Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon

(1)

UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON

OKTAFRINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2009

Oktafrina


(3)

ABSTRACT

OKTAFRINA. 2009. Efforts on Suppressing Acrylamide Formation in the Processing of “Ambon” Banana Chips. Under supervision of C. HANNY WIJAYA and SUGIYONO.

The objective of this research was to suppress the acrylamide formation in ambon banana chips by modifying the processing method. The implemented treatments included: frying in different duration times and temperatures, blanching in different duration times and temperatures, soaking in 0.1-0.3% monosodium glutamate (MSG) treatments. Analysis of acrylamide was conducted by reversed phase-HPLC using mobile phase of acetonitrile:aquabidest:acetic phosphate (5:94:1) and measurement on 230 nm wavelength. Formation of acrylamide compound was higher if temperature and duration times of frying were increased. The combination of blanching at 80oC for 3 minutes and the frying process at 140oC for 10 minutes reduced the formation of acrylamide by up to 60% and its acrylamide content was only 46.25 ± 6.61 ppb. Sensory of product showed that the acceptability of the product by the consumer was significantly reduced. The pretreatment, soaking in MSG solution did not suppress the acrylamide formation. The QDA test of the ambon banana chips with the lowest acrylamide content showed that the aroma sensory attributes, the ester like is lower and the green is higher and significantly differed from the commercial one.


(4)

iv RINGKASAN

OKTAFRINA. 2009. Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon. Dibimbing oleh C. HANNY WIJAYA dan SUGIYONO.

Senyawa akrilamid terdapat dalam makanan yang diolah dengan proses pemanasan suhu tinggi. Pembentukan senyawa ini terjadi melalui reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam amino dengan senyawa gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa. Asam amino yang diduga merupakan prekursor pembentuk akrilamid adalah asparagin. Penurunan pembentukan akrilamid dapat dilakukan dengan cara mengurangi prekursor pembentuknya dan optimasi proses pemanasan yang dilakukan. Reaksi pembentukan akrilamid diduga sejalan dengan reaksi pembentukan warna dan aroma dalam produk makanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamid berdasarkan perlakuan penggorengan, blansir dan adanya perendaman dalam larutan Monosodium Glutamat (MSG) pada pengolahan keripik pisang ambon. Penelitian terdiri dari 3 (tiga) tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis kimia bahan baku, yang terdiri dari analisis proksimat, kadar pati, gula pereduksi dan asam amino. Pada tahap kedua dilakukan pengolahan keripik pisang dengan perlakuan proses penggorengan (variasi suhu 140, 160 dan 180oC selama 10, 15 dan 20 menit), blansir (suhu 70, 80 dan 100oC selama 1, 2, 3, 4 dan 5 menit) dan perendaman dalam larutan MSG 0.1%; 0.2% dan 0.3% (b/v) selama 1, 2 dan 3 menit pada 20oC. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial acak lengkap dengan 2 kali pengulangan. Analisis akrilamid dilakukan dengan HPLC-reversed phase. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis akrilamid dalam produk keripik pisang ambon komersial. Penelitian tahap ketiga dilakukan pengujian penerimaan sensori dengan uji hedonik pada produk keripik pisang ambon yang mengandung akrilamid rendah. Uji hedonik meliputi warna, aroma dan penerimaan secara keseluruhan. Pada pengujian sensori juga dilakukan uji deskriptif pada atribut aroma dengan metoda Quantitative Descriptive Analysis (QDA).

Hasil pengujian proksimat menunjukkan bahwa pisang ambon sebagai bahan baku keripik mengandung pati 19.32% dan protein 1.51 %. Analisis asam amino


(5)

menggunakan HPLC memberikan hasil bahwa jumlah senyawa asam amino asparagin dalam pisang ambon yang mentah sebesar 0.066%. Hasil penelitian perlakuan suhu penggorengan menunjukkan bahwa keripik pisang ambon yang digoreng pada kisaran suhu 140-180oC mengandung akrilamid pada kisaran 115 sampai 565 ppb. Semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan maka semakin tinggi jumlah akrilamid yang terbentuk. Penggorengan pada suhu 140oC selama 10 menit ternyata membentuk akrilamid dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar akrilamid dalam produk komersial yang diuji. Perlakuan kombinasi blansir pada suhu 80oC selama 3 menit dan penggorengan pada suhu 140oC selama 10 menit mereduksi pembentukan akrilamid 60% jika dibandingkan dengan produk tanpa blansir. Keripik pisang yang dihasilkan dengan kombinasi perlakuan tersebut mengandung akrilamid sebanyak 46.25 ppb. Perendaman dengan MSG tidak dapat menurunkan pembentukan senyawa akrilamid pada keripik pisang ambon.

Hasil pengujian sensori terhadap produk keripik pisang ambon terpilih menunjukkan bahwa skor penerimaan panelis lebih rendah terhadap warna, aroma dan secara keseluruhan dibandingkan produk tanpa blansir dan produk komersial. Reaksi Maillard belum banyak membentuk komponen warna dan aroma pada kondisi penggorengan untuk menurunkan akrilamid dalam keripik pisang ambon. Blansir menyebabkan pengurangan jumlah komponen pembentuk warna dan aroma pada keripik pisang ambon. Uji deskriptif pada produk keripik pisang ambon terpilih dengan produk keripik pisang ambon komersial yang dilakukan oleh panelis semi terlatih mengidentifikasi atribut aroma karakteristik dalam produk keripik pisang ambon yang meliputi aroma ester like, rancid, cotton candy, caramel dan green. Produk keripik pisang ambon yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki aroma ester like lebih lemah,

green yang lebih kuat dan berbeda secara nyata dengan produk komersial.


(6)

vi ©

Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON

OKTAFRINA

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(8)

viii

Judul Tesis : Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon

Nama : Oktafrina

NRP. : F251060121

Program Studi : Ilmu Pangan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

(10)

x PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Aulloh SWT karena atas karunia-Nya maka penulis telah berhasil menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon”. Penelitian yang dilakukan merupakan syarat menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan dan saran dari beberapa pihak selama perkuliahan, penelitian dan penyusunan tesis ini yaitu :

1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi program Magister Sains di IPB.

2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas bantuan beasiswa BPPs kepada penulis untuk melanjutkan studi Magister Sains.

3. Bapak Ir. Hi. Zainal Mutaqin selaku Direktur Politeknik Negeri Lampung yang telah memberikan izin belajar dan motivasi kepada penulis selama melanjutkan studi di IPB serta untuk izin pemakaian alat HPLC LC-6A (Shimadzu).

4. Ibu Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak sekali membantu selama menyelesaikan studi di IPB.

5. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan pengarahan tentang penelitian serta banyak sekali mengorbankan waktu demi perbaikan tesis ini.

6. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc selaku dosen penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan saran demi perbaikan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu dosen di Program Studi Ilmu Pangan Pascasarjana IPB.

8. Seluruh anggota keluarga yang senantiasa memberikan semangat untuk menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB.

9. Rekan-rekan seprofesi di Politeknik Negeri Lampung terutama Bapak dan Ibu staf pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian dan teman seperjuangan di Ilmu Pangan terutama angkatan 2006 serta Ninik dan Agung yang banyak memberikan semangat selama menjalani suka dan duka di IPB.


(11)

UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON

OKTAFRINA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(12)

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2009

Oktafrina


(13)

ABSTRACT

OKTAFRINA. 2009. Efforts on Suppressing Acrylamide Formation in the Processing of “Ambon” Banana Chips. Under supervision of C. HANNY WIJAYA and SUGIYONO.

The objective of this research was to suppress the acrylamide formation in ambon banana chips by modifying the processing method. The implemented treatments included: frying in different duration times and temperatures, blanching in different duration times and temperatures, soaking in 0.1-0.3% monosodium glutamate (MSG) treatments. Analysis of acrylamide was conducted by reversed phase-HPLC using mobile phase of acetonitrile:aquabidest:acetic phosphate (5:94:1) and measurement on 230 nm wavelength. Formation of acrylamide compound was higher if temperature and duration times of frying were increased. The combination of blanching at 80oC for 3 minutes and the frying process at 140oC for 10 minutes reduced the formation of acrylamide by up to 60% and its acrylamide content was only 46.25 ± 6.61 ppb. Sensory of product showed that the acceptability of the product by the consumer was significantly reduced. The pretreatment, soaking in MSG solution did not suppress the acrylamide formation. The QDA test of the ambon banana chips with the lowest acrylamide content showed that the aroma sensory attributes, the ester like is lower and the green is higher and significantly differed from the commercial one.


(14)

iv RINGKASAN

OKTAFRINA. 2009. Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon. Dibimbing oleh C. HANNY WIJAYA dan SUGIYONO.

Senyawa akrilamid terdapat dalam makanan yang diolah dengan proses pemanasan suhu tinggi. Pembentukan senyawa ini terjadi melalui reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam amino dengan senyawa gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa. Asam amino yang diduga merupakan prekursor pembentuk akrilamid adalah asparagin. Penurunan pembentukan akrilamid dapat dilakukan dengan cara mengurangi prekursor pembentuknya dan optimasi proses pemanasan yang dilakukan. Reaksi pembentukan akrilamid diduga sejalan dengan reaksi pembentukan warna dan aroma dalam produk makanan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamid berdasarkan perlakuan penggorengan, blansir dan adanya perendaman dalam larutan Monosodium Glutamat (MSG) pada pengolahan keripik pisang ambon. Penelitian terdiri dari 3 (tiga) tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis kimia bahan baku, yang terdiri dari analisis proksimat, kadar pati, gula pereduksi dan asam amino. Pada tahap kedua dilakukan pengolahan keripik pisang dengan perlakuan proses penggorengan (variasi suhu 140, 160 dan 180oC selama 10, 15 dan 20 menit), blansir (suhu 70, 80 dan 100oC selama 1, 2, 3, 4 dan 5 menit) dan perendaman dalam larutan MSG 0.1%; 0.2% dan 0.3% (b/v) selama 1, 2 dan 3 menit pada 20oC. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial acak lengkap dengan 2 kali pengulangan. Analisis akrilamid dilakukan dengan HPLC-reversed phase. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis akrilamid dalam produk keripik pisang ambon komersial. Penelitian tahap ketiga dilakukan pengujian penerimaan sensori dengan uji hedonik pada produk keripik pisang ambon yang mengandung akrilamid rendah. Uji hedonik meliputi warna, aroma dan penerimaan secara keseluruhan. Pada pengujian sensori juga dilakukan uji deskriptif pada atribut aroma dengan metoda Quantitative Descriptive Analysis (QDA).

Hasil pengujian proksimat menunjukkan bahwa pisang ambon sebagai bahan baku keripik mengandung pati 19.32% dan protein 1.51 %. Analisis asam amino


(15)

menggunakan HPLC memberikan hasil bahwa jumlah senyawa asam amino asparagin dalam pisang ambon yang mentah sebesar 0.066%. Hasil penelitian perlakuan suhu penggorengan menunjukkan bahwa keripik pisang ambon yang digoreng pada kisaran suhu 140-180oC mengandung akrilamid pada kisaran 115 sampai 565 ppb. Semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan maka semakin tinggi jumlah akrilamid yang terbentuk. Penggorengan pada suhu 140oC selama 10 menit ternyata membentuk akrilamid dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar akrilamid dalam produk komersial yang diuji. Perlakuan kombinasi blansir pada suhu 80oC selama 3 menit dan penggorengan pada suhu 140oC selama 10 menit mereduksi pembentukan akrilamid 60% jika dibandingkan dengan produk tanpa blansir. Keripik pisang yang dihasilkan dengan kombinasi perlakuan tersebut mengandung akrilamid sebanyak 46.25 ppb. Perendaman dengan MSG tidak dapat menurunkan pembentukan senyawa akrilamid pada keripik pisang ambon.

Hasil pengujian sensori terhadap produk keripik pisang ambon terpilih menunjukkan bahwa skor penerimaan panelis lebih rendah terhadap warna, aroma dan secara keseluruhan dibandingkan produk tanpa blansir dan produk komersial. Reaksi Maillard belum banyak membentuk komponen warna dan aroma pada kondisi penggorengan untuk menurunkan akrilamid dalam keripik pisang ambon. Blansir menyebabkan pengurangan jumlah komponen pembentuk warna dan aroma pada keripik pisang ambon. Uji deskriptif pada produk keripik pisang ambon terpilih dengan produk keripik pisang ambon komersial yang dilakukan oleh panelis semi terlatih mengidentifikasi atribut aroma karakteristik dalam produk keripik pisang ambon yang meliputi aroma ester like, rancid, cotton candy, caramel dan green. Produk keripik pisang ambon yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki aroma ester like lebih lemah,

green yang lebih kuat dan berbeda secara nyata dengan produk komersial.


(16)

vi ©

Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(17)

UPAYA PENGURANGAN PEMBENTUKAN SENYAWA AKRILAMID PADA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG AMBON

OKTAFRINA

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(18)

viii

Judul Tesis : Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon

Nama : Oktafrina

NRP. : F251060121

Program Studi : Ilmu Pangan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(19)

(20)

x PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Aulloh SWT karena atas karunia-Nya maka penulis telah berhasil menyelesaikan penyusunan tesis yang berjudul “Upaya Pengurangan Pembentukan Senyawa Akrilamid pada Pengolahan Keripik Pisang Ambon”. Penelitian yang dilakukan merupakan syarat menyelesaikan studi di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan, bimbingan dan saran dari beberapa pihak selama perkuliahan, penelitian dan penyusunan tesis ini yaitu :

1. Rektor Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi program Magister Sains di IPB.

2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas bantuan beasiswa BPPs kepada penulis untuk melanjutkan studi Magister Sains.

3. Bapak Ir. Hi. Zainal Mutaqin selaku Direktur Politeknik Negeri Lampung yang telah memberikan izin belajar dan motivasi kepada penulis selama melanjutkan studi di IPB serta untuk izin pemakaian alat HPLC LC-6A (Shimadzu).

4. Ibu Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M. Agr sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak sekali membantu selama menyelesaikan studi di IPB.

5. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan pengarahan tentang penelitian serta banyak sekali mengorbankan waktu demi perbaikan tesis ini.

6. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc selaku dosen penguji luar komisi pembimbing yang telah memberikan saran demi perbaikan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu dosen di Program Studi Ilmu Pangan Pascasarjana IPB.

8. Seluruh anggota keluarga yang senantiasa memberikan semangat untuk menyelesaikan studi di Pascasarjana IPB.

9. Rekan-rekan seprofesi di Politeknik Negeri Lampung terutama Bapak dan Ibu staf pengajar di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian dan teman seperjuangan di Ilmu Pangan terutama angkatan 2006 serta Ninik dan Agung yang banyak memberikan semangat selama menjalani suka dan duka di IPB.


(21)

10.Bu Puspita Sari dan Silvana Dinaintang Harikedua yang telah menjadi teman diskusi selama penelitian. Terima kasih juga untuk segala motivasi dan kebersamaannya selama ini.

11.Para teknisi di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan para panelis untuk pengujian sensori serta fokus group QDA (Pak Subandi, Bu Desmawati, Yunisa Rahmawati, Mustika Widadara, Okta Rita. S, Azul Jumara, Ahmad Hendrik, Waluyo Jati, Anggra A. Sapta,).

12.Para produsen keripik pisang untuk informasi proses pengolahan produknya dan para panelis untuk data sensori keripik pisang ambon.

13.Seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Semoga apa yang sudah dilakukan oleh Bapak dan Ibu dapat menjadi amal dan ibadah. Sebuah harapan, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan teknologi pangan.

Bogor, September 2009


(22)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada hari rabu tanggal 02 Oktober 1974 di Kota Tanjungkarang Provinsi Lampung dari Ibunda Hermiati dan Ayahnda M. Nurkam (alm). Pendidikan Dasar sampai Sekolah Menengah Atas diselesaikan penulis di sekolah negeri di Provinsi Lampung tahun 1993. Penulis kemudian melanjutkan studi di Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas sampai bulan April tahun 1998. Penulis menjadi staf pengajar di Akademi Analis Farmasi dan Makanan Putra Indonesia Lampung sejak tahun 1998-2002. Sejak bulan Desember tahun 2002 penulis diterima sebagai staf pengajar di Politeknik Negeri Lampung di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPs) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Penulis menikah dengan Desrizal, S.Pd pada tanggal 11 Desember 2004 dan sekarang telah dikaruniai 3 orang anak yaitu Abdillah serta sikembar Furan dan Pyran.


(23)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………. i

PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER INFORMASI………….. ii ABSTRACT... iii

RINGKASAN……… iv

HALAMAN PENGESAHAN………... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN……… ix

PRAKATA………...………. x

RIWAYAT HIDUP………... xii

DAFTAR ISI………. xiii

DAFTAR TABEL………. xv

DAFTAR GAMBAR………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN………. xvii

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang... 1.2. Tujuan Penelitian... 1.3. Manfaat Penelitian...

1 4 4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pisang Ambon... 2.2. Akrilamid dalam Bahan Makanan... 2.3. Pembentukan Akrilamid ... 2.4. Reaksi Maillard ... 2.5. Blansir dan Perendaman... 2.6. Proses Penggorengan... 2.7. Evaluasi Sensori... 5 8 11 14 20 21 22

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 3.2. Alat dan Bahan... 3.3. Metode Penelitian... 3.4. Pelaksanaan Penelitian...

24 24 25 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Bahan Baku

4.1.1. Analisis Proksimat... 4.2.2. Komposisi Asam Amino... 4.2. Kadar Akrilamid dalam Produk Keripik Pisang Ambon Komersial... 4.3. Perlakuan Suhu dan Waktu Penggorengan... 4.4. Pengaruh Blansir... 4.5. Pengaruh Perendaman MSG...

34 35 36 37 39 41


(24)

xiv 4.6. Pengujian Mutu Sensori Produk

4.6.1. Uji Hedonik... 4.6.2. Uji Deskriptif………...

44 48 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan... 5.2. Saran...

52 52

DAFTAR PUSTAKA... 53


(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Produksi pisang (pohon) Provinsi Lampung tahun 2002-2005

menurut Kabupaten/Kota... 1 2 Komposisi kimia pisang ambon/100 gram bahan... 7 3 Kadar akrilamid dalam bahan pangan... 10 4 Komponen aroma yang terbentuk melalui proses pemanggangan dan

pembakaran bahan pangan 17

5 Penentuan pati dan gula pereduksi dengan metoda Luff Schoorl... 29 6 Aroma standar untuk keripik pisang ambon... 33 7 Hasil analisis proksimat dari bahan baku pisang ambon ... 34 8 Komposisi asam amino dalam bahan baku pisang ambon... 36 9 Kadar akrilamid beberapa produk keripik pisang ambon di Bandar

Lampung... 37 10 Deskripsi aroma dalam produk keripik pisang ambon... 48


(26)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Pisang ambon... 6 2 Struktur kimia akrilamid... 8 3 Reaksi alkilasi akrilamid terhadap protein... 9 4 Reaksi asparagin dengan gugus aldehid ... 12 5 Pengaruh kadar air pada pembentukan akrilamid ... 13 6 Pengaruh pH terhadap jumlah akrilamid ... 14 7 Reaksi Maillard ………... 16 8 Mekanisme Reaksi Maillard melalui pembentukan struktur Amadori. 17 9 Pembentukan akrilamid melalui jalur reaksi Maillard ... 19 10 Mekanisme distribusi komponen kimia pada sel saat blansir... 20 11 Skema kerja penelitian………...………... 26 12 Kadar akrilamid dalam keripik pisang ambon hasil perlakuan suhu

dan lama penggorengan... 38 13 Produk hasil perlakuan 140oC pada variasi waktu 10, 15 dan 20

menit... 38 14 Pengaruh blansir pada pembentukan akrilamid dalam keripik pisang

ambon... 40 15 Keripik pisang ambon hasil perlakuan blansir ... 41 16 Pembentukan akrilamid setelah perendaman MSG ... 42 17 Produk hasil perendaman dengan MSG yang digoreng pada 140oC;

10 menit……… 43

18 Hasil pengujian hedonik warna keripik pisang ambon ………... 44 19 Hasil pengujian hedonik aroma keripik pisang ambon... 46 20 Hasil uji hedonik terhadap produk secara keseluruhan atribut

sensori... 47 21 Hasil QDA keripik pisang ambon... 49


(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kromatogram hasil analisis asam amino... 58 2 Contoh perhitungan penentuan kadar asam amino... 59 3 Perhitungan kadar asparagin dalam pisang ambon... 60 4 Kurva kalibrasi dan persamaan garis regresi standar akrilamid... 61 5 Contoh kromatogram akrilamid... 62 6 Contoh kuisioner pengujian hedonik... 63 7 Contoh kuisioner pre skrining panelis... 64 8 Contoh kuisioner uji aroma dan rasa dasar... 66 9 Contoh kuisioner uji pembedaan sampel... 67 10 Contoh kuisioner uji deskriptif... 68 11 Contoh kuisioner uji pembedaan produk keripik... 69 12 Contoh kuisioner menentukan skala pada uji deskriptif... 70 13 Contoh kuisioner menentukan skala atribut sensori... 71 14 Kuisioner pengujian produk keripik pisang ambon dengan QDA... 72 15 Hasil ANOVA uji hedonik warna produk keripik pisang ambon... 73 16 Hasil ANOVA uji hedonik aroma produk keripik pisang ambon... 74 17 Hasil ANOVA uji hedonik penerimaan keseluruhan produk keripik


(28)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pisang merupakan tanaman hortikultura yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia karena iklim dan kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhannya (Kusumo & Farid 1994). Provinsi Lampung juga merupakan daerah penghasil pisang. Menurut data yang terdaftar dalam Badan Pusat Statistik pada tahun 2006 diperoleh data produksi pisang di Provinsi Lampung untuk tahun 2002-2005 (Tabel 1). Berdasarkan data dari Tabel 1 maka Provinsi Lampung merupakan penghasil pisang yang cukup tinggi.

Tabel 1 Produksi pisang (pohon) di Propinsi Lampung tahun 2002-2005 menurut Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota 2002 2003 2004 2005

Lampung Barat 95.830 65.121 101.148 113.714

Tanggamus 247.785 348.081 360.327 390.663

Lampung Selatan 3.085.824 4.084.049 5.267.547 5.654.854 Lampung Timur 338.270 629.970 1.178.843 2.174.149

Lampung Tengah 222.050 246.149 151.864 256.580

Lampung Utara 163.263 142.718 139.079 161.474

Way Kanan 252.730 144.469 191.538 222.678

Tulang Bawang 104.026 96.484 131.103 118.630

Bandar Lampung 26.263 17.600 16.140 15.770

Kota Metro 8.790 2.650 7.183 6.870

Sumber : BPS (2006)

Pisang dapat dimakan langsung atau diolah menjadi berbagai macam produk. Salah satu produk olahan pisang adalah keripik pisang. Keripik pisang merupakan makanan ringan dengan aroma dan citarasa spesifik dengan umur simpan yang relatif panjang. Produk ini merupakan salah satu produk unggulan yang menjadi peluang bisnis bagi produsen makanan ringan dan sekaligus menjadi ciri oleh-oleh makanan dari Provinsi Lampung.

Proses penggorengan menyebabkan terjadinya perubahan kimia pada komponen senyawa yang ada dalam pisang sehingga menghasilkan produk yang lebih menarik secara sensori terutama warna dan aroma produk. Reaksi Maillard yang terjadi selama penggorengan menghasilkan senyawa-senyawa flavor yang harum dan warna produk yang menarik (Ames 1998). Reaksi Maillard terjadi pada bahan makanan yang


(29)

mengandung pati dan protein serta diolah pada suhu tinggi seperti digoreng dan dipanggang (Reineccius 2006). Menurut Grizotto dan Menezes (2002) teknik pemasakan dan pengolahan produk keripik dapat mempengaruhi sensori dari produk. Untuk itu, perlu sekali pengetahuan dan penguasaan teknik pengolahan makanan seperti keripik pisang agar dihasilkan produk yang lebih disukai konsumen.

Senyawa akrilamid merupakan salah satu senyawa toksik yang ada pada bahan pangan yang digoreng terutama pada bahan yang berbasis pati contohnya kentang, gandum, jagung dan beras (Friedman 2003). Pembentukan senyawa ini pada bahan pangan juga terjadi karena reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam amino dengan senyawa gula pereduksi seperti glukosa dan fruktosa yang terjadi pada suhu tinggi (Zhang & Ying 2007). Senyawa akrilamid diduga bersifat karsinogenik dan mutagenik (Friedman 2003; Otles & Serkan 2004). Senyawa ini berbahaya bagi tubuh makhluk hidup. Adanya akrilamid dalam tubuh manusia dapat berasal dari air yang terkontaminasi oleh zat ini atau berasal dari kemasan makanan yang terbuat dari plastik. Akrilamid dalam makanan ditemukan oleh ilmuwan Swedia tahun 2002 pada makanan yang berbahan dasar pati seperti produk olahan kentang. Kentang mengandung pati yang tinggi sehingga jika diolah dengan proses penggorengan maka dapat membentuk senyawa akrilamid seperti pada keripik kentang(Gokmen et al. 2006; Brathen & Svein 2005). Kondisi proses pemasakan berpengaruh terhadap kadar akrilamid dalam produk keripik kentang (Williams 2005; Leeratanarak et al. 2006). Friedman (2003) menyatakan bahwa akrilamid dalam makanan merupakan hasil reaksi antara gugus amina dari asam amino asparagin dan gugus karbonil dari gula pereduksi seperti glukosa selama proses pemasakan seperti pemanggangan dan penggorengan.

Elmore dan Donald 2002 memberikan data bahwa pisang mengandung asam amino asparagin sebesar 14.7% dari total asam amino bebasnya. Asam amino yang diduga merupakan prekursor pembentuk akrilamid adalah asparagin (Grandra et al. 2005; Zyzak et al. 2003). Kandungan asparagin dalam pisang akan bervariasi tergantung pada varietas pisang. Pisang juga merupakan bahan makanan yang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi (Poedjiadi 1994). Senyawa karbohidrat dan asam amino asparagin merupakan prekursor pembentuk akrilamid pada makanan yang diolah dengan suhu tinggi seperti digoreng atau dibakar (Friedman 2003; Zyzak et al.


(30)

3

Kusumo dan Farid (1994) memberikan informasi banyaknya varietas tanaman pisang yang diduga memiliki komposisi kimia yang berbeda-beda. Salah satu produk keripik pisang yang ada di Provinsi Lampung menggunakan pisang ambon sebagai bahan dasarnya karena relatif lebih disukai konsumen. Pisang ambon juga memiliki rasa yang lebih manis dari jenis pisang lain. Hal ini disebabkan oleh kandungan gula pereduksi yang lebih tinggi sehingga keripik pisang ambon lebih berpotensi mengandung akrilamid.

Berdasarkan beberapa penemuan adanya akrilamid dalam makanan maka produk makanan yang diolah pada suhu tinggi berpotensi mengandung akrilamid (Friedman 2003; Otles&Serkan 2004; Weiss 2002) sehingga berperan juga menambah jumlah akrilamid yang masuk ke dalam tubuh manusia. Pembentukan akrilamid dapat terjadi dalam kisaran suhu 120oC-170oC (Friedman 2003). Jumlah akrilamid dalam makanan akan bervariasi dan dipengaruhi oleh jenis bahan pangan, komposisi dan matriks bahan pangan, nilai aw, daerah permukaan kontak panas, variasi kondisi proses pemasakan seperti waktu dan suhu pemasakan serta cara atau metoda pemasakan (Zyzak et al. 2003). Ada 2 (dua) cara untuk mengurangi kadar akrilamid dalam bahan makanan yaitu melalui penurunan jumlah prekursor dan menurunkan suhu saat pemasakan (Zhang & Ying 2007; Vorbehalten 2005; Weiss 2002).

Food and Environmental Hygiene Department (2003) menyatakan bahwa kandungan akrilamid dapat mencapai 1000 µg/kg dalam dua kelompok makanan yaitu produk biskuit dan makanan kering sementara keripik pisang mengandung akrilamid sampai 770 µg/kg. Beberapa negara di Eropa dan Asia telah melakukan pengujian terhadap akrilamid dalam produk-produk makanan yang diolah pada suhu tinggi. Di Indonesia, kadar akrilamid pada makanan yang diolah pada suhu tinggi khususnya yang digoreng belum diketahui.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu dan lama proses penggorengan tidak hanya mempengaruhi citarasa, warna dan tekstur produk tetapi juga kadar akrilamid dalam produk (Romani et al. 2009; Pedreschi et al. 2005; Gokmen et al. 2006). Berdasarkan proses pengolahan yang menggunakan suhu tinggi dan karakteristik keripik pisang ambon yang kering diduga produk tersebut mengandung akrilamid tinggi. Dengan demikian diperlukan upaya untuk mengurangi kadar akrilamid pada produk keripik pisang ambon. Upaya penurunan kadar akrilamid dalam keripik


(31)

pisang ambon diharapkan dapat dilakukan melalui pengurangan suhu dan lama penggorengan.

Perlakuan lain yang dapat menurunkan pembentukan akrilamid adalah blansir dan perendaman dalam larutan asam amino seperti lisin dan glisin (Kim et al. 2005; Kita et al. 2004). Glisin diketahui lebih reaktif untuk bereaksi pada reaksi Maillard sehingga penambahan glisin akan menyebabkan adanya kompetisi asam amino pada reaksi Maillard dan menyebabkan penghambatan laju reaksi kearah pembentukan akrilamid (Brathen et al. 2005).

Namun adanya perlakuan pengurangan suhu dan waktu penggorengan serta perlakuan perendaman diduga mempengaruhi terbentuknya komponen yang akan memberikan pengaruh terhadap citarasa dan warna produk keripik. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengurangan pembentukan akrilamid dengan perlakuan pengaturan suhu dan lama penggorengan, suhu dan lama blansir dan perendaman larutan MSG dengan tetap memperhatikan dampaknya pada penerimaan sensori dari keripik pisang ambon yang diperoleh.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mempelajari upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamid pada pengolahan keripik pisang ambon dengan cara pengaturan suhu dan lama penggorengan, suhu dan lama blansir serta perendaman dalam larutan MSG sehingga diperoleh produk keripik pisang ambon rendah akrilamid dengan sensori yang baik.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tentang upaya pengurangan pembentukan senyawa akrilamid pada pengolahan keripik pisang ambon dapat menjadi informasi untuk perbaikan pada proses pengolahan keripik sehingga dapat menghasilkan produk pangan dengan kadar akrilamid yang rendah.


(32)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pisang Ambon

Tanaman pisang termasuk tanaman yang mempunyai buah klimaterik yang mempunyai fase perkembangan diantara pertumbuhan masih terjadi sehingga ukuran buah bertambah dan terjadi akumulasi karbohidrat dalam bentuk pati (Kusumo&Farid 1994). Buah pisang mengandung senyawa bioaktif seperti fenol, tanin, karatenoid dan beberapa jenis asam organik seperti asam sitrat, asam malat dan asam oksalat. Adanya komponen senyawa fenol dalam buah pisang diduga menyebabkan bahan pangan ini cepat mengalami reaksi pencoklatan akibat reaksi enzimatik sehingga pisang cepat berwarna coklat setelah kulitnya dikupas.

Ada 2 (dua) jenis pisang yaitu jenis banana dan plantain. Jenis banana

merupakan jenis pisang yang dapat dikonsumsi dalam keadaan segar seperti pisang ambon, pisang raja sereh, pisang seribu, pisang susu dan lain-lain. Jenis plantain

merupakan pisang yang terlebih dahulu dimasak sebelum dikonsumsi seperti pisang tanduk, pisang kipas, pisang raja dan lain-lain.

Pisang memiliki nilai gizi yang baik karena mengandung komponen karbohidrat yang tinggi sehingga dapat menyediakan energi sekitar 136 kalori untuk setiap 100 gram (Poedjiadi 1994). Senyawa gula dalam pisang merupakan jenis fruktosa yang disebut juga dengan gula buah dan mempunyai indek glikemik lebih rendah dibandingkan dengan glukosa. Disamping itu pisang juga mengandung beberapa mikronutrisi seperti vitamin C, vitamin B6 dan mineral kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium (Kusumo&Farid 1994).

Pisang ambon merupakan pisang jenis banana dengan nama spesies Musa paradisiaca var. sapientum. Keunggulan pisang ambon dibandingkan dengan pisang jenis lain adalah pada rasa buah yang manis saat sudah matang dan beraroma harum karena mengandung komponen senyawa ester seperti isoamil asetat yang khas untuk aroma pisang (Tressl&Jennings 1972). Kusumo dan Farid (1994) menjelaskan bahwa pisang ambon termasuk pada kelompok triploid (AAA). Tinggi tanaman sekitar 4-8 m, bertandan lebat, bentuk buah panjang dengan panjang 15-17 cm, beraroma dan bila masak kulitnya berwarna kuning (Gambar 1).


(33)

Pisang ambon dapat dikonsumsi langsung ataupun diolah terlebih dahulu seperti produk keripik. Produk keripik pisang ambon memiliki karakteristik yang lebih baik dibandingkan keripik pisang yang menggunakan pisang jenis lain. Adapun klasifikasi pisang ambon adalah :

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Divisio : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Subkelas : Commelinidae

Ordo : Zingiberales

Familia : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca var. Sapientum

Pisang ambon mengandung senyawa karbohidrat seperti pati dan beberapa senyawa gula sederhana. Pisang ambon mentah masih banyak mengandung komponen pati. Selama proses pematangan buah, terjadi perubahan kandungan pati menjadi senyawa-senyawa gula sederhana seperti gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis (Winarno 1992).

Gambar 1 Pisang ambon

Bahan baku untuk pembuatan keripik pisang biasanya adalah buah pisang dalam keadaan mentah karena mudah untuk diiris sehingga membentuk lembaran yang tipis.


(34)

7

pisang yang sudah dalam keadaan matang tidak dapat menghasilkan keripik yang kering. Pada penggorengan irisan pisang ambon sampai menjadi keripik pisang yang kering akan terjadi perubahan komposisi kimia akibat terjadinya reaksi kimia yaitu reaksi Maillard pada suhu penggorengan. Hasil reaksi ini dapat mempengaruhi warna dan aroma produk keripik pisang ambon. Reaksi Maillard terjadi antara gula pereduksi dan komponen asam amino dalam bahan pangan (Ames 1998). Proses pengolahan dengan penggorengan dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard dalam irisan pisang sehingga akan membentuk beberapa komponen senyawa flavor yang spesifik untuk keripik pisang. Suhu dan waktu proses penggorengan yang diberikan dalam pengolahan keripik pisang dapat mempengaruhi jenis komponen flavor yang terbentuk.

Pisang ambon memiliki hampir semua komponen zat gizi yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Komposisi kimia pisang ambon dalam 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan karbohidrat yang tinggi menyebabkan pisang ambon dapat dijadikan sebagai bahan makanan penghasil energi. Karbohidrat dalam pisang dapat berbentuk gula sederhana maupun karbohidrat dengan berat molekul tinggi seperti pati, pektin, selulosa dan lignin. Selulosa dan lignin merupakan komponen yang menyusun dinding sel (Winarno 1992).

Tabel 2 Komposisi kimia pisang ambon/100 gram bahan

Komponen kimia Jumlah

Air 72 g

Lemak 0.2 g

Protein 1.2 g

Karbohidrat 25.8 g

Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C 146 SI 0.08 mg 3 mg Mineral Ca Fe P 8 mg 28 mg 0.5 mg Sumber : Poedjiadi A (1994)

Salah satu prekursor pembentuk akrilamid adalah asam amino (Friedman 2003). Grandra et al. (2005) dan Zyzak et al. (2003) menyatakan bahwa asam amino asparagin merupakan asam amino yang lebih berpotensi membentuk akrilamid. Elmore dan Donald (2002) memberikan informasi bahwa pisang mengandung asam amino


(35)

asparagin 14.7% dari total asam amino bebas. Kadar asparagin dalam pisang diduga akan dipengaruhi oleh jenis pisang. Bahan baku pisang yang diolah pada suhu tinggi seperti digoreng mempunyai potensi sebagai makanan yang mengandung akrilamid. Selain itu, kadar air produk keripik pisang cukup rendah sehingga selama proses pengolahan akan memungkinkan terjadinya reaksi antara gula pereduksi dengan asam amino ke arah pembentukan akrilamid.

2.2. Akrilamid dalam Bahan Makanan

Otles dan Serkan (2004) menjelaskan bahwa akrilamid (acrylamide) merupakan senyawa yang banyak dipakai pada bidang industri seperti sebagai penggumpal (flocculant), pengental (thickeners) dan bahan pendukung untuk industri kosmetik dan kertas. Senyawa ini mempunyai rumus kimia CH2=CHCONH2 (Gambar 2). Senyawa ini tidak berwarna dan bersifat larut dalam air. Polimer senyawa ini dapat digunakan untuk pembuatan plastik seperti plastik poliacrylamid yang banyak digunakan untuk bahan pembungkus makanan dan bahan baku kosmetik.

Gambar 2 Struktur kimia akrilamid (Otles & Serkan 2004)

Akrilamid merupakan senyawa neurotoksik dan berpotensi sebagai karsinogen bagi manusia (Friedman 2003). Penelitian farmakoklinis terhadap tikus percobaan yang diberi perlakuan makanan dengan dosis akrilamid 1–2 mg/kg berat badan per hari dapat menyebabkan timbulnya tumor pada beberapa organ tubuh. Penelitian terhadap sel hewan secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya mutasi kromosom. Uni Eropa menetapkan bahwa akrilamid sebagai penyebab kanker kategori nomor dua setelah senyawa 3,4-benzopyrene. Pertemuan JECFA (Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives) pada 8-17 Februari 2005 menunjukkan data toksikologi bahwa pemberian oral akrilamid akan memberikan efek toksik yang akut jika berada dalam dosis 100 mg/kg berat badan dan


(36)

9

dilaporkan juga bahwa LD50 senyawa ini sekitar 150 mg/kg berat badan (Friedman 2003). Mekanisme reaksi toksisitas akrilamid dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Reaksi alkilasi akrilamid terhadap protein (Friedman 2003)

Pada Gambar 3 terlihat bahwa akrilamid dapat bereaksi dengan senyawa protein terutama asam amino yang mengandung gugus fungsi sulfida dan amina seperti sistein, valin dan histidin. Jika asam amino valin yang terdapat pada hemoglobin darah berikatan dengan akrilamid maka diduga dapat menyebabkan keracunan (Friedman 2003). Kerja akrilamid yang dapat menyebabkan karsinogen dan mutagen diduga karena akrilamid juga dapat bereaksi dengan basa nitrogen pada DNA (Friedman 2003).

Pembentukan akrilamid terjadi pada proses pemanasan makanan. Akrilamid juga terbentuk dalam bahan pangan yang dibakar seperti roti, kopi, almond dan daging panggang (Friedman 2003; Fredriksson et al. 2004; Elmore et al. 2005; Weiss 2002). Prekursor pembentuk senyawa akrilamid adalah gula pereduksi dan adanya gugus amina dari asam amino. Jenis gula pereduksi yang dianggap lebih berpotensi membentuk


(37)

akrilamid adalah glukosa dan fruktosa (Vivanti et al. 2006). Asam amino yang bereaksi membentuk akrilamid adalah asparagin (Friedman 2003; Zyzak 2003; Granda et al. 2005). Beberapa produk makanan dilaporkan mengandung senyawa akrilamid (Tabel 3). Sejak tahun 2007 telah banyak lagi jenis makanan yang dilaporkan kandungan akrilamid sehingga diharapkan konsumen mewaspadai dan lebih selektif terhadap makanan.

Tabel 3 Kadar akrilamid dalam bahan pangan (Friedman 2003)

Jenis makanan Akrilamid ( µg/kg = ppb)

Almond panggang 260

Asparagus panggang 143

Produk yang dibakar : roti dan kue kering 70-430

Minuman bir dan berbahan gandum 30-70

Biskuit 30-3200

Cereal untuk sarapan 30-1346

Coklat bubuk 15-90

Kopi bubuk 170-351

Makanan kering dari bahan jagung 34-416

Roti kering 800-1200

Produk perikanan 30-38

Produk daging dan ayam 30-64

Kentang rebus 48

Keripik kentang 170-3700

Kedelai dan produk dipanggang 25

Biji bunga matahari yang panggang 66

Makanan kering, selain dari bahan kentang 30-1915

Yuan et al. (2007) menjelaskan bahwa teknik penggorengan dengan microwave

menyebabkan penurunan kadar akrilamid. Makin rendah suhu maka reaksi pembentukan akrilamid akan berkurang. Granda et al (2005) juga berhasil menurunkan akrilamid dengan sistem penggorengan vakum. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan penggorengan biasa.

2.3. Pembentukan Akrilamid

Akrilamid merupakan hasil reaksi senyawa kimia yang ada dalam bahan makanan karena proses pemanasan (Friedman 2003; Zhang & Ying 2007). Berdasarkan jalur dan mekanisme reaksi Maillard maka reaksi pembentukan senyawa akrilamid juga terjadi melalui reaksi penataan ulang Amadori (Zhang & Ying 2007). Pedreschi et al.


(38)

11

dapat diamati dari pembentukan senyawa melanoidin yang mengakibatkan terjadinya perubahan warna kuning sampai coklat dan memberikan rasa pahit serta citarasa yang khas pada bahan makanan. Perubahan warna produk keripik kentang menunjukkan adanya hubungan dengan jumlah senyawa akrilamid di dalamnya. Makin pekat warna keripik kentang maka jumlah akrilamid makin banyak (Granda et al. 2005; Pedreschi et al. 2005).

Suhu penggorengan yang rendah dan adanya perlakuan blansir dan perendaman kentang sebelum digoreng dapat menurunkan pembentukan senyawa akrilamid di dalam keripik kentang (Jung et al. 2003; Kita et al. 2004; Pedreschi et al. 2005). Vivanti et al. (2006) menyatakan bahwa prekursor pembentuk senyawa akrilamid dalam bahan pangan adalah asam amino terutama asparagin, yang bereaksi dengan gula pereduksi dalam kondisi suhu tinggi. Pemanasan pada suhu 180oC selama 30 menit akan menghasilkan 368 µmol akrilamid/mol asparagin (Friedman 2003).

Asparagin (Asn) merupakan asam amino polar dengan BM 132, titik isoelektrik 5.41 dan memiliki gugus amina primer yang reaktif (Lehninger 1998; Poedjiadi 1994). Gugus R dari asparagin yang bersifat elektrofilik dengan adanya gugus NH2. Asparagin dapat bereaksi dengan gugus hidroksil (–OH) pada senyawa gula dan terjadi reaksi penataan ulang sederhana disertai pelepasan gugus karboksil sehingga asam amino asparagin berubah menjadi akrilamid.Mekanisme sederhana pembentukan akrilamid dapat dilihat pada Gambar 4.


(39)

Gambar 4 Reaksi asparagin dengan gugus aldehid (Zhang&Ying 2007)

Mekanisme reaksi (Gambar 4) menjelaskan adanya peran gugus fungsi aldehid pada gula pereduksi yang bereaksi dengan bagian gugus amino dari asam amino kemudian melalui reaksi penataan ulang beberapa tahap akan membentuk senyawa akrilamid.

Zyzak et al (2003) menjelaskan bahwa pada saat campuran pati kentang dan asam amino digoreng maka ada beberapa asam amino yang dapat membentuk akrilamid tinggi. Alanin, asam aspartat, lisin, treonin, arginin, sistein, metionin dan valin membentuk akrilamid dengan kadar <50 ppb sedangkan glutamin dan asparagin masing-masing membentuk akrilamid 156 ppb dan 9270 ppb. Asparagin merupakan asam amino yang lebih berpotensi membentuk akrilamid (Grandra et al. 2005; Zyzak et al. 2003).

Keripik merupakan produk makanan yang mengandung kadar air rendah sehingga memiliki tekstur yang keras dan relatif lebih awet untuk disimpan karena kondisi yang dapat menghambat aktivitas mikroba. Kerusakan biasanya lebih disebabkan oleh adanya reaksi ketengikan yang terjadi pada komponen minyak dan lemak. Produk yang kering menyebabkan potensi pembentukan akrilamid semakin tinggi pula. Hubungan pembentukan akilamid dengan adanya molekul air dalam bahan


(40)

13

Akrilamid merupakan produk dari reaksi Maillard yang dipengaruhi oleh faktor yang sama dengan pembentukan aroma dan warna selama pemanasan yaitu gula pereduksi, asam amino, waktu pemanasan, kadar air dan pH (Vattem & Kalidas 2003). Pembentukan senyawa akrilamid selama proses penggorengan juga dipengaruhi oleh keberadaan air dalam bahan pangan (Vorbehalten 2005). Semakin rendah kadar air produk yang diinginkan maka pembentukan akrilamid makin banyak.

0

50

100

150

200

250

300

350

400

1,6

2,4

3,3

4,2

a

c

ry

la

m

id

e

c

o

n

te

n

i

n

µ

g

/k

g

Kadar air (%)

Gambar 5 Pengaruh kadar air pada pembentukan akrilamid (Vorbehalten 2005)

Proses pengolahan bahan pangan pada suhu tinggi menyebabkan terjadinya penguapan molekul air dari sel bahan pangan sampai tingkat kekeringan produk yang diinginkan (Fellows 1997). Produk yang kering mengandung kadar air rendah namun jumlah akrilamid semakin banyak seperti pada produk keripik. Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa produk dengan kadar air yang tinggi mengandung akrilamid yang lebih rendah. Pembentukan senyawa akrilamid selama proses pengolahan bahan pangan juga dipengaruhi oleh pH matriks bahan pangan (Jung et al. 2003). Jumlah akrilamid makin rendah pada pH asam. Pengaruh pH pada pembentukan akrilamid dapat dilihat pada Gambar 6. K ad ar a k ri la m id ( µ g /k g )


(41)

pH bahan pangan

Gambar 6 Pengaruh pH terhadap jumlah akrilamid (Jung et al. 2003)

2.4. Reaksi Maillard

Reaksi pencoklatan non enzimatik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu karamelisasi, pirolisis dan reaksi pencoklatan secara reaksi Maillard (Ames 1998). Ketiga reaksi ini menghasilkan perubahan fisik dan kimia pada bahan pangan. Reaksi karamelisasi lebih disebabkan oleh adanya dehidrasi molekul air dari komponen gula sedangkan pirolisis merupakan reaksi lanjutan dari karamelisasi sampai semua komponen gula terdegradasi. Reaksi Maillard merupakan reaksi antar senyawa kimia dalam bahan pangan yaitu gula pereduksi dan asam amino (Ames 1998).

Mekanisme reaksi Maillard (Gambar 7) merupakan jalur reaksi yang kompleks dan berlanjut sampai membentuk polimer dan senyawa melaniodin di akhir proses pemanasan baik penggorengan maupun pembakaran. Banyak faktor yang mempengaruhi reaksi tersebut seperti pH/keasaman bahan pangan, tipe asam amino dan senyawa gula, suhu dan lama pemanasan, keberadaan oksigen, kadar air, nilai aw dan komponen lain dalam makanan (Ames 1998; Friedman 2003; Weiss 2002; Zhang & Ying 2007).

Reaksi Maillard dapat membentuk banyak komponen kimia yang berbeda

K

ad

ar

a

k

ri

la

m

id

(

m

g

/m

o

l

as

p

ar

ag

in


(42)

15

gula pereduksi yang bereaksi dengan asam amino yang ada dalam matriks bahan pangan. Reaksi Maillard sering disebut sebagai reaksi browning non enzimatik karena menghasilkan produk berwarna coklat pada makanan (Taylor 2002). Reaksi ini diperlukan pada beberapa pengolahan bahan pangan karena dapat membentuk warna yang menarik. Reaksi Maillard lebih banyak bertujuan untuk membentuk karakteristik aroma pada bahan makanan seperti pada roti, biskuit, kopi, susu dan produk olahan lainnya (Ames 1998).

Reaksi Maillard banyak dimanfaatkan untuk pembentukan aroma dari makanan (Ames 1998). Contoh komponen aroma yang terbentuk dalam makanan karena proses pemanasan dapat dilihat pada Tabel 4. Terjadinya reaksi Maillard dalam bahan pangan dapat menyebabkan kehilangan sejumlah molekul zat gizi dalam makanan. Hal ini disebabkan oleh adanya sejumlah molekul asam amino esensial dalam makanan yang sudah berubah menjadi senyawa lain. Contohnya asam amino lisin dalam tepung gandum yang hilang karena pemanggangan roti. Begitu juga halnya dengan produk lain seperti kacang goreng, coklat, kopi dan makanan ringan lainnya.

Mekanisme reaksi Maillard terjadi melalui pembentukan komponen Amadori hasil penataan ulang senyawa gula seperti glukosa setelah bereaksi dengan asam amino (Gambar 8). Reaksi Maillard dapat menghasilkan aroma yang berbeda tergantung pada adanya variasi jenis asam amino dan keberadaan senyawa gula dalam bahan pangan. Jenis asam amino akan berpengaruh pada produk reaksi Maillard (Ames 1998). Asparagin dan glutamin merupakan asam amino yang berpotensi membentuk akrilamid jika dipanaskan dengan gula pereduksi (Zyzak et al. 2003). Penurunan akrilamid dalam makanan dapat dilakukan dengan cara mengurangi asam amino prekursornya (Vorbehalten 2005).


(43)

(44)

17

Gambar 8 Mekanisme Reaksi Maillard melalui pembentukan struktur Amadori (Zhang & Ying 2007)

Tabel 4 Komponen aroma yang terbentuk melalui proses pemanggangan dan pembakaran bahan pangan

Jenis

Bahan pangan

Asam amino Karakteristik aroma setelah dipanaskan dengan monosakarida

Kentang Glutamin

Valin Asparagin

Caramel, butterscotch, burnt sugar Fruity, sweety, yeasty

-

Kacang Alanin

Phenilalanin Asparagin Arginin

Caramel, nutty, malt

Sweet and rancid caramel, violet -

Bready, buttery, yeasty

Daging Valin

Glisin Leusin

Fruity, sweety, yeasty Caramel, smoky, burnt Toasted, cheesy, malt, bready

Buah coklat Leusin Alanin Phenilalanin Valin

Toasted, cheesy, malt, bready Caramel, nutty, malt

Sweet and rancid caramel, violet Fruity, sweet, yeasty


(45)

Hasil akhir reaksi Maillard adalah senyawa melanoidin dan beberapa komponen non volatil (Ames 1998). Pembentukan senyawa ini di tandai dengan perubahan warna produk yang semakin gelap sampai terbentuknya warna coklat pekat, disertai dengan terbentuknya residu kerak pada produk makanan (Zhang & Ying 2007). Selama pemanasan bahan makanan juga disertai dengan pembentukan akrilamid contohnya pada penggorengan keripik kentang (Pedreschi et al. 2005). Pada Tabel 3 nampak bahwa perubahan asam amino asparagin dalam kentang yang dipanaskan tidak memberikan pengaruh pada aroma produk.

Terjadinya reaksi antara asam amino dengan gula pereduksi dalam bahan pangan akan berpengaruh pada produk yang dihasilkan baik warna maupun aroma. Kondisi suhu mempengaruhi mekanisme reaksi Maillard yang terjadi sehingga pada kondisi suhu yang berbeda dapat menghasilkan produk reaksi yang berbeda pula. Mejcher dan Henryk (2005) berhasil mengidentifikasi beberapa aroma yang terbentuk melalui reaksi Maillard.

Mottram (1998) menjelaskan adanya komponen citarasa dalam daging dan produk olahan daging, dimana senyawa kimia tersebut juga terbentuk melalui reaksi Maillard. Hal ini juga dapat terjadi dalam bahan pangan yang mengandung prekursor pembentuk komponen citarasa. Sementara itu, pembentukan akrilamid juga terjadi antara gugus amina dari asam amino asparagin dengan gugus karbonil pada gula pereduksi (Friedman 2003) sehingga reaksi pembentukan komponen citarasa melalui reaksi Maillard juga sejalan dengan pembentukan akrilamid. Hal inilah yang menyebabkan diperlukannya pengaturan kondisi pemanasan sehingga pembentukan akrilamid dapat diperkecil. Komponen kimia yang terbentuk dari hasil reaksi Maillard sangat dipengaruhi oleh jenis asam amino yang ada dalam bahan pangan.

Reaksi Maillard pada suhu tinggi akan dipengaruhi faktor suhu pemanasan karena berkaitan dengan jumlah air yang keluar dari dalam bahan pangan. Pada pembentukan akrilamid diduga faktor suhu pemanasan juga menjadi kondisi yang mempercepat pembentukan akrilamid (Weiss 2003). Zyzak et al (2003) menjelaskan adanya mekanisme pembentukan akrilamid yang sejalan dengan mekanisme reaksi Maillard (Gambar 9).


(46)

19

Gambar 9 Pembentukan akrilamid melalui jalur reaksi Maillard (Zyzak et.al.2003)

Pada Gambar 9 dijelaskan bahwa tahap awal pembentukan akrilamid juga dimulai dari pembentukan senyawa basa Schiff dan kemudian akan mengalami reaksi lanjutan sesuai dengan suhu yang diberikan. Pada mekanisme ini nampak bahwa jumlah air yang dihilangkan dalam bahan pangan juga menyebabkan reaksi makin banyak kearah pembentukan akrilamid. Selain itu, makin tinggi suhu maka reaksi kearah pembentukan akan makin besar (Zyzak et al 2003).


(47)

2.5. Blansir dan Perendaman

Blansir merupakan proses yang dilakukan terhadap bahan pangan dengan cara perendaman dalam air panas dalam waktu singkat (Fellows 1997). Pada saat pelaksanaan blansir terjadi juga soaking atau perendaman. Interaksi bahan pangan dengan air atau suatu larutan akan menyebabkan terjadinya osmosis molekul air atau larutan ke dalam sel bahan pangan. Proses blansir dan perendaman menyebabkan terjadinya distribusi sejumlah molekul air ke dalam sel bahan pangan dan sebaliknya akan terjadi juga pengeluaran komponen sel seperti pigmen dan komponen sel larut air. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas nutrisi dan sensori makanan. Selain itu, blansir dapat mempengaruhi warna dan citarasa makanan (Fellows 1997). Mekanisme distribusi molekul sel pada saat terjadinya blansir dapat dilihat pada Gambar 10.

Salah satu tujuan perlakuan blansir adalah melakukan inaktivasi terhadap enzim

poliphenol oksidase yang ada dan aktif pada bahan pangan tertentu seperti kentang, apel dan buah-buah lainnya (Poedjiadi 1994). Aktivitas enzim ini cenderung merusak penampilan produk karena adanya reaksi lanjut dan hasil oksidasi dari enzim ini menghasilkan pigmen berwarna kuning sampai coklat bahkan kehitaman. Blansir juga digunakan untuk mengurangi kontaminasi mikroorganisme pada permukaan bahan makanan dan memperlunak jaringan sayuran (Fellows 1997).

Gambar 10 Mekanisme distribusi komponen kimia pada sel saat blansir; S: pati tergelatinisasi; CM: membrane sitoplasma: CW: dinding sel;


(48)

21

Perendaman dapat melarutkan komponen-komponen kimia terutama yang bersifat polar seperti pati, gula sederhana, dan asam amino tertentu. Penurunan pembentukan akrilamid dapat dilakukan dengan kondisi pengolahan yang tepat termasuk perlakuan sebelum proses pengolahan seperti perlakuan blansir dan perendaman dalam pH asam (Jung et al. 2003; Kita et al. 2004). Perendaman dan blansir sering dilakukan sebagai tahap awal untuk proses pengolahan keripik kentang karena juga dapat menyebabkan kerenyahan produk keripik (Leeratanarak et al. 2006).

Perlakuan blansir dapat menyebabkan terjadinya beberapa perubahan sensori dan kualitas makanan karena menyebabkan hilangnya komponen-komponen polar yang ikut terlarut bersama air seperti mineral-mineral, vitamin larut air, komponen pati dan gula-gula pereduksi (Fellows 1997). Suhu dan lama blansir mempengaruhi perubahan warna makanan. Perlakuan blansir juga dapat menurunkan jumlah prekursor pembentuk akrilamid seperti gula pereduksi dan asam amino asparagin (Vorbehalten 2005; Zhang&Ying 2007).

2.6. Proses Penggorengan

Penggorengan merupakan tahap perlakuan terhadap bahan makanan dengan menggunakan suhu tinggi dalam medium minyak. Tujuan penggorengan adalah untuk memasak makanan dan melakukan pengeluaran air dalam bahan makanan sehingga diperoleh juga produk yang kering. Teknik penggorengan dapat dilakukan dengan sistem shallow frying dan deep-fat frying (Fellows 1997). Proses penggorengan selalu menggunakan suhu tinggi sesuai dengan titik didih minyak goreng. Suhu penggorengan normal dapat terjadi pada kisaran suhu 168-196oC (Fellows 1997). Suhu yang tinggi menjadi penyebab pembentukan asam-asam lemak bebas. Hal ini ditandai dengan perubahan viskositas, citarasa, warna minyak dan titik asap minyak menjadi turun. Friedman (2003) menyatakan bahwa pembentukan akrilamid dapat terjadi dalam kisaran suhu 120oC-170oC sehingga selama penggorengan juga terjadi reaksi pembentukan akrilamid.

Perubahan yang nampak setelah hasil penggorengan adalah terjadinya perubahan warna, tekstur dan aroma dari produk. Hal ini banyak disebabkan oleh adanya perubahan beberapa senyawa gula dan asam amino dalam bahan makanan sebagai kombinasi reaksi Maillard (Ames 1998). Adanya reaksi senyawa gula dengan asam


(49)

amino lisin pada ikan memberikan karakteristik pada produk ikan goreng (Fellows 1997).

Minyak nabati merupakan media yang terbaik sebagai penghantar panas pada proses penggorengan. Fellows (1997) menjelaskan bahwa komponen-komponen minyak mengalami perubahan-perubahan selama proses penggorengan. Pada beberapa proses penggorengan, terlihat suhu penggorengan hampir mencapai titik asap minyak di atas 180oC. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan nilai gizi makanan selain dapat membentuk akrilamid yang lebih tinggi.

2.7. Evaluasi Sensori

Hasil akhir proses pengolahan harus dikaitkan dengan evaluasi mutu sensori secara organoleptik. Uji sensori untuk produk pangan dapat menghasilkan data penerimaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan karena indra manusia merupakan detektor yang cukup sensitif untuk mengenali komponen sensori dalam produk (Reineccius 2006). Pengolahan makanan yang baik diharapkan dapat menghasilkan produk dengan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen. Pengujian sensori dapat meliputi pengujian warna, aroma, rasa dan penerimaan keseluruhan (over all) produk (Meilgaard et al.1999).

Pada analisis sensori, panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap atribut sensori produk secara hedonik (kesukaan). Skor penerimaan panelis tersebut dapat dikuantifikasikan. Selain itu, pada uji sensori terdapat pula uji pembedaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan sampel karena perlakuan-perlakuan yang diujikan.

Analisis sensori secara Quantitative Descriptive Analysis (QDA) merupakan salah satu analisis sensori deskriptif yang dapat digunakan untuk mengetahui atribut sensori termasuk komponen flavor dalam produk makanan (Stone & Sidel 1998). Metoda ini dilakukan oleh kelompok panelis terlatih (terdiri dari 6-12 orang terpilih) yang akan mendeskripsikan atribut sensori dalam produk yang diuji (Meilgaard et al. 1999). Data analisis secara QDA merupakan data yang dapat dikuantifikasikan dalam bentuk angka. Pada pelaksanaannya digunakan garis untuk menyatakan intensitas


(50)

23

Teknik penurunan pembentukan akrilamid akan memberikan pengaruh juga terhadap sensori produk. Romani et al. (2009) menyatakan bahwa kondisi penggorengan mempengaruhi kandungan akrilamid dan karakteristik kentang goreng seperti warna, citarasa dan kandungan minyak. Karakteristik produk merupakan ciri-ciri produk yang dapat juga berkaitan dengan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut (Meilgaard et al. 1999). Karakteristik produk dapat diketahui dari hasil pengujian sensori penerimaan konsumen terhadap organoleptik produk baik warna, aroma, rasa dan keseluruhan produk.


(51)

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 8 (delapan) bulan di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia, Politeknik Negeri Lampung, Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Lampung dan Laboratorium Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1.Peralatan laboratorium

HPLC Shimadzu model LC-6A yang dilengkapi dengan detektor UV-Vis SPD-6AP dan kolom C18. Neraca analitik Kern type AV 220-4, penyaring vakum, alat gelas untuk pembuatan larutan seperti labu ukur 50 ml, 25 ml dan 10 ml, peralatan pengolahan keripik seperti wadah untuk bahan, pisau, alat deepfryer, pengaduk, beaker glass 1 L, termometer skala 200oC, alat pengukur kekerasan hardness texture dan penangas air. Analisis sensori menggunakan perlengkapan terdiri dari blanko kuisioner, wadah sampel, ruang/booth, pena.

3.2.2. Bahan kimia

Akrilamid p.a. (Merck), metanol p.a.(Merck), akuabides (Ikaparmindo), diklorometana p.a.(Merck), H3PO4 85% (Merck), asparagin p.a (Merck), MSG dan bahan untuk analisis kimia. Uji deskriptif memerlukan beberapa bahan kimia sebagai pembanding seperti caramel, burnt, furaneol, maltol, benzil alkohol dan isoamil asetat.

3.2.3.Bahan baku dan sampel

Pisang ambon dibeli di pasar-pasar tradisional di sekitar kota Bandar Lampung dalam keadaan keseragaman bobot, warna dan fisik yang nampak secara visual dan diuji dengan alat hardness texture. Pada tahap proses pengolahan digunakan minyak goreng komersial yang digunakan hanya 1 (satu) kali untuk setiap kali perlakuan penggorengan. Produk keripik pisang ambon komersial dengan merk berbeda juga diuji kadar akrilamidnya dan diambil secara random pada beberapa toko, supermaket dan outlet


(52)

25

menggunakan produk pembanding yaitu produk keripik pisang ambon komersial dan menggunakan air minum kemasan sebagai penetral pada setiap pengujian.

3.3. Metode Penelitian

Pada penelitian ini digunakan bahan baku pisang ambon mentah. Penelitian terdiri dari 3 (tiga) tahap. Pada tahap pertama dilakukan analisis kimia bahan baku yang terdiri dari analisis proksimat, kadar pati, gula pereduksi dan asam amino. Pada tahap kedua dilakukan pengolahan bahan baku pada berbagai perlakuan yaitu perlakuan proses penggorengan (variasi suhu 140, 160 dan 180oC selama 10, 15 dan 20 menit), blansir (suhu 70, 80 dan 100oC selama 1, 2, 3, 4 dan 5 menit) dan perendaman dalam larutan MSG 0.1%; 0.2% dan 0.3% (b/v) dengan selama 1, 2 dan 3 menit pada suhu 20oC. Penelitian dilakukan dengan rancangan faktorial acak lengkap dengan 2 kali pengulangan. Analisis akrilamid dilakukan dengan HPLC sistem reversed phase

menggunakan fase diam non polar dan fase bergeraknya adalah campuran pelarut yaitu asetonitril : akuabides : asam fosfat 10% (5 : 94 : 1). Detektor yang digunakan adalah UV-Vis SPD-6AP (Shimadzu) pada panjang gelombang 230 nm. Kecepatan alir 1.2 ml/menit dengan volume injeksi 20 µl. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap kadar akrilamid dalam produk keripik pisang ambon komersial. Pada tahap ketiga dilakukan evaluasi sensori terhadap produk yang memiliki kadar akrilamid rendah meliputi uji hedonik terhadap warna, aroma dan penerimaan secara keseluruhan serta analisis atribut aroma dengan metoda deskriptif Quantitative Descriptive Analysis


(53)

Gambar 11 Skema kerja penelitian

3.4. Pelaksanaan Penelitian

Tahap 1. Analisis Kimia Bahan Baku

Analisis kimia yang dilakukan terhadap bahan baku meliputi analisis proksimat, kadar pati, gula pereduksi dan asam amino. Analisis proksimat meliputi : kadar air, abu, lemak, protein total dan karbohidrat.

a. Kadar air (AOAC 1995)

Cawan porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam kemudian dimasukkan dalam desikator sampai kondisi konstan/dingin kemudian ditimbang (berat a). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram (berat b). Cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC-110oC selama 3 jam atau sampai tercapai berat yang konstan (berat c). Kadar air dihitung berdasarkan rumus :

− Tahap 1

Analisis bahan baku

Analisis akrilamid Produk keripik pisang ambon

perlakuan dan

produk keripik pisang ambon Tahap 2

Pengolahan keripik pisang ambon

1. Analisis proksimat 2. Kadar pati 3. Kadar gula

1. Suhu dan lama penggorengan 2. Suhu dan lama blansir

3. Waktu perendaman

Tahap 3 Uji sensori


(54)

27 b. Kadar abu (AOAC 1995)

Cawan porselen dikeringkan dalam dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam kemudian dimasukkan dalam desikator sampai kondisi konstan/dingin kemudian ditimbang (berat x). Sampel sebanyak 2 g (berat y) dimasukkan ke dalam cawan porselen. Cawan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan pada suhu 450-550oC selama 2 jam atau sampai semua sampel telah menjadi abu. Cawan didinginkan dan ditimbang (berat z). Kadar abu dihitung dengan rumus :

Kadar abu (%) = 100% )

( ) (

x y

x z

c. Kadar lemak (Woodman 1941 dalam Sudarmadji 1990)

Sebanyak 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan dalam labu soklet. Labu didih ditimbang sebelumnya dan diperoleh berat awal (berat a). Petroleum eter kemudian dimasukkan ke dalam labu didih. Rangkaian peralatan soklet dipasang dan dialirkan air ke dalam kondensor. Labu didih dipanaskan sampai pelarut menguap dan didinginkan oleh kondensor. Kondensat masuk ke dalam alat soklet dan terjadi proses ekstraksi. Ekstraksi dilakukan sampai seluruh lemak terekstrak dari sampel. Setelah selesai ekstraksi, seluruh pelarut dimasukkan dalam labu didih. Pelarut dalam labu didih diuapkan dalam oven pada suhu 105oC sampai tersisa hanya lemak dan kemudian ditimbang sebagai berat akhir (berat b).

Kadar lemak dihitung dengan rumus :

Kadar lemak (%) = x100%

sampel berat

a b

d. Kadar protein total-Metoda Gunning (Sudarmadji 1990)

Sampel ditimbang sebanyak 0.2 g kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjehdahl 100 ml lalu ditambahkan 2 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu campuran dalam labu tersebut didestruksi selama 30 menit sampai warna larutan menjadi hijau jernih dan dibiarkan sampai dingin. Hasil destruksi didistilasi. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang telah berisi HCl dan indikator fenolftalein


(55)

lalu dititrasi dengan HCl 0.02 N. Titrasi dilakukan juga untuk larutan blanko yang berisi akuades. Kadar nitrogen dihitung dengan rumus :

(Vol. HCl sampel-Vol. HCl blanko) x Normalitas HCl x 14.0067

Kadar N(%) = x100%

Berat sampel (mg)

Kadar protein (%) = 6.25 x % N

e. Kadar karbohidrat (by difference)

Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan persamaan :

Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (air+abu+lemak+protein)%

f. Kadar pati (Sudarmadji 1990)

Sebanyak 2 – 5 g sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml lalu ditambahkan 50 ml akuades dan diaduk selama 1 jam. Suspensi disaring dengan kertas saring dan dicuci dengan akuades sampai volume filtrat 250 ml. Residu pada kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter dan eter dibiarkan menguap dari residu. Residu dicuci dengan 150 ml alkohol 10%. Residu dipindahkan dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dengan penambahan 200 ml akuades dan 20 ml HCl 25% kemudian ditutup dengan pendingin balik. Erlenmeyer dipanaskan pada penangas air mendidih selama 2.5 jam. Setelah dingin, campuran tersebut dinetralkan dengan larutan NaOH 40% dan diencerkan hingga volume 500 ml kemudian disaring. Larutan diambil 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambah 25 ml larutan Luff Schoorl. Beberapa butir batu didih dimasukkan ke dalam erlenmeyer tersebut dan dipanaskan selama 10 menit lalu didinginkan. Setelah dingin, campuran dalam erlenmeyer tadi ditambahkan 15 ml KI 20% dan 25 ml H2SO4 26.5% dengan hati-hati. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1 N memakai indikator pati 1% sebanyak 2-3 ml. Titrasi diakhiri setelah hilangnya warna ungu kebiruan. Blanko dibuat dengan cara : sebanyak 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah 25 ml akuades. Selisih volume Na2S2O3 pada titrasi blanko dengan titrasi larutan sampel dikonversikan dengan nilai pati dan gula pereduksi pada Tabel 5 dan akan diperoleh jumlah (mg) glukosa, fruktosa


(56)

29 Kadar pati dihitung dengan rumus :

Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert (mg) x faktor pengenceran

Kadar pati(%)= x 100%

Berat sampel (mg)

g. Kadar gula pereduksi (Sudarmadji 1990)

Sebanyak 2 – 5 g sampel telah dihaluskan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 ml lalu ditambahkan 100 ml akuades dan 25 ml larutan Luff Schoorl. Beberapa butir batu didih dimasukkan ke dalam erlenmeyer tersebut dan dipanaskan selama 10 menit lalu didinginkan. Setelah dingin, campuran dalam erlenmeyer tadi ditambahkan 15 ml KI 20% dan 25 ml H2SO4 26.5% dengan hati-hati. Yodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N memakai indikator pati 1% sebanyak 2-3 ml. Titrasi diakhiri setelah hilangnya warna ungu kebiruan. Blanko dibuat dengan cara : sebanyak 25 ml larutan Luff Schoorl ditambah 25 ml akuades. Selisih volume titran pada titrasi blanko dan titrasi larutan sampel dikonversikan dengan nilai pada Tabel 5 dan akan diperoleh jumlah (mg) glukosa, fruktosa dan gula invert dalam sampel bahan pisang ambon. Kadar gula pereduksi dihitung dengan rumus :

Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert (mg) x faktor pengenceran

Kadar gula pereduksi(%) = x100%

Berat sampel (mg)

Tabel 5 Penentuan jumlah gula pereduksi dengan metoda Luff Schoorl Selisih

volume(ml) Na2S2O3 0,1 N

Jumlah glukosa,fruktosa,

gula invert C6H12O6(mg)

Selisih volume(ml) Na2S2O3 0,1 N

Jumlah glukosa, fruktosa, gula invert

C6H12O6(mg)

1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 11.0 12.0 2.4 4.8 7.2 9.7 12.2 14.7 17.2 19.8 22.4 25.0 27.6 30.3 2.4 2.4 2.5 2.5 2.5 2.5 2.6 2.6 2.6 2.6 2.7 2.7 13.0 14.0 15.0 16.0 17.0 18.0 19.0 20.0 21.0 22.0 23.0 24.0 33.0 35.7 38.5 41.3 44.2 47.3 50.0 53.0 56.0 59.1 62.2 - 2.7 2.8 2.8 2.9 2.9 2.9 3.0 3.0 3.1 3.1 - - Keterangan: nilai ∆ adalah faktor yang dikalikan dengan bilangan desimal selisih

volume titran Sumber : Sudarmadji (1990)


(57)

h. Analisis asam amino dalam pisang ambon (AOAC 1995)

Analisis jenis asam amino dalam pisang ambon dilakukan dengan HPLC. Sebelum sampel diinjeksikan ke dalam alat, dilakukan hidrolisis sampel. Sampel sebanyak 0.100 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi 25 ml dan ditambahkan HCl 6 N sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100oC. Setelah itu, sampel didinginkan dan disaring. Larutan sampel diambil 30 ml dan ditambahkan 30 µl larutan pengering (trimetilamin dan pikotiosianat dalam metanol) dan divakumkan. Larutan sampel ditambahkan larutan derivatisasi yaitu trimetilamin dan natrium asetat dalam metanol sebanyak 30 µl kemudian didiamkan selama 30 menit dan ditambahkan 2 ml natrium asetat 1 M, didiamkan selama 5 menit. Larutan sampel siap diinjeksikan ke dalam peralatan HPLC.

Kondisi HPLC yang digunakan adalah HPLC dengan detektor UV pada λ 254 nm, kolom pico tag 3.9 x 150 nm pada suhu ruang, fase gerak yang digunakan adalah asetonitril 60% dalam buffer natrium asetat 1 M dengan kecepatan alir 1.2 ml/menit dan tekanan 3000 Psi dengan sistem elusi gradien. Larutan standar asam amino digunakan sebagai pembanding untuk menentukan jumlah asam amino dalam pisang ambon. Kromatogram asam amino dapat dilihat pada Lampiran 1 dan cara perhitungan kadar asam amino pada Lampiran 2. Perhitungan kadar asam amino dilakukan menggunakan rumus :

Luas area spektrum asam amino sampel x konsentrasi standar x BM x Vol. x 100% Luas area spektrum asam amino standar berat sampel

i. Kadar asam amino asparagin dengan HPLC (Bai et al. 2007)

Asam amino asparagin ditentukan dengan HPLC sistem Reversed-Phase, kolom C18 dengan fase gerak asetonitril : kalium fosfat 0.03 M (20:80) dengan sistem elusi gradien. Kecepatan alir yang digunakan adalah 0.5 ml/menit dengan suhu kolom 30oC. Sampel hasil hidrolisis diinjeksikan sebanyak 20 µl ke dalam kolom. Detektor yang digunakan adalah detektor UV pada panjang gelombang 190 nm.

Larutan asam amino asparagin p.a. digunakan sebagai larutan standar. Asparagin standar dilarutkan dalam pelarut asetonitril : kalium posfat (20:80). Konsentrasi larutan standar yang dibuat adalah 20 – 100 ppb. Kondisi saat injeksi larutan standar ke dalam


(58)

31

regresi linier digunakan untuk menentukan konsentrasi asam amino asparagin di dalam sampel pisang ambon. Perhitungan kadar asparagin dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tahap 2. Pengolahan Keripik Pisang Ambon 2.1. Pengaruh suhu dan lama penggorengan

Pisang ambon mentah yang telah dikupas diiris tipis 2-3 mm dengan pisau. Sebanyak 500 g irisan pisang diolah dengan proses penggorengan pada variasi suhu 140, 160 dan 180oC selama 10, 15 dan 20 menit. Analisis kadar akrilamid dilakukan terhadap seluruh produk yang dihasilkan dan diperoleh keripik pisang dengan kadar akrilamid terendah. Perlakuan penggorengan yang menghasilkan keripik pisang ambon dengan kadar akrilamid yang lebih rendah digunakan untuk penggorengan pada tahap perlakuan berikutnya.

2.2. Perlakuan blansir

Irisan pisang sebanyak 500 g direndam dalam air dengan suhu 70, 80 dan 100oC. Waktu perendaman divariasikan selama 1, 2, 3, 4 dan 5 menit. Irisan pisang yang telah mendapat perlakuan kemudian digoreng pada suhu dan lama penggorengan yang menyebabkan pembentukan akrilamid paling rendah (perlakuan Tahap 2 bagian 2.1). Irisan pisang yang tidak diblansir juga digoreng pada suhu yang sama (sebagai kontrol). Seluruh produk keripik pisang ambon dianalisis kadar akrilamidnya.

2.3. Perlakuan perendaman dalam larutan MSG

Irisan pisang sebanyak 500 g direndam dalam larutan MSG 0.1%; 0.2% dan 0.3% selama variasi waktu 1, 2 dan 3 menit pada suhu 20oC dan dilakukan juga untuk kontrol (tanpa perendaman MSG). Irisan pisang yang telah mendapat perlakuan perendaman larutan MSG digoreng pada suhu dan lama penggorengan yang menyebabkan pembentukan akrilamid paling rendah (perlakuan Tahap 2 bagian 2.1). Keripik pisang ambon hasil perendaman MSG dianalisis kadar akrilamidnya.


(1)

Lampiran 13 Contoh kuisioner menentukan skala atribut sensori Uji Menentukan Skala Atribut Sensori

Nama :

Tanggal pengujian :

Buatlah tanda untuk menyatakan porsi bagian sensori yang Anda rasakan pada masing-masing gambar berikut ini :

1. Rasa/aroma yang terdeteksi :………. Penilaian :

None___________________________________________________All

2. Rasa/aroma yang terdeteksi :………. Penilaian :

None___________________________________________________All

3. Rasa/aroma yang terdeteksi :………. Penilaian :

None___________________________________________________All 4. Rasa/aroma yang terdeteksi :……….

Penilaian :

None___________________________________________________All 5. Rasa/aroma yang terdeteksi :……….

Penilaian :

None___________________________________________________All

Keterangan :

None : tidak ada rasa/aroma All : sangat terasa sekali


(2)

Lampiran 14 Kuisioner pengujian produk keripik pisang ambon dengan QDA UJI DESKRIPSI KUANTITATIF (QDA) UNTUK AROMA PRODUK Nama panelis :...

Tanggal tes :... Waktu :... Petunjuk :

Di hadapan Anda disajikan produk keripik pisang ambon yang akan dinilai intesitas/kekuatan aromanya.Lakukan pengujian dengan cara :

a. Tuliskan kode sampel terlebih dahulu

b. Ambil sepotong keripik dan cium aroma/bau keripik tersebut kemudian tuliskan aroma yang terdeteksi.

c. Tuliskan kekuatan aromanya dengan cara membuat tanda silang (x) pada skala garis yang disediakan.

d. Istirahat selama 20 detik dan kemudian lakukan hal yang sama untuk aroma/bau berikutnya.

KODE SAMPEL :

1. Ester like (aroma pisang ambon)

Tidak ada Sangat kuat

2. Caramel (aroma gula)

Tidak ada Sangat kuat

3. Rancid (bau minyak tengik)

Tidak ada Sangat kuat

4. Green (bau pisang ambon muda/bau daun)

Tidak ada Sangat kuat

5. Cotton candy (aroma harum manis)


(3)

Lampiran 15 Hasil ANOVA uji hedonik warna produk keripik pisang ambon

FK = 5542.118

152 917 76 2

9172 2

= =

x

JKS = 5542.118

76

303 293

290

4022 2 2 2

− +

+ +

= 5542.118

76 429522

=5651.605−5542.118 = 109.487

JKP = 109.487

2

20 .... 15

162 2 2

− +

+ +

= 109,487 5650 109.487 2 22600 − = − = 5540.513

JKT = 52 + 42 + … + 52 – 109.487 = 6278 – 109.487

= 61688513

JKG = 6168.8513 – 109.487 – 5540.513 = 518.513

Sumber keragaman

db JK KT F hitung

Sampel 2 109.487 36.496 15.83

Panelis 75 5540.513 73.874

Galat 225 518.513 2.305

Total 303 6168.513

Tabel : ( α < 0.05 )

n sampel----n1=3 ; n2 = 225 F tabel = 2.60

Kesimpulan : 15.83 > 2.60 artinya F hitung > F tabel

Warna produk keripik pisang ambon perlakuan blansir berbeda secara signifikan terhadap warna produk komersial


(4)

Lampiran 16 Hasil ANOVA uji hedonik aroma produk keripik pisang ambon

FK = 6183.0296

152 939820 76

2 9692

= =

x

JKS = 6183.0296

76

311 360

302

3982 2 2 2

− +

+ +

= 6183.0296

76 475929

= 6262.224 – 6183.0296 = 79.194

JKP = 109.487

2

20 .... 15

162 2 2

− +

+ +

= 6183.0296

2 25627

− = 223,7204

JKT = 52 + 42 + … + 52 – 109.487 = 6933 – 6183.0296

= 749.9704

JKG = 749.9704 – 79.194 – 223.7204 = 447.056

Sumber keragaman

db JK KT F hitung

Sampel 2 79.194 26.358 13.285

Panelis 75 223.7504 2.583

Galat 225 447.056 1.987

Total 303 749.9704

Tabel : (α < 0.05)

n sampel----n1=3 ; n2 = 225 F tabel = 2.60

Kesimpulan : 13.285 > 2.60 artinya F hitung > F tabel

Aroma produk keripik pisang ambon perlakuan blansir berbeda secara signifikan terhadap aroma produk komersial


(5)

Lampiran 17 Hasil ANOVA uji hedonik penerimaan keseluruhan atribut sensori produk

keripik pisang ambon

FK = 4922.533

152 748225 76

2 8652

= =

x

JKS = 4922.533

76

260 336

318

3102 2 2 2

− +

+ +

= 4922.533

76 377720

− = 4970 – 4922.533 = 47.467

JKP = 109.487

2

20 .... 15

162 2 2

− +

+ +

=18101−4928.211 = 5540.,513

JKT = 52 + 42 + … + 52 – 109.487 = 5778 – 4928.211

= 849.789

JKG = 849.789 – 41.849 – 0.245 = 807.755

Sumber keragaman

Db JK KT F hitung

Sampel 2 41.789 13.930 3.88

Panelis 75 0.245 0.00327

Galat 225 807.755 3.59

Total 303 849.789

Tabel : ( α < 0.05 )

n sampel----n1=3 ; n2 = 225 F tabel = 2.60

Kesimpulan : 3.88 > 2.60 artinya F hitung > F tabel

Penerimaan keseluruhan (overall) produk keripik pisang ambon perlakuan blansir berbeda secara signifikan terhadap produk komersial


(6)

KESIMPULAN :

Nilai mutu sensori hasil uji hedonik pada 76 konsumen :

Nilai mutu sensori (rata-rata ± standar deviasi) Sampel Keripik Pisang

Warna Aroma Keseluruhan

Produk komersial 5.82 ± 1.05a 5.97 ± 0.82a 4.96 ± 0.93a Produk tanpa blansir 5.96 ± 0.93a 4.74 ± 1.13a 4.56 ± 1.22a Produk terpilih 3.12 ± 1.24b 2.90 ± 1.51b 2.91 ± 1.17b Keterangan : huruf yang sama menyatakan tidak berbeda nyata pada α < 0.05