Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan mempunyai manfaat penting bagi kehidupan, yaitu adanya hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu. Menurut Suharisno (2008), jumlah dari semua kelompok Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sebanyak 557 jenis. Namun, yang sudah berkembang dan mendapat perhatian dari pemerintah maupun pengusaha masih terbatas pada sepuluh jenis yang merupakan HHBK unggulan nasional, yaitu: gondorukem, bambu, arang, kemiri, getah jelutung, gambir, sutera alam, lebah, madu, gaharu, dan rotan.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) mempunyai kontribusi penting bagi pembangunan berkelanjutan, yaitu kelestarian hutan untuk generasi yang akan datang. Getah pinus merupakan salah satu HHBK yang dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Berdasarkan FAO (2010), Indonesia berada di urutan terbesar ke dua setelah Cina dalam perdagangan getah pinus internasional. Produksi getah dari Cina sebesar 430.000 ton (60% dari total produksi di dunia) sedangkan Indonesia menghasilkan 69.000 ton (10% dari total produksi di dunia). Menurut Perhutani (2006), getah pinus merupakan salah satu komoditi yang memiliki jumlah permintaan tinggi baik di pasar lokal maupun internasional, dimana 80% produksinya dialokasikan untuk kebutuhan ekspor ke Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan Amerika. Berdasarkan data Perhutani (2011), pada tahun 2010, produksi gondorukem Perhutani Indonesia sebesar 55.000 ton dan terpentin sebesar 11.700 ton. Sedangkan permintaan gondorukem di dunia naik sampai 1 juta ton per tahun. Oleh karena itu, produksi gondorukem Indonesia untuk tahun 2011 ditargetkan sebesar 65.000 ton dan terpentin 15.000 ton.

Permintaan getah pinus di Indonesia maupun di dunia semakin meningkat. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas getah pinus di Indonesia. Meningkatkan produktivitas getah pinus dapat dilakukan dengan cara pemberian stimulansia. Namun, stimulansia yang sering dikenal adalah stimulansia anorganik berupa cairan asam sulfat yang dapat menyebabkan kerusakan pada pohon pinus, lingkungan, dan mengganggu kesehatan penyadap


(2)

getah serta olahannya tidak dapat dijadikan food grade. Menurut LIPI (2004), uap asam sulfat dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan serta mengganggu paru-paru. Selain itu, cairan asam sulfat juga dapat merusak kulit dan menimbulkan kebutaan jika terkena mata.

Pengelolaan hutan pinus lestari memerlukan stimulansia yang tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas getah pinus, tetapi juga harus aman bagi penyadap getah serta tidak merusak pohon dan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan stimulansia organik dan ZPT yang dapat meningkatkan produktivitas getah pinus, tidak merusak pohon dan lingkungan, aman bagi penyadap getah serta getahnya dapat dijadikan food grade.

1.2Rumusan Masalah

Getah pinus merupakan hasil hutan yang penting untuk memenuhi kebutuhan industri. Seiring dengan pertumbuhan industri yang semakin pesat, permintaan getah pinus di Indonesia dan di dunia semakin meningkat. Selama ini, peningkatan produksi getah dilakukan dengan menggunakan stimulansia anorganik, misalnya asam sulfat yang dapat berdampak buruk bagi pohon, lingkungan, dan penyadap. Oleh karena itu, stimulansia organik sangat diperlukan untuk menggantikan stimulansia anorganik demi mencapai pengelolaan hutan lestari, keselamatan kerja penyadap dan peningkatan produktivitas getah yang lebih tinggi.

1.3Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh penggunaan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap produktivitas getah pinus.

2. Menghitung nilai tambah produktivitas penyadapan getah pinus dari penggunaan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT).

1.4Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua pihak yang memerlukan informasi tentang penyadapan getah pinus menggunakan stimulansia


(3)

organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Bagi pengelola Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah informasi dan bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan produktivitas getah pinus dengan aman dan ramah lingkungan. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan dan informasi dalam pemecahan masalah dan pembuatan keputusan suatu kasus nyata yang terkait atau lainnya.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Pinus

Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus atau tusam atau Pinus merkusii

Jungh et de Vriese berasal dari famili Pinaceae. Pohon ini biasa juga disebut dengan pohon Damar Batu, Damar Bunga, Huyam, Kayu Sala, Kayu Sugi, Uyam dan Tusam (Sumatera) atau Pinus (Jawa). Daerah penyebaran P. merkusii di Indonesia yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan seluruh Jawa.

Menurut Mirov (1967), penyebaran dan tempat tumbuh P. merkusii

adalah di bagian Selatan Shan (Burma) di ketinggian 150-750 m dpl. Daerah ini merupakan batas paling utara tempat tumbuh P. merkusii yaitu di 20° LU, kemudian di Laos bagian tengah sekelompok P. merkusii tumbuh di ketinggian 700 m dpl sedangkan di Kamboja, P. merkusii tumbuh di ketinggian 100-300 m dpl. Selain itu, P. merkusii juga ditemukan di daratan tinggi (1000 m dpl) di barat daya Kamboja yang merupakan tempat tumbuh tegakan murni P. merkusii paling luas, sedangkan di Vietnam, berada pada ketinggian 500-1200 m dpl dan tumbuh dengan jarang di pegunungan-pegunungan Vietnam serta di Red River di Lao Kai. Tusam dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai C, pada ketinggian 200-1700 m dari permukaan laut, kadang-kadang tumbuh di bawah 200 m dan mendekati daerah pantai (Priyono dan Siswamartana 2002).

2.2 Pinus sebagai Penghasil Getah

Menurut Atmosuseno dan Duljapar (1996), kegunaan pinus sangat banyak. Kayunya dapat digunakan untuk triplek, veneer, pulp, sutera tiruan dan bahan pelarut. Getahnya dapat dijadikan gondorukem, sabun, perekat, cat dan bahan kosmetik.

Hillis (1987) menyatakan bahwa getah yang dihasilkan pohon P. merkusii


(5)

terpentin yang menetes ke luar apabila saluran resin pada kayu atau kulit pohon jenis daun jarum tersayat atau pecah. Penamaan oleoresin ini dipakai untuk membedakan getah yang berasal dari getah (natural resin) yang muncul pada kulit atau dalam rongga-rongga jaringan kayu dari berbagai genus anggota Dipterocarpaceae atau Leguminoceae dan Caesalpiniaceae.

Saluran getah atau saluran damar sering juga disebut sebagai saluran interseluller (intercelluler canal) karena memang saluran ini merupakan ruang-ruang antar sel epitel yang memanjang. Berdasarkan proses terbentuknya, saluran ini terjadi karena tiga cara, yaitu:

1. Lysigenous, dimana satu atau beberapa sel epitel hancur sehingga menjadi saluran

2. Schizogenous, beberapa sel epitel saling memisahkan diri atau menjauhkan diri sehingga terbentuk saluran. Sel-sel yang mengelilingi rongga saluran ini membelah diri menjadi sel epitel dan mengeluarkan getah ke saluran yang bersangkutan

3. Schizolysigenous, merupakan modifikasi dari Lysigenous dan Schizogenous yaitu penghancuran dan pemisahan.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya, saluran interseluler ini dapat dibagi atas dua macam, yaitu saluran damar karena luka (traumatic) dan saluran damar normal (merupakan struktur yang normal dalam kayu) (Pandit dan Kurniawan 2008).

Menurut Santosa (2011), saluran getah traumatis terbentuk diakibatkan oleh beberapa hal berikut :

1. Pohon mengembangkan saluran traumatik untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang terlalu ekstrim (misalnya: suhu dan kekeringan) agar pertumbuhan sel tidak terganggu.

2. Pembentukan getah meningkat akibat terjadinya luka atau stres berkepanjangan.

Pandit dan Ramdan (2002) menyatakan bahwa perbedaan saluran luka traumatik dengan saluran damar normal aksial adalah penyebarannya dalam deretan tangensial dan biasanya hanya terbatas pada bagian kayu awal. Dinding sel epitel yang membatasi saluran ini biasanya tebal dan bernoktah.


(6)

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Getah Pinus

Besarnya produksi getah pinus dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, dalam dan perlakuan. Faktor luar berupa bonita (kualitas tempat tumbuh), cuaca, ketinggian tempat tumbuh dan kerapatan pohon (Sahid 2010).

Peningkatan produksi getah pinus akibat pemberian stimulansia menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat, peningkatan produksi akan semakin menurun. Hal ini dimungkinkan karena faktor eksternal berupa suhu udara yang rendah serta berkurangnya penyinaran matahari. Karakeristik dari pemberian stimulansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa suhu, kadar O2 dan

kondisi cuaca (Santosa 2011).

Penjarangan sangat berpengaruh terhadap produktivitas getah. Penjarangan bertujuan agar cahaya matahari dapat masuk ke sekitar pohon dan luka sadapan yang menyebabkan aliran getah akan lancar (Doan 2007).

Menurut Doan (2007), pohon yang tumbuh pada lahan dengan nilai bonita yang besar, dapat menghasilkan getah dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pohon dengan yang tumbuh pada lahan yang memiliki nilai bonita kecil.

Doan (2007) dalam hasil penelitiannya, juga menyebutkan bahwa pohon pinus yang banyak menghasilkan getah memiliki ukuran tajuk yang lebat dan lebar. Tajuk yang besar memungkinkan pohon dapat menerima cahaya matahari yang lebih banyak.

Selanjutnya Wibowo (2006) menyebutkan bahwa semakin besar kelas diameter yang disadap cenderung semakin besar produksi getah pinus yang dihasilkan. Rahmawati (2004) dalam penelitiannya juga berpendapat mengenai hubungan produktivitas penyadapan getah terhadap diameter pohon, yaitu produksi getah yang dihasilkan semakin bertambah pada pertambahan diameternya, dan mencapai hasil optimum pada selang diameter 53-59 cm kemudian menurun kembali pada selang berikutnya. Akan tetapi, ada pohon dengan diameter kecil yang mengeluarkan getah cukup banyak meskipun dengan jumlah koakan yang sedikit. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor perbedaan energi yang didapat pada setiap pohon untuk berfotosintesis yang bersumber dari


(7)

sinar matahari untuk menghasilkan sejumlah produk sisa hasil dari fotosintesis tersebut yang berupa getah.

Faktor perlakuan yang berpengaruh terhadap produksi getah adalah bentuk sadapan, jumlah, pembaharuan luka dan stimulansia. Adhi (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari perbedaan jumlah koakan terhadap produksi getah pinus. Semakin banyak koakan, produksi getah per pohon semakin besar namun produksi getah per koakan akan semakin kecil. Pertambahan produksi akibat penambahan koakan meningkat sampai pada jumlah koakan empat dan selanjutnya produksi getah cenderung menurun. Jumlah koakan optimal untuk penyadapan pohon pinus berdiameter 40-50 cm adalah empat koakan per pohon.

Banyaknya produksi getah dapat juga disebabkan oleh faktor penggunaan H2SO4 atau yang sering disebut juga Crash Program yang dapat melipat gandakan

hasil produksi getah karena memiliki fungsi membuat luka sadapan selalu terbuka dan getah tidak mudah membeku (Rahmawati 2004).

2.4 Stimulansia Anorganik dan Organik

Riyanto (1980) dalam Doan (2007) menyatakan bahwa pengaruh dari penggunaan stimulansia dalam proses penyadapan getah pinus adalah sebagai berikut :

1. Saluran getah akan terhidrolisir sehingga tekanan dinding banyak berkurang yang berakibat getah keluar lebih banyak.

2. Sel-sel parenkim akan terhidrolisir yang mengakibatkan cairan sel akan keluar dan diserap oleh getah sehingga getah yang encer semakin banyak dan keluar melebihi normal.

3. Asam merupakan penyangga sehingga getah sukar membentuk rantai sikliknya dan tetap dalam bentuk aldehida sehingga getah tetap encer dan keluar melebihi normal.

Stimulansia yang biasa digunakan untuk meningkatkan produksi getah pinus adalah penggunaan stimulansia anorganik berupa asam kuat (campuran H2SO4 dan HNO3). Menurut Santosa (2011) mekanisme stimulan ini adalah :


(8)

1. Memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair sehingga mudah mengalir keluar dari saluran getah. 2. Mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar

dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lebih lama. Stimulansia pada hakekatnya berfungsi sebagai perangsang etilena pada tanaman dan selanjutnya menaikkan tekanan osmosis serta tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah bertambah cepat dan lebih lama. Etilena pada hakekatnya adalah suatu hormon pertumbuhan yang banyak berperan pada perubahan suatu tanaman, antara lain terjadi perubahan dalam membran yang permeable dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air masuk dalam saluran getah dan jaringan-jaringan disekitarnya (Moir 1970 dalam

Hidayati 2005). Menurut Hillis (1987), bahwa masuknya air kedalam lumen sel epitel maka sel tersebut akan kembali membesar dan selanjutnya akan menekan resin yang berada didalam saluran damar sehingga resin hancur dan resin terdorong keluar. Setelah itu sel epitel akan memproduksi zat resin kembali untuk mengisi saluran damar tersebut.

Selain stimulansia anorganik, dikembangkan pula stimulansia organik. Menurut Azis (2010), produktivitas getah pada stimulansia jeruk nipis 50% lebih banyak dua kali lipat dibandingkan dengan stimulansia jeruk nipis pekat. Perbedaan ini diduga karena konsentrasi yang berbeda sehingga zat bioaktif yang terlarut didalam larutan mengalami proses yang berbeda ketika stimulansia disemprotkan pada luka (quarre) dimana stimulansia jeruk nipis pekat tidak mengeluarkan getah lebih banyak tetapi diduga merusak jaringan sel parenkim (sel getah) karena konsentrasi asam yang tinggi sehingga aliran getah lebih cepat berhenti.

Jeruk nipis mengandung asam sitrat yang menimbulkan rasa asam saat dikonsumsi. Asam sitrat atau asam β-3-hidroksi trikarbosiklis, 2-hidroksi-1,2,3-propana trikarbosiklis, mempunyai rumus kimia C6H8O7. Winarno dan Laksmi

(1974) dalam Azis (2010) mengatakan bahwa asam sitrat bersifat sebagai

chelating agent (komponen penghambat) yaitu senyawa yang dapat mengikat logam-logam divalen seperti Mn, Mg, dan Fe yang sangat diperlukan sebagai katalisator (senyawa yang membantu mempercepat suatu reaksi) dalam


(9)

reaksi-reaksi biologis. Karena itu reaksi-reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat, dimana asam sitrat dapat berperan seperti asam sulfat yaitu mampu menghambat getah untuk membentuk rantai siklik dan tetap dalam bentuk aldehida sehingga getah tetap encer. Selain itu, asam organik yang terkandung dalam jeruk nipis (asam sitrat) juga mampu menghasilkan getah lebih banyak daripada asam anorganik (asam sulfat), hal ini dikarenakan struktur kimia asam sitrat memiliki satu gugus hidroksil (OH) dan tiga gugus karboksil (COOH) (Kirk dan Othmer 1985) yang mampu membentuk ikatan hidrogen yang lebih kuat terhadap molekul air pada saluran getah dibandingkan dengan asam sulfat yang hanya memiliki 2 gugus hidroksil (OH). Dengan adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, maka semakin banyak sel getah yang terhidrolisis sehingga getah keluar lebih banyak (Azis 2010).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Peningkatan produksi getah pinus selain menggunakan stimulansia, juga dapat dengan meningkatkan peran Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Wattimena (1988) menyatakan bahwa ethylene berfungsi sebagai hormon tanaman dan berperan pada berbagai proses fisiologis. Tanaman sendiri memproduksi ethylene

melalui proses metabolisme selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Ethylene diproduksi pada jaringan-jaringan dan organ tanaman seperti buah,

bunga, daun, batang, akar, umbi dan biji

Zat Pengatur Tumbuh merupakan substansi kimia yang konsentrasinya sangat rendah dan mengendalikan pertumbuhan serta perkembangan tanaman. Zat Pengatur Tumbuh (Plant Growth Regulation) sering disebut pula hormon pertumbuhan atau fitohormon (Gardner et al. 1991). Jenis-jenis fitohormon dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu: auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan ethylene.

Masing- masing jenis fitohormon memiliki fungsi masing-masing dan terkadang saling melengkapi satu sama lain. Dari lima kelompok jenis fitohormon, ethylene (C2H4) merupakan salah satu hormon yang unik karena


(10)

Dewi (2008) menambahkan bahwa ethylene adalah suatu gas yang dapat digolongkan sebagai pengatur pertumbuhan dan dapat disebut sebagai hormon karena telah memenuhi persyaratan sebagai hormon, yaitu dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobile dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik.

Menurut Wattimena (1988), tanaman memproduksi ethylene melalui proses metabolisme selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut. Dewi (2008) menyatakan bahwa pembentukan ethylene dalam jaringan-jaringan tanaman dapat dirangsang oleh adanya kerusakan-kerusakan mekanis.

Ethylene memiliki fungsi di berbagai proses fisiologis seperti menstimulan

pemasakan buah, menstimulan absisi daun, penghambat pertumbuhan akar, meningkatkan permeabilitas membran, merangsang pembentukan bunga dan lain sebagainya (Moore 1979).

Fungsi ethylene tersebut dimanfaatkan di bidang pertanian untuk penanganan pasca panen, yaitu dalam proses penyimpanan buah. Pada pisang, sirsak, pepaya dan buah klimaterik lainnya, ethylene berguna untuk mempercepat pematangan buah karena buah yang sudah dipetik masih melakukan respirasi dan menghasilkan ethylene untuk mempercepat pematangan buah. Dewi (2008) mendefinisikan klimaterik sebagai suatu periode mendadak yang unik bagi buah dimana selama proses, terjadi serangkaian perubahan biologis diawali dengan proses sintesis ethylene. Mulyana (2011) menggunakan kain kassa dan serat nilon yang dikombinasikan dengan KMnO4 dengan bobot 2,25-6,75 sebagai bahan pembungkus oksidator ethylene untuk mempertahankan umur simpan buah pisang Raja Bulu.

Menurut Dewi (2008), ethylene adalah senyawa yang larut di dalam lemak. Oleh karena itu, ethylene dapat larut dan menembus ke dalam membran mitokondria. Apabila mitokondria pada fase pra klimaterik diekrasi kemudian ditambah ethylene, ternyata terjadi pengembangan volume yang akan meningkatkan permeabilitas sel sehingga bahan-bahan dari luar mitokondria akan dapat masuk. Dengan perubahan-perubahan permeabilitas sel akan memungkinkan interaksi yang lebih besar antara substrat buah dengan enzim-enzim pematangan.


(11)

Selain fungsi-fungsi yang disebutkan sebelumnya, salah satu fungsi

ethylene adalah merangsang eksudasi (pengeluaran getah atau lateks) Wattimena (1988). Pada aplikasinya di bidang pertanian, ethylene dimanfaatkan sebagai stimulan dalam penyadapan getah karet (lateks). Menurut Sumarmadji (2002), dalam usaha perkebunan karet, digunakan stimulan lateks berupa etefon, atau dalam merk dagang Ethrel atau Cepha. Senyawa ini bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethylene. Pemberian etefon secara langsung memberi ethylene

tinggi tetapi nilainya terus menurun.

Penggunaan stimulan etefon dalam kegiatan penyadapan lateks memberikan dampak yang negatif, yaitu berkurangnya masa eksploitasi karet, persentase Kering Alur Sadap (KAS) yang tinggi, terhambatnya perkembangan lilit batang, dan produktivitas tanaman yang semakin menurun. Oleh karena itu, harus diaplikasikan dalam dosis yang rendah dan mempertimbangkan potensi, sifat, serta karakteristik klon (Tistama dan Siregar 2005).


(12)

BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Februari sampai dengan 8 April 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

3. 2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, kadukul, talang sadap, paku, palu, golok, kuas, sprayer, kantong plastik ukuran 12 x 25 cm, plastik transparan ukuran 20 x 40 cm, kalkulator, timbangan digital, software SPSS 16, kamera digital dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah cat kayu warna putih, spidol permanen, Cairan Asam Sulfat (CAS), dan produk dari CV. Permata Hijau Lestari berupa ETRAT 12-40, PGR-12, serta ETS.

3. 3 Metode Pengumpulan Data

3. 3.1 Metode Pengumpulan Data Sekunder

Metode ini merupakan kegiatan mengumpulkan data sekunder mengenai kondisi umum lokasi penelitian, meliputi sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), letak dan luas, topografi, iklim, keadaan tanah, vegetasi dan satwa serta penduduk.

3.3.2 Metode Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat untuk mengetahui dan membandingkan produktivitas getah P. merkusii antara kontrol (tidak diberi perlakuan) dengan yang diberikan perlakuan (stimulansia) dalam satuan gram/pohon/3hari. Pengumpulan data meliputi kegiatan:

1. Menyiapkan alat dan bahan serta survey lokasi.

2. Memilih 20 pohon contoh P. merkusii Jungh et de Vriese dengan kondisi sehat dan memiliki diameter minimal 35 cm. Pada masing- masing pohon dibuat lima koakan untuk lima jenis perlakuan, yaitu kontrol, ETRAT 12-40, Cairan Asam Sulfat (CAS), PGR-12, dan ETS.


(13)

3. Menandai 20 pohon contoh dengan cat kayu plastik sesuai dengan perlakuan yang akan diberikan.

4. Membuat pelukaan awal dengan metode quarre terhadap pohon P. merkusii beserta penyemprotan cairan stimulansia atau Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sebanyak 1 cc/ koakan ( satu kali semprotan).

a. Pembuatan luka awal dengan metode Quarre (koakan)

a.1. Membersihkan semak di sekitar pohon dan membersihkan kulit pohon dengan golok sedalam 3 mm dan lebar 20 cm (tinggi untuk sadapan awal 20 cm dari permukaan tanah) .

a.2. Membuat koakan pada batang berukuran 10 x 10 cm dan kedalaman 2 cm mengunakan kadukul.

a.3. Memasang talang sadap pada bagian bawah koakan dan memasang paku agar talang tertancap kuat a.4. Menyemprotkan cairan stimulansia atau Zat Pengatur

Tumbuh (ZPT) sebanyak 1 cc/koakan (1 kali semprotan)

a.5. Memasang kantong plastik berukuran 12 x 25 cm untuk menampung getah (dikaitkan pada paku) dan disesuaikan dengan talang sadap.

a.6. Memberi tanda pada plastik dengan spidol sesuai jenis perlakuan yang diberikan (stimulansia).

a.7. Memasang plastik berukuran 20 x 40 cm untuk menghalangi aliran batang.

5. Melakukan pemanenan getah setiap tiga hari sekali disertai dengan memperbarui quarre setinggi 5 mm dan penyemprotan cairan stimulansia sebanyak 1cc/quarre/3hari. (Pemanenan dilakukan sebanyak lima belas kali).

6. Menimbang hasil panen getah dengan timbangan digital.

7. Mencatat hasil timbangan ke dalam tally sheet.

8. Penentuan arah sadapan untuk masing-masing perlakuan dilakukan dengan cara sebagai berikut:


(14)

a. Pohon pertama: arah sadapan yang menghadap ke utara merupakan perlakuan 1, yaitu kontrol. Kemudian dengan arah berlawanan jarum jam (Gambar 1), koakan kedua diberikan perlakuan kedua yaitu ETRAT 12-40. Selanjutnya koakan ketiga dengan perlakuan ketiga yaitu pemberian Cairan Asam Sulfat (CAS) dan seterusnya. b. Pohon kedua: arah sadapan yang menghadap ke utara merupakan

perlakuan kelima yaitu pemberian ETS. Kemudian dengan arah berlawanan jarum jam (Gambar 1), koakan kedua merupakan perlakuan pertama (kontrol), koakan ketiga merupakan perlakuan kedua dan seterusnya.

c. Pohon ketiga dan seterusnya mengikuti pola pohon pertama dan kedua sesuai dengan arah yang berlawanan dengan jarum jam (Gambar 1).

Utara

Pohon 1 Pohon 2

Gambar 1 Arah pemberian perlakuan pada pohon contoh. Keterangan gambar:

1. Kontrol 2. ETRAT 12-40

3. CAS (Cairan Asam Sulfat) 4. PGR-12

5. ETS

3. 4 Rancangan Percobaan

Penelitian ini dirancang dengan hanya melibatkan satu faktor dengan beberapa taraf sebagai perlakuan. Faktor tersebut adalah pemberian jenis stimulansia yang berbeda-beda tiap perlakuannya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap (Completely randomize design) dimana respon diperoleh dari perlakuan yang berbeda-beda yaitu yaitu kontrol,

1

2

5

4 3

5

1

4

3 2


(15)

ETRAT 12-40, Cairan Asam Sulfat (CAS), PGR-12, dan ETS. Penelitian ini menggunakan 20 pohon contoh yang masing-masing pohon diberikan 5 jenis perlakuan dengan pengambilan getah (panen) sebanyak 15 kali, sehingga ada 100 data setiap kali pemanenan getah. Pohon contoh yang digunakan dalam penelitian dipilih secara acak dengan diameter minimal 35 cm dan sehat. Bagan rancangan percobaan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1 Bagan rancangan percobaan

Pohon contoh

Perlakuan

kontrol ETRAT 12-40 CAS PGR 12 ETS

1 Y11k Y21k Y31k Y41k Y51k

2 Y12k Y22k Y32k Y42k Y52k

3 Y13k Y23k Y33k Y43k Y53k

4 Y14k Y24k Y34k Y44k Y54k

5 Y15k Y25k Y35k Y45k Y55k

6 Y16k Y26k Y36k Y46k Y56k

…. …. …. …. …. ….

…. …. …. …. …. ….

…. …. …. …. …. ….

20 Y120k Y220k Y320k Y420k Y520k

Rata-rata ∑Y1/n ∑Y2/n ∑Y3/n ∑Y4/n ∑Y5/n

Model persamaan rancangan acak lengkap satu faktor yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + τi + ɛijk Keterangan :

Yijk = Produktivitas getah pinus pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan periode panen ke-k µ = Nilai Rataan Umum

τ i = Pengaruh Perlakuan ke-i

ɛijk = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i , ulangan ke-j dan periode panen ke-k i = 1, 2,3,4,5

1 : Tanpa perlakuan (kontrol) 2 : Pemberian ETRAT 12-40 3 : Pemberian CAS

4 : Pemberian PGR 5 : Pemberian ETS

j = Ulangan pohon contoh (1,2,3,…,20) k = Frekuensi panen getah pinus (1,2,3,…,15) n = Jumlah Pohon Contoh (20 Pohon)


(16)

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis Pengaruh Masing-Masing Perlakuan

Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan pemberian stimulansia terhadap peningkatan produktivitas getah pinus maka dilakukan analisis sidik ragam atau Analysis of Variance (ANOVA). Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam untuk rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan menggunakan ulangan yang sama. Perhitungan analisis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

Faktor Korelasi (FK) =( ∑ )2/rt JKT = ∑ 2 – FK JKR = ∑ ̅2– FK

JKS = JKT-JKR

Hasil perhitungan jumlah kuadrat setiap faktor selanjutnya ditabulasikan dalam bentuk tabel analisis sidik ragam seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Struktur tabel analisis sidik ragam untuk rancangan acak lengkap satu faktor dengan ulangan yang sama

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat

Tengah (KT) F Hitung

Regresi t-1 JKR KTR KTR/KTS

Sisa t(r-1) JKS KTS

Total tr-1 JKT

Hipotesis :

Pengujian terhadap pengaruh faktor stimulansia H0 : τ1 = τ2 = …….τi = 0

H1 : sekurangnya ada satu τi ≠ 0

Terima H0 : Perbedaan taraf perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata

terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 99% (α=0,01). Terima H1 : Sekurangnya ada taraf perlakuan yang memberikan pengaruh nyata

terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 99% (α=0,01). Hasil uji F-hitung yang diperoleh dari ANOVA dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan 99% (α = 0,01) dengan kaidah :


(17)

1. Jika F-hitung < F-tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga perlakuan

memberikan pengaruh tidak nyata terhadap produktivitas getah pinus pada selang kepercayaan 99% (α = 0,01).

2. Jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak, H1 diterima sehingga perlakuan

memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas getah pinus pada selang kepercayaan 99% (α = 0,01).

Selanjutnya, setelah uji F apabila perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas getah pinus, maka dilakukan uji lanjut berupa Uji Duncan dengan menggunakan SoftwareSPSS 16 untuk mengetahui perlakuan yang saling berbeda nyata.

3.5.2 Analisis Biaya Penerapan Stimulansia

Stimulansia yang dibutuhkan selama penelitian yaitu untuk kebutuhan 20 pohon (masing-masing stimulansia) dengan periode panen sebanyak 15 kali. Hal-hal yang harus dihitung dalam analisis biaya penerapan stimulansia adalah sebagai berikut :

1. Biaya stimulansia Bi = Hi/ 1000/ 3 dimana:

Bi = Biaya stimulansia ke-i yang dikeluarkan setiap 1 kali penyemprotan (Rp/quarre/hari)

Hi = Harga stimulansia ke-i (Rp/liter)

Asumsi : satu kali semprotan adalah 1 ml/quarre/3 hari 2. Peningkatan produksi getah

Pi = Qi – R dimana :

Pi = Peningkatan produksi getah untuk stimulansia ke-i (g/quarre/hari)

Qi = Produksi perlakuan stimulansia ke-i (g/quarre/hari)

R = Produksi getah pada pohon contoh kontrol/tanpa perlakuan (g/quarre/hari)


(18)

3. Pendapatan hasil peningkatan getah Zi =

x C

dimana :

Zi = Pendapatan hasil peningkatan getah dari stimulansia ke-i (Rp/quarre/hari)

C = Harga getah pinus (Rp/kg) 4. Nilai tambah penggunaan stimulansia Ri = Zi – Bi

dimana :

Ri = Nilai tambah penggunaan stimulansia ke-i (Rp/quarre/hari) Zi = Pendapatan hasil peningkatan getah dari stimulansia ke-i

(Rp/quarre/hari)

Bi = Biaya stimulansia ke-i yang dikeluarkan setiap 1 kali penyemprotan (Rp/quarre/hari)


(19)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

Pada tahun 1951 kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia). Hutan yang ditanam pada tahun 1951-1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar

basecamp. Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian pada tahun 1967 untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Tahun 1968 Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Kemudian tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Hutan Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 1973 diterbitkan. Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp), sengon (Paraserianthes falcataria), meranti (Shorea sp), dan akasia (Acacia mangium). Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan, pengelolaan kawasan hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas


(20)

Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Januari 1993. Status hukum kawasan HPGW pada tahun 2005 dikuatkan oleh diterbitkannya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan (FAHUTAN IPB 2009).

4.2 Letak dan Luas Areal

Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada 106°48'27''BT sampai 106°50'29''BT dan -6°54'23''LS sampai -6°55'35''LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomas) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (FAHUTAN IPB 2009).

4.3 Topografi dan Iklim

HPGW terletak pada ketinggian 460-715 m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29° C dan minimum 19° C di malam hari (FAHUTAN IPB 2009).

4.4 Tanah dan Hidrologi

Tanah Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah kompleks dari podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian di barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst (gamping). Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat


(21)

sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri (FAHUTAN IPB 2009).

4.5 Vegetasi

Tegakan Hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii),rasamala (Altingia excelsa), Dalbergia latifolia, Gliricidae sp, Shorea sp, dan akasia (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis. Potensi tegakan hutan ± 10.855 m3 kayu damar, 9.471 m3 kayu pinus, 464 m3 puspa, 132 m3 sengon, dan 88 m3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus jugamenghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul (FAHUTAN IPB 2009).

Di areal HPGW terdapat beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis mamalia, reptilia, burung dan ikan. Dari kelompok jenis mamalia terdapat babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp. J), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditic). Dari kelompok jenis burung (Aves) terdapat sekitar 20 jenis burung, antara lain: Elang Jawa, Emprit, Kutilang dan lain-lain. Jenis-jenis reptilia antara lain biawak, ular dan bunglon. Terdapat berbagai jenis ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula lebah hutan (Apis dorsata) (FAHUTAN IPB 2009).

4.6 Penduduk

Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian


(22)

dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan lahan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program agroforestry HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap.

Penyadap getah pinus berjumlah 32 penyadap dengan karakteristik yang beragam baik dari segi pendidikan dan umur. Mayoritas penyadap berdomisili di desa sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat yakni Desa Nangerang, Desa Citalahap, Desa Cipereu dan Desa Cijati. Penghasilan rata-rata yang diperoleh penyadap dari hasil menyadap getah pinus adalah Rp. 400.000-Rp. 500.000/bulan (FAHUTAN IPB 2009).


(23)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Lokasi Penelitian

Penelitian Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan ZPT terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat dilaksanakan di blok khusus untuk penelitian, yaitu blok Cikatomas di sekitar menara TVRI pada ketinggian 691-716 mdpl. Blok Cikatomas didominasi oleh tegakan P. merkusii dan P. oocarpa. Akan tetapi, yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah P. merkusii saja. Pohon pinus yang dipilih memiliki selang diameter 35 cm sampai dengan 65 cm dan sehat.

Gambar 2 Kondisi lokasi dan pohon contoh penelitian di Blok Cikatomas, HPGW.


(24)

Pohon P. merkusii yang dijadikan contoh penelitian berjumlah 20 pohon dengan lima perlakuan. Secara berurutan lima perlakuan tersebut adalah kontrol, ETRAT 12-40, Cairan Asam Sulfat (CAS), PGR-12, dan ETS. Perlakuan pertama (kontrol) tidak menggunakan stimulansia apapun, perlakuan ke tiga (CAS) merupakan stimulansia anorganik, perlakuan ke empat menggunakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sedangkan perlakuan ke dua dan ke lima merupakan kombinasi dari stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT).

5.2 Produktivitas Getah Menggunakan Stimulansia Anorganik (CAS), Stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Hutan Pendidikan Gunung Walat dari tahun 2008 hingga April 2011 masih menggunakan stimulansia anorganik untuk memperlancar keluarnya getah. Pada penelitian ini, stimulansia anorganik yang digunakan adalah CAS (Cairan Asam Sulfat) yang merupakan campuran dari 15% asam sulfat dan 2% asam nitrat, sedangkan stimulansia organik merupakan produk dari sebuah perusahaan di Bogor, Jawa Barat, yaitu CV. Permata Hijau Lestari. Komposisi stimulansia organik tersebut beranekaragam, ETRAT 12-40 merupakan perpaduan dari 100 ppm ethylene dan 150 ppm asam sitrat, PGR-12 terdiri atas 200 ppm ethylene, sedangkan ETS adalah kombinasi dari 100 ppm ethylene dan 10% jeruk nipis cair. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, juga telah menggunakan stimulansia organik, namun berbahan dasar jeruk nipis dan lengkuas. Menurut Azis (2010), penggunaan stimulansia organik dari bahan jeruk nipis konsentrasi 50% menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CAS.

Zat Pengatur Tumbuh yang sangat berperan dalam proses keluarnya getah adalah ethylene. Ethylene merupakan senyawa berbentuk gas yang banyak berperan dalam perubahan suatu tanaman, seperti terjadi perubahan dalam membran yang permeabel dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air dapat masuk ke dalam saluran getah dan jaringan–jaringan disekitarnya (Santosa 2011). Secara alami, ethylene ada di dalam tanaman (ethyleneendogen). Menurut Santosa (2011), pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan


(25)

dengan mengaktifkan ethyleneendogen dan adanya stres (pembuatan luka sadap). Dengan demikian, peningkatan produksi getah dapat dilakukan dengan memberikan zat yang mengandung ethylene (exsogen) yang akan merangsang pembentukan ethylene endogen pada tanaman sehingga proses metabolisme sekunder dapat ditingkatkan.

Hasil penelitian di Hutan Pendidikan Gunung Walat menunjukkan bahwa stimulansia organik dan ZPT mampu menghasilkan produktivitas rata-rata getah pinus yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stimulansia anorganik. Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari) ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari)

Panen ke- KONTROL ETRAT 12-40 CAS PGR-12 ETS

1 13.23 16.38 22.97 14.77 15.20

2 5.18 8.28 17.50 6.93 7.33

3 8.58 14.87 16.03 13.47 12.73

4 9.23 14.28 12.68 15.87 15.70

5 7.60 17.82 10.35 17.32 15.98

6 8.87 17.33 9.67 19.87 16.37

7 7.82 18.22 8.23 20.12 17.90

8 7.30 18.12 6.17 19.83 17.78

9 7.70 18.50 5.82 19.20 16.33

10 6.33 15.23 3.63 15.48 15.67

11 9.08 17.88 3.47 19.02 18.27

12 7.58 17.65 3.31 17.50 16.78

13 7.05 16.18 3.30 16.95 16.70

14 8.82 15.77 3.97 16.63 15.60

15 10.11 17.83 3.97 18.67 15.38

Total 124.49 244.35 131.06 251.62 233.73

Rata-rata 8.30 16.29 8.74 16.77 15.58

Pelukaan awal pada pohon Pinus menyebabkan stres pada batang yang mempengaruhi metabolisme sekunder. Pinus mengeluarkan getah sebagai bentuk reaksi akibat pelukaan untuk menutupi sel-sel yang rusak. Pada pemanenan pertama, hasil rata-rata produktivitas getah pada setiap perlakuan tinggi karena keluarnya deposit getah dari sel-sel parenkim. Saat pinus berusaha melakukan


(26)

reaksi terhadap pelukaan kedua, deposit getah telah berkurang banyak untuk menanggapi reaksi stres pada pelukaan pertama. Hal ini menyebabkan persediaan getah di dalam pohon sangat sedikit sehingga pada pemanenan getah yang kedua produktivitas rata-rata setiap perlakuan menurun. Pada pelukaan ketiga, pohon pinus sudah dapat beradaptasi dengan mulai membentuk deposit getah yang baru, sehingga hasil produktivitas rata-rata setiap perlakuan di pemanenan ke tiga kembali meningkat. Akan tetapi, pada pelukaan pertama hingga ketiga, penggunaan CAS menghasilkan rata-rata produktivitas getah paling tinggi. Menurut Santosa (2011), CAS memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dari saluran getah. Cairan Asam Sulfat (CAS) juga mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lebih lama. Akan tetapi, pada pemanenan ke empat atau hari ke 12, produktivitas getah pinus dengan penggunaan CAS mulai berada di bawah stimulansia organik dan ZPT.

Perlakuan yang memberikan hasil produktivitas rata-rata tertinggi pada pemanenan ke empat adalah penggunaan PGR-12 yang merupakan Zat Pengatur Tumbuh (hormon). Hal ini disebabkan ethylene di dalam PGR-12 membutuhkan waktu untuk berubah wujud dari bentuk cair ke bentuk gas. Menurut Weaver (1972) dalam Haryati (2003), pengaruh ethephon tidak jauh berbeda dengan

ethylene terhadap tanaman. Ethephon (2-Chloroethyl phosphonic acid) merupakan stimulan yang biasa digunakan untuk meningkatkan lateks karet. Ethephon adalah senyawa bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethylene (Sumarmadji 2002). Etephone akan mengalami dekomposisi pada pH 4,1 atau lebih tinggi dan akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman, sedangkan dalam larutan encer di bawah pH 4 Ethephon akan tetap stabil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pH sitoplasma sel tanaman pada umumnya lebih besar daripada 4. Maka jika Ethephon masuk ke dalam jaringan tanaman, akan menurunkan derajat kemasamannya dan terjadi dekomposisi yang akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman (Dewilde 1970 dalam Haryati 2003).

Setelah pemanenan ke empat atau hari ke 12, ethylene exsogen dari PGR-12 merangsang ethylene endogen di dalam pohon pinus untuk mulai beradaptasi


(27)

dengan mekanisme metabolisme sekunder. Pada pemanenan ke lima dan selanjutnya, perlakuan dengan menggunakan CAS hasilnya tetap berada di bawah perlakuan yang menggunakan stimulansia organik dan ZPT. Bahkan pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, perlakuan dengan menggunakan CAS memberikan produktivitas paling rendah. Sebaliknya, produktivitas getah dengan perlakuan ZPT serta campuran stimulansia organik dan ZPT meningkat semenjak pemanenan ke empat, dan mulai stabil pada pemanenan keenam hingga seterusnya.

Pada hasil akhir, perlakuan dengan PGR-12 menghasilkan rata-rata produktivitas getah tertinggi, yaitu sebesar 16,77 g/quarre/hari. Perlakuan dengan ETRAT sebesar 16,29 g/quarre/hari, ETS 15,58 g/quarre/hari, CAS sebesar 8,74 g/quarre/hari sedangkan kontrol (tanpa perlakuan) sebesar 8,30 g/quarre/hari. Secara umum, kecenderungan hasil rata-rata produktivitas getah ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Grafik kecenderungan produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari).

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, rata-rata produktivitas perlakuan CAS berada di bawah kontrol. Penggunaan CAS membuat pinus sukar untuk mengeluarkan getah karena sel-sel epitel penghasil getah yang telah mati sehingga, pada saat melakukan pembaharuan luka, kayu gubal terasa keras. Secara fisik, hal ini ditandai dengan berubahnya warna bidang sadapan dari cokelat muda menjadi cokelat tua kehitaman. 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Pr o d u kt iv itas rata -r ata - g e tah p in u s (gr am /q u ar re /h ar i) Panen ke- KONTROL ETRAT 12-40 CAS PGR-12 ETS


(28)

Berdasarkan laporan hasil penelitian Pengaruh Pemberian ETRAT terhadap Peningkatan Produktivitas Penyadapan Getah Pinus (Studi Kasus di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten), produktivitas getah dengan perlakuan CAS juga mengalami penurunan dan ada yang hasil produktivitasnya berada di bawah kontrol (Santosa 2011). Penelitian tersebut dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan penelitian ini tetapi dengan contoh (tempat) yang berbeda, yaitu di RPH Gonggang Utara, RPH Ciguha dan RPH Takokak, KPH Sukabumi.

KONTROL CAS ETRAT 12-40

PGR-12 ETS

Gambar 4 Produktivitas getah pinus dengan masing-masing perlakuan pada panen ke delapan.

Hujan juga berpengaruh terhadap produktivitas getah pinus. Pada Gambar 3, terlihat bahwa hasil rata-rata produktivitas semua perlakuan pada pemanenan ke-10 menurun. Aliran stemflow yang deras pada saat hujan akan menumpahkan getah yang ada dalam penampung sehingga dapat menggurangi produktivitas.


(29)

Selain itu, menurut Doan (2007), curah hujan yang tinggi akan menyebabkan kelembaban di sekitar luka sadapan menjadi tinggi dan hal tersebut dapat menyebabkan getah cepat menggumpal.

Pada saat penelitian berlangsung, untuk mengurangi aliran batang, maka di atas koakan dipasang plastik berukuran 20 x 40 cm, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 juga menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan stimulansia organik dan ZPT menghasilkan getah yang lebih banyak daripada CAS dan kontrol. Gambar tersebut merupakan salah satu contoh pohon yang produktivitas rata-ratanya di panen ke delapan berada di bawah kontrol pada perlakuan CAS.

Tabel 4 Persentase peningkatan produktivitas getah pinus pada kontrol (tanpa perlakuan), stimulansia organik, dan stimulansia anorganik

Perlakuan Rata-rata produktivitas getah (g/quarre/hari)

Persentase peningkatan produktivitas getah (%)

Kontrol 8.30

-ETRAT 12-40 16.29 196.28

CAS 8.74 105.28

PGR-12 16.77 202.12

ETS 15.58 187.75

Berdasarkan Tabel 4, persentase tertinggi adalah penggunaan PGR-12, yaitu sebesar 202,12 %, kemudian ETRAT 12-40 196,28% dan ETS 187,75% sedangkan untuk penggunaan stimulansia anorganik, menghasilkan persentase terhadap kontrol hanya 105,28% saja. Penggunaan stimulansia organik serta kombinasi stimulansia organik dan ZPT menghasilkan persentase peningkatan produktivitas getah yang lebih tinggi dibandingkan dengan stimulansia anorganik. Hal ini dikarenakan ethyleneexsogen yang berada di dalam ETRAT 12-40, PGR-12 dan ETS merangsang ethylene endogen yang berfungsi sebagai pembawa pesan (chemical messenger) untuk melakukan metabolisme sekunder. Peranan asam sitrat pada stimulansia organik yaitu dapat membuka muara saluran getah sehingga getah dapat keluar dengan lancar, dan ethylene serta asam sitrat dapat bekerja bersama-sama dalam proses keluarnya getah. Sedangkan penggunaan CAS, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat memberikan efek panas


(30)

sehingga getah lama dalam keadaan cair dan muara saluran getah dapat terbuka lebih lama (Santosa 2011), namun keadaan ini hanya bersifat sementara saja, karena CAS bersifat asam kuat yang dapat merusak kayu, dan lama-kelamaan dapat mengurangi produktivitas getah.

5.3 Pengaruh Stimulansia terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus Data hasil produktivitas getah pinus menggunakan stimulansia organik dan anorganik diolah secara statistik menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA). Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Analisis ragam penggunaan stimulansia terhadap produktivitas getah pinus

Sumber

keragaman db Jumlah kuadrat

Kuadrat

tengah Fhitung F0,01 P-value

Model 4 1078.652 269.66 20.42 3.6 <0.0001 Derajat

kesalahan 70 924.22 13.20 Total 74 2002.87

Berdasarkan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan alpha sebesar 0,01, penggunaan stimulansia organik dan ZPT memiliki pengaruh sangat nyata terhadap produktivitas getah pinus karena Fhitung > F0.01. Selanjutnya, untuk

mengetahui kelompok perlakuan yang berbeda nyata, maka dilakukan analisis lanjut berupa uji Duncan. Hasil Uji Duncan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil Uji Duncan pengaruh stimulansia terhadap produktivitas getah pinus dilihat dari segi perlakuan yang berbeda

No Perlakuan Rata-rata produktivitas

1 Kontrol 8.30a

3 CAS 8.74a

2 ETRAT 12-40 16.29b

4 PGR-12 16.77b

5 ETS 15.58b

Huruf superscript yang berbeda dalam kolom “Rata-rata produktivitas” menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0.01)


(31)

Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa antara kelompok perlakuan kontrol dan CAS tidak berbeda nyata, begitu pula antara kelompok perlakuan ETRAT 12-40, PGR-12, dan ETS. Akan tetapi, antara perlakuan yang memiliki huruf

superscript yang berbeda memiliki nilai yang berbeda sangat nyata.

5.4 Nilai Tambah Penggunaan Stimulansia

Aplikasi stimulansia di lapangan membutuhkan analisis biaya sebagai pertimbangan dalam memilih stimulansia yang cocok untuk diterapkan. Analisis biaya terdiri atas biaya stimulansia per quarre/hari, peningkatan produktivitas getah dan pendapatan hasil peningkatan getah per quarre/hari, sehingga didapatkan nilai tambah dari produktivitas masing-masing stimulansia per

quarre/hari. Hasil dari analisis biaya disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Analisis biaya stimulansia

Stimulansia

Biaya stimulansia

Peningkatan produktivitas

getah

Pendapatan hasil peningkatan

getah

Nilai tambah penggunaan

stimulansia

(Rp/quarre/hari) (g/quarre/hari) (Rp/quarre/hari) (Rp/quarre/hari)

1 2 3 4

ETRAT

12-40 4 7.99 95.89 91.89

PGR-12 7.33 8.48 101.7 94.37

ETS 4.67 7.28 87.4 82.73

CAS 1.33 0.44 5.25 3.92

Keterangan:

1= Biaya stimulansia

2= Produksi getah dengan menggunakan stimulansia - produksi getah dari kontrol 3= (2 : 1000) x Rp 12.000,00

4= 3 – 1

Harga stimulansia ETRAT 12-40 adalah Rp 12.000,00/liter, PGR-12 Rp 22.000,00/liter, ETS Rp 14.000,00/liter dan CAS Rp 4.000,00/liter. Asumsi untuk penggunaan stimulansia setiap koakan adalah 1 ml dan harga getah pinus di pasaran sebesar Rp 12.000,00/kg. Harga stimulansia organik dan ZPT didapat dari


(32)

CV. Permata Hijau Lestari yang merupakan produsen produk tersebut, sedangkan harga getah pinus berasal dari harga jual getah pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Analisis biaya stimulansia menunjukkan bahwa stimulansia PGR-12 memiliki nilai tambah produktivitas getah terbesar, yaitu sebesar Rp 94,37/quarre/hari, selanjutnya adalah ETRAT 12-40 Rp 91,89/quarre/hari, ETS Rp 82,73/quarre/hari dan CAS sebesar Rp 3,92/quarre/hari. Harga stimulansia belum dapat menentukan stimulansia yang cocok diaplikasikan karena perlu dipertimbangkan pula nilai tambahnya. Contohnya adalah stimulansia CAS yang memiliki harga paling murah, namun nilai tambahnya paling kecil.

5.5 Pemilihan Stimulansia yang Sesuai untuk Diaplikasikan

Menurut Pandit dan Ramdan (2002), saluran getah dikelilingi oleh sel-sel epitel. Sel Epitel inilah yang membentuk getah sebagai akibat dari proses metabolisme. Penggunaan CAS berdampak buruk bagi kayu karena menyebabkan sel-sel epitel pada kayu mengering dan akhirnya mati. Selama penelitian, terdapat perubahan warna pada bidang koakan, yaitu dari cokelat muda menjadi cokelat kehitaman. Sel-sel epitel kayu yang mati menyebabkan bidang sadapan sulit untuk mengeluarkan getah karena jaringan sudah tertutup dan saat melakukan penyadapan getah, kayu terasa keras dan sukar untuk dilukai, sehingga mempersulit dan menghambat produktivitas kerja. Sebaliknya, bila menggunakan stimulansia organik dan ZPT, bidang koakan berwarna sama dengan kontrol yaitu cokelat muda.

Selain itu, pada permukaan koakan (bidang sadap) dengan menggunakan stimulansia organik dan ZPT terlihat lebih basah daripada permukaan koakan dengan CAS. Hal ini dikarenakan pada permukaan koakan yang menggunakan stimulansia organik, saluran getah terus mengeluarkan getah secara konsisten, sedangkan pada perlakuan dengan CAS sel-sel epitel kayunya telah mati. Jadi, penggunaan stimulansia organik dan ZPT bila dilihat secara fisik, tidak menyebabkan dampak buruk pada bidang sadapan. Perbandingan kondisi bidang sadapan pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 4.


(33)

Penggunaan CAS juga membahayakan penyadap getah. Cairan Asam Sulfat dapat mengganggu pernapasan dan merusak kulit. Menurut LIPI (2004), uap asam sulfat dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan serta mengganggu paru-paru. Selain itu, cairan asam sulfat juga dapat merusak kulit dan menimbulkan kebutaan jika terkena mata. Berdasarkan wawancara di lapangan, para penyadap getah pinus berharap adanya pengganti CAS karena kulit dan kuku tangan mereka yang sudah rusak akibat bertahun-tahun menggunakan cairan tersebut. Dari segi produktivitaspun, penggunaan CAS di lapangan satu tahun belakangan ini menurun, sehingga para penyadap enggan untuk menyadap getah. Hal ini dikarenakan penggunaan CAS yang telah bertahun-tahun merusak jaringan kayu sehingga getah susah untuk keluar.

Penggunaan CAS juga akan berdampak buruk bagi lingkungan dan kualitas getah. Menurut Santosa (2011), stimulansia CAS dapat merusak tumbuhan disekitarnya dan apabila terbawa air hujan akan berbahaya terhadap kondisi tata air di dalam hutan. Selain itu, akibat terkontaminasi asam kuat maka kualitas getah pinus yang dihasilkan hanya dapat digunakan untuk memproduksi gondorukem dengan kategori non food grade. Sedangkan bila getah pinus yang tidak tercemar dapat diolah untuk menghasilkan gondorukem dengan kategori

food grade.

Berdasarkan perbandingan rata-rata produktivitas, persentase peningkatan produktivitas, analisis statistik, analisis biaya, dan dampaknya, maka stimulansia organik dan ZPT lebih baik digunakan daripada stimulansia anorganik. Perlakuan dengan PGR-12 memiliki hasil rata-rata produktivitas getah pinus, persentase peningkatan produktivitas getah, dan nilai tambah produktivitas getah pinus tertinggi. Akan tetapi, untuk aplikasi di lapangan, PGR-12 belum dapat digunakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, karena berdasarkan Perhutani Unit III Jawa Barat stimulansia yang cocok digunakan di Jawa Barat adalah ETRAT 12-40. Pernyataan tersebut telah didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya yang telah dilakukan secara internal di berbagai KPH di Jawa Barat. Penggunaan ETRAT 12-40 lebih stabil dibandingkan PGR-12, karena pemakaian PGR-12 di beberapa tempat menyebabkan terjadinya kering alur pada batang.


(34)

Penggunaan ETRAT 12-40 juga lebih disarankan, karena dari komposisi, konsentrasi ethylenenya (ZPT) lebih rendah daripada PGR-12. Dampak penggunaan ethylene dengan konsentrasi yang tinggi belum diteliti lebih lanjut, sehingga lebih aman menggunakan ETRAT 12-40. Ethylene memiliki fungsi di berbagai proses fisiologis seperti menstimulasi pemasakan buah, absisi daun, menghambat pertumbuhan akar, meningkatkan permeabilitas membran, merangsang pembentukan bunga, dan lain sebagainya (Moore 1979). Penggunaan

ethylene exsogen yang berlebihan dimungkinkan dapat menyebabkan terganggunya proses fisiologis pohon, misalnya absisi daun yang tidak normal. Jika terjadi absisi daun yang berlebihan, maka dapat mengganggu fotosintesis, sehingga pembentukan karbohidrat untuk pertumbuhan dan perkembangan pohon juga akan terhambat. Selain itu, berdasarkan Uji Duncan, perlakuan dengan ETRAT 12-40 tidak berbeda nyata dengan PGR-12. Dari segi analisis biaya, ternyata jika harga getah pinus turun akan menyebabkan perbedaan nilai tambah pada masing-masing perlakuan. Nilai tambah produktivitas getah dengan ETRAT 12-40 akan lebih tinggi dibandingkan dengan PGR-12 saat harga getah pinus maksimal Rp 6.800,00/kg. Jadi, untuk aplikasinya di Hutan Pendidikan Gunung Walat lebih efisien menggunakan ETRAT 12-40.


(35)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Lokasi Penelitian

Penelitian Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan ZPT terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat dilaksanakan di blok khusus untuk penelitian, yaitu blok Cikatomas di sekitar menara TVRI pada ketinggian 691-716 mdpl. Blok Cikatomas didominasi oleh tegakan P. merkusii dan P. oocarpa. Akan tetapi, yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah P. merkusii saja. Pohon pinus yang dipilih memiliki selang diameter 35 cm sampai dengan 65 cm dan sehat.

Gambar 2 Kondisi lokasi dan pohon contoh penelitian di Blok Cikatomas, HPGW.


(36)

Pohon P. merkusii yang dijadikan contoh penelitian berjumlah 20 pohon dengan lima perlakuan. Secara berurutan lima perlakuan tersebut adalah kontrol, ETRAT 12-40, Cairan Asam Sulfat (CAS), PGR-12, dan ETS. Perlakuan pertama (kontrol) tidak menggunakan stimulansia apapun, perlakuan ke tiga (CAS) merupakan stimulansia anorganik, perlakuan ke empat menggunakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sedangkan perlakuan ke dua dan ke lima merupakan kombinasi dari stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT).

5.2 Produktivitas Getah Menggunakan Stimulansia Anorganik (CAS), Stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Hutan Pendidikan Gunung Walat dari tahun 2008 hingga April 2011 masih menggunakan stimulansia anorganik untuk memperlancar keluarnya getah. Pada penelitian ini, stimulansia anorganik yang digunakan adalah CAS (Cairan Asam Sulfat) yang merupakan campuran dari 15% asam sulfat dan 2% asam nitrat, sedangkan stimulansia organik merupakan produk dari sebuah perusahaan di Bogor, Jawa Barat, yaitu CV. Permata Hijau Lestari. Komposisi stimulansia organik tersebut beranekaragam, ETRAT 12-40 merupakan perpaduan dari 100 ppm ethylene dan 150 ppm asam sitrat, PGR-12 terdiri atas 200 ppm ethylene, sedangkan ETS adalah kombinasi dari 100 ppm ethylene dan 10% jeruk nipis cair. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, juga telah menggunakan stimulansia organik, namun berbahan dasar jeruk nipis dan lengkuas. Menurut Azis (2010), penggunaan stimulansia organik dari bahan jeruk nipis konsentrasi 50% menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CAS.

Zat Pengatur Tumbuh yang sangat berperan dalam proses keluarnya getah adalah ethylene. Ethylene merupakan senyawa berbentuk gas yang banyak berperan dalam perubahan suatu tanaman, seperti terjadi perubahan dalam membran yang permeabel dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air dapat masuk ke dalam saluran getah dan jaringan–jaringan disekitarnya (Santosa 2011). Secara alami, ethylene ada di dalam tanaman (ethyleneendogen). Menurut Santosa (2011), pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan


(37)

dengan mengaktifkan ethyleneendogen dan adanya stres (pembuatan luka sadap). Dengan demikian, peningkatan produksi getah dapat dilakukan dengan memberikan zat yang mengandung ethylene (exsogen) yang akan merangsang pembentukan ethylene endogen pada tanaman sehingga proses metabolisme sekunder dapat ditingkatkan.

Hasil penelitian di Hutan Pendidikan Gunung Walat menunjukkan bahwa stimulansia organik dan ZPT mampu menghasilkan produktivitas rata-rata getah pinus yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stimulansia anorganik. Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari) ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari)

Panen ke- KONTROL ETRAT 12-40 CAS PGR-12 ETS

1 13.23 16.38 22.97 14.77 15.20

2 5.18 8.28 17.50 6.93 7.33

3 8.58 14.87 16.03 13.47 12.73

4 9.23 14.28 12.68 15.87 15.70

5 7.60 17.82 10.35 17.32 15.98

6 8.87 17.33 9.67 19.87 16.37

7 7.82 18.22 8.23 20.12 17.90

8 7.30 18.12 6.17 19.83 17.78

9 7.70 18.50 5.82 19.20 16.33

10 6.33 15.23 3.63 15.48 15.67

11 9.08 17.88 3.47 19.02 18.27

12 7.58 17.65 3.31 17.50 16.78

13 7.05 16.18 3.30 16.95 16.70

14 8.82 15.77 3.97 16.63 15.60

15 10.11 17.83 3.97 18.67 15.38

Total 124.49 244.35 131.06 251.62 233.73

Rata-rata 8.30 16.29 8.74 16.77 15.58

Pelukaan awal pada pohon Pinus menyebabkan stres pada batang yang mempengaruhi metabolisme sekunder. Pinus mengeluarkan getah sebagai bentuk reaksi akibat pelukaan untuk menutupi sel-sel yang rusak. Pada pemanenan pertama, hasil rata-rata produktivitas getah pada setiap perlakuan tinggi karena keluarnya deposit getah dari sel-sel parenkim. Saat pinus berusaha melakukan


(38)

reaksi terhadap pelukaan kedua, deposit getah telah berkurang banyak untuk menanggapi reaksi stres pada pelukaan pertama. Hal ini menyebabkan persediaan getah di dalam pohon sangat sedikit sehingga pada pemanenan getah yang kedua produktivitas rata-rata setiap perlakuan menurun. Pada pelukaan ketiga, pohon pinus sudah dapat beradaptasi dengan mulai membentuk deposit getah yang baru, sehingga hasil produktivitas rata-rata setiap perlakuan di pemanenan ke tiga kembali meningkat. Akan tetapi, pada pelukaan pertama hingga ketiga, penggunaan CAS menghasilkan rata-rata produktivitas getah paling tinggi. Menurut Santosa (2011), CAS memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dari saluran getah. Cairan Asam Sulfat (CAS) juga mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lebih lama. Akan tetapi, pada pemanenan ke empat atau hari ke 12, produktivitas getah pinus dengan penggunaan CAS mulai berada di bawah stimulansia organik dan ZPT.

Perlakuan yang memberikan hasil produktivitas rata-rata tertinggi pada pemanenan ke empat adalah penggunaan PGR-12 yang merupakan Zat Pengatur Tumbuh (hormon). Hal ini disebabkan ethylene di dalam PGR-12 membutuhkan waktu untuk berubah wujud dari bentuk cair ke bentuk gas. Menurut Weaver (1972) dalam Haryati (2003), pengaruh ethephon tidak jauh berbeda dengan

ethylene terhadap tanaman. Ethephon (2-Chloroethyl phosphonic acid) merupakan stimulan yang biasa digunakan untuk meningkatkan lateks karet. Ethephon adalah senyawa bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethylene (Sumarmadji 2002). Etephone akan mengalami dekomposisi pada pH 4,1 atau lebih tinggi dan akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman, sedangkan dalam larutan encer di bawah pH 4 Ethephon akan tetap stabil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pH sitoplasma sel tanaman pada umumnya lebih besar daripada 4. Maka jika Ethephon masuk ke dalam jaringan tanaman, akan menurunkan derajat kemasamannya dan terjadi dekomposisi yang akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman (Dewilde 1970 dalam Haryati 2003).

Setelah pemanenan ke empat atau hari ke 12, ethylene exsogen dari PGR-12 merangsang ethylene endogen di dalam pohon pinus untuk mulai beradaptasi


(39)

dengan mekanisme metabolisme sekunder. Pada pemanenan ke lima dan selanjutnya, perlakuan dengan menggunakan CAS hasilnya tetap berada di bawah perlakuan yang menggunakan stimulansia organik dan ZPT. Bahkan pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, perlakuan dengan menggunakan CAS memberikan produktivitas paling rendah. Sebaliknya, produktivitas getah dengan perlakuan ZPT serta campuran stimulansia organik dan ZPT meningkat semenjak pemanenan ke empat, dan mulai stabil pada pemanenan keenam hingga seterusnya.

Pada hasil akhir, perlakuan dengan PGR-12 menghasilkan rata-rata produktivitas getah tertinggi, yaitu sebesar 16,77 g/quarre/hari. Perlakuan dengan ETRAT sebesar 16,29 g/quarre/hari, ETS 15,58 g/quarre/hari, CAS sebesar 8,74 g/quarre/hari sedangkan kontrol (tanpa perlakuan) sebesar 8,30 g/quarre/hari. Secara umum, kecenderungan hasil rata-rata produktivitas getah ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Grafik kecenderungan produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari).

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, rata-rata produktivitas perlakuan CAS berada di bawah kontrol. Penggunaan CAS membuat pinus sukar untuk mengeluarkan getah karena sel-sel epitel penghasil getah yang telah mati sehingga, pada saat melakukan pembaharuan luka, kayu gubal terasa keras. Secara fisik, hal ini ditandai dengan berubahnya warna bidang sadapan dari cokelat muda menjadi cokelat tua kehitaman. 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Pr o d u kt iv itas rata -r ata - g e tah p in u s (gr am /q u ar re /h ar i) Panen ke- KONTROL ETRAT 12-40 CAS PGR-12 ETS


(40)

Berdasarkan laporan hasil penelitian Pengaruh Pemberian ETRAT terhadap Peningkatan Produktivitas Penyadapan Getah Pinus (Studi Kasus di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten), produktivitas getah dengan perlakuan CAS juga mengalami penurunan dan ada yang hasil produktivitasnya berada di bawah kontrol (Santosa 2011). Penelitian tersebut dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan penelitian ini tetapi dengan contoh (tempat) yang berbeda, yaitu di RPH Gonggang Utara, RPH Ciguha dan RPH Takokak, KPH Sukabumi.

KONTROL CAS ETRAT 12-40

PGR-12 ETS

Gambar 4 Produktivitas getah pinus dengan masing-masing perlakuan pada panen ke delapan.

Hujan juga berpengaruh terhadap produktivitas getah pinus. Pada Gambar 3, terlihat bahwa hasil rata-rata produktivitas semua perlakuan pada pemanenan ke-10 menurun. Aliran stemflow yang deras pada saat hujan akan menumpahkan getah yang ada dalam penampung sehingga dapat menggurangi produktivitas.


(41)

Selain itu, menurut Doan (2007), curah hujan yang tinggi akan menyebabkan kelembaban di sekitar luka sadapan menjadi tinggi dan hal tersebut dapat menyebabkan getah cepat menggumpal.

Pada saat penelitian berlangsung, untuk mengurangi aliran batang, maka di atas koakan dipasang plastik berukuran 20 x 40 cm, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 juga menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan stimulansia organik dan ZPT menghasilkan getah yang lebih banyak daripada CAS dan kontrol. Gambar tersebut merupakan salah satu contoh pohon yang produktivitas rata-ratanya di panen ke delapan berada di bawah kontrol pada perlakuan CAS.

Tabel 4 Persentase peningkatan produktivitas getah pinus pada kontrol (tanpa perlakuan), stimulansia organik, dan stimulansia anorganik

Perlakuan Rata-rata produktivitas getah (g/quarre/hari)

Persentase peningkatan produktivitas getah (%)

Kontrol 8.30

-ETRAT 12-40 16.29 196.28

CAS 8.74 105.28

PGR-12 16.77 202.12

ETS 15.58 187.75

Berdasarkan Tabel 4, persentase tertinggi adalah penggunaan PGR-12, yaitu sebesar 202,12 %, kemudian ETRAT 12-40 196,28% dan ETS 187,75% sedangkan untuk penggunaan stimulansia anorganik, menghasilkan persentase terhadap kontrol hanya 105,28% saja. Penggunaan stimulansia organik serta kombinasi stimulansia organik dan ZPT menghasilkan persentase peningkatan produktivitas getah yang lebih tinggi dibandingkan dengan stimulansia anorganik. Hal ini dikarenakan ethyleneexsogen yang berada di dalam ETRAT 12-40, PGR-12 dan ETS merangsang ethylene endogen yang berfungsi sebagai pembawa pesan (chemical messenger) untuk melakukan metabolisme sekunder. Peranan asam sitrat pada stimulansia organik yaitu dapat membuka muara saluran getah sehingga getah dapat keluar dengan lancar, dan ethylene serta asam sitrat dapat bekerja bersama-sama dalam proses keluarnya getah. Sedangkan penggunaan CAS, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat memberikan efek panas


(42)

sehingga getah lama dalam keadaan cair dan muara saluran getah dapat terbuka lebih lama (Santosa 2011), namun keadaan ini hanya bersifat sementara saja, karena CAS bersifat asam kuat yang dapat merusak kayu, dan lama-kelamaan dapat mengurangi produktivitas getah.

5.3 Pengaruh Stimulansia terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus Data hasil produktivitas getah pinus menggunakan stimulansia organik dan anorganik diolah secara statistik menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA). Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Analisis ragam penggunaan stimulansia terhadap produktivitas getah pinus

Sumber

keragaman db Jumlah kuadrat

Kuadrat

tengah Fhitung F0,01 P-value

Model 4 1078.652 269.66 20.42 3.6 <0.0001 Derajat

kesalahan 70 924.22 13.20 Total 74 2002.87

Berdasarkan Analisis Sidik Ragam (ANOVA) dengan alpha sebesar 0,01, penggunaan stimulansia organik dan ZPT memiliki pengaruh sangat nyata terhadap produktivitas getah pinus karena Fhitung > F0.01. Selanjutnya, untuk

mengetahui kelompok perlakuan yang berbeda nyata, maka dilakukan analisis lanjut berupa uji Duncan. Hasil Uji Duncan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil Uji Duncan pengaruh stimulansia terhadap produktivitas getah pinus dilihat dari segi perlakuan yang berbeda

No Perlakuan Rata-rata produktivitas

1 Kontrol 8.30a

3 CAS 8.74a

2 ETRAT 12-40 16.29b

4 PGR-12 16.77b

5 ETS 15.58b

Huruf superscript yang berbeda dalam kolom “Rata-rata produktivitas” menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0.01)


(43)

Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa antara kelompok perlakuan kontrol dan CAS tidak berbeda nyata, begitu pula antara kelompok perlakuan ETRAT 12-40, PGR-12, dan ETS. Akan tetapi, antara perlakuan yang memiliki huruf

superscript yang berbeda memiliki nilai yang berbeda sangat nyata.

5.4 Nilai Tambah Penggunaan Stimulansia

Aplikasi stimulansia di lapangan membutuhkan analisis biaya sebagai pertimbangan dalam memilih stimulansia yang cocok untuk diterapkan. Analisis biaya terdiri atas biaya stimulansia per quarre/hari, peningkatan produktivitas getah dan pendapatan hasil peningkatan getah per quarre/hari, sehingga didapatkan nilai tambah dari produktivitas masing-masing stimulansia per

quarre/hari. Hasil dari analisis biaya disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Analisis biaya stimulansia

Stimulansia

Biaya stimulansia

Peningkatan produktivitas

getah

Pendapatan hasil peningkatan

getah

Nilai tambah penggunaan

stimulansia

(Rp/quarre/hari) (g/quarre/hari) (Rp/quarre/hari) (Rp/quarre/hari)

1 2 3 4

ETRAT

12-40 4 7.99 95.89 91.89

PGR-12 7.33 8.48 101.7 94.37

ETS 4.67 7.28 87.4 82.73

CAS 1.33 0.44 5.25 3.92

Keterangan:

1= Biaya stimulansia

2= Produksi getah dengan menggunakan stimulansia - produksi getah dari kontrol 3= (2 : 1000) x Rp 12.000,00

4= 3 – 1

Harga stimulansia ETRAT 12-40 adalah Rp 12.000,00/liter, PGR-12 Rp 22.000,00/liter, ETS Rp 14.000,00/liter dan CAS Rp 4.000,00/liter. Asumsi untuk penggunaan stimulansia setiap koakan adalah 1 ml dan harga getah pinus di pasaran sebesar Rp 12.000,00/kg. Harga stimulansia organik dan ZPT didapat dari


(44)

CV. Permata Hijau Lestari yang merupakan produsen produk tersebut, sedangkan harga getah pinus berasal dari harga jual getah pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Analisis biaya stimulansia menunjukkan bahwa stimulansia PGR-12 memiliki nilai tambah produktivitas getah terbesar, yaitu sebesar Rp 94,37/quarre/hari, selanjutnya adalah ETRAT 12-40 Rp 91,89/quarre/hari, ETS Rp 82,73/quarre/hari dan CAS sebesar Rp 3,92/quarre/hari. Harga stimulansia belum dapat menentukan stimulansia yang cocok diaplikasikan karena perlu dipertimbangkan pula nilai tambahnya. Contohnya adalah stimulansia CAS yang memiliki harga paling murah, namun nilai tambahnya paling kecil.

5.5 Pemilihan Stimulansia yang Sesuai untuk Diaplikasikan

Menurut Pandit dan Ramdan (2002), saluran getah dikelilingi oleh sel-sel epitel. Sel Epitel inilah yang membentuk getah sebagai akibat dari proses metabolisme. Penggunaan CAS berdampak buruk bagi kayu karena menyebabkan sel-sel epitel pada kayu mengering dan akhirnya mati. Selama penelitian, terdapat perubahan warna pada bidang koakan, yaitu dari cokelat muda menjadi cokelat kehitaman. Sel-sel epitel kayu yang mati menyebabkan bidang sadapan sulit untuk mengeluarkan getah karena jaringan sudah tertutup dan saat melakukan penyadapan getah, kayu terasa keras dan sukar untuk dilukai, sehingga mempersulit dan menghambat produktivitas kerja. Sebaliknya, bila menggunakan stimulansia organik dan ZPT, bidang koakan berwarna sama dengan kontrol yaitu cokelat muda.

Selain itu, pada permukaan koakan (bidang sadap) dengan menggunakan stimulansia organik dan ZPT terlihat lebih basah daripada permukaan koakan dengan CAS. Hal ini dikarenakan pada permukaan koakan yang menggunakan stimulansia organik, saluran getah terus mengeluarkan getah secara konsisten, sedangkan pada perlakuan dengan CAS sel-sel epitel kayunya telah mati. Jadi, penggunaan stimulansia organik dan ZPT bila dilihat secara fisik, tidak menyebabkan dampak buruk pada bidang sadapan. Perbandingan kondisi bidang sadapan pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 4.


(1)

Lampiran 7 Hasil analisis sidik ragam dan Uji Duncan

Oneway

Descriptives Bobot

N Mean Std. Deviation Std. Error

99% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

1 15 8.2987 1.84206 .47562 7.2786 9.3188 5.18 13.23 2 15 16.2893 2.58789 .66819 14.8562 17.7225 8.28 18.50 3 15 8.7380 6.12498 1.58146 5.3461 12.1299 3.30 22.97 4 15 16.7753 3.37903 .87246 14.9041 18.6466 6.93 20.12 5 15 15.5813 2.64429 .68275 14.1170 17.0457 7.33 18.27 Total 75 13.1365 5.20249 .60073 11.9395 14.3335 3.30 22.97

ANOVA Bobot

Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 1078.652 4 269.663 20.424 .000 Within Groups 924.223 70 13.203


(2)

46

Lampiran 7 (lanjutan)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Bobot Duncan

Perlaku

an N

Subset for alpha = 0.01

1 2

1 15 8.2987

3 15 8.7380

5 15 15.5813

2 15 16.2893

4 15 16.7753

Sig. .742 .402

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.


(3)

Lampiran 8 Dokumentasi penelitian

Alat dan bahan penelitian Penomeran pohon contoh

Pembuatan koakan Pemberian stimulansia


(4)

48

Lampiran 8 (Lanjutan)

Penimbangan getah hasil panen

Proses pemanenan getah


(5)

Organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh GUNAWAN SANTOSA.

Getah pinus merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu yang dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Permintaan getah pinus yang semakin meningkat di Indonesia maupun di dunia menyebabkan perlunya upaya peningkatan produktivitas getah. Salah satu caranya adalah dengan pemberian stimulansia. Namun, stimulansia yang sering dikenal adalah stimulansia anorganik berupa cairan asam sulfat (CAS) yang dapat menyebabkan kerusakan pada pohon pinus, lingkungan, dan mengganggu kesehatan penyadap getah serta olahannya tidak dapat dijadikan food grade. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan stimulansia organik dan ZPT yang dapat meningkatkan produktivitas getah pinus, tidak merusak pohon dan lingkungan, aman bagi penyadap getah serta dapat dijadikan food grade.

Ada lima perlakuan dalam penelitian ini, yaitu kontrol, ETRAT 12-40, CAS, PGR-12, dan ETS. Perlakuan kontrol tidak diberikan stimulansia apapun, ETRAT 12-40 dan ETS menggunakan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), PGR-12 merupakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), dan CAS merupakan stimulansia anorganik. Zat Pengatur Tumbuh yang digunakan adalah

ethylene, karena ethylene exsogen dapat mempengaruhi ethylene endogen di dalam pohon untuk melaksanakan proses metabolisme sekunder

Berdasarkan penelitian, rata-rata produktivitas tertinggi adalah dengan perlakuan PGR-12 yaitu sebesar 16,77 gram/quarre/hari, sedangkan CAS hanya 8,74 gram/quarre/hari. Penggunaan PGR-12 juga memiliki persentase peningkatan produktivitas getah tertinggi terhadap kontrol, yaitu sebesar 202,12 % sedangkan CAS sebesar 105,28 %. Selain itu, dari segi analisis biaya, perlakuan dengan PGR-12 menghasilkan nilai tambah produktivitas getah yang tertinggi, yaitu sebesar Rp 94,37/quarre/hari, sedangkan CAS sebesar Rp 3,92/quarre/hari. Oleh karena itu, stimulansia organik dan ZPT lebih baik digunakan daripada stimulansia anorganik.

Perlakuan dengan PGR-12 memiliki hasil rata-rata produktivitas getah pinus, persentase peningkatan produktivitas getah, dan nilai tambah produktivitas getah pinus tertinggi. Akan tetapi, untuk aplikasi di lapangan, PGR-12 belum dapat digunakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, karena berdasarkan Perhutani Unit III Jawa Barat yang telah melakukan penelitian internal, stimulansia yang cocok digunakan di Jawa Barat adalah ETRAT 12-40. Selain itu, berdasarkan Uji Duncan, perlakuan dengan ETRAT 12-40 tidak berbeda nyata dengan PGR-12. Penggunaan ETRAT 12-40 juga lebih disarankan, karena dari komposisi, konsentrasi ethylenenya (ZPT) lebih rendah daripada PGR-12. Jadi, untuk aplikasinya di Hutan Pendidikan Gunung Walat lebih efisien menggunakan ETRAT 12-40.

Kata Kunci: Stimulansia getah pinus, produktivitas getah pinus, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), ethylene


(6)

SUMMARY

Ika Nugraha Darmastuti. E14070034. The Influence of Organic Stimulant and Plant Growth Regulator on The Productivity of Pine Resin Tapping in Gunung Walat University Forest. Under Supervision of GUNAWAN SANTOSA.

Pine resin is a non-wood forest product that can be processed into Gum Rosin and turpentine. The enhancement of pine resin demand in Indonesia even in the world led to find the ways to increase the productivity of the resin. One way is by administering stimulant. However, the most well known stimulant is made anorganic form sulfate acid (CAS) which can cause damage to pine trees, the environment, and influence the health of tappers and other dairy can not be used as food grade. Therefore, this study used organic and PGR stimulant that can increase the productivity of pine tapping, cannot damage the pine trees, environment, and safe for tappers and can be used as food grade.

There were five treatments in this study, according to: control, 12-40 ETRAT, CAS, PGR-12 and ETS. Control treatment was not given a stimulant, ETRAT 12-40 and ETS using organic stimulant and Plant Growth Regulator (PGR), PGR-12 is Plant Growth Regulator (PGR), and CAS is an anorganic stimulant. Plant Growth Regulator used is Ethylene, because ethylene eksogen can affect ethylene endogen in the trees for doing sekunder metabolism process.

Based on this research, the highest average percentage productivity is by PGR-12 treatment that is equal to 16.77 grams/quarre/day, while the CAS is only 8.74 grams/quarre/day. The use of PGR-12 also has the highest percentage increase in resin productivity of the control, that is equal to 202.12% and 105.28% for CAS. Moreover, in terms of cost analysis, treatment with PGR-12 produces the highest value-added of productivity of the pine resin tapping, amounting to Rp 94.37/quarre/day, while the CAS is Rp 3.92/quarre/day. Therefore, organic stimulant and PGR are better used than inorganic stimulant.

Treatment with PGR-12 have the highest values of average productivity of pine resin, the percentage increase of productivity, and value-added productivity of pine resin. However, for applications in the field, PGR-12 can not be used in Gunung Walat Forest Education, because based on Perhutani Unit III West Java who has conducted internal research, a suitable stimulant used in West Java is ETRAT 12-40. In addition, based on Duncan test, treatment with 12-40 ETRAT not significantly different from PGR-12. Use of ETRAT 12-40 are also more advisable, because of the composition, concentration ethylene (PGR) is lower than the PGR-12. Hence, application ETRAT 12-40 in Gunung Walat University Forest more efficient.

Keywords: pine resin stimulant, pine resin productivity, plant growth regulator (PGR), ethylene


Dokumen yang terkait

Pengaruh Teknik Aplikasi Zat Pengatur Tumbuh dan Umur Pindah Tanam Bibit TSS (True Shallot Seeds) terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium ascaloicum L.)

6 85 199

Pengaruh Berbagai Level Zat Pengatur Tumbuh Dekamon 22,43 L Dan Pupuk Kandang Domba Terhadap Produksi Dan Pertumbuhan Legum Stylo (Stylosanthes Gractlis)

0 34 66

Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh Hydrasil Dan Pupuk Nitrophoska Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Semangka (Citrullus Vulgaris Schard)

0 41 71

Pengaruh Pemberian Pupuk Stadya Daun Dan Zat Pengatur Tumbuh Atonik 6,5 L Terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma Cacao L.)

0 41 96

Pengaruh Berbagai Level Zat Pengatur Tumbuh Dekamon 22,43 L dan Pupuk Kandang Domba Terhadap Kualitas Legum Stylo (Stylosanthes gracilis)

1 56 64

Pengarah campuran media tanam dan zat pengatur tumbuh Giberellin terhadap pertumbuhan bibit mengkudu (Morinda citrifolia L.)

0 27 84

Pengaruh Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh Atonik dan Dosis Pupuk Urea terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Jahe Muda (Zingiber officinale Rosc.)

4 51 92

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Akar Dan Media Tanam Terhadap Keberhasilan Dan Pertumbuhan Setek Kamboja Jepang (Adenium Obesum)

8 73 80

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Asam Giberelat (GA3) dan Pupuk NPK pada Penyambungan Tanaman Mangga (Mangifera indica L.)

3 30 93

Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan Pengatur Zat Tumbuh (ZPT) terhadap Produktivitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

0 11 48