38
4.2 Tema dan Amanat
Novel Sebuah Lorong di Kotaku SLdK berpusat pada kehidupan sebuah keluarga yang hidup pada masa peralihan penjajahan Belanda ke Jepang. Novel
SLdK ini bertemakan kenangan manis seorang anak usia praskolah dalam keluarga yang banyak dialami oleh tokoh utama. Walaupun terdapat juga kenangan yang
pahit saat peralihan penjajah yang menyebabkan perang, namun novel SLdK ini lebih menekankan pada kenangan manis dalam keluarga. Keluarga yang terdiri atas
ayah dan ibu serta lima orang anak. Begitulah, dengan kesadaran yang ayem dan penuh
kepercayaan, ibuku dapat berkata bahwa itu adalah rumah mereka berdua, rumah ibu dan ayahku. Di sanalah kakakku
sulung Heratih tumbuh dan besar. Di sanalah dia disusul oleh ketiga adiknya: Muhamad Nugroho, Siti Maryam, Teguh
Asmar. Dan anak terakhir ibu dan ayahku yang lahir di rumah itu
adalah diriku sendiri.SLdK, hlm. 10
Keluarga besar yang hidup sederhana di sebuah rumah di daerah Semarang.
Rumah yang dinyatakan memiliki halaman terluas di daerah tersebut, dengan kebun di bagian belakang yang dipenuhi oleh pohon-pohon buah dan berpagar alami.
Terletak di pojok kampung, rumah itu adalah satu-satunya yang memiliki halaman luas di muka dan salah satu sisinya.
Sedangkan di belakang, kebun besar, kaya dengan pohon buah-buahan, dipagari oleh rentetan bambu yang rapi. Paling
sedikit delapan belas depa dari batas tersebut, mengalir Sungai Semarang yang langsung turun dari Gunung Pati di
Ungaran.SLdK, hlm. 9
Amanat yang coba disampaikan penulis dalam novel SLdK ini adalah pengajaran hidup oleh orang tua dalam mengajarkan kehidupan pada kelima anak-
anaknya. Pengajaran kehidupan keluarga dalam mendidik anak-anak dan mengatasi masalah-masalah kebutuhan hidup. Segala macam pengajaran kepada kakak-kakak
Universitas Sumatera Utara
39
‘aku’ yang dilihat melalui sisi pandangan anak bungsu yakni tokoh aku. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.
… Kata ibuku, makanan harus dinikmati dengan diam. Kalau orang terlalu cerewet pada waktu makan, itu berarti tidak
menghormati makanan yang ada di depannya. Padahal makanan adalah kurnia Tuhan. Dan harus dihormati. Juga
menurut ibuku, makanan harus dikunyah dengan lambat tetapi sebanyak kali kesanggupan kita. Tanpa suara dan dengan
mulut tertutup. Pandang orang yang sedang makan tidak patut jika ditujukan kemana-mana selain pada makanan yang ada di
depannya. Jika kami makan dengan tangan, kami harus mencuci tangan kanan di kobokan yang tersedia dengan suara
sesedikit mungkin. Tangan kiri harus tertompang dengan sopan di atas meja di tentangan dada. Tetapi jika kami
mempergunakan senduk dan garpu, harus dijaga jangan sampai sentuhan kedua benda itu pada piring membikin bunyi
yang mengejutkan tetangga semeja.SLdK, hlm. 20
Kutipan tersebut menyatakan kehidupan keluarga yang penuh pengajaran ibu bahkan pengajaran tata cara makan yang baik yang terlihat dari pandangan Dini
tokoh ‘aku’. Dini yang merupakan seorang anak kecil yang berusia prasekolah dan hanya mengerti bahwa setiap pengajaran yang dia terima dari ibunya adalah
pengajaran baik dan tata karma yang memang harus dan layak dilakukan. Kehidupan keluarga dalam novel SLdK memang terjadi pada masa akhir
penjajahan Belanda hingga awal masa penjajahan Jepang yang dinyatakan sulit, tapi yang lebih ditonjolkan penulis pada novel SLdK ini lebih banyak adalah cerita
kehidupan sang tokoh dengan keluarga yang cukup menyenangkan karena berisi tentang kenangan si tokoh ‘aku’ yang menceritakan perlakuan masing-masing
anggota keluarga pada si ‘aku’ yang merupakan anak terkecil. Ayah selalu berusaha menyenangkan hati semua anaknya.
Dielusnya pipiku sebentar. Pandangannya lembut ketika menjawab:
Universitas Sumatera Utara
40
“Menyerok ikan siang ini? Tentu saja” lalu dia meneruskan, “Tapi apakah kau tidak mau juga pergi ke desa seminggu
lagi?” Aku tahu bahwa pergi ke desa berarti ke rumah kakek. Tapi
waktu itu pikiranku hanya tertuju kepada genangan air yang tak jauh dari ruangan makan itu.
“Mau,” kataku asal menjawab. “Tapi kita menyerok ikan dulu. Boleh aku turut ya, pak. Boleh?”
“Kau masih terlalu kecil” kakakku sulung menyahut. “Ya, kalau jatuh ke air, belum bisa berenang,” yang ketiga
turut bersuara. “Siapa tahu ikan-ikannya lebih besar daripada kau,” yang
keempat menyeletuk. “Kalau kau jatuh ke air, tentulah ada yang mau menelanmu
bulat-bulat,” yang kedua selalu menemukan kata-kata lebih jahat daripada lain-lainnya.
Ibu diam saja selama itu.SLdK, hlm. 21
Kutipan di atas menyatakan segala sikap masing-masing anggota keluarga
terhadap tokoh utama yang masa itu masih kecil dan belum bersekolah. Ada yang dengan lembut menyampaikan sanggahannya kepada tokoh utama, tapi ada juga
yang ketus bahkan dianggap terlalu jahat dalam menyampaikan sanggahannya.
Universitas Sumatera Utara
41
4.3 Penokohan