Kandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum Triangulare (Jacq.) Willd) pada Budidaya dengan Pemupukan Organik dan Anorganik

(1)

DIETARY FIBER CONTENT IN WATERLEAF VEGETABLE (Talinum

triangulare (Jacq.) Willd) CULTIVATED WITH ORGANIC AND

ANORGANIC FERTILIZATION

Yolanda Sylvia Prabekti1, Nuri Andarwulan2, Didah Nur Faridah1 1

Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, 2

Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone: +62 8571 0237 964, e-mail: yolandasylvia@ymail.com

ABSTRACT

Water leaf (Talinum triangulare (Jacq.) Willd is one of tropical vegetables which widely grown in Indonesia and has long been used as traditional medicinal plant. Water leaves are sticky presumably due to its pectin content. Pectin is soluble dietary fiber component that performs ability to reduce LDL level in blood. The aim of this research is to study the effect of organic and inorganic fertilization to the level of TDF, IDF, SDF, and pectic substances in water leaf vegetable. This research was conducted in four phases: sample cultivation, sample preparation, chemical analysis, and data analysis. This research used five samples cultivated with organic fertilizers and five samples cultivated with inorganic fertilizers. Samples were dried using drying oven for 17 hours at 60 C.

The result shows that TDF, IDF, and SDF level of organic and inorganic water leaf vegetables are significantly different with each p-value of 0,026; 0,022; and 0,215 respectively. Meanwhile, the level of pectic substance is not significantly different for both treatments with p-value of 0,718. Overall result shows that inorganically cultivated samples contain higher dietary fiber and pectic substance than organically fertilized samples. IDF content in water leaf vegetable is higher than its SDF content. It means that dietary fiber in water leaf can help the intestinal health. However, pectic substance contents, which is also part of SDF, are relatively similar in all samples and did not affected by the cultivation treatment. It indicates that water leaf vegetable has the potential to be developed as functional food.


(2)

Yolanda Sylvia Prabekti F24070133. Kandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum Triangulare (Jacq.) Willd) pada Budidaya dengan Pemupukan Organik dan Anorganik. Di bawah bimbingan Nuri Andarwulan dan Didah Nur Faridah. 2012.

RINGKASAN

Indonesia merupakan negara dengan jumlah keanekaragaman hayati yang sangat besar dan luas persebarannya. Jenis keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia termasuk jenis dan jumlah sayurannya. Daun kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) adalah salah satu jenis sayuran tropis yang banyak tumbuh di Indonesia. Tanaman kolesom telah lama dikenal di Indonesia dan digunakan sebagai tanaman obat tradisional. Daun kolesom biasanya dikonsumsi sebagai sayuran. Bagian utama yang dikonsumsi sebagai sayuran adalah daun dan pucuk muda. Daun kolesom mengandung bagian yang agak cair dan cukup lengket ketika dipatahkan. Hal ini diduga karena daun kolesom mengandung pektin dalam jumlah yang cukup besar. Pektin merupakan komponen serat larut air yang dapat berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah. Kandungan yang serat pangan yang terdapat di dalam kolesom dikelompokkan menjadi serat pangan total (total dietary fiber/TDF), serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber/IDF), dan serat pangan larut (soluble dietary fiber/SDF). Nilai TDF merupakan nilai total dari IDF ditambah dengan SDF.

Penelitian ini terdiri atas empat tahap yaitu: tahap budidaya sampel, tahap persiapan sampel, tahap analisis kimia, dan tahap analisis data. Sampel yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan sepuluh sampel sayuran daun kolesom yang dibudidayakan dengan lima perlakuan menggunakan pupuk organik dan lima perlakuan pupuk anorganik. Sampel yang digunakan adalah bagian yang dapat dimakan dari tanaman kolesom, yaitu sepanjang 15 cm dari pucuk. Sampel ini kemudian dikeringkan menggunakan oven pengering selama 17 jam pada suhu 60C. Analisis kimia dan perhitungannya dilakukan untuk mengetahui kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat di dalam sampel.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar TDF, IDF, dan SDF pada perlakuan organik dan anorganik berbeda nyata dengan nilai p berturut-turut 0,026; 0,022; dan 0,215. Sementara itu kadar substansi pektat menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada kedua perlakuan tersebut dengan nilai p 0,781. Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sampel yang dibudidayakan secara anorganik memiliki kandungan serat pangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel yang dibudidayakan secara organik.

Kadar TDF basis kering sampel kolesom organik sebesar 77,78 8,32 g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 85,54  3,22 g/100 g. Kadar IDF basis kering sampel kolesom organik sebesar 70,95 8,47 g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 77,94  3,08 g/100 g Kadar IDF di dalam kolesom lebih tinggi dibandingkan kandungan SDF. Kadar SDF basis kering sampel kolesom organik sebesar 6,83 0,46 g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 7,60

 0,64 g/100 g. Sementara kadar substansi pektat basis kering sampel kolesom organik sebesar 3,64

0,34g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 4,27  0,44 g/100 g.

Kadar IDF di atas 13 gram membantu kesehatan saluran pencernaan serta mencegah kanker kolon karena dapat memberi massa pada feses dan juga dapat menurunkan waktu transit makanan di dalam usus. Kadar substansi pektat di dalam SDF pada semua sampel nilainya di atas 0,23% dan tidak berbeda nyata pada kedua jenis budidaya sehingga dapat membantu kesehatan jantung dan mencegah penyakit jantung koroner karena dapat menurunkan kadar LDL dalam darah. Hal ini menunjukkan bahwa daun kolesom memiliki keunggulan serat pangan yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai sayuran fungsional. dan kandungan substansi pektat yang tinggi


(3)

Hasil analisis serat pangan sampel anorganik rata-rata lebih tinggi dibandingkan hasil analisis sampel organik. Hal ini disebabkan pupuk anorganik tidak perlu didekomposisi terlebih dahulu di dalam tanah sehingga dapat lebih cepat diserap oleh tanaman. Sementara itu pupuk organik perlu didekomposisi terlebih dahulu di dalam tanah sehingga jika digunakan dalam jumlah yang sama dengan pupuk anorganik, pupuk organik membutuhkan waktu lebih lama untuk diserap tanaman. Namun demikian budidaya tanaman, khususnya sayuran secara organik perlu terus diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka menyukseskan program pertanian berkelanjutan.


(4)

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah keanekaragaman hayati yang sangat besar dan luas persebarannya dan menempati peringkat kedua persebaran hayati dunia, tepat di bawah Brazil. Persentase keanekaragaman hayati di Indonesia adalah sebesar 15,3% dari total sebanyak 5.131.100 keanekaragaman hayati di dunia (Anonim 2008). Jenis keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia termasuk jenis dan jumlah sayurannya. Sayuran memiliki sifat fungsional dan tersebar di berbagai daerah di nusantara (Muhammad dan Emmyzar 1992). Sayuran merupakan salah satu sumber senyawa antioksidan dan serat yang relatif tinggi, murah, dan mudah didapat. Sayuran mengandung antioksidan gizi vitamin seperti vitamin C, vitamin E, dan β-karoten, serta antioksidan nongizi seperti flavonoid, polifenol, dan produk degradasi dari glukosinolat seperti isotiosianat dan indol (Rauma et al. 1996).

Sayuran di Indonesia yang beraneka ragam itu tidak hanya enak dinikmati dan mengandung nilai gizi, tetapi juga mengandung komponen-komponen lain yang memiliki aktivitas biologis yang bermanfaat bagi kesehatan. Mengonsumsi sayuran dapat mencegah timbulnya penyakit degeneratif, memelihara kesehatan tubuh, memperlambat proses penuaan, memelihara sistem kekebalan tubuh, mengatasi stress, serta membantu proses penyembuhan penyakit (Karyadi 1996).

Salah satu komponen bioaktif di dalam sayuran misalnya serat. Serat dapat digolongkan menjadi serat pangan (dietary fiber) dan serat kasar (crude fiber). Serat pangan dapat dibedakan menjadi serat pangan larut (solubledietary fiber) dan serat pangan tidak dapat larut (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut air di dalam tubuh memiliki fungsi utama menurunkan kolesterol darah, sedangkan serat pangan tidak larut air berfungsi menurunkan waktu transit makanan dalam usus sehingga melancarkan buang air besar dan mencegah kanker kolon.

Daun kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) adalah salah satu jenis sayuran tropis yang banyak tumbuh di Indonesia. Tanaman kolesom telah lama dikenal di Indonesia dan digunakan sebagai tanaman obat tradisional. Daun kolesom biasanya dikonsumsi sebagai sayuran (Rifai 1994). Bagian utama yang dikonsumsi sebagai sayuran adalah daun dan pucuk muda. Cara mengonsumsi daun ini adalah dengan cara dilalap (dimakan mentah), dikukus, direbus, ataupun ditumis.

Nugroho et al. (2002) menyatakan bahwa secara empiris daun kolesom digunakan sebagai obat diare, anti radang, afrodisiaka, dan menambah vitalitas. Uji fitokimia daun kolesom menunjukkan bahwa tanaman ini mengandung saponin, triterpen, steroid, polifenol, dan minyak atsiri. Menurut Syukur dan Hernani (2002), daun kolesom juga bermanfaat mengatasi masalah pencernaan, peradangan, radang paru-paru, demam, keringat dingin, dan gugup.

Daun kolesom mengandung bagian yang agak cair dan lengket ketika dipatahkan. Hal ini diduga karena daun kolesom mengandung pektin dalam jumlah yang cukup besar. Pektin merupakan komponen serat larut air yang dapat berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah (Aja et al. 2005). Kadar pektin di dalamnya merupakan salah satu keunggulan daun kolesom ini sebab sebagian besar sayuran yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia lebih banyak mengandung serat tidak larut air sehingga fungsinya lebih ke arah menurunkan waktu onset makanan di usus sehingga melancarkan pencernaan, tidak berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah (Aja et al. 2005).

Perlakuan selama budidaya, seperti pemupukan merupakan faktor yang mempengaruhi input yang diperoleh tanaman selama masa pertumbuhannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis mengenai pengaruh perlakuan budidaya terhadap kandungan fitokimia tanaman, termasuk pengaruh


(5)

pemupukan secara organik maupun anorganik terhadap kandungan serat pangan pada kolesom. Diketahui bahwa tanaman yang dibudidayakan secara organik mengandung lebih banyak gula dibandingkan tanaman anorganik (Hallmann & Rembialkowska 2006). Oleh karena itu hal ini menjadi menarik sebab dapat memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat, khususnya bagi peneliti untuk mengembangkan penelitian sejenis pada tanaman lain. Pengaruh pembudidayaan organik dan anorganik terhadap kadar total serat pangan maupun pektin (substansi pektat) pada daun kolesom belum diteliti. Perbedaan hasil biosintesisnya pun belum diketahui.

B.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh budidaya dengan pemupukan organik dan anorganik terhadap kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat pada sayuran daun kolesom untuk dapat diketahui prospek penelitian lanjutan pada tanaman kolesom yang diberi perlakuan organik dan anorganik.

C.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan data mengenai komposisi komponen serat pangan (serat larut dan serat tak larut) pada daun tanaman kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) organik dan anorganik sehingga tercipta peluang untuk penelitian dan pemanfaatan lebih lanjut dari daun tanaman tersebut.


(6)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Tanaman Kolesom (

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd)

Kolesom atau Talinum triangulare (Jacq.) Willd adalah tanaman herbal sukulen, tingginya antara 30-100 cm, daunnya berselang-seling dengan ujung membulat. T. triangulare cepat tumbuh dan tidak membutuhkan perawatan tertentu selama pertumbuhannya. Tanaman ini berumah satu, melakukan penyerbukan sendiri, memiliki bunga sepanjang tahun yang mekar di pagi hari. T. triangulare berkembang biak dengan cara stek (USDA NRCS 2011). Bagian batangnya berbentuk bulat, lunak dan berair, bercabang banyak, bagian pangkalnya berwarna kuning kecoklatan, dan pada waktu muda berwarna hijau, akarnya tunggang menggembung berbentuk menyerupai ginseng (Rifai 1994). Bunganya merupakan bunga majemuk, keluar dari ujung tangkai, berwarna ungu kemerahan. Buahnya berwarna merah coklat, dan bijinya gepeng berwarna hitam bulat (Syukur dan Hernani 2001).

Masyarakat sering sukar membedakan antara kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd.) dengan som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.). Ciri-ciri anatomi kedua jenis tanaman tersebut sukar dibedakan. Perbedaannya terletak pada ciri-ciri morfologinya, yaitu filotaksis, bentuk buah, warna, dan waktu bunga mekar. Som jawa memiliki filotaksis berhadapan, buah berbentuk kapsul (bulat dan berwarna merah-cokelat), dan bunga mekar pada sore hari (Santa dan Prajogo 1999).

Talinum triangulare adalah gulma sekaligus tanaman berkhasiat yang diyakini berasal dari Amerika Selatan dan dapat dibudidayakan secara luas di daerah tropis, termasuk Indonesia. Spesies ini tumbuh di Afrika Barat, Afrika Selatan dan Asia Tenggara. Talinum triangulare dibudidayakan di Nigeria dan Kamerun sebagai sayuran unggulan (Tindall 1986, Fontem dan Schippers 2004). Tanaman ini juga dikenal sebagai bayam Philipina, bayam Ceylon, atau bayam Florida.Dalam bahasa Inggris tanaman ini lebih sering disebut sebagai water leaf karena teksturnya yang sangat berair. Tanaman kolesom mudah tumbuh di atas tanah jenis apapun, secara alami dapat tumbuh di pinggir jalan, hutan, kebun, dan di daerah lain sampai ketinggian di atas 1000 meter di atas permukaan laut. Pada kondisi alami, tumbuhan akan hidup selama 4-6 bulan (Rifai 1994). Kendala dalam pembudidayaan tanaman kolesom adalah karena tanaman ini dapat menyerap segala jenis mineral logam yang terkandung dalam tanah dalam jumlah besar tanpa kecuali, termasuk arsenik (USDA NRCS 2011).

Daun kolesom memiliki kandungan asam oksalat yang relatif tinggi, yaitu sebesar 1-2%, artinya konsumsi berlebihan dari daun ini beresiko menimbulkan masalah bagi penderita penyakit ginjal. Daun kolesom enak dikonsumsi dan tidak menimbulkan rasa pahit serta kaya vitamin A dan C serta zat besi dan kalsium (Jircas 2010). Teksturnya yang berair diduga akibat kandungan pektinnya yang tinggi.

Klasifikasi Talinumtriangulare (Jacq.) Willd adalah sebagai berkut: Kingdom Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Superdivisi Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil) Subkelas Caryophyllidae/Hamamelidae


(7)

Famili Portulacaceae Genus Talinum Adans.

Spesies Talinumtriangulare (Jacq.) Willd.

Gambar 1. Daun tanaman kolesom

Analisis proksimat Talinum triangulare (Jacq.) Willd dilakukan pada sampel basah maupun kering. Hasilnya disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Talinum triangulare (Jacq.) Willd

Kandungan Satuan Kadar (Basis Kering) Kadar (Berat Basah)

Karbohidrata mg/g 10,87±3,99 12,38±2,76

Proteina % 3,52±0,32 18,75±2,72

Lemak a % 3,52 1,44

Serat kasarb % 12,00 8,50

Steroidb mg/100g 106,61±2,53 11,37±1,19

β-karotenb mg/g 114,5±1,49 40,02±0,50

a

Abidemi (2009) b

Fasuyi (2005)

Andarwulan et al. (2010) menyatakan bahwa kolesom merupakan sayuran daun yang mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid sebesar 3,93 ± 0,17 mg/100g sampel segar dan total fenol sebesar 0,489 ± 0,100 mg GAE/g sampel segar serta memiliki kapasitas antioksidan sebesar 7,4 ± 0,2 μmol TE/g sampel segar. Artinya, daun kolesom memiliki sifat fungsional yang baik bagi kesehatan tubuh. Komponen fungsional di dalam sayuran daun tidak hanya terdapat dalam bentuk metabolit primer, tetapi juga dalam bentuk metabolit sekunder yang tidak tercerna oleh saluran pencernaan manusia. Salah satu komponen metabolit primer tersebut adalah serat pangan yang akan dianalisis dalam penelitian ini.

Salah satu komponen SDF yang penting yaitu pektin sebab selain dapat digunakan secara luas sebagai bahan tambahan pangan (pengatur konsistensi) yang aman, pektin merupakan jenis serat yang viscous sehingga mampu menurunkan kolesterol LDL dalam darah. Kemampuan ini yang membuat pektin memiliki fungsi menurunkan resiko penyakit kardiovaskular (Aja 2005).


(8)

B.

Budidaya Organik dibandingkan Anorganik

Budidaya anorganik adalah sistem produksi pertanian konvensional yang dirancang untuk meningkatkan produktivitas pertanian menggunakan senyawa sintetik dalam pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida (Deptan 2002). Menurut FAO (2007) di dalam Deptan (2007), sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistik dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Selain aman terhadap lingkungan, budidaya organik dirasa aman pula terhadap kesehatan sebab tidak menggunakan unsur-unsur kimia sintetis yang dikhawatirkan meninggalkan

residu pada produk tanaman (Notohadiprawiro, 2002). Konsep awal pertanian organik yang ideal

adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu sendiri, namun pada prakteknya hal ini sulit dilakukan sehingga pola pertanian organik yang banyak dijumpai adalah pola pertanian yang membatasi input dari luar dalam jumlah minimal (Winarno 2002). Prinsip pertanian organik menurut Pracaya (2004) yaitu ramah terhadap lingkungan, tidak mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Sementara itu, istilah pertanian anorganik mengacu pada sistem produksi pertanian konvensional yang masih secara luas dilakukan saat ini. Sistem ini dirancang untuk meningkatkan produktivitas pertanian menggunakan senyawa sintetik dalam pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida.

Sebagai perbandingan, beberapa studi menunjukkan kandungan total polifenol pada tanaman organik lebih tinggi daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008, Carbonaro et al. 2002, Young et al. 2005, Abu-Zahra et al. 2007). Jus bayam, bawang bombai, dan kol organik memiliki aktivitas antioksidan 50-120% lebih tinggi daripada jus dari komoditas sejenis yang dibudidayakan secara

anorganik (Ren et al. 2008). Studi lain melaporkan bahwa rata-rata kandungan vitamin C, besi,

magnesium, dan fosfor pada beberapa tanaman organik berturut-turut 27.0, 21.1, 29.3, dan 13.6% lebih tinggi dibandingkan dengan produk anorganik (Worthington 2001). Kandungan senyawa berbahaya seperti nitrat ditemukan dalam jumlah sedikit pada tanaman organik dibandingkan dengan tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Wang et al. 2008).

Diketahui bahwa tanaman yang dibudidayakan secara organik mengandung lebih banyak gula dibandingkan tanaman anorganik (Hallmann & Rembialkowska 2006). Oleh karena itu hal ini menjadi menarik sebab dapat memberikan informasi yang berguna bagi masyarakat, khususnya bagi peneliti untuk mengembangkan penelitian sejenis pada tanaman lain. Pengaruh pembudidayaan organik dan anorganik terhadap kadar total serat pangan maupun pektin (substansi pektat) pada daun kolesom belum diteliti. Perbedaan hasil biosintesisnya pun belum diketahui. Oleh karena itu hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh.

C.

Pemupukan

Secara alami, unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman tersedia di dalam tanah. Namun, karena terus-menerus diserap oleh tanaman dan hilang akibat pencucian oleh air hujan ataupun air irigasi maka jumlahnya menjadi berkurang. Seiring pertumbuhan tanaman, unsur hara dalam tanah pun semakin berkurang, oleh karena itu diperlukan pemupukan. Unsur hara dapat dibedakan berdasarkan jumlah yang dibutuhkan menjadi unsur hara makro (N, P, K, S, Ca, Mg), dan unsur hara mikro (Cl, Mn, Fe, Cu, Zn, B, dan Mo).

Unsur hara N, P, dan K di dalam tanah tidak cukup tersedia dan terus berkurang karena diserap tanaman untuk pertumbuhannya. Selain itu, unsur-unsur di atas juga terangkut pada waktu panen, tercuci, menguap, dan tererosi sehingga perlu dilakukan pemupukan. Jumlah pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan unsur hara, kandungan unsur hara yang ada di dalam tanah, serta kadar unsur hara yang terdapat dalam pupuk. Leiwakabessy dan Sutandi (1988)


(9)

menambahkan bahwa penambahan unsur hara akan meningkatkan pertumbuhan tanaman, yang berarti bahwa pengangkutan unsur hara oleh tanaman semakin meningkat.

1.

Peranan dan Ketersediaan Nitrogen

Nitrogen (N) merupakan unsur hara terpenting yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif

tanaman dan bersifat mobile di dalam tanaman. Gejala kekurangan N pertama kali tampak pada daun

tua. Unsur N berada dalam bentuk inorganik dan organik dalam tanaman, dan berkombinasi dengan C, H, O, dan suatu saat dengan S membentuk asam amino, amino enzim, asam nukleat, klorofil, alkaloid, dan basa-basa purin (Jones 1998). Tanaman pada umumnya menyerap N dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) (Adams 2004). Sebagian besar amonium bergabung dengan senyawa organik dalam akar, sedangkan nitrat bergerak dengan mudah dalam xilem dan dapat pula disimpan dalam vakuola akar, pucuk, dan organ-organ penyimpan. Akumulasi nitrat dalam vakuola sangat penting untuk keseimbangan kation-anion (Marschner 1995). Dubey dan Pessarakli (1995) menyatakan bahwa nitrat yang diserap tanaman tidak langsung digunakan untuk sintesis asam amino. Bentuk nitrat harus diasimilasikan ke bentuk amonium oleh enzim nitrat reduktase dan nitrit reduktase. Reduksi nitrat dapat berlangsung pada akar dan tajuk. Menurut Li (2000), pengaruh nitrat pada perkembangan tanaman dipengaruhi oleh waktu dan metode pemupukan, kombinasi efek osmotik pada pengambilan air, dan efek hara pada sintesis protein.

Kekurangan N ditandai dengan adanya daun yang menguning atau kuning kehijauan dan cenderung cepat gugur akibat kemampuan berfotosintesis berkurang, sehingga tanaman tumbuh kerdil, dan sistem perakaran terbatas (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Penelitian Tresnawati (1999)

menunjukkan pada tanaman som Jawa (Talinum paniculatum Gaertn), peningkatan dosis N sampai

450 kg/ha cenderung meningkatkan pertumbuhan dan produksi, tetapi efeknya tidak berbeda nyata dengan pemberian 150 kg N/ha. Peningkatan efisiensi penggunaan N pada tanaman sangat penting dalam meningkatkan hasil dan kualitas tanaman, menurunkan input N, dan meningkatkan kualitas tanah, air, dan udara (Baligar et al. 2001).

2.

Peranan dan Ketersediaan Fosfor

Pada banyak sistem produksi pertanian, fosfor (P) merupakan unsur hara esensial yang paling

sering dijumpai setelah N (Mosali et al. 2005). Unsur P sangat kritis bagi pertumbuhan tanaman,

namun ketersediaannya di dalam tanah umumnya rendah. Efisiensi penggunaan unsur P tidak sama dengan unsur N sebab unsur P bersifat immobile di dalam tanah (Soepardi 1983). Fosfor berasal dari pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun bahan tanah. P terdapat dalam bentuk inorganik dan organik, namun bentuk-bentuk inorganik lebih banyak dijumpai. Bentuk-bentuk inorganik P didominasi oleh hydrous sesquitides, amorphous crystalline aluminium, besi fosfat pada tanah asam, dan kalsium fosfat pada tanah alkali. Jumlah P terlarut yang tersedia tergantung pada pH, area kontak antara daerah presipitasi dengan larutan tanah, tingkat lelarutan dan difusi dari P dalam bentuk padat, waktu reaksi, kandungan bahan organik, temperatur, dan tipe tanah (Mosali et al. 2005).

Fosfor diserap akar tanaman dalam dua bentuk anion, masing-masing hidrogen fosfat (H2PO4-) dan monohidrogen fosfat (HPO42-) (Jones 1998). Mobilitas anion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi. Oleh sebab itu, efisiensi dari pupuk P sangat

rendah antara 10-30%, sisanya 70-90% P tertinggal dalam bentuk immobile atau hilang karena erosi

(Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Fungsi P yang paling penting pada tanaman adalah penyimpanan dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP), serta merupakan komponen struktural penting dalam penyusunan asam nukleat, kofaktor enzim, fosfolipid, dan nukleotida (Jones 1998, Mosali et al. 2005).


(10)

3.

Peranan dan Ketersediaan Kalium

Kalium (K) seringkali terdapat sebagai salah satu unsur penyusun tanah mineral (Reddy et al. 2000). Kalium pada tanaman berperan sebagai aktivator enzim, mempertahankan vigor tanaman, merangsang pertumbuhan akar dan sebagai katalisator (Soepardi 1983). Selain itu K juga berperan dalam proses pembentukan karbohidrat, translokasi gula dan metabolisme protein (Leiwakabessy 1982). Dalam mempertahankan vigor tanaman, K berperan dalam proses pemeliharaan status air tanaman, tekanan turgor dalam sel, serta proses membuka dan menutupnya stomata (Marschner 1995, Jones 1998).

Berdasarkan ketersediaannya di dalam tanah, kalium dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: (1) bentuk K tidak dapat dipertukarkan, (2) bentuk K dapat dipertukarkan, dan (3) bentuk K larut. Bentuk K tidak dapat dipertukarkan banyak terdapat di dalam tanah, tetapi pelepasannya lambat sehingga disebut bentuk K yang sukar tersedia. Bentuk ini merupakan K cadangan. Bentuk K dipertukarkan adalah K yang tersedia. Bentuk ini ada yang cepat tersedia dan ada yang lambat tersedia. Bentuk K yang mudah diserap tanaman adalah K terlarut (Reddy et al. 2000).

Kalium merupakan unsur yang mobile sehingga akan terjadi translokasi dari bagian tanaman

yang tua ke bagian tanaman yang lebih muda bila terjadi gejala kekurangan K dalam tanaman. Oleh karena itu gejala kekurangan K dicirikan terjadinya klorosis, tepi daun mengering, produksi daun

berkurang, dan malformasi daun. Reddy et al. (2000) menambahkan bahwa permukaan luas daun akan

berkurang pada saat defisiensi K. Gejala defisiensi K juga seringkali mirip gejala akibat mikroba patogen sehingga sulit dibedakan.

Defisiensi K dapat dicegah dengan menambahkan jumlah K yang cukup ke dalam tanah. Hanya sebagian kecil saja yang dapat dicukupi melalui pemupukan daun (Reddy et al. 2000). Ismatika

(1999) melaporkan bahwa pemupukan KCl pada som jawa (Talinum paniculatum Gaertn.) sampai

dosis 1,125 g/tanaman meningkatkan bobot kering tanaman, bobot basah daun, dan hampir semua bagian vegetatif tanaman. Produksi umbi mengalami peningkatan yang besar terutama pada pemupukan KCl dengan dosis 0,750 g/tanaman.

D.

Biosintesis Karbohidrat pada Tumbuhan

Proses biosintesis karbohidrat pada tumbuhan hijau dilakukan melalui proses fotosintesis, khususnya pada fase siklus Calvin. Istilah fotosintesis mengacu pada definisi harfiah sintesis menggunakan cahaya. Secara terminologis fotosintesis berarti reaksi antara karbondioksida dan air yang menghasilkan energi (glukosa) dan oksigen dengan bantuan cahaya matahari dan hanya terjadi pada organisme yang memiliki klorofil (Taiz dan Zeiger 2002 ). Reaksi ini terjadi di dalam membran tilakoid pada kloroplas yang terletak di dalam klorofil.

Gambar 2. Reaksi fotosintesis (Taiz and Zeiger 2002)

Sintesis karbohidrat berupa pati dan sukrosa membutuhkan aliran karbon yang melalui siklus Calvin pada kondisi ketika penyerapan CO2 bersifat kontinu. Ketika fotosintesis mencapai steady state, 5/6 bagian dari triosa fosfat berperan dalam pembentukan ribulosa-1,5-bifosfat, sedangkan 1/6 bagian sisanya diekspor ke dalam sitosol untuk pembentukan sukrosa maupun metabolit lain yang akan dikonversi menjadi pati di dalam kloroplas.


(11)

Gambar 3. Kloroplas pada tumbuhan (Taiz dan Zeiger 2002) Siklus Calvin dibagi ke dalam 3 tahap:

1. Karboksilasi, pada tahap ini CO2 terikat secara kovalen pada karbon skeleton (CO2 akseptor ribulosa-1,5-bifosfat) membentuk 2 molekul 3-fosfogliserat;

2. Reduksi, pada tahap ini 3-fosfogliserat direduksi menjadi gliseraldehid-3-fosfat (jenis karbohidrat);

3. Regenerasi, pada tahap ini terjadi pembentukan kembali CO2 akseptor ribulosa-1,5-bifosfat. Input energi yang berasal dari ATP dan NADPH dibutuhkan oleh tumbuhan untuk menjamin proses fiksasi CO2. Saat berlangsung siklus Calvin, dibutuhkan 2 molekul NADPH dan tiga molekul ATP untuk mengkonversi 1 molekul CO2 menjadi karbohidrat.

Gambar 4. Siklus Calvin (Prawiranata 1991)

Dinding sel penyusun tanaman, yang merupakan tempat terdapatnya serat pangan dan substansi pektat pada tanaman, memiliki ketebalan bervariasi, ada yang menempati lebih dari 95% isi sel tetap ada juga yang kurang dari 5 persen. Menurut Selvendran (1983), proses pembentukan dinding sel tanaman terjadi dalam tiga tahapan utama yaitu:

1. Terbentuknya sekat pemisah selama daerah meristematis membelah akibat pembelahan sel. Pada saat ini middle lamella terbentuk. Middle lamella terdiri dari molekul amorf, khususnya substansi pektat.

2. Tahap pengontrolan penumpukan polimer-polimer pada dinding dan pengontrolan komposisi dinding sel tersebut membesar. Kandungan utama dinding yang terbentuk akibat penumpukan polimer ini adalah polisakarida seperti substansi pektat, hemiselulosa, selulosa, dan beberapa glikoprotein. Dinding yang terbentuk tersebut disebut dinding sel pertama.


(12)

3. Tahap penebalan kedua yang menentukan struktur akhir dari sel-sel tertentu. Pada tahap ini terjadi penumpukan zat seperti lignin. Dinding sel yang terbentuk ini kemudian disebut dinding sel kedua yang komponen utamanya adalah selulosa, lignin, dan hemiselulosa sebagai matriks amorf. Adapun gum, musilase, kutin, asam fitat, dan lainnya merupakan komponen serat dalam jumlah kecil dari dinding sel tanaman.

E.

Sayuran

Sayuran adalah bagian tanaman berupa tunas, daun, buah, dan akar yang lunak yang dapat dimakan secara utuh atau sebagian, mentah atau dimasak (William 1993). Dalam hal ini sayuran dapat berupa tanaman perdu (herba) ataupun tanaman tahunan. Sayuran dikonsumsi dalam keadaan segar (lalapan) atau dimasak seperti dikukus, direbus, atau ditumis. Pemasakan dengan panas dapat mempengaruhi kadar serat pangan dalam sayuran dan mengakibatkan terjadinya perubahan distribusi antara serat larut dan serat tidak larut. Kehilangan komponen terlarut seperti gula, mineral, protein terlarut, dan substansi pektat ke dalam air pemasakan menyebabkan kendungan serat pangan meningkat (Anderson dan Chydesdale 1980).

Hasil penelitian Amira (1997) menunjukkan perlakuan perebusan pada sayuran memberikan kadar rata-rata serat pangan tidak larut (IDF) dan serat pangan total (TDF) lebih tinggi daripada perlakuan pengukusan dan penumisan. Kadar serat pangan larut (SDF) tidak dipengaruhi oleh proses pengolahan, tetapi ada kecenderungan meningkat setelah mendapat perlakuan pengolahan. Amira (1997) menyatakan kadar serat pangan total (TDF) sayuran berkisar antara 20-54,63 g/100 g basis kering, kadar serat pangan tidak larut berkisar antara 15-55 g/100 g basis kering, dan kadar serat pangan larut (SDF) berkisar antara 2-18 g/100 g basis kering.

Beberapa sayuran segar dengan kadar IDF tinggi antara lain daun poh-pohan, daun beluntas, daun jambu mete muda, daun pakis, daun melinjo, dan daun pepaya. Sedangkan sayuran segar dengan kadar IDF rendah adalah tomat hijau, daun kemangi, daun ubi jalar, genjer, daun singkong, dan paria. Sayuran segar dengan kadar TDF tinggi antara lain daun poh-pohan, daun beluntas, daun pakis, daun melinjo muda, dan daun pepaya. Sedangkan sayuran segar dengan kadar TDF rendah antara lain tomat hijau, daun kemangi, daun jambu mete muda, daun ubi jalar, genjer, daun singkong, dan paria (Desminarti 2001).

F. Serat

Pangan

Serat pangan dapat didefinisikan sebagai grup polisakarida dan polimer-polimer lain dalam bahan nabati yang tidak rusak oleh enzim pencernaan manusia (Pomeranz and Meloan 1987). Defenisi terbaru serat makanan yang disampaikan oleh the American Assosiation of Cereal Chemist adalah merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau kabohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau parsial pada usus besar (Joseph 2002). Sayuran dan buah-buahan adalah sumber serat makanan yang paling mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sayuran bisa dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui perebusan (Herminingsih 2008).

Komponen serat pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya. Serat pangan berdasarkan kelarutan terdiri atas serat larut (soluble dietary fiber) dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber), tergantung kelarutan komponen serat tersebut di dalam air atau larutan bufer. Contoh serat tak larut, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Contoh serat larut, yaitu pektin, gum, musilase, glukan dan alga (Almatsier 2001). Umumnya, tanaman mengandung kedua-duanya dengan serat tidak larut pada porsi yang lebih banyak.


(13)

Serat yang larut cenderung bercampur dengan air dengan membentuk jarigan gel (seperti agar-agar) atau jaringan yang pekat. Sedangkan serat tidak larut umumnya bersifat higroskopis, mampu menahan air 20 kali dari beratnya. Serat yang berasal dari biji-bijian atau serealia dan sayuran umumnya bersifat insoluble, sedangkan serat dari buah dan kacang-kacangan cenderung bersifat

soluble (Almatsier 2001).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa serat yang larut dapat menurunkan kadar kolestrol darah, sedangkan serat yang tidak larut hanya sedikit berpengaruh. Hal ini diduga karena serat yang larut mengikat asam dan garam empedu sehingga reabsorpsinya dapat dicegah. Dengan demikian, garam empedu dibuang dari sirkulasi usus-hati (entero-hepatic circulation) dan hanya sedikit yang tersedia untuk absorpsi lipida di usus. Produk fermentasi serat pangan oleh mikroflora di dalam kolon (Bifidobacteria), yang juga disebut probiotik, mungkin juga berpengaruh terhadap metabolisme lipida (Silalahi 2006). Sedangkan serat tidak larut dapat mencegah wasir, sembelit, divertikulosis, dan kanker kolon (Burkitt 1983). Hal ini disebabkan serat dapat meningkatkan massa feses dalam usus besar, mengurangi waktu transit, dan mengikat air yang terdapat dalam usus besar (Southgate dan Penson 1983). Namun selain menguntungkan ternyata serat pangan juga dapat menurunkan penyerapan beberapa jenis mineral seperti Fe dan Mg (Staub et al. 1983).

Di dalam usus besar serat pangan akan dihidrolisis dan difermentasi oleh mikroflora usus, terutama menjadi asam asetat, propionat, dan butirat yang merupakan asam lemak volatil, serta karbondioksida dan hidrogen. Asam lemak volatil ini akan diserap kembali dan menyumbangkan energi kira-kira 70% dari energi karbohidrat terfermentasi (Staub et al. 1983).

Komponen-komponen serat pangan sebagian besar ditemukan dalam struktur dinding sel, seperti selulosa, hemiselulosa, substansi pektat, dan polisakarida lain, polimer lignin aromatik dan protein dinding sel. Jaringan parenkim terutama terdapat pada dinding sel pertama, sedangkan jaringan terlignifikasi dimiliki dinding sel yang berhenti tumbuh dan mengalami penebalan kedua. Polimer dinding sel utama dari jaringan parenkim adalah substansi pektat, hemiselulosa, dan selulosa. Tipe polisakarida hemiselulotik yang ada di dalam dinding sel dari kedua tipe jaringan tersebut biasanya berbeda (Selvendran dan DuPont 1984).

Serat pangan larut (soluble dietary fiber/SDF) didefinisikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah tercampur oleh empat bagian etanol. Gum, pektin, dan sebagian hemiselulosa larut yang terdapat di dalam dinding sel tanaman merupakan sumber SDF. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa secara fisiologis, SDF lebih efektif dalam mereduksi absorbsi kolesterol low density lipoprotein (LDL) di dalam plasma darah serta meningkatkan rasio high density lipoprotein (HDL). Hal ini berakibat pada penurunan resiko penyakit jantung koroner. Selain itu, SDF juga mereduksi absorpsi glukosa dalam usus sehingga menurunkan resiko penyakit diabetes. Manfaat lain SDF adalah menimbulkan rasa cepat kenyang sekaligus mempertahankan berat badan normal (Bell et al, 1990 dalam Prosky dan De Vries 1992, Ink dan Hurt 1987, Krotkiewski 1984).

Sementara itu, serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber/IDF) didefinisikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun air dingin. Sumber IDF adalah selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, sejumlah kecil kutin, lilin tanaman, dan kadang-kadang pektin yang tidak dapat larut. Di dalam TDF, IDF merupakan kelompok terbesar, sedangkan SDF hanya sekitar sepertiganya (Furda 1981, Prosky et al. 1984, Prosky dan De Vries 1992). Menurut (Anderson dan Siesel 1990 dalam Prosky dan De Vries 1992), IDF dilaporkan tidak signifikan terhadap efek hipokolesterolemik, tetapi berperan baik dalam pencegahan disfungsi sistem pencernaan seperti konstipasi, haemoroid (ambeien), kanker kolon, appendiksitis, divertikulosis, kolitis, dan varicose veins.


(14)

Gordon (1989) menyatakan bahwa TDF mengandung gula-gula dan asam-asam gula sebagai komponen utama. Grup fungsional pada TDF dapat mengikat atau terikat atau bereaksi satu sama lain atau dengan komponen lain. Gula-gula yang membentuk TDF adalah glukosa, galaktosa, xilosa, mannosa, arabinosa, dan rhamnosa, sedangkan asam-asam gulanya manuronat, galakturonat, glukuronat, guluronat, dan asam 4-O-metilglukuronat. Gugus fungsional dari TDF adalah hidrogen, hidroksil, karbonil, sulfat, dan metal. Semua komponen ini memberikan karakteristik fungsional pada TDF meliputi daya ikat air, kapasitas untuk mengembang, meningkatkan densitas kamba, membentuk gel dengan viskositas berbeda-beda, mengabsorpsi minyak, pertukaran kation, warna, dan flavor.

Karakter kimia serat pangan berhubungan erat dengan sifat fisiknya. Kelarutan (solubility) adalah sifat fisik terpenting dari serat pangan. Serat pangan larut (SDF) dapat membentuk larutan dengan viskositas berbeda-beda atau membentuk gel dengan kekuatan gel berbeda. Daya ikat air (water binding capacity) adalah sifat penting yang terdapat dalam serat pangan tidak larut (IDF). Dengan kemampuan ini IDF dapat memperbesar volume makanan sehingga menimbulkan rasa kenyang. Kemampuan TDF untuk mengikat minyak juga merupakan sifat fisik yang penting yang dapat memengaruhi pencernaan lemak menjadi misel-misel lemak oleh enzim lipase pankreatik di dalam usus, sehingga dapat dilakukan absorpsi lemak secara normal. Anjuran konsumsi total serat pangan menurut Life Science Research Office (1987) yang dikutip olah Fardiaz (1994) adalah 20-35 g/hari yang terdiri atas 70-75% IDF dan 25-30% SDF.

G.

Pektin

Senyawa kimia pektin pertama kali ditemukan oleh Vauquelin pada tahun 1790. Nama pektin pertama kali diberikan oleh Braconot pada tahun 1825 untuk substansi pembentuk gel yang diperoleh dari buah-buahan. Istilah pektin berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengental atau menjadi padat (Glicksman 1969). Kelompok senyawa-senyawa pektin secara umum disebut substansi pektat yang di antaranya terdiri atas protopektin, asam pektinat, dan asam pektat. Substansi pektat adalah kelompok zat turunan karbohidrat kompleks berbentuk koloidal yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan dan sebagian besar mengandung asam anhidrogalakturonat dalam suatu kombinasi menyerupai rantai. Gugus karboksil asam-asam poligalakturonat dapat diesterifikasi sebagian dengan gugus metal, dan sebagian atau seluruhnya dapat dinetralkan oleh satu atau lebih jenis basa. Substansi pektat mengandung:

• Protopektin adalah zat pektat yang tidak larut dalam air dan jika dihidrolisis menghasilkan asam pektinat atau pektin;

• Asam pektinat adalah istilah yang digunakan untuk asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung gugus metil ester dalam jumlah yang cukup bayak. Asam pektinat dalam keadaan yang sesuai mampu membentuk gel dengan ion-ion logam, gula, dan asam (Klavons, Bennet, dan Vanner 1995);

• Pektin adalah istilah yang digunakan untuk asam-asam pektinat yang dapat larut dalam air, dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi beragam dan dapat membentuk gel dengan asam dan gula pada kondisi yang sesuai;

• Asam pektat adalah zat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan pada dasarnya bebas dari gugus metil ester.

Semua tanaman yang berfotosintesis mengandung pektin (McCready 1965). Pektin dijumpai pada buah-buahan dan sayur-sayuran serta dalam jumlah kecil dijumpai dalam serealia. Pektin merupakan polisakarida yang menyusun sepertiga bagian dinding sel tanaman (dikotil dan beberapa monokotil). Dinding sel terdiri atas 60% air dan 40% polimer. Senyawa pektin berfungsi sebagai perekat antara dinding sel satu dengan yang lain. Pektin secara umum terdapat dalam dinding sel


(15)

primer tanaman khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Menurut Pilknik dan Voragen (1973), pektin terutama terdapat pada dinding primer dan lamela tengah.

Jaringan meristematik dan parenkim merupakan bagian yang banyak mengandung senyawa pektat. Di dalam dinding sel substansi pektat berfungsi sebagai elemen struktur dan sebagai membran yang merupakan bagian dari gel hemiselulosa-pektin. Di dalam lamela tengah senyawa substansi pektat berfungsi sebagai perekat antar sel. Substansi pektat ditemukan dalam dinding sel pertama dan lapisan interseluler tanaman, komponen utama penyusunnya adalah asam D-galakturonat (Theander dan Aman 1979).

Gambar 5. Unit asam D-galakturonat (IPPA 2002)

Substansi pektat didefinisikan sebagai grup turunan karbohidrat yang berbentuk koloid yang terdapat pada tanaman yang terdiri dari rantai asam anhidrogalakturonat. Kelompok substansi pektat terdiri atas protopektin yang tidak larut air serta asam pektinat, pektin, dan asam pektat yang larut air serta dapat membentuk gel dengan gula dan asam. Grup ini memiliki rantai utama yang terdiri dari asam galakturonat serta rantai cabang yang terdiri atas rhamnosa, arabinosa, xilosa, dan fukosa (Kay dan Strasberg dalam Stasse-Wolthuis 1980). Substansi pektat mengalami perubahan dan pematangan pada buah-buahan dan sayur-sayuran. Ikatan kovalen antara substansi pektat dengan komponen dinding selnya, khususnya hemiselulosa, serta adanya kation khususnya kalsium dapat berakibat pada tidak larutnya substansi pektat yang memiliki derajat esterifikasi rendah.

Pektin merupakan campuran polisakarida dengan komponen utama polimer α-D-galakturonat yang mengandung gugus metil ester pada konfigurasi atom C-2. Komponen minor berupa polimer unit-unit α-L-arabinofuranosil bergabung dengan ikatan α-L-(1-5). Komponen minor lainnya adalah rantai lurus dari unit-unit β-D-galaktopiranosil yang mempunyai ikatan 1-4. Rouse (1977) menyatakan bahwa pektin merupakan senyawa unit-unit asam anhidrogalakturonat yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4-glikosidik. Towle dan Christensen (19730 menyebutkan bahwa komponen utama pektin adalah asam D-galakturonat, juga terdapat D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah yang beragam. Komposisi kimia pektin sangat tergantung pada sumber dan kondisi isolasinya. Jumlah unit asam anhidrogalakturonat setiap rantai adalah kurang dari 100 sampai lebih dari 1000. Rata-rata panjang rantai berbeda dari satu tanaman atau jaringan ke jaringan yang lain dan berubah sesuai dengan perkembangan jaringan (Glicksman 1969).


(16)

Pektin hampir semua dapat difermentasi oleh bakteri dalam usus besar dan memiliki efek fisiologis terhadap komponen lain yang tercerna (Theander dan Aman 1979). Pektin dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang merupakan hasil akhir metabolisme kolesterol. Makin banyak asam empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, makin banyak kolesterol yang dimetabolisme, sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya (Soesilawaty 2008). Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Kurnia 2007).


(17)

III.

METODE PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tanaman kolesom organik dan daun tanaman kolesom anorganik (masing-masing 5 sampel) yang dibudidayakan di daerah Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu etanol 95%, etanol 78%, aseton, buffer fosfat pH 6,0, termamyl

(120 L, Novo Laboratories), protease (P-3910, Sigma Chemical), amiloglukosidase (A-9913, Sigma Chemical), larutan NaOH 0,275 N, larutan HCl 0,325 M, celite C-211, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH 60%, H3BO3, indikator MM dan MB, viscozyme (V-2010, Sigma Chemical), EDTA-4Na, Na2B4O7 0,0125 M, H2SO4 pekat, 0,15% o-hidroksidifenil, 0,5% NaOH, standard asam galakturonat, Na-oksalat, akuades.

Alat-alat yang digunakan adalah oven pengering, neraca analatik, blender, desikator, crucible

dengan celite, tanur, waterbath shaker, pH meter, Buchner, labu Kjehldal, alat destilasi, spektrofotometer, dan alat-alat gelas lainnya.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian terdiri atas 3 tahap yaitu tahap budidaya tanaman kolesom secara organik dan anorganik, tahap persiapan sampel, dan tahap analisis kimia.

1.

Tahap Budidaya

Tahap pertama merupakan tahap pembudidayaan sampel hingga pemanenan. Tanaman kolesom dibudidayakan dengan pemupukan secara organik dan anorganik selama minggu keempat bulan Maret hingga minggu ketiga bulan Mei 2011 di Laboratorium Percobaan IPB, Leuwikopo. Perlakuan organik dan anorganik sampel dilakukan oleh peneliti dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri oleh 5 sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan secara organik dan 5 sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan secara anorganik. Tanaman dipanen setelah berumur 8 minggu, diambil tiga kali ulangan untuk analisis serat pangan dan substansi pektat supaya data yang diperoleh representatif.

Perlakuan pada masing-masing sampel adalah sebagai berikut: a. Sampel organik

b. Sampel anorganik

Tabel 2. Perlakuan pemupukan organik tanaman kolesom Perlakuan Pupuk kandang

(kg/ha)

Dosis N (kg/ha)

Guano (kg/ha)

Dosis P2O5 (kg/ha)

Abu sekam (ton/ha)

Dosis K2O (kg/ha)

Organik 1 6,1 22,82 75,6 7,88 2,7 29,70

Organik 2 9,2 34,42 151,2 15,77 4,1 45,10

Organik 3 12,3 46,01 226,8 23,66 5,5 60,50

Organik 4 15,4 57,61 302,4 31,54 6,8 74,80

Organik 5 18,4 68,83 378 39,42 8,2 90,20

Pupuk kandang memiliki kadar N sebesar 1,29% dengan kadar air basis basah sebesar 71%. Pupuk guano memiliki kadar P dalam bentuk P2O5 sebesar 10,43%, dan abu sekam memiliki kadar K dalam


(18)

bentuk K2O sebesar 1,10%. Jumlah masing-masing unsur (N, P, dan K) diperoleh dengan mengalikan jumlah pupuk (kg/ha) pada tiap perlakuan dengan persentase masing-masing unsur, kecuali untuk unsur N ada perhitungan yang sedikit berbeda karena pupuk kandang memiliki kadar air sebesar 71%. Contoh perhitungan pada perlakuan anorganik 1:

• dosis unsur N : (100-71)% x 1,29 x 6,1 kg/ha = 22.8201 kg/ha • dosis unsur P (dalam bentuk P2O5) : 10,43% x 75,6 kg/ha = 7,88508 kg/ha • dosis unsur K (dalam bentuk K2O) : (1,10% x 2,7) ton/ha x 1000 = 29,7 kg/ha

Tabel 3. Perlakuan pemupukan anorganik tanaman kolesom Perlakuan Urea (kg/ha) Dosis N

(kg/ha)

SP-36 (kg/ha)

Dosis P2O5 (kg/ha)

KCl (kg/ha)

Dosis K2O (kg/ha)

Anorganik 1 50 23,00 20 7,20 50 30,00

Anorganik 2 75 34,50 40 14,40 75 45,00

Anorganik 3 100 46,00 60 21,60 100 60,00

Anorganik 4 125 57,50 80 28,80 125 75,00

Anorganik 5 150 69,00 100 36,00 150 90,00

Pupuk urea memiliki kadar N sebesar 46%, pupuk SP-36 memiliki kadar P2O5 sebesar 36%, dan pupuk K2O memiliki kadar K sebesar 60%. Jumlah masing-masing unsur (N, P, dan K) diperoleh dengan mengalikan jumlah pupuk (kg/ha) pada tiap perlakuan dengan persentase masing-masing unsur, misalnya pada perlakuan anorganik 1:

• dosis unsur N : 46% x 50 kg/ha = 23 kg/ha • dosis unsur P (dalam bentuk P2O5): 36% x 20 kg/ha = 7,2 kg/ha • dosis unsur K (dalam bentuk K2O): 60% x 50 kg/ha = 30 kg/ha

2.

Tahap Persiapan Sampel

Bagian yang dapat dimakan dari sampel, yaitu sekitar 15 cm dari pucuk dipanen setelah tanaman berumur 8 minggu. Setelah dipanen, dilakukan penyortiran sampel sebagai langkah awal agar sampel yang digunakan representatif dan relatif seragam. Kemudian sampel dibersihkan dan dibagi menjadi dua. Sedikit sampel basah dianalisis kadar airnya, sebagian sampel yang lain dikeringkan menggunakan oven pengering. Sampel kering kemudian digiling sampai 30 mesh dan diperoleh tepung daun. Tepung daun ini kemudian dianalisis kadar air, serat pangan dan substansi pektatnya.

Sebelum dilakukan analisis serat pangan, sampel dikeringkan selama 17 jam dalam oven pengering pada suhu 60oC. Kehilangan bobot akibat penghilangan air, residu protein, abu, dan/atau lemak dicatat dan dibuat faktor koreksi yang tepat untuk menghitung % TDF, % IDF, dan % SDF.


(19)

3.

Tahap Analisis Kimia

Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)

Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator, diambil dengan penjepit. Cawan kering yang sudah didinginkan kemudian ditimbang beratnya. Pada cawan tersebut ditimbang 1-2 gram sampel, kemudian dikeringkan pada oven 105°C selama 3 jam untuk sampel kering dan 6 jam untuk sampel segar. Selanjutnya cawan beserta sampel didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot tetap (≤ 0,0005 g).

Perhitungan:

Kadar air basis basah:

Kadar air (g/100 g bahan basah) = W- (W1-W2) x 100 W

Kadar air basis kering:

Kadar air (g/100 g bahan kering) = W- (W1-W2) x 100 W1-W2

W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2 = bobot cawan kosong (g)

Analisis Total Serat Pangan (AOAC Official Methods 985.29)

Semua prosedur analisis dilakukan terhadap blanko untuk melihat apakah terdapat endapan non serat yang berasal dari reagen atau enzim yang tersisa dalam residu dan dapat terhitung sebagai serat pangan. Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g, dengan keakuratan hingga 0,1 mg, dalam gelas piala 200 ml. Perbedaan bobot antar sampel diusahakan tidak lebih dari 20 mg. Sebanyak 25 ml buffer fosfat pH 6,0 dimasukkan ke dalam gelas piala. Nilai pH diukur hingga pH 6,0±0,2. Sebanyak 0,05 ml larutan termamyl ditambahkan. Kemudian gelas piala ditutup menggunakan kertas aluminium foil

(alufo) dan diletakkan dalam air mendidih selama 15 menit, digoyangkan secara perlahan dalam interval waktu 5 menit. Waktu pemanasan dapat ditambahkan jika jumlah sampel yang ditempatkan di dalam waterbath menyulitkan untuk mencapai suhu internal antara 95-100oC. Termometer digunakan untuk memastikan tercapainya suhu 95-100oC selama 15 menit. Prosedur ini dapat dilakukan selama 30 menit. Selanjutnya larutan tersebut didinginkan pada suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7,5±0,2 dengan NaOH 0,275 N.

Sebanyak 2,5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel dengan cara dilengketkan pada ujung spatula. Protease dapat pula digunakan dalam bentuk larutan (50 mg dalam 1 ml buffer fosfat) yang dipipet sebanyak 0,05 ml dan dimasukkan ke dalam sampel sesaat sebelum digunakan.

Sampel ditutup kembali dengan kertas alufo. Lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu. Sampel didinginkan dan ditambahkan HCl. Nilai pH diukur hingga berkisar antara 4,0-4,6. Jika nilai pH belum tercapai, maka dapat ditetesi kembali dengan asam. Enzim amiloglukosidase (AMG) ditambahkan sebanyak 0,15 ml dan sampel ditutup kembali dengan kertas alufo. Selanjutnya diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu. Sebanyak 140 ml etanol 95% yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60oC (volume diukur setelah pemanasan) ditambahkan. Agar terbentuk endapan, sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit. Secara kuantitatif endapan disaring melalui crucible. Sebelumnya, crucible yang mengandung

celite ditimbang hingga keakuratan mendekati 0,1 mg.

Residu dicuci dengan 3 x 5 ml etil alkohol 78%, 2 x 5 ml etil alkohol 95%, dan 2 x 5 ml aseton secara berturut-turut. Pada beberapa sampel dapat saja terbentuk getah, filtrasi dapat dibantu


(20)

dengan pengadukan menggunakan spatula. Waktu yang dibutuhkan untuk pencucian dan penyaringan bervariasi antara 0,1 sampai 6 jam, rata-rata waktu yang dibutuhkan ialah 20 menit per sampel. Lamanya waktu filtrasi dapat dikurangi dengan penghisapan vakum secara hati-hati selama filtrasi.

Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven pengering pada suhu 105oC. lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mencapai 0,05 mg. Untuk memperoleh bobot residu, kurangi dengan bobot crucible dan celite.

Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6,25. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 475oC kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mendekati 0,1 mg. Kurangi dengan bobot crucible dan celite untuk memperoleh bobot abu.

Penentuan blanko :

B = blanko (mg) = bobot residu – PB – AB

Bobot residu = rata-rata bobot residu (mg) untuk sepuluh ulangan sampel blanko PB = bobot (mg) dari protein yang ditentukan dari sepuluh ulangan sampel blanko AB = bobot (mg) dari abu yang ditentukan dari sepuluh ulangan sampel blanko Perhitungan total serat pangan (TDF) :

TDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100 Bobot residu = rata-rata bobot residu (mg) untuk tiap ulangan sampel P = bobot (mg) dari protein yang ditentukan dari tiga ulangan sampel A = bobot (mg) dari abu yang ditentukan dari tiga ulangan sampel B = blanko (mg)

bobot sampel = bobot sampel (mg) yang diambil

Analisis Serat Pangan Tidak Larut (AOAC Official Methods 991.42)

Prosedur yang dilakukan sama dengan analisis total serat pangan, hingga langkah filtrasi sampel secara kuantitatif ke dalam crucible. Selanjutnya residu dicuci dengan 2 x 5 ml air (melarutkan SDF), 2 x 5 ml etil alkohol 95%, dan 2 x 10 ml aseton secara berturut-turut. Langkah pengeringan

crucible hingga tahap akhir serupa dengan prosedur total serat pangan. Perhitungan total serat pangan (TDF) :

IDF % = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100

Bobot residu = rata-rata bobot residu (mg) untuk tiap ulangan sampel P = bobot (mg) dari protein yang ditentukan dari tiga ulangan sampel A = bobot (mg) dari abu yang ditentukan dari tiga ulangan sampel B = blanko (mg)

bobot sampel = bobot sampel (mg) yang diambil

Analisis Serat Pangan Larut (metode

by difference

)

Penentuan kadar serat pangan larut dilakukan dengan mengurangkan kadar total serat pangan terhadap kadar serat pangan tidak larut.

Perhitungan total serat pangan (TDF) : SDF (%) = TDF (%) - IDF (%)

Analisis Kadar Substansi Pektat

Substansi pektat dihitung berdasarkan metode kolorimetrik McCready dan McComb (1952) yang telah dimodifikasi oleh Blumenkrantz dan Asboe-Hansen (1973). Anhidrouronat yang diperoleh


(21)

dari hidrolisis terhadap substansi pektat dengan diberi orto-hidroksidifenil akan menghasilkan warna yang dapat diukur pada panjang gelombang 520 nm. Sampel kering kolesom ditimbang sebanyak 0,1 g, diekstrak dengan etanol 70% 10 ml. Larutan disaring dan endapan diambil, ditambahkan 10 ml reagen versen (larutan Na-EDTA 0,5%). Larutan sampel diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang untuk melarutkan substansi pektat. Larutan diasamkan sampai pH 3,3-5,5 menggunakan asam asetat, selanjutnya ditambahkan 0,05 ml viscozyme (V2010) yang mengandung pektinase, silanase, arabinase, selulase, hemiselulase dan β-glukanase. Larutan diinkubasi pada suhu 25 ºC selama 60 menit. Volume campuran ditepatkan sampai 25 ml dengan aquades, kemudian disaring dan diperoleh filtrat. Filtrat dipipet 0,8 ml, kemudian ditambahkan 4,8 ml larutan tetraborat dalam asam sulfat pekat (0,0125 M larutan Na2B4O7 dalam asam sulfat pekat). Larutan sampel didinginkan pada penangas es sampai suhu 4 ºC, dan divortek. Sampel dipanaskan dalam penagas air 100 ºC selama 5 menit, didinginkan kembali dalam penangas es sampai suhu 20 ºC. Sampel kemudian ditambahkan 0,08 ml larutan o-hidroksidifenil (0,075 g o-o-hidroksidifenil dilarutkan dalam NaOH 0,5%) dan divortek. Sampel dibiarkan selama ± 5 menit sampai terbentuk warna yang sempurna. Sampel diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Blanko dibuat dengan memipet 0,8 ml aquades diperlakukan sama seperti sampel tetapi tidak ditambahkan o-hidroksidifenil.

Standar asam galakturonat ditimbang sebanyak 24,1 mg, ditambahkan 2 ml NaOH 0,05 N, diencerkan hingga volume 100 ml dengan akuades. Larutan standar dibiarkan semalam pada suhu kamar. Setiap ml larutan standar mengandung 24,1 mg/L asam galakturonat. Kurva standar dibuat dengan mengencerkan larutan standar menggunakan aquades. Standar dipipet 0,8 ml dan direaksikan sama seperti pada sampel. Perhitungan kadar substansi pektat dengan persamaan regresi y = ax + b. Kadar substansi pektat (% bk) = konsentrasi (mg/L) x volume akhir (ml) x 1 L/1000 ml x 100% berat sampel (gram bk)

4.

Analisis Data

Data analisis kimia dianalisis menggunakan statistik ANOVA untuk melihat perbedaan antar tiap sampel, dan statistik uji t untuk melihat perbedaan antarbudidaya.

5.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pengujian dilakukan dengan menggunakan model matematika:

Yij = μ + τi + βj + εij

Keterangan:

i = 1, 2, 3, …, 6 j = 1, 2, 3, …, r

Yij = pengamatan pada perlakuan kelompok ke-i dan kelompok ke-j μ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan (organik/anorganik)

βj = pengaruh kelompok ke-j

εij = pengaruh acak perlakuan ke-I dan kelompok ke-j Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut:

H0: τ1 = … = τr = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu i di mana τi ≠ 0

Pengaruh pengelompokan:

H0: β1 = … = βr = 0 (kelompok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu j di mana βj ≠ 0


(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil Budidaya dengan Pemupukan Organik dan Anorganik Tanaman

Kolesom (

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd

Secara visual tampak bahwa tanaman kolesom hasil budidaya dengan pemupukan secara anorganik lebih subur dan lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan tanaman kolesom hasil budidaya dengan pemupukan secara organik. Daun kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik tampak memiliki lebih banyak cabang dan daun. Selain itu, daun kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik tampak relatif lebih tebal. Hasil budidaya tanaman kolesom organik dan anorganik terlihat pada gambar 7:

a b c d e

f g h i j

Gambar 8. Tanaman kolesom budidaya dengan pemupukan organik (a-e), dan anorganik (f-j)

B.

Analisis Kadar Serat Pangan Sayuran Kolesom

Analisis kadar serat pangan total (TDF), serat pangan tidak larut (IDF), dan substansi pektat dilakukan terhadap sampel yang telah dikeringkan. Sedangkan analisis data dilakukan untuk menghitung TDF dan IDF terkoreksi, serta kadar SDF dan substansi pektat dalam bobot segar dan basis kering.

1. Kadar Serat Pangan Sampel Segar

Sampel segar daun kolesom menunjukkan rata-rata hasil analisis kadar TDF sampel budidaya dengan pemupukan organik (6,01 g/100g sampel segar) lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (6,46 g/100g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar TDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 3 memiliki kadar TDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu sampel anorganik 3 memiliki kadar TDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 1 memiliki kadar TDF paling rendah dalam sampel segar.

Rata-rata hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan organik (5,48 g/100 g sampel segar) lebih rendah dibandingkan rata-rata hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (5,89 g/100 g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar IDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 4 memiliki kadar IDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan sampel


(23)

anorganik 5 memiliki kadar IDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 2 memiliki kadar IDF paling rendah dalam sampel segar.

 

a

 

 

b

 

 

c Keterangan:

Gambar 9. Histogram analisis sampel segar TDF (a), IDF (b), dan SDF (c)

Data SDF bobot basah sampel segar diperoleh dari pengurangan nilai TDF bobot basah sampel segar terhadap nilai IDF bobot basah sampel segar. Rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik (0,52 g/100 g sampel segar) lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis

Kode organik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha) Kode anorganik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha)

1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30

2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45

3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60

4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75


(24)

sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (0,57 g/100 g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar SDF paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 3 memiliki kadar SDF paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu sampel anorganik 5 memiliki kadar SDF paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 2 memiliki kadar SDF paling rendah dalam sampel segar. Hasil ini serupa hasil analisis IDF berdasarkan bobot segar sampel.

2. Kadar Serat Pangan Basis Kering

Hasil analisis TDF kolesom basis kering pun menunjukkan rata-rata kadar TDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik (77,78 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata TDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik (85,54 g/100 g bk). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada perlakuan dengan dosis pupuk yang sama menghasilkan kadar TDF yang berbeda pada budidaya dengan pemupukan organik dan budidaya dengan pemupukan anorganik dengan hasil dari budidaya dengan pemupukan anorganik lebih tinggi dibandingkan hasil budidaya dengan pemupukan organik. Bahkan terdapat perbedaan yang sangat tajam antara perlakuan 1 sampel budidaya dengan pemupukan organik yang memiliki kadar TDF 62,73 g/100 g bk dengan perlakuan 1 sampel budidaya dengan pemupukan organik yang memiliki kadar TDF 89,09 g/100 g bk. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar TDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,026. Taraf error (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan

nyata antara hasil analisis TDF sampel budidaya dengan pemupukan organik dan analisis TDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik.

Hasil analisis IDF sampel daun kolesom basis kering menunjukkan rata-rata kadar IDF sampel kolesom dengan pemupukan organik (70,95 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata kadar IDF sampel kolesom dengan pemupukan anorganik (77,94 g/100 g bk). Sama seperti hasil analisis TDF, hasil analisis IDF juga menunjukkan bahwa sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menghasilkan IDF lebih tinggi dibandingkan sampel budidaya dengan pemupukan organik pada perlakuan dengan dosis pupuk yang sama. Terdapat pula perbedaan nyata pada setiap perlakuan budidaya dengan pemupukan organik dan anorganik, kecuali pada perlakuan 3. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar IDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,022. Nilai (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan organik dengan analisis IDF sampel budidaya dengan pemupukan anorganik.

Perhitungan kadar SDF sampel basis kering juga dilakukan dengan mengurangkan hasil analisis TDF dengan IDF untuk tiap-tiap sampel (by difference). Rata-rata nilai SDF diperoleh dari rata-rata hasil pengurangan yang dilakukan untuk tiap perlakuan. Rata-rata kadar SDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik (6,83 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata kadar SDF sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik (7,60 g/100 g bk). Sama seperti hasil analisis TDF dan IDF, hasil analisis SDF juga menunjukkan bahwa sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menghasilkan SDF lebih tinggi dibandingkan sampel budidaya dengan pemupukan organik pada perlakuan yang sama. Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar SDF menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p 0,215. Nilai (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis SDF sampel budidaya organik dengan analisis SDF sampel budidaya anorganik.


(25)

a

 

b

 

c Keterangan:

a-h : nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata SDF berbeda nyata

antar sampel (nilai p < 0,05)

** : nilai rata-rata analisis SDF berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p < 0,05)

Gambar 10. Histogram analisis basis kering TDF (a), IDF (b), dan SDF (c)

Kode organik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha) Kode anorganik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha)

1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30

2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45

3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60

4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75


(26)

3. Kadar Substansi Pektat

Rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik (0,35 g/100 g sampel segar) lebih rendah daripada rata-rata hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik (0,40 g/100 g sampel segar). Hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan organik menunjukkan bahwa sampel organik 1 memiliki kadar substansi pektat paling rendah dalam sampel segar, sedangkan sampel organik 4 memiliki kadar substansi pektat paling tinggi dalam sampel segar. Sementara itu, hasil analisis sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan sampel anorganik 5 memiliki kadar substansi pektat paling tinggi dalam sampel segar, sementara sampel anorganik 4 memiliki kadar substansi pektat paling rendah dalam sampel segar.

Rata-rata kadar substansi pektat basis kering untuk sampel kolesom budidaya dengan pemupukan organik (3,64 g/100 g bk) lebih rendah daripada rata-rata kadar substansi pektat sampel kolesom budidaya dengan pemupukan anorganik (4,27 g/100 g bk bk). Uji t yang dilakukan untuk melihat perbedaan kadar substansi pektat menunjukkan bahwa kedua jenis budidaya memiliki nilai p sebesar 0,781. Nilai (α) yang digunakan pada analisis ini adalah 0,5. Artinya, tidak terdapat perbedaan nyata antara hasil analisis substansi pektat sampel budidaya organik dengan analisis substansi pektat sampel budidaya anorganik.

a

b Keterangan:

a-h : nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata substansi pektat

berbeda nyata antar sampel (nilai p < 0,05)

* : nilai rata-rata analisis substansi pektat tidak berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p > 0,05)

Gambar 11. Histogram analisis substansi pektat sampel segar (a), dan basis kering (b)

Kode organik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha) Kode anorganik N (kg/ha) P (kg/ha) K (kg/ha)

1 22,82 7,88 29,70 1 23 7,2 30

2 34,42 15,77 45,10 2 34,5 14,4 45

3 46,01 23,65 60,50 3 46 21,6 60

4 57,61 31,54 74,80 4 57,5 28,8 75


(27)

C.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kadar Serat Pangan

Terjadinya perbedaan kadar serat pangan disebabkan perbedaan komposisi kimia dan sifat fisik sayuran. Sedangkan komposisi kimia dan sifat fisik tersebut dipengaruhi oleh spesies, kematangan (umur panen), bagian tanaman, dan perlakuan pada sampel sayuran tersebut (Anderson dan Clydesdale 1980). Kadar IDF sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan selulosa, hemiselulosa, dan lignin di dalam dinding sel tanaman, sedangkan kadar SDF sebagian besar dipengaruhi oleh kandungan pektin. Komponen selulosa menempati sekitar 40-45% bagian dinding sel tanaman berkayu maupun bertangkai, komponen lignin menempati sekitar 40% bagian dinding sel tanaman, selebihnya merupakan komponen hemiselulosa dan pektin (Sjostrom 1995, Fengel dan Wegener 1995). Hal ini menyebabkan kadar IDF di dalam sayuran yang dimakan beserta tangkainya lebih besar dibandingkan kadar SDF di dalamnya.

 

Gambar 17. Struktur dinding sel tanaman (IPPA 2002)

Besarnya kadar IDF ini merupakan keunggulan sayuran kolesom sebab konsumsi serat sebesar 13 g/hari dapat menurunkan resiko timbulnya kanker kolon (Howe 1992). Kemampuan serat pangan dalam menurunkan resiko penyakit kanker kolon ini berkaitan erat dengan sifat IDF yang mampu menurunkan waktu transit makanan di dalam usus dan memperbesar volum feses (Southgate dan Penson 1983). Selain itu, kadar IDF di dalam daun kolesom juga lebih tinggi dibandingkan kadar IDF dari berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan yang sudah diketahui nilainya.

Rata-rata TDF dan IDF kolesom, baik yang mengalami perlakuan secara organik maupun anorganik, menunjukkan angka yang tinggi. Penelitian ini menunjukkan daun kolesom mengandung 6-6,5 gram TDF di dalam 100 gram kolesom segar. Artinya untuk memenuhi kecukupan serat sebesar 28-30 g/hari, manusia perlu memakan sekitar 400 gram kolesom segar. Atau dengan kata lain, konsumsi 100 gram kolesom per hari mampu mencukupi hampir 25% kebutuhan serat harian manusia. Konsumsi daun kolesom yang disarankan adalah sebesar 200-250 gram atau dua cangkir per hari. Porsi ini dapat memenuhi sekitar 50% kebutuhan serat harian. Untuk mencapai 100% pemenuhan kebutuhan serat harian, perlu dikombinasikan dengan bahan pangan lain yang juga tinggi kadar serat pangannya.

Kadar TDF dan IDF sayuran kolesom lebih tinggi dibandingan dengan berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan. Menurut Giese (1973), daun memiliki jaringan parenkim yang membentuk lapisan sel palisade pada permukaan daun. Pada daun juga terdapat tangkai yang merupakan jaringan meristematis yang selalu membelah dan terkomposisi sebagai jaringan yang sangat muda. Kedua jaringan ini memiliki sel-sel yang tipis dan tidak terlignifikasi. Hal ini menyebabkan sayuran daun seperti kolesom memiliki kadar serat pangan yang lebih tinggi daripada jenis sayuran lain sebab sayuran daun tidak hanya dimakan daunnya tetapi juga sebagian tangkainya yang masih muda sebagai


(28)

Tabel 4. Kadar serat pangan pada beberapa jenis sayuran dan kacang-kacangan

Jenis sayuran Nama latin Metode Serat Pangan (g/100 g basis kering)

TDF IDF SDF Kacang tanaha Arachis hypogaea L. Asp, 1995 10,91 ± 2,84 9,63 ± 2,50 1,18 ± 0,24 Kacang polongb Pisum sativum Asp, 1983 13,17 ± 1,64 11,31 ± 1,51 1,86 ± 0,86 Wortelc Daucus carota L. AOAC, 1990 26,78 ± 1,13 10,46 ± 1,26 16,32 ± 4,79 Tomat hijaud Solanum

lycopersicum Asp, 1983 32,84 ± 0,23 25,22 ± 0,47 7,62 ± 0,24

Genjerd Limnocharis flava Asp, 1983 39,38 ± 1,29 31,74 ± 0,94 7,62 ± 0,35 Kacang kedelai 1e Glycine max (L.) Asp, 1992 35,22 ± 0,23 30, 43 ± 0,25 4,36 ± 0,04 Daun jambu

meted

Anacardium

occidentale L. Asp, 1983 45,64 ± 1,29 39,98 ± 0,20 5,66 ± 1,09

Daun ubi jalard Ipomoea batatas Asp, 1983 46,66 ± 1,41 39,82 ± 0,28 6,82 ± 0,56

Pariad Momordica

charantia Asp, 1983 49,34 ± 1,09 42,96 ± 0,35 6,38 ± 0,42

Kemangid Ocinum bassilicum

ferina citratum Asp, 1983 50,63 ± 0,89 43,51 ± 2,00 7,12 ± 1,11 Daun singkongd Manihot utilissima Asp, 1983 52,26 ± 2,72 43,03 ± 2,74 9,23 ± 0,01 Daun melinjod Gnetum gnemon Asp, 1983 57,45 ± 0,16 48,69 ± 0,25 876 ± 0,09 Daun pepayad Carica papaya Asp, 1983 57,46 ± 2,26 48,75 ± 0,35 8,71 ± 0,49 Kacang kedelai 2e Glycine max (L.) AOAC, 1999 59,42 ± 0,10 57,65 ± 0,23 1,31 ± 0,02 Pakisd Cycas rumphii Asp, 1983 60,97 ± 0,52 53,64 ± 0,81 7,33 ± 0,25 Poh-pohand Pilea trinervia Asp, 1983 67,03 ± 0,44 57,04 ± 0,25 9,99 ± 0,15 Beluntasd Pluchea indica Asp, 1983 70,26 ± 1,06 67,29 ± 1,09 2,97 ± 0,03 Daun kolesom

organic

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 77,78 ± 8,32 70,95 ± 8,47 6,83 ± 0,46

Daun kolesom anorganik

Talinum triangulare

(Jacq.) Willd AOAC, 1999 85,54 ± 3,22 77,94 ± 3,08 7,60 ± 0,64

a

Kutoz et al. (2003) b

Stoughton-Ens et al. (2009) c

Englyst dan Hudson (1996) d

Desminarti (2001) e

Jelita (2011)

Faktor lain yang menyebabkan munculnya angka yang tinggi hasil analisis serat pangan pada sayuran daun kolesom adalah karena perbedaan metode analisis yang digunakan. Beberapa sayuran dianalisis kadar serat pangannya menggunakan metode AOAC, sementara beberapa sayuran yang lain menggunakan metode Asp. Perbedaan hasil analisis serat pangan dengan kedua metode terlihat pada kacang kedelai. Kacang kedelai yang dianalisis serat pangannya menggunakan metode Asp menunjukan hasil kadar TDF sebesar 35,22%, sementara kacang kedelai yang dianalisis menggunakan metode AOAC menunjukkan hasil kadar TDF sebesar 59,42%. Perbedaan keduanya hampir 20%.

Perbedaan metode analisis serat pangan AOAC dan Asp terletak pada enzim yang digunakan. Enzim yang digunakan pada metode AOAC untuk menghidrolisis pati ialah amiloglukosidase, sementara pada metode Asp digunakan enzim pankreatin (Uhlig 1998). Selain enzim yang digunakan untuk menghidrolisis pati, perbedaan lainnya antara metode AOAC dan metode Asp ialah penggunaan enzim untuk menghidrolisis protein. Metode AOAC menggunakan enzim protease, sementara metode Asp menggunakan enzim fisiologis, yaitu pepsin dan pakreatin (Asp 2001). Pendekatan yang


(29)

digunakan pada metode AOAC adalah penghilangan semua komponen pangan selain serat pangan sehingga yang terhitung sebagai residu hanya serat pangan, sementara metode Asp dilakukan seperti yang terjadi di dalam tubuh manusia. Penggunaan enzim pada metode Asp ini didasarkan pada definisi serat pangan sebagai komponen yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia (Trowell 1974). Metode Asp menghasilkan angka yang lebih kecil sebab hidrolisis protein terjadi dua kali, yaitu saat menggunakan enzim pankreatin dan pepsin. Sayuran dan kacang-kacangan pada tabel di atas yang dianalisis menggunakan metode AOAC hanya kacang polong, wortel, kacang kedelai 2, daun kolesom, selebihnya menggunakan metode Asp. Sayuran daun yang dianalisis menggunakan metode AOAC hanya kolesom. Oleh karena itu hasil analisis serat pangan sampel kolesom lebih tinggi dibandingkan sayuran daun lainnya.

Selain mengandung TDF dan IDF dalam kadar yang tinggi, daun kolesom juga menunjukkan kadar SDF yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SDF pada berbagai jenis sayuran dan kacang-kacangan di atas. Kadar SDF pada daun kolesom organik lebih tinggi dibandingkan kadar SDF pada kacang tanah, kacang polong, daun jambu mete, kacang kedelai 2, daun ubi jalar, paria, dan beluntas. Sedangkan kadar SDF pada daun kolesom anorganik lebih tinggi dibandingkan kacang tanah, kacang polong, daun jambu mete, kacang kedelai 2, daun ubi jalar, kemangi, paria, pakis, dan beluntas. Kadar SDF kolesom tampak jauh lebih rendah dari kadar SDF wortel. Hal ini dikarenakan kolesom merupakan sayuran daun yang dimakan beserta bagian batangnya yang masih muda. Namun demikian, SDF kolesom memiliki kelebihan dilihat dari besarnya kadar substansi pektin.

Tabel 5. Kadar pektin pada beberapa jenis buah dan sayuran dengan metode kolorimetrik

Sumber Nama Latin

Kadar pektin dalam bentuk asam anhidro galakturonat (g/100g

basis kering)

Rujukan

Lengkeng Dimocarpus longan 0,34 Voragen et al. (1983)

Rasberi Rubus idaeus 0,34 Voragen et al. (1983)

Kolesom anorganik Talinum triangulare

(Jacq.) Willd 0,35  

Kolesom anorganik Talinum triangulare

(Jacq.) Willd 0,40  

Apel Pyrus malus 0,39-0,49 Ross et al. (1985)

Kacang-kacangan Legumoniceae 0,43-0,63 Ross et al. (1985)

Jeruk orange Citrus sinensis 0,57 Ross et al. (1985)

Ubi jalar Ipomoea batatas 0,61

Vollendorf dan Marlett (1993)

Jeruk lemon Citrus limon 0,63 Vollendorf dan Marlett

(1993)

Grapefruit Citrus x paradise 0,65 Graumlich (1981)

Anggur Vitis vinifera 0,7-0,8 Morrison (1990)

Wortel Daucus carota L. 0,72-1,01 Ross et al. (1985)

*


(30)

Kadar pektin di dalam kolesom lebih rendah dibandingkan dengan kadar pektin pada berbagai jenis buah dan sayur, kecuali lengkeng dan rasberi. Namun, diperkirakan kadar pektin pada kolesom akan lebih tinggi jika hanya dihitung berdasarkan basis bobot daun saja, bukan bobot edible portion. Sebab, edible portion sayuran kolesom terdiri atas daun dan tangkai yang masih muda. Rendahnya kadar pektin pada sayuran kolesom dibandingkan berbagai buah dan sayuran di atas disebabkan karena protopektin di dalamnya tidak banyak diubah menjadi pektin seperti yang terjadi pada sebagian besar buah-buahan maupun sayuran dengan kadar gula yang mengalami pematangan. Proses pengubahan protopektin menjadi pektin terjadi pada saat buah-buahan dan sebagian sayuran mengalami pematangan sehingga terasa lebih manis dan empuk ketika dikonsumsi (Bartley 1982). Namun sayuran daun kolesom tidak perlu mengalami pematangan pada saat dikonsumsi, sehingga kandungan protopektinnya lebih tinggi dibandingkan kandungan pektinnya. Protopektin tidak larut dalam etanol sehingga tidak dapat lolos ketika dilakukan penyaringan pada metode analisis yang digunakan (Stasse-Wolthuis 1980).

Namun demikian kandungan pektin di dalam kolesom sebesar 0,35-0,40 g/100 g ini cukup besar dan memiliki manfaat fungsional untuk kesehatan manusia. Kemampuan pektin ini dibuktikan oleh penelitian Baker (1994) yang menyatakan bahwa pektin sebesar 0,23 g/100 g dari kulit buah jeruk orange yang dicampurkan ke dalam ransum dapat menurunkan kadar LDL tikus percobaan hingga 5% serta menurunkan respon glukosanya.

D. Pengaruh

Pemupukan

terhadap Biosintesis Karbohidrat

Berdasarkan keseluruhan hasil analisis serat pangan dan substansi pektat di atas, dapat dilihat bahwa hasil budidaya dengan pemupukan anorganik lebih baik dibandingkan hasil budidaya dengan pemupukan organik meskipun dengan perlakuan yang sama. Hal ini terjadi karena kandungan pupuk anorganik yang sudah dalam bentuk ion-ion yang mudah larut sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman sehingga unsur-unsur tersebut lebih mudah digunakan di dalam proses fotosintesis (Lingga dan Marsono 2007, Hasibuan 2006). Sementara itu, pupuk organik membutuhkan waktu lebih lama untuk diserap tanaman sebab kandungan di dalamnya masih berupa senyawa organik kompleks yang perlu didekomposisi terlebih dahulu sebelum dapat digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu umumnya tanaman yang dibudidayakan menggunakan pupuk organik membutuhkan waktu panen sekitar 2-3 minggu lebih lama sebelum dapat dipanen (Lingga dan Marsono 2007). Hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi efisisensi budidaya, dalam hal ini berarti pemupukan anorganik lebih efisien dibandingkan dengan pemupukan organik. Bahkan jika dikonversi menjadi keuntungan ekonomi, hasil pemupukan anorganik lebih tinggi dibandingkan hasil pemupukan organik sebab selain harga pupuknya lebih murah (untuk dosis yang sama), waktu pembudidayaan yang lebih singkat juga dapat menghemat biaya perawatan tanaman. Namun prospek keunggulan budidaya dengan pemupukan organik selalu perlu dikaji untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitasnya, mengingat sistem budidaya ini sangat mendukung program pertanian berkelanjutan.

Masing-masing unsur N, P, dan K dominan dalam pemupukan. Unsur N berperan dalam kemampuan tanaman berfotosintesis, sehingga secara langsung unsur ini mempengaruhi pembentukan komponen karbohidrat (Leiwakabessy dan Sutandi 1998). Unsur P juga memiliki fungsi penting pada tanaman untuk penyimpanan dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP). Penggunaan dan pembentukan ATP serta ADP ini juga terjadi pada proses fotosintesis yang menghasilkan komponen karbohidrat (Jones 1998). Selain itu unsur K juga berperan dalam

mempercepat pembentukan karbohidrat pada tanaman (Sutedjo dan Kartasapoetra 1988). Artinya,

setiap unsur tersebut memiliki peran yang signifikan terhadap pembentukan karbohidrat di dalam tanaman. Salah satu komponen karbohidrat yang terbentuk adalah serat pangan. Oleh karena itu


(31)

penggunaan jumlah pupuk dengan kandungan N, P, dan K perlu benar-benar diperhatikan dosisnya. Khusus untuk pupuk organik, perlu diperhatikan pula waktu yang diperlukan untuk dekomposisi unsur-unsur yang terkandung di dalamnya sebab faktor ini juga akan mempengaruhi total biaya yang diperlukan untuk proses budidaya. Tanpa memperhatikan proses pemupukan organik maupun anorganik, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman kolesom yang dibudidayakan dengan perlakuan 3 memiliki kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat yang secara konsisten relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sampel-sampel yang lain, yaitu dengan dosis pemupukan sebesar ± 46 kg N/ha, 21-24 kg P2O5/ha, dan 60-60,5 kg K2O/ha.


(32)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar serat pangan total (TDF), serat pangan larut (SDF), serat pangan tidak larut (IDF), serta substansi pektat pada budidaya dengan pemupukan organik dan anorganik menunjukkan bahwa rata-rata sampel budidaya dengan pemupukan anorganik menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada sampel budidaya dengan pemupukan organik. Namun demikian dapat pula dilihat bahwa terdapat sampel budidaya dengan pemupukan organik yang memiliki hasil mirip dengan perlakuan anorganik yaitu sampel organik 3. Uji t-student menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada taraf kepercayaan 95% antara hasil kedua pemupukan untuk analisis TDF, SDF, dan IDF, namun tidak berbeda nyata untuk hasil analisis substansi pektat.

Kadar IDF di dalam sampel daun kolesom memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kadar SDF di dalamnya. Kadar substansi pektat di dalam sampel daun kolesom menunjukkan hasil yang tinggi dengan nilai di atas 0,23 g/100 g sampel kering, berarti bahwa daun kolesom memiliki potensi pektin yang baik untuk dapat menurunkan kadar LDL di dalam darah. Oleh karena itu, jenis dan jumlah serat pangan ini, baik IDF maupun SDF merupakan keunggulan yang mempunyai manfaat fungsional bagi tanaman kolesom.

B. Saran

Berdasarkan hasil yang telah dianalisis, disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas pemupukan secara organik selama proses pembudidayaan sebelum panen berlangsung. Disarankan juga dilakukan penelitian yang sama terhadap kolesom dengan waktu panen yang berbeda antara tanaman organik dengan anorganik, tanaman organik memiliki masa panen 2-3 minggu lebih lama dibandingkan tanaman anorganik Selain itu perlu juga dilakukan analisis yang lebih kompleks mengenai komponen penyusun karbohidrat pada daun sayuran kolesom yang dibudidayakan dengan pemupukan secara organik maupun organik. Beberapa komponen yang disarankan untuk dianalisis tersebut adalah total gula, serta profil sakarida baik monosakarida maupun oligosakaridanya.


(33)

KANDUNGAN SERAT PANGAN DAUN KOLESOM (Talinum triangulare

(Jacq.) Willd) PADA BUDIDAYA DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK DAN

ANORGANIK

SKRIPSI

YOLANDA SYLVIA PRABEKTI

F24070133

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(1)

65

Lampiran 17. Analisis statistik (uji

t-student

) TDF basis kering sampel daun kolesom pemupukan organik dan anorganik

Group Statistics

Sampel N Mean Std, Deviation Std, Error Mean

TDF Organic 15 77,7821 8,31716 2,14748

anorganik 15 85,5386 3,22474 0,83262

Independent Samples Test Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig, t df

Sig, (2-tailed)

Mean Difference

Std, Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

TDF Equal variances

assumed 5,544 0,026 -3,368 28 0,002 -7,75648 2,30325 -12,47447 -3,03850

Equal variances not


(2)

66

Lampiran 18. Analisis statistik (uji

t-student

) IDF basis kering sampel daun kolesom pemupukan organik dan anorganik

Group Statistics

Sampel N Mean Std, Deviation Std, Error Mean

IDF Organic 15 70,9508 8,47005 2,18696

anorganik 15 77,9426 3,08275 0,79596

Independent Samples Test Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig, t df

Sig, (2-tailed)

Mean Difference

Std, Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

IDF Equal variances

assumed 5,859 0,022 -3,004 28 0,006 -6,99187 2,32730 -11,75913 -2,22460

Equal variances not


(3)

67

Lampiran 19. Analisis statistik (uji

t-student

) SDF basis kering sampel daun kolesom pemupukan organik dan anorganik

Group Statistics

Sampel N Mean Std, Deviation Std, Error Mean

SDF Organic 15 6,8313 0,45801 0,11826

anorganik 15 7,5959 0,63901 0,16499

Independent Samples Test Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig, t df

Sig, (2-tailed)

Mean Difference

Std, Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

SDF Equal variances

assumed 1,607 0,215 -3,767 28 0,001 -,76462 ,20300 -1,18043 -,34880

Equal variances not


(4)

68

Lampiran 20. Analisis statistik (uji

t-student

) substansi pektat basis kering sampel daun kolesom pemupukan organik dan

anorganik

Group Statistics

Sampel N Mean Std, Deviation Std, Error Mean

Substansi_pektat organik 15 3,6373 0,34053 0,08793

anorganik 15 4,2732 0,44538 0,11500

Independent Samples Test Levene's Test for

Equality of Variances t-test for Equality of Means

F Sig, t df

Sig, (2-tailed)

Mean Difference

Std, Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

Substansi_ pektat

Equal variances

assumed 0,079 0,781 -4,393 28 0,000 -,63596 0,14476 -,93249 -,33944

Equal variances


(5)

69

Lampiran 21. Kurva standar asam anhidrogalakturonat

y = 0.003x + 0.028 R² = 0.997

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

0 50 100 150 200 250

A

b

so

r

b

an

si

Konsentrasi (mg/L) Kurva Standard

Kurva standard asam galakturonat

mg/L Absorbansi

I II III Rata-rata

0,00 0,000 0,000 0,000 0,0000 24,10 0,103 0,103 0,103 0,1030 48,20 0,206 0,206 0,206 0,2060 96,40 0,385 0,386 0,386 0,3855 144,60 0,557 0,557 0,557 0,5570 192,80 0,709 0,709 0,709 0,7090


(6)

70

Lampiran 22. Dokumentasi tanaman kolesom hasil budidaya dengan

pemupukan organik dan anorganik

lahan budidaya kolesom