya. Ibu juga mampu mengajar tokoh aku beserta kakak-kakaknya dalam berdisiplin dan juga ajaran agama. Sedangkan ayah adalah orang yang tegas namun juga mampu memanjakan anak-anaknya dengan caranya sendiri. Ayah juga seorang kepala keluarga yang baik dan bertanggung jawab, juga bijaksana dan memiliki pengetahuan yang luas. Tampak benar bahwa ayah dan ibu Dini adalah orang tua yang mampu mengatur anaknya dengan sangat baik, sehingga memiliki anak-anak yang baik juga patuh sehingga menjadi anak-anak yang patut dibanggakan. Hal ini dapat terlihat dari sikap Dini dan kakak-kakaknya yang harus bersabar menunggu ayahnya pulang kerja agar mereka dapat makan siang bersama-sama.

Ketika keadaan perang ibu mempersiapkan banyak makanan. Makanan itu disimpan di atas loteng. Setiap malam banyak tetangga datang ke rumah untuk mendengarkan siaran radio dan mendengar tentang berita perang. ‘Aku’ dan Maryam dijemput Paman Sarosa untuk berlibur selama bulan puasa di tempat


(5)

kakek. Sekembali dari liburan puasa ‘aku’ mulai sekolah. Semua anak-anak, kakak-kakak ‘aku,’ sekolah di HIS. Di HIS semua murid harus berbahasa Belanda. Tapi ayah selalu mewajibkan anak-anaknya berbahasa Jawa.

Latar dari novel Sebuah Lorong di Kotaku ini adalah rumah mereka yang berada di Semarang, merupakan rumah yang memiliki pekarangan paling luas diantara rumah sekitarnya. Novel ini menceritakan tentang masa-masa akhir penjajahan Belanda hingga awal penjajahan Jepang. Diceritakan bahwa terjadi perubahan besar-besaran dalam kehidupan keluarga Dini, juga seluruh keluarga di Indonesia juga merasakannya. Pada masa penjajahan Belanda, kehidupan keluarga Dini masih sangat baik dan berkecukupan. Tetapi, keadaan ini berubah saat Jepang menguasai Indonesia. Dini dan keluarga sangat kekurangan makanan. Terbukti dengan terpaksanya ibu Dini mencari tumbuhan yang dapat dimakan kearah sungai dibelakang rumah mereka, yang biasanya tidak mereka makan.

Pengalaman yang menarik banyak dilalui oleh tokoh aku sebelum ia memasuki masa sekolah. Terutama ketika masa liburan kakaknya. Tokoh aku mengunjungi kakek nenek dari pihak ibunya maupun dari pihak ayahnya, kakek nenek dari pihak ibu tidak terlalu disukai oleh Dini karena masih lekatnya cara hidup ningrat pada mereka. Hal ini tidak terjadi pada kakek nenek dari pihak ayah, karena kakek neneknya ini sudah sedikit terbebas dari sikap keningratan.

Pengalaman paling menyulitkan bagi keluarga si aku adalah ketika datangnya penjajah Jepang, karena sekolah harus diliburkan, ayah tokoh aku tidak boleh bekerja karena kantornya ditutup lalu kelaparan dengan cepat merambah ke seluruh negeri sehingga bangsa Indonesia sangat menderita. Ibu harus memutar otak


(6)

untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan yang makin sulit dicari. Bahkan dedaunan yang selama ini diabaikanpun harus menjadi bahan makanan. Hal ini dimulai pada suatu hari ketika sedang asyik bermain terjadi kemelut karena sekeluarga akan mengungsi ke kampung Batan. Mereka mengungsi bersama pengungsi lain. Karena ibu tidak mau mengungsi, ayah membuat lubang perlindungan di bawah pohon mangga. Untuk penutupnya digunakan ranting-ranting dan daun. Dindingnya dilapisi beberapa helai kasur. Semua sekolah dan kantor tutup. Kendaraan umum tidak boleh lagi hilir mudik. Kekurangan bahan makanan mulai terasa. Indonesia tidak lagi diduduki Belanda, melainkan oleh Jepang. Belanda menyerah kalah kepada Jepang dan seluruh daerah jajahan Belanda jatuh ke tangan Jepang.