BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan mempunyai manfaat penting bagi kehidupan, yaitu adanya hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu. Menurut Suharisno 2008, jumlah dari semua
kelompok Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK sebanyak 557 jenis. Namun, yang sudah berkembang dan mendapat perhatian dari pemerintah maupun pengusaha
masih terbatas pada sepuluh jenis yang merupakan HHBK unggulan nasional, yaitu: gondorukem, bambu, arang, kemiri, getah jelutung, gambir, sutera alam,
lebah, madu, gaharu, dan rotan. Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK mempunyai kontribusi penting bagi
pembangunan berkelanjutan, yaitu kelestarian hutan untuk generasi yang akan datang. Getah pinus merupakan salah satu HHBK yang dapat diolah menjadi
gondorukem dan terpentin. Berdasarkan FAO 2010, Indonesia berada di urutan terbesar ke dua setelah Cina dalam perdagangan getah pinus internasional.
Produksi getah dari Cina sebesar 430.000 ton 60 dari total produksi di dunia sedangkan Indonesia menghasilkan 69.000 ton 10 dari total produksi di dunia.
Menurut Perhutani 2006, getah pinus merupakan salah satu komoditi yang
memiliki jumlah permintaan tinggi baik di pasar lokal maupun internasional, dimana 80 produksinya dialokasikan untuk kebutuhan ekspor ke Eropa, India,
Korea Selatan, Jepang dan Amerika. Berdasarkan data Perhutani 2011, pada tahun 2010, produksi gondorukem Perhutani Indonesia sebesar 55.000 ton dan
terpentin sebesar 11.700 ton. Sedangkan permintaan gondorukem di dunia naik sampai 1 juta ton per tahun. Oleh karena itu, produksi gondorukem Indonesia
untuk tahun 2011 ditargetkan sebesar 65.000 ton dan terpentin 15.000 ton. Permintaan getah pinus di Indonesia maupun di dunia semakin meningkat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas getah pinus di Indonesia. Meningkatkan produktivitas getah pinus dapat dilakukan
dengan cara pemberian stimulansia. Namun, stimulansia yang sering dikenal adalah stimulansia anorganik berupa cairan asam sulfat yang dapat menyebabkan
kerusakan pada pohon pinus, lingkungan, dan mengganggu kesehatan penyadap
getah serta olahannya tidak dapat dijadikan food grade. Menurut LIPI 2004, uap asam sulfat dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan serta
mengganggu paru-paru. Selain itu, cairan asam sulfat juga dapat merusak kulit dan menimbulkan kebutaan jika terkena mata.
Pengelolaan hutan pinus lestari memerlukan stimulansia yang tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas getah pinus, tetapi juga harus aman bagi
penyadap getah serta tidak merusak pohon dan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan stimulansia organik dan ZPT yang dapat
meningkatkan produktivitas getah pinus, tidak merusak pohon dan lingkungan, aman bagi penyadap getah serta getahnya dapat dijadikan food grade.
1.2 Rumusan Masalah