Serat Pangan Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim

10 adalah polisakarida seperti substansi pektat, hemiselulosa, selulosa, dan beberapa glikoprotein. Dinding yang terbentuk tersebut disebut dinding sel pertama primer. 3. Tahap penebalan kedua yang menentukan struktur akhir dari sel-sel tertentu. Pada tahap ini terjadi penumpukan zat seperti lignin. Dinding sel yang terbentuk ini kemudian disebut dinding sel kedua sekunder yang komponen utamanya adalah selulosa, lignin, dan hemiselulosa sebagai matriks amorf. Komponen lain seperti gum, musilase, kutin, asam fitat, dan lainnya merupakan komponen serat dalam jumlah kecil dari dinding sel tanaman.

2.6 Serat Pangan

The American Association of Cereal Chemist mendefinisikan serat pangan sebagai bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat, yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar AACC 2001. Serat pangan ini meliputi polisakarida selulosa, hemiselulosa, gum, polifruktosa, oligosakarida, pektin, dan musilage, karbohidrat analog dekstrin yang tidak tercerna, pati tidak tercerna, polideskstrosa, dll, lignin, dan bahan yang terkait dengan dinding sel tanaman waxes, fitat, saponin, tanin, kutin, suberin. Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dibedakan menjadi serat larut soluble dietary fiber dan serat tidak larut insoluble dietary fiber, tergantung kelarutan komponen serat tersebut di dalam air atau larutan bufer. Serat tak larut terutama terdiri atas yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, sementara serat larut antara lain pektin, gum, musilase, glukan dan alga Almatsier 2001. Umumnya, tanaman mengandung kedua-duanya dengan serat tidak larut pada porsi yang lebih banyak. Komponen-komponen serat pangan sebagian besar ditemukan dalam struktur dinding sel, seperti selulosa, hemiselulosa, substansi pektat, dan polisakarida lain. Hasil penelitian menunjukan bahwa kurangnya konsumsi serat terbukti secara konsisten menimbulkan tiga dampak negatif bagi kesehatan, antara lain konstipasi, meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, dan meningkatnya fluktuasi kadar insulin dan glukosa darah AACC 2001. Serat pangan memiliki sifat laksatif atau mencuci perut. Konsumsi serat pangan menyebabkan feses lebih meruah, mengurangi waktu transit feses di usus besar, meningkatkan frekuensi dan keteraturan defekasi, dan mengurangi kekerasan feses. Efek lebih lanjut antara lain pH kolon menurun, populasi mikroflora usus meningkat, disertai perubahan distribusi spesies mikroflora yang lebih menguntungkan. Serat pangan juga memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol darah yang menjadi biomarker dari penelitian terhadap penyakit jantung koroner. Sebuah penelitian selama 12 tahun terhadap 859 pria dan wanita di California menunjukkan bahwa penambahan serat pangan sebanyak 6 gram per hari mengurangi kematian akibat penyakit jantung koroner Khaw Barret-Cormor 1987. Banyak penelitian membuktikan secara signifikan mengenai penurunan resiko diabetes akibat meningkatnya konsumsi serat pangan. Kiehm et al. 1976, Anderson dan Ward 1979, Rivellese 1980, dan Simpson et al. 1981 mendesain dan mengadakan serangkaian penelitian yang menunjukkan efek positif diet tinggi serat pada penderita diabetes mellitus. Efek positif dari peningkatan konsumsi serat pangan tampak pada penderita diabetes tipe 1 dan tipe 2, antara lain meningkatkan toleransi terhadap glukosa, mengurangi kebutuhan insulin, meningkatkan sensitifitas insulin jaringan periferal, memperbaiki kontrol berat badan, dan berpotensi menurunkan tekanan darah secara konsisten. Serat pangan larut ternyata menunjukkan efek terbaik dalam hal menurunkan kolesterol dan resiko penyakit diabetes. Sementara serat tak larut lebih berperan dalam menurunkan waktu transit di usus. Sebuah meta analisis atas 67 penelitian yang berfokus pada serat pangan larut menunjukkan adanya pengurangan kolesterol darah secara signifikan seiring dengan meningkatnya 11 konsumsi serat pangan Brown et al. 1999. Hal ini diduga karena serat pangan larut mengikat asam dan garam empedu sehingga reabsorpsinya dapat dicegah. Dengan demikian, garam empedu dibuang dari sirkulasi usus-hati entero-hepatic circulation dan hanya sedikit yang tersedia untuk absorpsi lipid di usus. Hal ini akan memacu ekskresi sterol dan secara tidak langsung dapat menurunkan kolesterol yang disirkulasi Malkki 2001. Selain itu, produk fermentasi serat pangan oleh mikroflora di dalam kolon, berupa asam lemak rantai pendek terutama asam propionat, dapat juga memberikan kontribusi pada penurunan kolesterol. Hara et al. 1999 melaporkan bahwa pada tikus, asam lemak rantai pendek dapat menekan sintesis kolesterol baik di liver maupun di usus. Serat tidak larut lebih berperan dalam mencegah wasir, sembelit, divertikulosis, dan kanker kolon Burkitt 1983. Hal ini disebabkan serat tak larut mempunyai sifat mudah menahan air sehingga menyebabkan feses meruah bulky dan mudah dikeluarkan. Sifat meruah ini juga disebabkan oleh bertambahnya massa bakteri dalam feses yang kaya serat, sebab serat pangan merupakan substrat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroflora usus.

2.7 Pektin