Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN KANDUNGAN SERAT PANGAN

KOLESOM (

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd) DENGAN

PEMUPUKAN ORGANIK DAN ANORGANIK

PADA PERBEDAAN MUSIM

SKRIPSI

HARUM FADHILATUNNUR

F24080009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013


(2)

META ANALYSIS OF DIETARY FIBER CONTENT IN WATERLEAF

(

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd) WITH ORGANIC AND INORGANIC

FERTILIZATION AT DIFFERENT SEASONS

Harum Fadhilatunnur1, Didah Nur Faridah1, Nuri Andarwulan2 1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

2

Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone: +6285711511615, email: harum.itp@gmail.com

ABSTRACT

Waterleaf (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) is one of tropical plant and has long been used as herbs and vegetable in daily menu. Its leaves are fleshy and sticky, presumably due to the high pectin content. Pectin is soluble dietary fiber component that performs ability to reduce cholesterol and LDL level in blood. The aim of this research was to study the effect of organic and inorganic fertilization as well as the cultivating season to the level of TDF, IDF, SDF and pectic substance in waterleaf. The research was conducted in five steps, i.e. cultivation, sample preparation, chemical analysis, data analysis, and meta analysis. The samples were ten waterleaf cultivated in dry season with organic and inorganic fertilizations, each in five different concentration of fertilizers. The TDF, IDF, SDF, and pectic substance in waterleaf cultivated with organic fertilizer were 40.52 2.72; 27.12 1.54; 13.40 1.68; and 6.58 0.74 g/100 dry basis respectively, while in waterleaf with inorganic fertilizer were 42.57 1.84; 27.12 0.75; 15.41 1.85; and 6.01 0.35 g/100 g dry basis respectively. All parameters, except IDF, were significantly different (p < 0.05). The meta analysis showed that the dry season waterleaf contain less TDF and IDF, and more SDF and pectic substance than the wet season waterleaf do (p < 0.01). The SDF and pectic substance content of the dry season waterleaf are relatively higher compared to other vegetables. It indicates that waterleaf is potential to be developed as functional food for lowering cholesterol and LDL level in blood.

Keyword : Talinum triangulare (Jacq.) Willd, organic and inorganic fertilizer, TDF, IDF, SDF, pectic substance.


(3)

Harum Fadhilatunnur. F24080009. Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pengaruh Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim. Di bawah bimbingan Didah Nur Faridah dan Nuri Andarwulan. 2013.

RINGKASAN

Kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) adalah salah satu jenis sayuran tropis sekaligus obat herbal yang banyak tumbuh di Indonesia. Daun kolesom ini dapat dimakan mentah (dilalap) atau ditumis. Daun kolesom cukup lengket dan berair ketika dipatahkan. Hal ini diduga karena kandungan pektinnya yang tinggi. Pektin merupakan komponen serat larut air, sehingga dapat berfungsi menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kandungan pektin ini merupakan salah satu keunggulan kolesom sebab sebagian besar sayuran yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia didominasi serat pangan tidak larut yang lebih berkhasiat melancarkan pencernaan, tidak berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah. Dengan kandungan serat pangan yang lebih seimbang, diharapkan kolesom dapat menjadi sayuran yang tidak hanya mampu melancarkan sistem pencernaan, tetapi juga menjaga kadar kolesterol dalam darah.

Penelitian ini terdiri atas lima tahap antara lain tahap budidaya sampel, tahap persiapan sampel, tahap analisis kimia, tahap analisis data, dan tahap meta analisis. Budidaya sampel tanaman kolesom dilakukan oleh Mualim (2012), terdiri atas sepuluh tanaman kolesom yang dibudidayakan pada musim kemarau dengan pemupukan organik dan anorganik, masing-masing dengan lima konsentrasi pupuk yang berbeda. Sampel yang digunakan adalah bagian tanaman kolesom yang dapat dimakan, yaitu sepanjang 15 cm dari pucuk. Sampel tersebut kemudian dikeringkan menggunakan oven selama 17 jam pada suhu 60C. Analisis kimia dan perhitungannya dilakukan untuk mengetahui kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat di dalam sampel. Data dianalisis menggunakan uji t dan ANOVA untuk melihat signifikansi data masing-masing perlakuan. Sementara itu, meta analisis dilakukan dengan membandingkan data penelitian dengan data Prabekti (2012) mengenai serat pangan pucuk kolesom pada musim hujan dan Mualim (2012) mengenai metabolit primer dan sekunder pucuk kolesom dengan pengaruh musim dan pemupukan. Uji t dilakukan untuk membandingkan kandungan serat pangan pucuk kolesom dengan perlakuan pemupukan organik dan anorganik pada musim yang berbeda (kemarau dan hujan).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sampel yang ditanam pada musim kemarau kadar TDF, SDF, dan substansi pektat antara perlakuan pemupukan organik dan anorganik berbeda nyata (p < 0.05) sedangkan kadar IDF tidak berbeda nyata (p > 0.05). Rata-rata kadar TDF dan SDF sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan anorganik lebih tinggi dibandingkan pada sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan organik (p < 0.05) sedangkan rata-rata kadar substansi pektat menunjukkan pola sebaliknya. Sementara itu, rata-rata kadar IDF sama antara kedua jenis pemupukan.

Pada sampel musim kemarau, rata-rata kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat basis kering sampel kolesom organik sebesar 40.52 ± 2.72 g/100 g; 27.12 1.54 g/100 g; 13.40 g/100 g ; serta 6.58 0.74 g/100 g secara berturut-turut. Sementara itu, rata-rata kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat basis kering sampel kolesom anorganik sebesar 42.57 ± 1.84 g/100 g; 27.12 0.75 g/100 g; 15.41 g/100 g; dan 6.01 0.35 g/100 g secara berturut-turut.

Penelitian sebelumnya oleh Prabekti (2012) melaporkan bahwa pada musim hujan, tanaman kolesom yang diberi pupuk organik memiliki rata-rata kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat basis kering sebesar 73.04 g/100 g; 68.42 g/ 100 g; 4.62 g/100 g dan 3.64 g/100 g secara berturut-turut. Pada perlakuan pemupukan anorganik, tanaman kolesom memiliki rata-rata TDF, IDF, SDF, substansi pektat basis kering sebesar 78.74 g/ 100 g; 73.55 g/ 100 g; 5.18 g/100 g dan 4.27 g/100 g secara berturut-turut.

Hasil meta analisis menunjukkan bahwa sampel kolesom yang ditanam pada musim kemarau memiliki kadar TDF dan IDF yang lebih rendah serta SDF dan substansi pektat yang lebih tinggi dibandingkan kolesom yang ditanam pada musim hujan. Semua parameter berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 95% (p < 0.01). Ini artinya perbedaan musim berpengaruh nyata pada kadar serat pangan, baik yang dipupuk secara organik maupun anorganik. Mualim (2012) menunjukkan bahwa tanaman kolesom yang diberi pupuk organik menghasilkan pucuk sebanyak 243.70 g/ tanaman. Jumlah ini 11.64% lebih besar dari produksi pucuk kolesom yang diberi pupuk anorganik, yakni sebesar 218.28 g/ tanaman. Dengan asumsi kadar air kolesom 90.39% (Prabekti 2012), maka akan diperoleh sekitar 11.795 g serat pangan/ tanaman dari


(4)

kolesom yang dipupuk secara organik dan sekitar 11.825 g serat pangan/ tanaman dari kolesom yang dipupuk secara anorganik.

Pada kedua musim, kolesom yang diberi perlakuan pemupukan organik 3 memberikan asupan serat pangan relatif lebih seimbang dibandingkan sampel lainnya. Hal ini didukung dengan produksi pucuk yang lebih tinggi pada kolesom yang dipupuk secara organik dibandingkan kolesom yang dipupuk secara anorganik. Pada perlakuan ini koleosm dipupuk dengan pupuk kandang, guano, dan abu sekam dengan dosis N 46.01 kg/ha, P2O5 21.60 kg/ha, dan K2O 60.5


(5)

ANALISIS PERBANDINGAN KANDUNGAN SERAT PANGAN

KOLESOM (

Talinum Triangulare (

Jacq.) Willd) DENGAN

PEMUPUKAN ORGANIK DAN ANORGANIK

PADA PERBEDAAN MUSIM

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

HARUM FADHILATUNNUR F24080009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(6)

Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada

Perbedaan Musim Nama : Harum Fadhilatunnur NIM : F24080009

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Didah Nur Faridah, M.Si.) (Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si.) NIP. 19711117.199802.2.001 NIP. 19630701.198811.2.001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Si) NIP 19680526.199303.1.004


(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis PerbandinganKandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013 Yang membuat pernyataan ,

Harum Fadhilatunnur F2408009


(8)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya


(9)

BIODATA PENULIS

Harum Fadhilatunnur. Lahir di Rembang, 15 Maret 1990 dari pasangan ayah Purwanto dan ibu Eny Sakdiyatuz Zahrok, sebagai anak terakhir dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Pati. Pada tahun yang sama, penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam beberapa organisasi, antara lain Himpunan Keluarga Mahasiswa Rembang di Bogor (HKRB) pada 2008-2013 dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) pada 2009-2011. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Fisika dan praktikum Teknologi Pengolahan Pangan selama satu semester. Penulis juga pernah menjadi juara 3 pada kompetisi Pengantar Matematika pada 2008, mendapatkan dana hibah DIKTI pada program PKM kewirausahaan pada tahun 2010, dan menjadi peserta sekaligus penyaji pada seminar World Congress IAAS (International Students Association on Agriculture and Related Sciences) pada 2010. Pada tahun 2011, penulis berkesempatan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Universiti Putra Malaysia (UPM) selama satu semester.


(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian dengan judul Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Kolesom (Talinum triangulare

(Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim dilaksanakan di IPB pada bulan Maret-Desember 2012.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama melakukan tugas akhir, di antaranya:

1. Keluarga tercinta, Ayah Purwanto, Ibu Eny Sakdiyatus Zahro, Mbak Irma, Mbak Iyan, dan Mas Pandu, yang selalu mendukung, mendoakan, mencurahkan kasih sayang kepada penulis;

2. Dr. Ir. Didah Nur Faridah, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si selaku pembimbing skripsi penulis atas segala bimbingan dan arahan selama pelaksanaan tugas akhir;

3. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. selaku dosen penguji sidang atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini;

4. Para teknisi di laboratorium, Mbak Vera, Pak Sobirin, Pak Rojak, Pak Yahya, Mbak Nurul atas segala bimbingan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian;

5. Keluarga kedua di HKRB (Himpunan Keluarga Rembang di Bogor) khususnya HKRB 45; Robin, Ita, Vivi, Tain, Kamal, Vita, Buyung, dll. Terima kasih atas kasih sayang, bantuan, dukungan, dan canda tawa yang dibagi bersama;

6. Sahabat-sahabat tercinta satu atap, A2/216 (Tanti, Gya, Andin) dan Harmoni 1 yang selalu menyemangati dan memberi keceriaan;

7. Teman-teman seperjuangan dan sepermainan di ITP 45, Mega, Hilda, Nisa Nurulhuda, Bangun, Elva, Atikah, Mbak Nisa, Sarinah, Angel, Ati, Ary, Ichal, Madun, Mbak Yun, Tiur dan semua teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala doa, semangat, bantuan, diskusi, canda tawa, dan persahabatan yang indah bahkan di saat-saat terberat;

8. Teman-teman PPI UPM Malaysia dan program MIT atas bagi pengalaman dan persaudaraan selama mengikuti program pertukaran mahasiswa di UPM;

9. Kak Leo Mualim, dan Kak Yolanda Silvia Prabekti atas diskusi dan arahan yang menambah wawasan;

10. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi.

Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu pangan. Terima kasih.

Bogor, Februari 2013 Harum Fadhilatunnur


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penulisan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd)... 3

2.2 Budidaya Organik dan Anorganik ... 4

2.3 Pemupukan ... 5

2.3.1 Nitrogen ... 6

2.3.2 Fosfor ... 7

2.3.3 Kalium ... 7

2.4 Biosintesis Karbohidrat pada Tanaman ... 8

2.5 Serat Pangan ... 10

2.6 Pektin ... 11

III. BAHAN DAN METODE ... 13

3.1 Bahan dan Alat ... 13

3.2 Metode Penelitian... 13

3.2.1 Tahap Budidaya ... 13

3.2.2 Tahap Persiapan Sampel ... 14

3.2.3 Tahap Analisis ... 14

Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) ... 15

Analisis Total Serat Pangan (AOAC Official Methods 985.29) ... 15

Analisis Serat Pangan Tidak Larut (AOAC Official Methods 991.42) ... 16

Analisis Serat Pangan Larut (by difference) ... 17

Analisis Kadar Substansi Pektat ... 17

3.2.4 TahapAnalisis Data ... 14

3.2.5 Tahap Meta Analisis ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Kadar Serat Pangan Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Musim Kemarau ... 19

4.2 Analisis Perbandingan Kadar Serat Pangan Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Dua Musim ... 26

4.3 Perbandingan Produksi Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Dua Musim yang Berbeda ... 29

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Simpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan Talinum triangulare (Jacq.) Willd ... 4

Tabel 2. Perlakuan pemupukan organik tanaman kolesom ... 13

Tabel 3. Perlakuan pemupukan anorganik tanaman kolesom ... 14

Tabel 4. Kadar serat pangan berbagai sayuran ... 21

Tabel 5. Kadar serat pangan kolesom yang ditanam pada musim kemarau (g/100 g sampel segar) ... 22

Tabel 6. Kadar pektin pada beberapa jenis buah dan sayuran ... 25


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman kolesom ... 3

Gambar 2. Reaksi fotosintesis (Taiz and Zeiger 2002) ... 8

Gambar 3. Siklus Calvin (Campbell et al. 2002)... 9

Gambar 4. Struktur dasar substansi pektat (Christian dan Vaclavik 2008) ... 11

Gambar 5. Lintasan biosintesis SDF, modifikasi dari Leowus (2006) dan Cseke et al. (2006) .. 12

Gambar 6. Histogram kadar serat pangan pucuk kolesom pada musim kemarau (a) TDF (b) IDF (c) SDF ... 20

Gambar 7. Histogram kadar substansi pektat pucuk kolesom pada musim kemarau ... 23

Gambar 8. Histogram perbandingan kadar substansi pektat pucuk kolesom pada musim hujan dan kemarau ... 24

Gambar 9. Histogram perbandingan kadar SDF dan substansi pektat pucuk kolesom pada musim kemarau ... 24


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kadar air sampel kering ... 36

Lampiran 2. Analisis kadar TDF basis kering ... 38

Lampiran 3. Analisis kadar protein residu TDF ... 40

Lampiran 4. Analisis kadar abu residu TDF... 42

Lampiran 5. Analisis kadar IDF basis kering ... 43

Lampiran 6. Analisis kadar protein residu IDF ... 45

Lampiran 7. Analisis kadar abu residu IDF ... 47

Lampiran 8. Analisis kadar SDF basis kering ... 48

Lampiran 9. Analisis kadar substansi pektat ... 50

Lampiran 10. Analisis keragaman (ANOVA) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik... 52

Lampiran 11. Analisis keragaman (ANOVA) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik... 53

Lampiran 12. Analisis keragaman (ANOVA) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik... 54

Lampiran 13. Analisis keragaman (ANOVA) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik ... 55

Lampiran 14. Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik... 56

Lampiran 15. Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik... 57

Lampiran 16. Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik... 58

Lampiran 17. Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik ... 59

Lampiran 18. Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda ... 60

Lampiran 19. Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ... 61

Lampiran 20. Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda ... 62

Lampiran 21. Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ... 63

Lampiran 22. Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda ... 64

Lampiran 23. Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ... 65

Lampiran 24. Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda ... 66

Lampiran 25. Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ... 67


(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Sayuran merupakan bagian dari menu yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat Indonesia, baik dalam keadaan mentah (dilalap) maupun diolah. Sayuran bersama dengan buah-buahan merupakan sumber komponen-komponen gizi yang berguna bagi tubuh, seperti vitamin, mineral, antioksidan, dan serat pangan.

Secara umum serat dapat digolongkan menjadi serat pangan (dietary fiber) dan serat kasar (crude fiber). Serat pangan terbagi menjadi serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut memiliki fungsi utama menurunkan kolesterol darah, sedangkan serat pangan tidak larut berfungsi menurunkan waktu transit makanan dalam usus sehingga melancarkan buang air besar dan mencegah kanker kolon.

Kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) adalah salah satu jenis sayuran tropis yang banyak tumbuh di Indonesia. Selain dikenal sebagai tanaman obat tradisional, kolesom juga banyak dikonsumsi sebagai sayuran (Rifai 1994), khususnya bagian daun dan pucuk muda. Daun kolesom ini dapat dimakan mentah (dilalap) atau ditumis. Daun kolesom berair dan cukup lengket ketika dipatahkan. Hal ini diduga karena kandungan pektinnya yang cukup tinggi. Pektin merupakan komponen serat larut, sehingga dapat berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah (Aja et al. 2005). Kandungan pektin ini merupakan salah satu keunggulan kolesom sebab sebagian besar sayuran yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia didominasi serat tidak larut yang lebih berkhasiat melancarkan pencernaan, tidak berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah (Aja et al. 2005). Dengan kandungan serat pangan yang lebih seimbang, diharapkan kolesom dapat menjadi sayuran yang tidak hanya mampu melancarkan sistem pencernaan, tetapi juga menjaga kadar kolesterol dalam darah.

Nilai gizi suatu tanaman didefinisikan sebagai komposisi kimia dan potensi daya cerna yang merupakan faktor kimiawi, fisik, dan struktural yang diturunkan pada tanaman (Moore, 1994) tergantung pada faktor eksternal, termasuk musim tanam dan teknik budidaya. Beberapa studi menunjukkan bahwa budidaya organik menghasilkan tanaman dengan komposisi nilai gizi yang berbeda dengan tanaman anorganik. Studi tersebut melaporkan bahwa tanaman organik memiliki kandungan gula, vitamin C, besi, magnesium, fosfor, dan total polifenol yang lebih tinggi daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Carbonaro et al. 2002; Young et al. 2005; Abu-Zahra et al. 2007; Ren et al. 2008; Worthington 2001). Selain itu, senyawa toksik pada tanaman organik, misalnya nitrat, ditemukan dalam jumlah lebih rendah daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Wang et al. 2008).

Penelitian sebelumnya mengenai kolesom menunjukkan bahwa kolesom yang dipupuk secara organik memiliki bobot pucuk, vitamin C, dan total fenolik yang lebih tinggi serta kadar protein, flavonoid, dan antosianin yang lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik. Namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik (p > 0.05). Di sisi lain, kandungan klorofil dan total gula pada kolesom yang yang dipupuk secara organik lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik pada taraf signifikansi 0.05 (Mualim 2012). Lebih lanjut Mualim (2012) menunjukkan bahwa kolesom yang ditanam pada musim kemarau memiliki bobot basah pucuk, protein, vitamin C, total fenolik, dan flavonoid yang lebih tinggi serta total gula dan klorofil yang lebih rendah daripada kolesom yang ditanam pada musim hujan (p < 0.05). Sementara itu, Prabekti (2012) melaporkan bahwa kolesom yang dipupuk secara organik memiliki kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat yang lebih rendah (p < 0.05)


(16)

daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik. Sampel kolesom yang ditanam pada musim hujan ini menunjukkan kandungan serat pangan yang tinggi, khususnya TDF dan IDF.

Berbagai hasil penelitian tersebut mendorong pada hipotesis bahwa ada kemungkinan kolesom akan menghasilkan komposisi serat pangan yang berbeda antara tanaman yang dibudidayakan secara organik dan anorganik pada musim yang berbeda. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengungkap mengenai pengaruh teknik budidaya dan perbedaan musim terhadap komposisi atau kadar serat pangan khususnya pada tanaman kolesom sehingga hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan membandingkan (meta analisis) komposisi serat pangan (TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat) pada tanaman kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan perlakuan pemupukan organik dan anorganik pada musim yang berbeda.

1.3

Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai komposisi komponen serat pangan (TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat) pada tanaman kolesom (Talinum triangulare

(Jacq.) Willd) yang diberi perlakuan pemupukan organik dan anorganik pada musim yang berbeda sehingga tercipta peluang untuk pemanfaatan lebih lanjut.


(17)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolesom (

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd)

Kolesom atau Talinum triangulare (Jacq) Willd adalah tanaman herbal sukulen, akar berbentuk silinder menggembung, tinggi antara 30-100 cm, daun berselang-seling dengan ujung membulat. Tanaman ini berumah satu, melakukan penyerbukan sendiri, berbunga sepanjang tahun dan mekar di pagi hari. Daunnya berwarna hijau muda, tebal berdaging, filotaksis spiral, kadang berhadapan. Bunganya berwarna merah jambu keunguan dengan tangkai bunga berbentuk segitiga dan susunan bunganya berbentuk tandan (racemus) (Anna 2010). Tanaman ini umumnya dikembangbiakkan dengan cara stek (USDA NRCS 2011). Gambar tanaman kolesom dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman kolesom

Kolesom berasal dari Amerika Selatan dan dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis, seperti Afrika Barat, Afrika Selatan, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kolesom dibudidayakan secara luas di Nigeria dan merupakan salah satu sayuran daun terpenting di negara tersebut. Tanaman ini memiliki beberapa sebutan, antara lain waterleaf karena teksturnya yang berair, American ginseng, Philipine spinach, Ceylon spinach, daun ginseng, dll (Adeyemi et al. 2011). Daun dan pucuk mudanya berair dan lengket saat dipatahkan, diduga akibat kandungan pektinnya yang tinggi. Kolesom mudah tumbuh pada jenis tanah apapun dan dapat menyerap segala jenis mineral logam yang terkandung dalam tanah dalam jumlah besar tanpa terkecuali, termasuk arsenik (USDA NRCS 2011).

Di Indonesia khususnya di daerah Jawa Barat, tanaman kolesom dikenal sebagai sayuran dan tanaman herbal. Pucuk dan daun muda tanaman ini sering dikonsumsi dengan cara dilalap atau ditumis. Kolesom enak dikonsumsi dan tidak menimbulkan rasa pahit serta kaya vitamin A dan C serta zat besi dan kalsium (Jircas 2010). Namun, kandungan asam oksalatnya yang relatif tinggi (1-2%) beresiko menimbulkan masalah bagi penderita penyakit ginjal yang mengonsumsinya secara berlebihan.

Daun, batang, dan umbi tanaman kolesom diketahui dapat berkhasiat sebagai obat herbal. Penduduk Kalimantan Selatan biasa menggunakan daun kolesom untuk campuran bedak dingin (Susanti et al. 2008). Selain itu, menurut Aiyeloja dan Bello (2006) masyarakat di Nigeria menggunakan air perasan dari daun kolesom sebagai obat hipertensi yang diminum langsung. Menurut Hargono (2005), umbi kolesom dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi kelemahan tubuh atau obat kuat (tonikum) pengganti ginseng (Panax ginseng). Hutapea (1994) dan Hargono (2005) menyebutkan bahwa pemanfaatan umbi kolesom sebagai obat tradisional memiliki efek farmakologis sebagai afrosidiaka, mengobati neurasthenia (kelelahan tubuh), debilitas (kelemahan tubuh) setelah sembuh dari penyakit kronis. Susanti (2006) menyatakan


(18)

bahwa umbi kolesom memiliki kandungan alkaloid, steroid, saponin, dan tanin. Daunnya mengandung alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavanoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida (Mualim 2009).

Berikut adalah klasifikasi Talinum triangulare (Jacq.) Willd (USDA NRCS 2011). Kingdom Plantae

Subkingdom Tracheobionta

Superdivisi Spermatophyta

Divisi Magnoliophyta

Kelas Magnoliopsida

Subkelas Caryophyllidae

Ordo Caryophyllales

Famili Portulacaceae

Genus Talinum Adans.

Spesies Talinum triangulare (Jacq.) Willd

Hasil analisis proksimat dan serat pangan Talinum triangulare (Jacq.) Willd disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Talinum triangulare (Jacq.) Willd

Kandungan Satuan Kadar (Basis Kering) Kadar (Basis Basah) Karbohidrata mg/g 10.87±3.99 12.38±2.76 Proteina % 3.52±0.32 18.75±2.72 Minyaka % 3.52 1.42 Serat kasara % 12.00 8.50 Steroida mg/g 106.61±2.53 11.37±1.19 β-karotena

mg/g 114.5±1.49 40.02±0.50 TDFb g/100 g 73.041 dan 78.742 6.361 dan 6.742 IDFb g/100 g 68.421 dan 73.552 5.961 dan 6.292 SDFb g/100 g 4.621 dan 5.182 0.401 dan 0.442 Substansi

pektatb g/100 g 3.64

1

dan 4.272 0.351 dan 0.402

a

Aja et al. (2010)

b

Prabekti (2012)

1

perlakuan pemupukan organik

2

perlakuan pemupukan anorganik

2.2

Budidaya Organik dan Anorganik

Menurut SNI 01-6729-2002, sistem pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat. Jika memungkinkan, hal tersebut dapat dicapai dengan penggunaan budaya, metode biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem. Selain aman terhadap lingkungan, budidaya organik dirasa aman


(19)

pula terhadap kesehatan sebab tidak menggunakan unsur-unsur kimia sintetis yang dikhawatirkan meninggalkan residu pada produk tanaman (Notohadiprawiro 2002). Sistem pertanian ini menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Sebaliknya, pertanian anorganik dirancang untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman dengan penggunaaan senyawa-senyawa sintetik, baik berupa pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Sistem inilah yang saat ini lebih banyak diterapkan dalam masyarakat.

Sebenarnya, pertanian organik ini sudah menjadi kearifan atau pengetahuan tradisional yang membudaya di kalangan kaum tani di Indonesia. Namun, teknologi pertanian organik ini mulai ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan agrokimia diterapkan di bidang pertanian pada era revolusi hijau. Setelah muncul persoalan dampak lingkungan dan kesehatan akibat penggunaan bahan kimia di bidang pertanian, teknologi pertanian organik yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan yang sehat mulai diperhatikan lagi (Sutanto 2002).

Kristensen et al. (2012) dalam studinya menyatakan bahwa hasil panen tanaman yang dibudidayakan secara anorganik lebih tinggi daripada hasil panen tanaman yang sama yang dibudidayakan secara anorganik. Oat, rye, selada, bawang merah, dan kol yang ditanam secara organik menghasilkan panen rata-rata hanya 82% dari hasil panen tanaman sama yang dibudidayakan secara anorganik. Meskipun demikian beberapa studi menunjukkan bahwa tanaman organik mengandung komponen-komponen bioaktif lebih banyak serta senyawa toksik yang lebih rendah daripada tanaman anorganik. Sebagai contoh, kandungan total polifenol pada tanaman organik lebih tinggi daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Carbonaro et al. 2002; Young et al. 2005; Abu-Zahra et al. 2007). Hallmann dan Rembialkowska (2006) menemukan bahwa tanaman yang dibudidayakan secara organik mengandung lebih banyak gula dibandingkan tanaman anorganik. Jus bayam, bawang bombai, dan kol organik memiliki aktivitas antioksidan 50-120% lebih tinggi daripada jus dari komoditas sejenis yang dibudidayakan secara anorganik (Ren et al. 2008). Studi lain melaporkan bahwa rata-rata kandungan vitamin C, besi, magnesium, dan fosfor pada beberapa tanaman organik berturut-turut 27.0; 21.1; 29.3; dan 13.6% lebih tinggi dibandingkan dengan produk anorganik (Worthington 2001). Senyawa berbahaya seperti nitrat ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada tanaman organik dibandingkan dengan tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Wang et al. 2008). Mualim (2012) melaporkan bahwa kolesom yang dipupuk secara organik memiliki bobot pucuk, vitamin C, dan total fenolik yang lebih tinggi serta kadar protein, flavonoid, dan antosianin yang lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik. Namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik (p > 0.05). Di sisi lain, kandungan klorofil dan total gula pada kolesom yang yang dipupuk secara anorganik lebih tinggi daripada kolesom yang dipupuk secara organik (Mualim 2012).

Pengaruh pembudidayaan organik dan anorganik terhadap kadar total serat pangan maupun pektin pada kolesom belum banyak diteliti. Perbedaan hasil biosintesisnya pun belum diketahui.

2.3

Pemupukan

Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah baik yang organik maupun anorganik dengan maksud untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan bertujuan meningkatkan produksi tanaman dalam keadaan faktor keliling atau lingkungan yang baik (Sutedjo 1987). Sebenarnya, unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman telah tersedia di dalam tanah, namun jumlahnya seringkali tidak mencukupi karena terus menerus diserap tanaman untuk


(20)

pertumbuhan dan terbawa oleh air irigasi atau air hujan. Oleh karena itu, diperlukan pemupukan untuk mempertahankan pertumbuhan dan produktivitas tanaman sesuai yang diinginkan.

Terkait dengan budidaya organik dan anorganik, pupuk pun terbagi atas pupuk organik dan anorganik. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kelebihan pupuk anorganik adalah kandungan nutriennya yang lebih tersedia bagi tanaman. Nutrien pupuk anorganik sudah dalam bentuk ion-ion yang mudah larut sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman sehingga unsur-unsur tersebut lebih mudah digunakan di dalam proses fotosintesis (Lingga dan Marsono 2007; Hasibuan 2006). Sementara itu, pupuk organik memiliki kandungan mineral yang lebih rendah dan membutuhkan waktu lebih lama untuk diserap tanaman sebab kandungan di dalamnya masih berupa senyawa organik kompleks yang perlu didekomposisi terlebih dahulu sebelum dapat digunakan oleh tanaman (Sutedjo 1987). Oleh karena itu, umumnya tanaman yang dibudidayakan menggunakan pupuk organik membutuhkan waktu panen sekitar 2-3 minggu lebih lama sebelum dapat dipanen (Lingga dan Marsono 2007). Kelebihan pupuk organik adalah sifatnya yang mampu menggemburkan lapisan tanah permukaan (top soil), meningkatkan jasad renik dalam tanah, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas tanah (Sutedjo 1987).

Apapun jenis pupuknya, pemupukan harus memperhatikan ketercukupan kebutuhan hara tanaman. Menurut Hakim et al. (1986), unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang besar, terdiri atas C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S. Unsur hara mikro merupakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah kecil, terdiri atas Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co.

2.3.1 Nitrogen

Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang umumnya diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman, misal pembentukan daun, batang, dan akar. Namun, apabila pemberian unsur ini terlalu banyak akan menghambat pembungaan dan pembuahan pada tanaman. Nitrogen tersedia dalam jumlah besar di alam. Namun N2 di atmosfer

maupun yang terikat di dalam tanah tidak bisa dimanfaatkan oleh tanaman. Nitrogen hanya bisa diserap dalam bentuk NO3- (nitrat) dan NH4+ (amonium). Ikatan dengan hidrogen, yang mereduksi

N, dapat terbentuk karena petir, oleh organisme penambat N, atau secara komersial dengan proses Haber-Bosch (Gardner et al. 1991). Nitrat yang diserap selanjutnya akan segera tereduksi menjadi amonium oleh enzim yang mengandung molibdenum, yakni enzim nitrat reduktase dan nitrit reduktase (Sutedjo 1987).

Di dalam tanaman, nitrogen merupakan unsur pembentukan klorofil, alkaloid, dan protein seperti asam amino, enzim, dan nukleotida, berperan terhadap pembelahan dan pembesaran sel, serta berpengaruh terhadap penggunaan karbohidrat dan penyerapan nutrisi yang lain (Gardner et al. 1991; Tisdale et al. 1985). Nitrogen bergerak bebas dalam tubuh tumbuhan. Daun yang muda dan organ yang sedang tumbuh mungkin akan menarik nitrogen lebih banyak dan menyebabkan daun yang tua kekurangan nitrogen. Defisiensi unsur N ditandai dengan pertumbuhan yang terhambat (kerdil) dan menguning, terutama di bagian-bagian tanaman yang lebih tua. Gangguan pertumbuhan ini juga dapat menyebabkan penimbunan gula pada beberapa spesies, terutama jagung (Gardner et al. 1991).


(21)

2.3.2 Fosfor

Fosfor merupakan unsur yang umumnya terdapat dalam konsentrasi yang amat rendah di dalam tanah. Fosfor berasal dari pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun tanah. Fosfor bersifat immobil di dalam tanah dan memiliki retensi yang sangat tinggi sehingga ketersediaanya untuk dapat digunakan oleh tanaman umumnya sangat rendah (Gardner et al.

1991).

Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk bentuk ion bervalensi tunggal H2PO4- dan

kurang dalam bentuk ion bervalensi dua HPO42- (Gardner et al. 1991). Fungsi fosfor yang penting

pada tanaman antara lain untuk penyimpanan dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP), NAD, NADPH, serta merupakan komponen struktural penting dalam penyusunan asam nukleat, kofaktor enzim, fosfolipid, dan nukleotida (Jones 1998, Mosali et al. 2005). Fosfolipid seperti kolin dan lesitin memegang peranan penting dalam hal integritas membran.

Unsur ini bergerak dalam tubuh tumbuhan, dapat diredistribusikan dari bagian yang tua ke bagian yang lebih muda. Gejala defisiensi fosfor berlawanan dengan gejala defisiensi nitrogen, yaitu daun tidak menguning melainkan berwarna hijau gelap atau hijau kebiru-biruan. Pada tanaman yang mengalami defisiensi fosfor terjadi penimbunan gula, yang ditunjukkan dalam bentuk pigmentasi antosianin pada bagian dasar batang dan urat daun. Tanaman juga tumbuh kerdil (Gardner et al. 1991).

2.3.3 Kalium

Kalium berasal dari mineral primer dan sekunder, seperti misalnya tanah liat. Umumnya tanah yang kandungan tanah liatnya tinggi cenderung mengandung kalium yang relatif tinggi juga sedangkan tanah organik dan tanah berpasir umumnya rendah kandungan kaliumnya. Sumber utama kalium untuk tanaman berasal dari pelapukan mineral yang mengandung kalium (Gardner et al. 1991). Unsur ini tersedia di tanah dalam 3 bentuk, yakni: (1) bentuk kalium yang tidak dapat dipertukarkan, (2) bentuk kalium yang dapat dipertukarkan, (3) bentuk kalium yang larut. Kalium dalam bentuk yang tidak dapat dipertukarkan banyak terdapat dalam tanah, tapi pelepasannya lambat, sehingga sulit diserap tanaman. Kalium yang dapat dipertukarkan adalah bentuk yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh tanaman, ada yang cepat tersedia dan ada yang lambat tersedia. Kalium yang mudah diserap tanaman adalah kalium yang larut dalam larutan tanah (Reddy et al.

2000).

Kalium diserap dalam bentuk kation K+ yang monovalen. Unsur ini menyusun 80% dari kation yang didapati dalam floem. Kalium bukanlah bagian penyusun tubuh tanaman. Kalium disimpan dalam jumlah besar di vakuola. Dalam tanaman, kalium berperan sebagai kofaktor berbagai enzim, merangsang pertumbuhan akar, dan sebagai katalisator (Pettigrew 2008). Selain itu, kalium juga berperan dalam proses translokasi gula, metabolisme protein, serta memelihara potensial osmotik dan pengambilan air sehingga mempertahankan vigor tanaman (Gardner et al.

1991; Marchsner 1995; Jones 1998). Tanaman yang cukup kalium hanya kehilangan sedikit air karena kalium meningkatkan potensial osmotik dan mengatur membuka dan menutupnya stomata (Humble dan Hsiao 1969).

Defisiensi kalium terutama pada awal pertumbuhan akan mengakibatkan perubahan terhadap hasil karbohidrat dan secara cepat diikuti oleh berkurangnya konsentrasi K+ pada tanaman. Gejala kekurangan kalium akan mengakibatkan daun menjadi kering dan terbakar pada sisi-sisinya serta memperlihatkan klorosis yang tidak merata sehingga fotosintesis terganggu (Havlin et al. 2005). Gejala defisiensi kalium sering kali juga bergabung dengan gejala infeksi


(22)

patogen yang disebabkan oleh mikroorganisme sehingga sukar dibedakan, sebagaimana yang dilaporkan oleh Leibhart dan Murdock (1965) bahwa defisiensi kalium pada jagung berakibat pada meningkatnya jatuh rebah batang dan akar yang menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan penyakit. Jumlah akar penunjang menurun dan parenkim batang mengalami disintegrasi apabila pupuk kalium dihilangkan.

2.4

Pengaruh Musim terhadap Produksi dan Kualitas Tanaman

Suhu udara di daerah tropis umumnya kondusif untuk pertumbuhan tanaman selama setahun penuh. Namun, variasi musiman pada ketersediaan air, sinar matahari, dan unsur hara berpotensi membatasi produktivitas tanaman. Sebagai contoh laju fotosintesis mungkin terhambat akibat intensitas cahaya yang rendah selama musim hujan saat air melimpah atau akibat intensitas cahaya yang sangat tinggi pada musim kemarau (Wright dan Van Schaik 1994, Mulkey et al.

1996).

De Lima et al. (2001) melaporkan bahwa buah belimbing matang pada musim kemarau memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi serta asam oksalat yag lebih rendah dibanding buah pada musim hujan. Sementara itu, kandungan total solid terlarut tidak berbeda secara statistik antara kedua musim. Mohammadkhani dan Heidari (2008) meneliti akumulasi gula terlarut dan prolin pada tanaman jagung yang mengalami cekaman kekeringan. Studi ini melaporkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman kekeringan memiliki kandungan gula terlarut dan prolin yang tinggi serta kadar pati yang rendah pada akar dan pucuk tanaman. Hal ini diduga karena gula dan prolin memiliki peran penting dalam mekanisme pengaturan osmotik untuk meminimalkan kerusakan akibat dehidrasi.

Mualim (2012) mempelajari kualitas dan produksi pucuk kolesom (Talinum triangulare

(Jacq.) WIlld) akibat pengaruh perbedaan musim. Kolesom yang ditanam pada musim kemarau memiliki vitamin C, protein, total fenolik, total flavonoid, dan total antosianin yang lebih tinggi dibandingkan kolesom pada musim hujan. Sementara itu, kolesom yang ditanam pada musim hujan memiliki total gula dan total klorofil yang lebih tinggi dibandingkan kolesom pada musim kemarau.

2.5

Biosintesis Karbohidrat pada Tanaman

Karbohidrat dalam tanaman dibuat melalui proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses metabolisme dalam tanaman untuk membentuk karbohidrat dengan menggunakan karbon dioksida dari udara dan air dari dalam tanah dengan bantuan sinar matahari dan klorofil (Jumin 2005). Reaksi fotosintesis berlangsung di kloroplas dan terbagi menjadi dua, yakni fase terang dan fase gelap. Fase terang terjadi di tilakoid. Pada fase ini, energi cahaya ditangkap dan diubah menjadi energi kimiawi. Fase gelap (siklus Calvin) terjadi di stroma dan menghasilkan komponen gula dengan menggunakan energi reaksi di fase gelap (Gardner et al. 1991). Reaksi kimia fotosintesis ditampilkan pada Gambar 2 sementara reaksi dalam siklus Calvin ditampilkan pada Gambar 3.


(23)

Siklus Calvin terbagi menjadi tiga fase (Campbell et al. 2002):

1. Fiksasi karbon. Siklus Calvin memasukkan setiap molekul CO2 dengan menautkannya pada

senyawa berkarbon lima, ribulosa bisfosfat (RuBP). Hasilnya adalah senyawa intermediet yang langsung terpecah menjadi dua molekul 3-fosfogliserat.

2. Reduksi. Setiap molekul 3-fosfogliserat menerima gugus fosfat dari ATP membentuk 1,bisfosfogliserat. Selanjutnya NADPH mereduksi senyawa ini menjadi gliseraldehida 3-fosfat (G3P). ATP dan NADPH yang digunakan dalam siklus ini diperoleh dari reaksi gelap.

3. Regenerasi akseptor CO2 (RuBP). Untuk setiap 3 molekul CO2 yang difiksasi, dihasilkan 6

molekul G3P. Namun hanya 1 molekul G3P yang dapat digunakan untuk membentuk karbohidrat. Sebanyak 5 molekul G3P lainnya disusun ulang dengan menggunakan energi dari ATP menjadi tiga molekul RuBP. RuBP digunakan kembali untuk menerima CO2 lagi

dan siklus berlanjut. G3P dari siklus Calvin menjadi awal untuk jalur metabolisme yang mensintesis senyawa organik lainnya, termasuk glukosa, pati, serat, dan karbohidrat lainnya.

Gambar 3. Siklus Calvin (Campbell et al. 2002)

Dinding sel penyusun tanaman merupakan tempat terdapatnya serat pangan pada tanaman. Dinding sel ini utamanya disusun oleh komponen polisakarida selain komponen lainnya seperti protein struktural dan berbagai enzim. Di antara semua polisakarida, selulosa merupakan penyusun utama dan terbanyak. Dinding sel sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yakni dinding sel primer, lamella tengah, dan dinding sel sekunder. Dinding sel primer tersusun atas selulosa, hemiselulosa, substansi pektat, dan protein. Dinding sel sekunder umumnya tersusun atas hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Substansi pektat menjadi penyusun utama lamella tengah (Salisbury dan Ross 1995).

Menurut Selvendran (1983), proses pembentukan dinding sel tanaman terjadi dalam tiga tahapan utama yaitu:

1. Terbentuknya sekat pemisah selama daerah meristematis membelah akibat pembelahan sel. Pada saat ini middle lamella terbentuk yang utamanya tersusun atas substansi pektat.

2. Tahap penumpukan dan pengontrolan polimer-polimer pada dinding selama dinding sel tersebut membesar. Kandungan utama dinding yang terbentuk akibat penumpukan polimer ini


(24)

adalah polisakarida seperti substansi pektat, hemiselulosa, selulosa, dan beberapa glikoprotein. Dinding yang terbentuk tersebut disebut dinding sel pertama/ primer.

3. Tahap penebalan kedua yang menentukan struktur akhir dari sel-sel tertentu. Pada tahap ini terjadi penumpukan zat seperti lignin. Dinding sel yang terbentuk ini kemudian disebut dinding sel kedua/ sekunder yang komponen utamanya adalah selulosa, lignin, dan hemiselulosa sebagai matriks amorf. Komponen lain seperti gum, musilase, kutin, asam fitat, dan lainnya merupakan komponen serat dalam jumlah kecil dari dinding sel tanaman.

2.6

Serat Pangan

The American Association of Cereal Chemist mendefinisikan serat pangan sebagai bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat, yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar (AACC 2001). Serat pangan ini meliputi polisakarida (selulosa, hemiselulosa, gum, polifruktosa, oligosakarida, pektin, dan musilage), karbohidrat analog (dekstrin yang tidak tercerna, pati tidak tercerna, polideskstrosa, dll), lignin, dan bahan yang terkait dengan dinding sel tanaman (waxes, fitat, saponin, tanin, kutin, suberin).

Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dibedakan menjadi serat larut (soluble dietary fiber) dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber), tergantung kelarutan komponen serat tersebut di dalam air atau larutan bufer. Serat tak larut terutama terdiri atas yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, sementara serat larut antara lain pektin, gum, musilase, glukan dan alga (Almatsier 2001). Umumnya, tanaman mengandung kedua-duanya dengan serat tidak larut pada porsi yang lebih banyak. Komponen-komponen serat pangan sebagian besar ditemukan dalam struktur dinding sel, seperti selulosa, hemiselulosa, substansi pektat, dan polisakarida lain.

Hasil penelitian menunjukan bahwa kurangnya konsumsi serat terbukti secara konsisten menimbulkan tiga dampak negatif bagi kesehatan, antara lain konstipasi, meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, dan meningkatnya fluktuasi kadar insulin dan glukosa darah (AACC 2001). Serat pangan memiliki sifat laksatif atau mencuci perut. Konsumsi serat pangan menyebabkan feses lebih meruah, mengurangi waktu transit feses di usus besar, meningkatkan frekuensi dan keteraturan defekasi, dan mengurangi kekerasan feses. Efek lebih lanjut antara lain pH kolon menurun, populasi mikroflora usus meningkat, disertai perubahan distribusi spesies mikroflora yang lebih menguntungkan. Serat pangan juga memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol darah yang menjadi biomarker dari penelitian terhadap penyakit jantung koroner. Sebuah penelitian selama 12 tahun terhadap 859 pria dan wanita di California menunjukkan bahwa penambahan serat pangan sebanyak 6 gram per hari mengurangi kematian akibat penyakit jantung koroner (Khaw & Barret-Cormor 1987). Banyak penelitian membuktikan secara signifikan mengenai penurunan resiko diabetes akibat meningkatnya konsumsi serat pangan. Kiehm et al.

(1976), Anderson dan Ward (1979), Rivellese (1980), dan Simpson et al. (1981) mendesain dan mengadakan serangkaian penelitian yang menunjukkan efek positif diet tinggi serat pada penderita diabetes mellitus. Efek positif dari peningkatan konsumsi serat pangan tampak pada penderita diabetes tipe 1 dan tipe 2, antara lain meningkatkan toleransi terhadap glukosa, mengurangi kebutuhan insulin, meningkatkan sensitifitas insulin jaringan periferal, memperbaiki kontrol berat badan, dan berpotensi menurunkan tekanan darah secara konsisten. Serat pangan larut ternyata menunjukkan efek terbaik dalam hal menurunkan kolesterol dan resiko penyakit diabetes. Sementara serat tak larut lebih berperan dalam menurunkan waktu transit di usus.

Sebuah meta analisis atas 67 penelitian yang berfokus pada serat pangan larut menunjukkan adanya pengurangan kolesterol darah secara signifikan seiring dengan meningkatnya


(25)

konsumsi serat pangan (Brown et al. 1999). Hal ini diduga karena serat pangan larut mengikat asam dan garam empedu sehingga reabsorpsinya dapat dicegah. Dengan demikian, garam empedu dibuang dari sirkulasi usus-hati (entero-hepatic circulation) dan hanya sedikit yang tersedia untuk absorpsi lipid di usus. Hal ini akan memacu ekskresi sterol dan secara tidak langsung dapat menurunkan kolesterol yang disirkulasi (Malkki 2001). Selain itu, produk fermentasi serat pangan oleh mikroflora di dalam kolon, berupa asam lemak rantai pendek terutama asam propionat, dapat juga memberikan kontribusi pada penurunan kolesterol. Hara et al. (1999) melaporkan bahwa pada tikus, asam lemak rantai pendek dapat menekan sintesis kolesterol baik di liver maupun di usus.

Serat tidak larut lebih berperan dalam mencegah wasir, sembelit, divertikulosis, dan kanker kolon (Burkitt 1983). Hal ini disebabkan serat tak larut mempunyai sifat mudah menahan air sehingga menyebabkan feses meruah (bulky) dan mudah dikeluarkan. Sifat meruah ini juga disebabkan oleh bertambahnya massa bakteri dalam feses yang kaya serat, sebab serat pangan merupakan substrat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroflora usus.

2.7

Pektin

Substansi pektat, termasuk protopektin, asam pektinat, dan asam pektat merupakan polimer linear dari asam D-galakturonat yang dihubungkan dengan ikatan α-1-4 glikosidik. Sebagian dari gugus karboksilnya sering kali diesterifikasi dengan methanol (Christian dan Vaclavik 2008). Struktur kimia asam galakturonat dan pektin ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur dasar substansi pektat (Christian dan Vaclavik 2008)

Setiap ikatan glikosidik pada molekul substansi pektat adalah ikatan silang-planar, karena dibentuk dari reaksi antara satu gugs hidroksil yang terletak di atas bidang dari cincin pertama dengan gugus hidroksil yang terletak di bawah bidang cincin kedua. Konfigurasi ini membuat struktur polimer pektat menjadi berbentuk pita yang berputar (twisted). Ikatan silang-planar tidak dapat dicerna oleh system pencernaan manusia, sehingga substansi pektat dapat diklasifikasikan ke dalam serat pangan (Christian dan Vaclavik 2008).

Substansi pektat dapat dibagi menjadi tiga golongan, tergantung jumlah gugus metil ester yang terikat pada rantai polimer.

1. Protopektin merupakan polimer asam galakturonat dengan berat molekul besar dan banyak ditemukan di buah yang belum masak. Protopektin tidak larut dalam air, namun dapat dihidrolisis menjadi substansi pektat larut air, yakni asam pektinat dan pektin.

2. Asam pektinat adalah bentuk termetilasi dari asam galakturonat melalui hidrolisis enzimatis dari protopektin saat buah masak. Pektin sendiri merupakan asam pektinat dengan berat molekul besar. Asam pektinat ini larut air dan dapat membentuk gel.

3. Asam pektat adalah rantai pendek turunan dari asam pektinat saat buah terlalu masak. Enzim-enzim seperti poligalakturonase dan pektinesterase menyebabkan depolimerisasi dan


(26)

demetilasi asam pektinat. Demetilasi secara sempurna dari asam pektinat menghasilkan asam pektat, yang tidak dapat membentuk gel pektin.

.

Secara struktural, pektin merupakan campuran polisakarida dengan komponen utama polimer α-D-galakturonat yang mengandung gugus metil ester pada konfigurasi atom C-2. Komponen minor berupa polimer unit-unit α-L-arabinofuranosil bergabung dengan ikatan α-L-(1-5). Komponen minor lainnya adalah rantai lurus dari unit-unit β-D-galaktopiranosil yang mempunyai ikatan 1-4. Komposisi kimia pektin sangat tergantung pada sumber dan kondisi isolasinya. Jumlah unit asam anhidrogalakturonat setiap rantai adalah kurang dari 100 sampai lebih dari 1000 (Glicksman 1969). Pektin disintesis di badan golgi, lalu dikirim ke dinding sel malalui vesikel yang terikat pada membran. Jalur biosintesis pektin beserta komponen SDF lainnya ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Lintasan biosintesis SDF, modifikasi dari Leowus (2006) dan Cseke et al. (2006) Salisbury dan Ross (1995) menyebutkan bahwa pektin merupakan polisakarida yang menyusun 10-35% bagian dinding sel primer tanaman, khususnya di antara selulosa dan hemiselulosa, dan sebagian besar lamella tengah. Di dalam dinding sel, substansi pektat berfungsi sebagai elemen struktural bersama dengan selulosa dan hemiselulosa. Dalam lamella tengah senyawa substansi pektat berfungsi sebagai perekat antar sel.

Di industri pangan, pektin merupakan salah satu polisakarida penting karena sifat fungsionalnya sebagai hidrokoloid. Pektin digunakan secara luas sebagai pembentuk gel, pengental, dan penstabil makanan. Pektin sendiri banyak dijumpai pada buah-buahan dan sayur-sayuran serta dalam jumlah kecil dijumpai dalam serealia (Kertesz 1951). Berbagai penelitian membuktikan bahwa pektin sebagai bagian dari serat pangan larut (SDF) dapat mengurangi kadar kolesterol dalam darah (Story dan Kritchevsky 1977; Brown et al. 1990; Hunninghake et al.

1994). Pektin mengikat cairan empedu yang merupakan hasil metabolisme kolesterol dan mengurangi reabsorpsinya di usus. Cairan empedu ini digunakan dalam metabolisme lemak. Semakin banyak cairan empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, semakin banyak kolesterol yang dimetabolisme, sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya (Soesilawaty 2008). UDP-D-Galactose Penyusun dinding sel:  Hemiselulosa  Pektin  Gum  Mucilage Gula nukleotida lain:

GDP-Glucose GDP-Mannose GDP-Fucose, etc UDP-D-Galacturonic acid UDP-D-Apiose UDP-L-Arabinose D-Glucose 6-P D-Glucose 1-P UDP-D-Glucose UDP-D-Glucuronic acid UDP-D-Xylose Myo-inositol 1-P Myo-inositol D-glucuronic acid D-glucuronic acid 1-P CO


(27)

III.

BAHAN DAN METODE

3.1

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian yang dapat dimakan dari tanaman kolesom yang diberi perlakuan pemupukan organik dan anorganik yaitu daun dan pucuk (masing-masing 5 perlakuan) yang dibudidayakan di laboratorium percobaan IPB di Leuwikopo. Bahan kimia yang digunakan antara lain etanol, aseton, buffer fosfat 0.08 M pH 6.0, termamyl

(120 L, Novo Laboratories), protease (P-3910, Sigma Chemical), amiloglukosidase (A-9913,

Sigma Chemical), NaOH (Merck), HCl (Merck), celite C-211, viscozyme (V-2010, Sigma Chemical), K2SO4 (Merck), HgO (Merck), H2SO4 pekat (Merck), NaOH 60%-Na2SO3 5% (Merck),

H3BO3 (Merck), TRIS, indikator MM dan MB, EDTA-4Na, Na2B4O7 (Merck), o-hidroksidifenil,

standar asam galakturonat monohidrat, serta akuades.

Alat-alat yang digunakan antara lain oven vakum, oven pengering, hot plate, pompa vakum, vortex, spektrofotometer, kertas Whatman 40, alat-alat gelas, neraca analatik, mortar dan alu, blender, desikator, crucible dengan celite, tanur, waterbath, waterbath shaker, pH meter, labu Kjehldal, alat destilasi dan alat destruksi protein.

3.2

Metode Penelitian

Penelitian terdiri atas lima tahap, antara lain 1) tahap budidaya tanaman kolesom secara organik dan anorganik, 2) persiapan sampel, 3) analisis kimia, 4) analisis data, dan 5) meta analisis.

3.2.1 Tahap Budidaya

Tahap pertama merupakan tahap budidaya sampel hingga pemanenan. Tanaman kolesom dibudidayakan dengan diberi perlakuan pemupukan secara organik dan anorganik selama bulan Mei-Juli 2011 di laboratorium percobaan IPB, Leuwikopo. Proses budidaya sampel dilakukan oleh Mualim (2012), peneliti dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima sampel yang dipupuk secara organik dan lima sampel yang dipupuk secara anorganik. Tanaman dipanen setelah berumur delapan minggu dengan diambil bagian yang dapat dimakan yakni daun dan pucuknya sepanjang 15 cm. Dari masing-masing perlakuan diambil dua kali ulangan untuk tahap analisis kimia.

Perlakuan pemupukan pada tanaman kolesom yang dipakai sebagai sampel ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Perlakuan pemupukan organik tanaman kolesom

Dosis Pemupukan

Organik

Pupuk kandang1*

(ton/ha)

Dosis N (kg/ha)

Guano2*

(kg/ha)

Dosis P2O5

(kg/ha)

Abu sekam3

(ton/ha)

Dosis K2O

(kg/ha)

1 6.1 22.82 75.6 7.20 2.7 29.70

2 9.2 34.42 151.2 14.40 4.1 45.10

3 12.3 46.01 226.8 21.60 5.5 60.50

4 15.4 57.61 302.4 28.80 6.8 74.80

5 18.4 68.83 378 35.99 8.2 90.20

1

kandungan N 1.29%, kadar air 71%; 2kandungan P2O5 10.43%, kadar air 8.69%; 3kandungan K2O 1.10%;


(28)

Contoh perhitungan pada perlakuan organik 1:

 dosis unsur N :(100-71)% x 1.29% x 6.1 ton/ha = 22.82 kg/ha

 dosis unsur P (dalam bentuk P2O5) :(100-8.69)% x 10.43% x 75.6 kg/ha = 7.2 kg/ha

 dosis unsur K (dalam bentuk K2O) :(1.10% x 2.7) ton/ha x 1000 =29.7 kg/ha

Tabel 3. Perlakuan pemupukan anorganik tanaman kolesom

Dosis Pemupukan Anorganik Urea1 (kg/ha) Dosis N (kg/ha) SP-362 (kg/ha)

Dosis P2O5

(kg/ha)

KCl3

(kg/ha)

Dosis K2O

(kg/ha)

1 50 23.00 20 7.20 50 30.00

2 75 34.50 40 14.40 75 45.00

3 100 46.00 60 21.60 100 60.00

4 125 57.50 80 28.80 125 75.00

5 150 69.00 100 36.00 150 90.00

1

kandungan N 46%; 2kandungan P2O5 36%; 3

kandungan K2O 60%

Contoh perhitungan pada perlakuan anorganik 1:

 dosis unsur N : 46% x 50 kg/ha = 23 kg/ha

 dosis unsur P (dalam bentuk P2O5) : 36% x 20 kg/ha = 7.2 kg/ha

 dosis unsur K (dalam bentuk K2O) : 60% x 50 kg/ha = 30 kg/ha

3.2.2 Tahap Persiapan Sampel

Setelah dipanen, dilakukan penyortiran sampel sebagai langkah awal agar sampel yang digunakan representatif dan relatif seragam. Setelah dibersihkan, sampel dikeringkan menggunakan oven vakum selama 17 jam pada suhu 60 oC. Sampel kering kemudian digiling sampai 40 mesh dan diperoleh tepung daun.

3.2.3 Tahap Analisis

Setelah dilakukan persiapan sampel, sampel daun Talinum triangulare Willd. organik dan anorganik dianalisis kadar air dengan metode oven (SNI 01-2891-1992) , total serat pangan (AOAC Official Methods 985.29 (2005)), serat pangan tidak larut (AOAC Official Methods

991.42 (2005)), serat pangan larut (by different), dan substansi pektatnya (McCready dan McComb (1952) yang dimodifikasi oleh Blumenkrantz dan Asboe-Hansen (1973)) .

.

3.2.4 Tahap Analisis Data

Data analisis kimia kadar serat pangan dan kadar substansi pektat tanaman kolesom yang dibudidayakan secara organik dan anorganik akan dianalisis menggunakan statistik ANOVA untuk melihat perbedaan antar sampel, dan statistik uji t untuk melihat perbedaan antarbudidaya.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pengujian dilakukan dengan menggunakan model matematika:

Yij =  + i+ βj + ij

i = 1, 2, 3, …, 6 j = 1, 2, 3, …, r

Yij = pengamatan pada perlakuan kelompok ke-i dan kelompok ke-j

 = rataan umum

i = pengaruh perlakuan (organik/anorganik)


(29)

ij = pengaruh acak perlakuan ke-I dan kelompok ke-j

Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0: 1 = … = r = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1: paling sedikit ada satu i di mana i 0

Pengaruh pengelompokan:

H0: β1 = … = βr = 0 (kelompok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

H1: paling sedikit ada satu j di mana βj 0

3.2.5 Tahap Meta Analisis

Data analisis kimia kandungan serat pangan kolesom ini akan dibandingkan dengan data penelitian dari Prabekti (2012). Kedua penelitian ini sama-sama mengamati kandungan serat pangan pucuk kolesom pada budidaya dengan pemupukan organik dan anorganik. Perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan sampel yang ditanam pada musim kemarau sementara Prabekti (2012) menggunakan sampel yang ditanam pada musim hujan. Masing-masing parameter diuji dengan uji t untuk melihat signifikansi data dengan pengaruh perbedaan musim. Lebih lanjut lagi hasil penelitian akan dibandingkan dengan penelitian Mualim (2012) yang mengamati metabolit primer dan sekunder kolesom dengan perlakuan pemupukan organik dan anorganik dan perbedaan musim.

3.2.6 Prosedur Analisis

Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)

Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator, ambil dengan penjepit. Cawan kering yang sudah didinginkan kemudian ditimbang beratnya. Pada cawan tersebut ditimbang 1-2 gram sampel, kemudian dikeringkan pada oven 105C selama 3 jam. Selanjutnya cawan beserta sampel didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot tetap (≤0.0005 g).

Perhitungan:

Kadar air basis basah:

Kadar air (g/100 g bahan basah) = Kadar air basis kering:

Kadar air (g/100 g bahan kering) =

Keterangan:

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2 = bobot cawan kosong (g)

Analisis Total Serat Pangan (AOAC Official Methods 985.29)

Semua prosedur analisis dilakukan terhadap blanko untuk melihat adanya endapan non serat yang berasal dari reagen atau enzim yang tersisa dalam residu dan dapat terhitung sebagai serat pangan. Sampel ditimbang secara duplo sebanyak 0.5 g, dengan keakuratan hingga 0.1 mg, dalam gelas piala 200 ml. Perbedaan bobot sampel dalam masing-masing ulangan diusahakan tidak lebih dari 20 mg. Sebanyak 25 ml buffer fosfat 0.08 M pH 6.0 dimasukkan ke dalam gelas piala. Nilai pH diukur hingga pH 6.0±0.2. Sebanyak 0.05 ml enzim termamyl ditambahkan. Kemudian gelas piala ditutup menggunakan kertas aluminium foil (alufo) dan diletakkan dalam air mendidih. Selama inkubasi, gelas piala digoyangkan secara perlahan setiap 5 menit. Saat suhu


(30)

larutan dalam gelas piala mencapai 100oC, lanjutkan inkubasi selama 15 menit. Waktu pemanasan dapat ditambahkan jika jumlah sampel yang ditempatkan di dalam waterbath sulit mencapai suhu internal antara 95-100oC. Prosedur ini dapat dilakukan selama 30 menit. Selanjutnya larutan tersebut didinginkan sampai mencapai suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7.5±0.1 dengan 5 ml NaOH 0.275 N.

Sebanyak 2.5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel. Protease dapat pula digunakan dalam bentuk larutan (50 mg dalam 1 ml buffer fosfat) yang dibuat sesaat sebelum digunakan dan ditambahkan sebanyak 0.1 ml. Sampel ditutup kembali dengan alufo lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu. Sampel didinginkan dan ditambahkan 5 ml HCl 0.325 M. Nilai pH diukur hingga berkisar antara 4.0-4.6, jika nilai pH belum tercapai, dapat ditetesi kembali dengan asam. Enzim amiloglukosidase (AMG) ditambahkan sebanyak 0.15 ml dan sampel ditutup kembali dengan alufo. Selanjutnya diinkubasi kembali selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu. Sebanyak 140 ml etanol 95% yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60oC (volume diukur setelah pemanasan) ditambahkan. Agar terbentuk endapan, sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit. Secara kuantitatif endapan disaring melalui crucible. Sebelumnya, crucible yang mengandung celite ditimbang hingga keakuratan mendekati 0.1 mg.

Residu dicuci dengan 3 x 10 ml etanol 78%, 2 x 5 ml etanol 95%, dan 2 x 5 ml aseton secara berturut-turut. Waktu yang dibutuhkan untuk pencucian dan penyaringan bervariasi antara 0.1 sampai 6 jam, rata-rata waktu yang dibutuhkan ialah 0.5 jam per sampel. Lamanya waktu filtrasi dapat dikurangi dengan penghisapan vakum secara hati-hati.

Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven vakum dengan suhu 70oC atau selama 5 jam di oven biasa pada suhu 105oC. Kemudian crucible

didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mencapai 0.1 mg. Untuk memperoleh bobot residu, kurangi dengan bobot crucible dan celite.

Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6.25, kecuali pada kasus sampel yang diketahui nilai N dalam proteinnya. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 525oC. Kemudian hasilnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mendekati 0.1 mg. Kurangi dengan bobot crucible dan celite untuk memperoleh bobot abu. Penentuan blanko :

B = blanko = bobot residu – PB – AB (g)

Bobot residu = bobot residu blanko (g) PB = bobot protein blanko (g)

AB = bobot abu blanko (g)

Perhitungan total serat pangan (TDF) :

TDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100 Bobot residu = bobot residu masing-masing sampel (g) P = bobot protein residu (g)

A = bobot abu residu (g) B = blanko (g)

bobot sampel = bobot sampel yang diambil (g)

Analisis Serat Pangan Tidak Larut (AOAC Official Methods 991.42)

Prosedur yang dilakukan sama dengan analisis total serat pangan sampai tahap inkubasi dengan enzim selesai. Pada analisis serat pangan tidak larut, sampel tidak ditambahkan dengan etanol 95% 60oC. Residu dicuci dengan 2 x 5 ml air (melarutkan SDF), 2 x 5 ml etanol 95%, dan 2


(31)

x 5 ml aseton secara berturut-turut. Langkah pengeringan crucible dan analisis residu hingga tahap akhir serupa dengan prosedur total serat pangan.

Penentuan blanko :

B = blanko = bobot residu – PB – AB (g)

Bobot residu = bobot residu blanko (g) PB = bobot protein blanko (g)

AB = bobot abu blanko (g)

Perhitungan serat pangan tidak larut (IDF) :

IDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100 Bobot residu = bobot residu masing-masing sampel (g) P = bobot protein residu (g)

A = bobot abu residu (g) B = blanko (g)

bobot sampel = bobot sampel yang diambil (g)

Analisis Serat Pangan Larut (by difference)

Kadar serat pangan larut (SDF) ditentukan dengan mengurangi kadar total serat pangan dengan kadar serat pangan tidak larut.

Perhitungan serat pangan larut (SDF) : SDF (%) = TDF (%) –IDF (%)

Analisis Kadar Substansi Pektat

Substansi pektat dihitung berdasarkan metode kolorimetrik McCready dan McComb (1952) yang telah dimodifikasi oleh Blumenkrantz dan Asboe-Hansen (1973). Anhidrouronat yang diperoleh dari hidrolisis terhadap substansi pektat dengan diberi orto-hidroksi difenil akan menghasilkan warna yang dapat diukur pada panjang gelombang 520 nm. Contoh yang telah dikeringkan ditimbang sebanyak 0.1 gram, diberi 10 ml etanol 70%, diaduk secara kontinyu selama 30 menit, lalu dibiarkan selama 1 jam untuk menghilangkan gula-gulanya. Kemudian larutan disaring dan endapan yang diperoleh diambil dan diberi 40 ml reagen Versene (larutan EDTA-4Na 0.5%).

Larutan sampel diinkubasi selama 30 menit dengan agitasi kontinyu pada suhu ruang untuk melarutkan substansi pektat. Larutan diasamkan sampai pH 3.3-5.5 menggunakan asam asetat, selanjutnya ditambahkan 0.5 ml viscozyme (V2010) yang mengandung pektinase, silanase, arabinase, selulase, hemiselulase, dan β-glukanase. Larutan kembali diinkubasi pada suhu ruang selama 60 menit dengan agitasi kontinyu. Volume campuran ditepatkan sampai 50 ml dengan akuades, kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman 42 dan diperoleh filtrat. Filtrat dipipet sebanyak 0.8 ml, kemudian ditambahkan 4.8 ml larutan tetraborat dalam asam sulfat pekat (0.0125 M larutan Na2B4O7 dalam asam sulfat pekat). Larutan sampel didinginkan pada penangas

es sampai suhu 4 ºC, dan di-vortex. Sampel dipanaskan dalam penagas air 100 ºC selama 5 menit, didinginkan kembali dalam penangas es sampai suhu 20 ºC. Sampel kemudian ditambahkan 0.08 ml larutan o-hidroksidifenil (0.075 g o-hidroksidifenil dilarutkan dalam NaOH 0.5%) dan

di-vortex. Sampel dibiarkan selama ± 5 menit sampai terbentuk warna yang sempurna kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Blanko dibuat dengan memipet 0.8 ml aquades dan diperlakukan sama seperti sampel.

Standar asam galakturonat ditimbang sebanyak 24.1 mg, ditambahkan 2 ml NaOH 0.05 N, diencerkan hingga volume 100 ml dengan aquades. Larutan standar dibiarkan semalam pada suhu kamar. Setiap ml larutan standar mengandung 24.1 mg/L asam galakturonat. Kurva standar


(32)

dibuat dengan mengencerkan larutan standar menggunakan aquades. Standar dipipet 0.8 ml dan direaksikan sama seperti pada sampel. Perhitungan kadar substansi pektat dengan persamaan regresi y = a + bx. Kadar substansi pektat (dihitung dari jumlah asam anhidrouronat yang terhidrolisis)

Kadar substansi pektat (% bk) = ⁄ ⁄


(33)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Kadar Serat Pangan Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Musim

Kemarau

Kadar TDF, IDF, dan SDF pucuk kolesom yang ditanam pada musim kemarau ditampilkan pada Gambar 5. Berdasarkan hasil analisis, sampel kolesom yang dipupuk secara organik menunjukkan kadar total serat pangan (TDF) rata-rata yang lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik (p < 0.05) (Lampiran 14). TDF kolesom dengan pupuk organik tercatat sebesar 40.52 ± 2.72 g/100 g basis kering, sementara TDF kolesom dengan pupuk anorganik sebesar 42.57 ± 1.84 g/100 g basis kering. Pada perlakuan pemupukan organik, kadar TDF tertinggi dimiliki sampel organik 4 dan organik 5, yakni sebesar 42.35 g/100 g bk. Pada perlakuan anorganik, kadar TDF tertinggi dimiliki sampel anorganik 2 sebesar 44.39 g/100 g bk.

Secara berurutan, sampel dengan kadar TDF dari tinggi ke rendah antara lain sampel anorganik 2, anorganik 3, anorganik 1, organik 4, organik 5, anorganik 5, organik 3, anorganik 4, organik 1, dan terakhir organik 2. Namun, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar TDF sampel anorganik 2 dan anorganik 3 tidak berbeda nyata (p = 0.187). Demikian halnya dengan sampel anorganik 3 dan anorganik 1 (p = 0.387); sampel anorganik 1, organik 4, dan organik 5 (p = 0.180); sampel organik 4, organik 5, anorganik 5, dan organik 3 (p = 0.157); serta sampel anorganik 4 dan organik 1 (p = 0.392). Ini artinya pada dosis pemupukan yang sama, nilai TDF berbeda nyata (p < 0.05) antara sampel organik dengan sampel anorganik, kecuali pada sampel organik 5 dan anorganik 5 (Lampiran 10). Data mengenai perhitungan kadar TDF ditampilkan pada Lampiran 1, 2, 3, dan 4.

Hasil analisis serat pangan tidak larut (IDF) menunjukkan rata-rata IDF yang tidak berbeda antara sampel kolesom dengan pemupukan organik dan kolesom dengan pemupukan anorganik, yakni sebesar 27.12 g/ 100 g basis kering (p > 0.05) (Lampiran 15). Kadar IDF tertinggi pada sampel organik dicapai pada sampel organik 3 yakni sebesar 28.94 g/ 100 g bk, sementara kadar IDF tertinggi perlakuan pemupukan anorganik yakni 28.45 g/ 100 g bk pada sampel anorganik 1.

Secara berurutan, sampel dengan kadar IDF dari tinggi ke rendah antara lain sampel organik 3, anorganik 1, anorganik 2, anorganik 5, organik 4, organik 1, organik 5, anorganik 3, anorganik 4, dan terakhir organik 2. Namun, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar IDF antara sampel organik 3 dan anorganik 1 tidak berbeda secara signifikan (p = 0.179). Demikian halnya dengan sampel anorganik 1, anorganik 2, dan anorganik 5 (p = 0.081); anorganik 2, anorganik 5, organik 4, dan organik 1 (p = 0.107); antara sampel anorganik 5, organik 4, organik 1, dan organik 5 (p = 0.057); serta antara sampel organik 1, organik 5, anorganik 3, dan anorganik 4 (p = 0.051). Ini artinya pada perlakuan dosis pupuk yang sama, sampel dengan pemupukan organik dan anorganik mengandung IDF dengan nilai yang berbeda nyata (p < 0.05), kecuali sampel organik 5 dan anorganik 5 (Lampiran 11). Data dan perhitungan analisis kadar IDF ditampilkan pada Lampiran 5, 6, dan 7.


(34)

a

b

c

a-f

: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata TDF berbeda nyata antar sampel (nilai p < 0.05)

* *

: nilai rata-rata analisis TDF berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p < 0.05)

Gambar 6. Histogram kadar serat pangan pucuk kolesom pada musim kemarau (a) TDF (b) IDF (c) SDF

Analisis serat pangan larut (SDF) pada sampel kolesom menunjukkan rata-rata SDF sampel kolesom dengan pemupukan anorganik (15.41 g/ 100 g bk) lebih tinggi daripada SDF sampel kolesom dengan pemupukan organik (13.40 g/ 100 g bk) (Lampiran 8). Uji t menunjukkan bahwa kadar SDF ini berbeda secara signifikan (p < 0.05) (Lampiran 16). Nilai SDF tertinggi pada perlakuan pemupukan organik terdapat pada sampel organik 5 sebesar 15.35 g/ 100 g bk, sedangkan pada pemupukan anorganik ada pada sampel anorganik 3 sebesar 17.16 g/ 100 g bk.

Secara berurutan, sampel dengan kadar SDF dari tinggi ke rendah antara lain anorganik 3, anorganik 2, organik 5, organik 4, anorganik 1, anorganik 5, anorganik 4, organik 3, organik 1, dan terakhir organik 2. Namun, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar SDF antara sampel anorganik 3 dan anorganik 2 tidak berbeda secara signifikan (p = 0.580). Demikian halnya dengan kadar SDF

39.51e

36.24f41.47 d42.35

cd

42.35cd

40.52±2.72**

43.16bc44.39a43.35eb

39.69e 40.79d

42.57±1.84**

0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 ẋ 1 2 3 4 5 ẋ organik anorganik T DF ( g /1 0 0 g ba sis k er ing ) Perlakuan 12.34ef

11.16f12.52def 14.72bc

15.35b

13.40±1.6814.70** bc

16.83a 17.16a

13.62cd 13.86cd

15.41±1.85**

0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 ẋ 1 2 3 4 5 ẋ organik anorganik SDF (g /1 0 0 g ba sis k er ing ) Perlakuan 27.17cde

25.08f 28.94 a

27.63cd 27.00de

27.12±1.54

28.45ab 27.57 bc

26.48e 26.38e

27.77bcd

27.12±0.75 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 ẋ 1 2 3 4 5 ẋ

organik anorganik IDF ( g /1 0 0 ba sis k erin g ) Perlakuan


(35)

antara sampel organik 5, organik 4, dan anorganik 1 (p = 0.352); antara sampel organik 4, anorganik 1, anorganik 5 dan anorganik 4 (p = 0.129); antara sampel anorganik 5, anorganik 4, dan organik 3 (p = 0.057); antara sampel anorganik 4, organik 3, dan organik 1 (p = 0.67); serta antara sampel organik 3, organik 1, dan organik 2 (p = 0.052). Ini artinya dosis pupuk yang sama antara pupuk organik dan anorganik memberikan nilai SDF yang berbeda nyata (p < 0.05), kecuali sampel organik 4 dan anorganik 4 (Lampiran 12).

Proporsi komponen serat pangan sangat bervariasi antara satu bahan pangan dengan bahan pangan lainnya. Faktor-faktor seperti spesies, tingkat kematangan, bagian tanaman yang dikonsumsi dan perlakuan terhadap bahan tersebut, sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fisik dari serat pangan (Anderson dan Clydesdale 1980). Sebagai contoh, Tabel 4 ini menampilkan kandungan serat pangan berbagai jenis sayuran.

Tabel 4. Kadar serat pangan berbagai sayuran

Jenis sayuran Nama latin Metode Serat Pangan (g/100 g basis kering)

TDF IDF SDF

Kacang tanaha Arachis hypogaea L. Asp, 1995 10.91 ± 2.84 9.63 ± 2.50 1.18 ± 0.24 Kacang polongb Pisum sativum AOAC, 1983 13.17 ± 1.64 11.31 ± 1.51 1.86 ± 0.86 Wortelc Daucus carota L. AOAC, 1990 26.78 ± 1.13 10.46 ± 1.26 16.32 ± 4.79

Tomat hijaud Solanum lycopersicum Asp, 1983 32.84 ± 0.23 25.22 ± 0.47 7.62 ± 0.24 Genjerd Limnocharis flava Asp, 1983 39.38 ± 1.29 31.74 ± 0.94 7.62 ± 0.35 Kacang kedelai 1e Glycine max (L.) Asp, 1992 35.22 ± 0.23 30. 43 ± 0.25 4.79 ± 1.98 Daun kolesom

organik (musim kemarau)

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 40.52 ± 2.72 27.12 ± 1.54 13.40 ± 1.68 Daun kolesom

anorganik (musim kemarau)

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 42.57 ± 1.84 27.12 ± 0.75 15.41± 1.85 Daun jambu meted Anacardium

occidentale L. Asp, 1983 45.64 ± 1.29 39.98 ± 0.20 5.66 ± 1.09

Daun ubi jalard Ipomoea batatas Asp, 1983 46.66 ± 1.41 39.82 ± 0.28 6.82 ± 0.56 Pariad Momordica charantia Asp, 1983 49.34 ± 1.09 42.96 ± 0.35 6.38 ± 0.42 Kemangid Ocinum bassilicum

ferina citratum Asp, 1983 50.63 ± 0.89 43.51 ± 2.00 7.12 ± 1.11

Daun singkongd Manihot utilissima Asp, 1983 52.26 ± 2.72 43.03 ± 2.74 9.23 ± 0.01 Daun melinjod Gnetum gnemon Asp, 1983 57.45 ± 0.16 48.69 ± 0.25 876 ± 0.09 Daun pepayad Carica papaya Asp, 1983 57.46 ± 2.26 48.75 ± 0.35 8.71 ± 0.49

Kacang kedelai 2e Glycine max (L.) AOAC, 1999 59.42 ± 0.10 57.65 ± 0.23 1.31 ± 0.02 Pakisd Cycas rumphii Asp, 1983 60.97 ± 0.52 53.64 ± 0.81 7.33 ± 0.25 Poh-pohand Pilea trinervia Asp, 1983 67.03 ± 0.44 57.04 ± 0.25 9.99 ± 0.15 Beluntasd Pluchea indica Asp, 1983 70.26 ± 1.06 67.29 ± 1.09 2.97 ± 0.03 Daun kolesom

organik (musim hujan) f

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 73.04 ± 5.46 68.42 ± 5.38 4.62 ± 0.24 Daun kolesom

anorganik (musim hujan) f

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 78.74 ± 2.60 73.55 ± 2.54 5.18 ± 0.48

a

Kutoz et al. (2003)

b

Stoughton-Ens et al. (2009)

cEnglyst dan Hudson (1996) d

Desminarti (2001)

eJelita (2011) f


(1)

Lampiran 21. Analisis statistik (

t-student

) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang

berbeda

Group Statistics

Anorganik N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

IDF musim hujan 15 73.5180 2.49512 .64424

musim kemarau 20 27.3805 .94375 .21103

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper IDF Equal variances assumed

16.682 .000 76.059 33 .000 46.13750 .60660 44.90336 47.371


(2)

Lampiran 22. Analisis statistik (

t-student

) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda

Group Statistics

organik N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

SDF musim hujan 15 4.6173 .24324 .06280

musim kemarau 20 13.2160 1.71959 .38451

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper SDF Equal variances assumed 40.026 .000 -19.153 33 .000 -8.59867 .44895 -9.51206 -7.68528


(3)

Lampiran 23. Analisis statistik (

t-student

) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang

berbeda

Group Statistics

anorganik N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

SDF musim hujan 15 5.1853 .47635 .12299

musim kemarau 20 15.2405 1.81051 .40484

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper SDF Equal variances assumed 21.368 .000 -20.902 33 .000 -10.05517 .48106 -11.03388 -9.07645


(4)

Lampiran 24. Analisis statistik (

t-student

) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik pada musim

yang berbeda

Group Statistics

organik N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

substansi_pektat musim hujan 15 3.6387 .34082 .08800

musim kemarau 10 6.5840 .73751 .23322

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper substansi_pektat Equal variances assumed 19.607 .000 -13.549 23 .000 -2.94533 .21739 -3.39503 -2.49564


(5)

Lampiran 25. Analisis statistik (

t-student

) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim

yang berbeda

Group Statistics

anorganik N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

substansi_pektat musim hujan 15 4.2727 .44456 .11479

musim kemarau 10 6.0070 .35415 .11199

Independent Samples Test

Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper substansi_pektat Equal variances assumed .119 .733 -10.322 23 .000 -1.73433 .16802 -2.08190 -1.38676


(6)

Lampiran 26. Kurva standar asam anhidrogalakturonat

Kurva standar asam galakturonat

mg/L Absorbansi

0.00 0

24.10 0.132

48.20 0.295

144.60 0.848

192.80 1.168

y = 0.006x - 0.0047 R² = 0.9994

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00

Abs

o

rba

ns

i

konsentrasi (mg/L)

Kurva standar