disebabkan oleh kekhawatiran akan dampak buruk terhadap lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan terak baja.
Baru-baru ini, pada bulan Agustus 2010 telah diadakan lokakarya yang membahas kemungkinan diubahnya peraturan pengkategorian terak baja sebagai
limbah B3. Berdasarkan seminar tersebut diusulkan diadakannya peraturan khusus penanganan terak baja agar dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Oleh
karena itu penelitian ini dilakukan untuk melengkapi data ilmiah pendukung perbaikan peraturan yang selama ini telah ada mengenai terak baja. Penelitian ini
dibatasi pada pengaruh terak baja converter dengan dan tanpa penambahan bahan humat terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman padi serta perubahan sifat-
sifat kimia tanah pada tanah Latosol Darmaga.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini ialah: 1.
Mengetahui pengaruh pemberian terak baja converter dengan dan tanpa penambahan bahan humat terhadap pertumbuhan dan produksi padi pada
tanah Latosol Darmaga. 2.
Mengetahui perubahan sifat-sifat kimia tanah meliputi pH tanah, konsentrasi unsur hara makro Ca, Mg, P, dan K, unsur hara mikro Cu dan Zn, dan
logam Pb, serta kadar unsur-unsur tersebut dalam tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terak Baja
2.1.1. Pengertian dan Pembentukan Terak Baja
Terak baja merupakan hasil samping dari proses pemurnian besi cair dalam industri baja. Menurut Tisdale dan Nelson 1975, terdapat tiga jenis terak
baja yang berpotensi dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian, yaitu blast- furnace slag, basic slag, dan electric-furnace slag. Perbedaan ketiga jenis terak
baja ini didasarkan pada proses yang digunakan dalam pemurnian bijih besi. Blast-furnace slag BF-slag terbentuk pada tahap awal proses pemurnian bijih
besi. Basic slag atau basic oxygen slag BOF-slag terbentuk dari industri baja yang menggunakan proses Basic Oxygen Furnaces BOF, sedangkan electric-
furnace slag EF-slag merupakan terak baja yang terbentuk pada industri yang
menggunakan proses Electric Arc Furnace EAF Proctor et al., 2000. Diagram alur proses pemurnian bijih besi dalam industri baja disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alur Proses Pemurnian Bijih Besi dalam Industri Baja American Iron and Steel Institute dalam http:www. Steel.org
a. Proses Basic Oxygen Furnaces BOF
Pada industri baja, biasanya instalasi proses basic oxygen furnace selalu berintegrasi dengan instalasi blast furnace. Besi cair yang berasal dari blast
furnace dimasukkan ke dalam basic oxygen furnace untuk diproses lebih lanjut
dikombinasikan dengan potongan baja scrap. Besi cair yang ditambahkan
berkisar antara 80-90, sedangkan potongan baja sekitar 10-20. Penambahan potongan baja berperan penting untuk menjaga keseimbangan suhu dalam
pemanas pada kisaran 1600 C-1650
C. Skema proses basic oxygen furnace
disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Proses Basic Oxygen Furnace American Iron and Steel Institute dalam http:www. Steel.org
Pada tahap awal, potongan baja dimasukkan ke dalam tungku pemanas. Selanjutnya besi cair disiramkan di atas potongan baja, kemudian dialirkan
oksigen dengan kemurnian diatas 90. Pada proses pengaliran oksigen selama 20-25 menit, terjadi reaksi oksidasi yang sangat intensif sehingga bahan pengotor
pada baja dapat dikurangi. Karbon teroksidasi membentuk karbon monoksida, mengakibatkan peningkatan suhu mencapai 1600
C-1700 C. Pada suhu ini
potongan baja mencair dan kadar karbon pada baja menurun. Untuk menurunkan
kadar bahan yang tidak diinginkan pada baja ditambahkan fluxing agent, yaitu
CaO atau MgCaCO
3 2
. Selama pengaliran oksigen, bahan yang tidak diinginkan teroksidasi, kemudian berikatan dengan bahan kapur membentuk BOF-slag yang
mengapung diatas besi cair Yildirim dan Prezzi, 2011. b.
Proses Electric Arc Furnace EAF Pada proses electric arc furnace sumber panas diperoleh dari percikan api
yang berasal dari listrik bertegangan tinggi. Tungku electric arc dilengkapi dengan elektroda grafit dan ketel besar dengan lubang pengeluaran di bagian atas
ketel. Pada bagian atas ketel juga dilengkapi dengan poros yang digunakan untuk memutar ketel pada saat menuangkan besi cair. Proses electric arc furnace tidak
tergantung dengan proses blast furnace, karena bahan yang digunakan adalah potongan baja yang berasal dari baja-baja bekas. Skema proses electric arc
furnace disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Proses Electric Arc Furnace American Iron and Steel Institute dalam http:www. Steel.org
Proses electric arc furnace dimulai dengan memasukkan potongan baja ke dalam tungku pemanas elektrik. Kemudian elektroda grafit diturunkan hingga
masuk ke dalam tungku. Ketika dialirkan aliran listrik, pertemuan antara elektroda
dan potongan baja akan menghasilkan panas. Ketika potongan baja meleleh, elektroda ditekan lebih dalam.
Ketika semua potongan baja telah meleleh, kemudian dilanjutkan proses pemurnian. Selama proses pemurnian dialirkan oksigen kemurnian tinggi.
Beberapa besi Fe dan berbagai material yang tidak diinginkan termasuk Al, Si, Mn, P, dan C teroksidasi. Komponen yang teroksidasi ini berkombinasi dengan
CaO maupun MgO membentuk terak Yildirim dan Prezzi, 2011.
2.1.2. Pemanfaatan Terak Baja
Terak baja telah dimanfaatkan untuk banyak keperluan di dunia dan disimpulkan pada Gambar 4 Shen dan Forssberg, 2002. Secara umum,
pemanfaatan terak baja dibagi kedalam dua kelompok besar. Pertama dimanfaatkan langsung dalam industri baja, dan kedua pemanfaatan di luar
industri baja.
Gambar 4. Pemanfaatan Terak Baja Shen dan Forssberg, 2002 dengan Modifikasi
Terak baja mengandung 30-50 CaO dan 3-10 MgO. Dapat dilihat pada
Tabel 2, converter slag mengandung 53,36 CaO dan 2,86 MgO. Kadar CaO
dan MgO yang tinggi ini dapat dimanfaatkan langsung dalam proses pemurnian bijih besi sebagai bahan pengganti sebagian bahan kapur yang ditambahkan Shen
dan Forssberg, 2002. Pemanfaatan terak baja untuk keperluan di luar industri baja harus melalui
proses pemurnian logam-logam terlebih dahulu yang meliputi proses mekanik dan
fisik Durinck et al., 2008. Sekitar 85-100 terak baja telah banyak dimanfaatkan di berbagai negara untuk berbagai keperluan. Sebagai contoh pada
Tabel 1 disajikan pemanfaatan converter slag di Jepang Sasaki, 2010.
Tabel 1. Pemanfaatan Converter Slag di Jepang Pemanfaatan
x 10
3
ttahun Reuse
1.661 12,19
Bangunan Jalan 3.202
23,49 Pembenah tanah
00 716
5,25 Teknik sipil
6.046 44,35
Semen 00
614 4,50
Bahan pengeras 00
418 3,07
Lain-lain 00
535 3,92
Landfill 00
439 3,22
Total 13.631
100,00 2.1.3.
Pemanfaatan Terak Baja dalam Bidang Pertanian
Beberapa manfaat terak baja dalam bidang pertanian telah banyak ditunjukkan oleh penelitian-penelitian terdahulu, antara lain terak baja dapat
berfungsi untuk meningkatkan pH tanah sama seperti kapur, penyedia unsur Ca, K, dan P, serta mampu menurunkan efek toksik dari Al pada tanah masam Ali
dan Sedaghat, 2007. Penambahan terak baja pada tanaman padi di lahan gambut mampu meningkatkan bobot kering gabah bernas sebesar 65-96 dan
meningkatkan kandungan basa-basa yang dapat dipertukarkan seperti K, Ca, dan Mg Hidayatulloh, 2006. Kristen dan Erstad 1996, menyatakan bahwa
pemberian terak baja dapat meningkatkan P dalam tanah, hal ini disebabkan oleh kandungan SiO
2
dalam terak baja. Unsur Si dapat mengurangi fiksasi P oleh Al dan Fe sehingga ketersedian P dalam tanah meningkat. SiO
2
pada terak baja terhidrolisis membentuk anion SiO
4 4-
yang mampu mendorong anion P sehingga P dibebaskan kedalam larutan tanah.
Menurut Suwarno 2010, penggunaan electric furnace Indonesia, converter slag Jepang, dan blast furnace Jepang sebagai pupuk Si untuk tanaman
padi sawah yang ditanam pada tanah regosol menunjukkan peningkatan bobot gabah bernas yang signifikan. Akan tetapi, produksi pada penggunaan electric
furnace Indonesia cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan converter slag Jepang, dan blast furnace Jepang. Hasil serupa juga terjadi pada penelitian
pot rumah kaca pemberian terak baja sebagai pupuk Si untuk tanaman padi varietas IR 64 pada tanah gambut. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa
pemberian terak baja pada tanah gambut meningkatkan ketersediaan Si, Ca, serta meningkatkan pH tanah, tetapi menurunkan ketersediaan Fe, Cu, dan Zn.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Syihabuddin 2011, pemberian terak baja sebagai bahan amelioran pada tanah gambut dapat meningkatkan bobot
biomasa tanaman dan produksi padi, berpengaruh nyata dapat meningkatkan pH tanah, basa-basa dapat dipertukarkan serta unsur mikro dalam tanah dan tanaman.
Selain itu, pemberian terak baja juga dapat menurunkan kelarutan logam berat. Meskipun berdasarkan hasil penelitian yang telah dikembangkan
menunjukkan bahwa terak baja dapat dimanfaatkan dalam bidang pertanian. Akan tetapi, sampai saat ini terak baja belum dimanfaatkan di Indonesia. Hal ini
dikarenakan masih terhambat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 85 tahun 1999 yang menggolongkan terak baja ke dalam kategori limbah B3 Bahan Berbahaya
dan Beracun. Limbah B3 adalah limbah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya danatau beracun yang karena sifat danatau
konsentrasinya danatau jumlahnya, baik secara langsung dapat mencemarkan danatau merusak lingkungan hidup, danatau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.
2.2. Bahan Humat
2.2.1. Pengertian dan Ekstraksi Bahan Humat
Menurut Kononova 1966 bahan organik tanah terbagi menjadi dua kelompok, yakni: bahan yang telah terhumifikasi, disebut humat bahan humat
dan bahan yang tidak terhumifikasi, yang disebut sebagai bahan bukan humat. Humat sering dikenal sebagai humus, yang merupakan hasil akhir proses
dekomposisi bahan organik, bersifat stabil dan tahan terhadap bio-degradasi Aicken et al., 1985.
Bahan humat dapat dibagi berdasarkan kelarutannya Gambar 5. Asam humik dan asam fulvik merupakan bahan humat yang larut dalam kondisi alkali.
Umumnya asam humik diekstrak menggunakan larutan basa dan akan diendapkan
oleh larutan asam, begitu juga dengan asam fulvik. Humin merupakan residu bahan humat yang tidak terlarut baik pada kondisi asam maupun basa Schnifzer
dan Khan, 1978. Asam humik merupakan komponen yang sangat penting dari bahan humat
jika diaplikasikan ke dalam tanah. Peranannya antara lain dapat menggemburkan tanah, perantara transportasi nutrisi mikro dari tanah ke tanaman, meningkatkan
kemampuan tanah menahan air, meningkatkan pertumbuhan kecambah, dan mampu menjadi bahan stimulan berkembangnya mikroflora dalam tanah. Asam
humik juga mampu menjadi tempat kolonisasi mikroflora. Kemudian mikroflora mengeluarkan enzim yang dapat menjadi katalis terurainya besi dan fosfor pada
komplek Fe-P yang tidak larut, serta kalsium dan fosfor pada komplek Ca-P yang tidak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman Mendez et al., 2004.
Gambar 5. Skema Pembagian Bahan Humat Berdasarkan Kelarutannya
2.2.2. Peranan Bahan Humat
Sebagai bagian dari tanah, bahan humat sangat berperan dalam sejumlah reaksi di dalam tanah. Seperti dijelaskan oleh Soepardi 1983 bahwa proses yang
terjadi di dalam tanah sebagian besar dilakukan oleh penyusun tanah yang jumlahnya relatif kecil, yaitu liat dan humus. Bentuk koloidal baik liat maupun
bahan organik merupakan pusat kegiatan dalam tanah dimana terjadi reaksi-reaksi kimia dan pertukaran kation.
Bahan humat memegang peranan penting dipandang dari sudut pertanian, antara lain memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kualitas dan produksi
tanah. Sebagai contoh bahan humat mampu memperbaiki sifat fisik tanah. Selain itu, bahan humat juga dapat meningkatkan KTK tanah, dimana KTK sangat
berperan dalam kesuburan tanah Zhang dan He, 2004. Menurut Tan 2003 bahan humat dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman melalui peranannya dalam
mempercepat respirasi, meningkatkan permeabilitas sel, serta meningkatkan penyerapan air dan hara, sehingga bahan humat dapat digunakan sebagai pupuk,
bahan amelioran dan hormon perangsang pertumbuhan tanaman. Bahan humat juga bermanfaat untuk menjaga kualitas tanah dari cemaran
logam. Hal ini didasarkan kemampuan bahan humat berikatan dengan kation logam polivalen. Menurut Schnifzer dan Khan 1978, urutan kekuatan komplek
ikatan logam dengan bahan humat adalah sebagai berikut Pb
2+
Cu
2+
Ni
2+
Co
2+
Zn
2+
Cd
2+
Fe
2+
Mn
2+
Mg
2+
. Menurut Wijaya 2011, penambahan bahan humat dapat memperbaiki
beberapa parameter sifat kimia tanah seperti C – organik, N – total, dan P tersedia
dalam tanah. Mekanisme kerja bahan humat dalam meningkatkan produksi diduga terjadi melalui perbaikan beberapa sifat kimia tanah dan meningkatkan respon
tanaman dalam menyerap beberapa unsur hara esensial.
2.3. Logam Berat
2.3.1. Logam Berat dalam Tanah
Berdasarkan pembentukan kompleks dan fungsi nutrisi untuk tanaman, Stevenson 1982 membagi logam
–logam menjadi tiga bagian, yaitu: 1.
Logam yang esensial bagi tanaman tetapi tidak berikatan dalam senyawa koordinat. Kation yang termasuk kelompok ini adalah kation monovalen
Na
+
dan K
+
serta divalent Ca
2+
dan Mg
2+
. 2.
Logam esensial dan membentuk ikatan koordinat dengan ligan–ligan organik. Kelompok ini meliputi hampir semua logam dalam golongan
transisi I, termasuk Cu
2+
dan Zn
2+
, serta logam dalam golongan transisi II. 3.
Logam yang tidak diketahui fungsinya bagi tanaman, tetapi diakumulasikan dalam lingkungan. Yang termasuk golongan ini adalah
Cd
2+
, Pb
2+
, dan Hg
2+
.
Logam berat didefinisikan sebagai unsur logam yang memiliki kerapatan jenis lebih dari 6 kgdm
3
Lepp, 1981. Berdasarkan kebutuhan hara tanaman, logam berat dibagi menjadi dua, yaitu yang bersifat esensial dan non esensial bagi
tanaman. Logam berat yang bersifat esensial adalah unsur logam yang diperlukan oleh tanaman untuk proses fisiologisnya, misalnya Fe, Cu, dan Zn. Logam berat
non esensial meliputi beberapa logam berat yang belum diketahui kegunaannya, maupun yang dalam jumlah relatif sedikit dapat menyebabkan keracunan,
misalnya Hg, Pb, Cd, dan As Darmono, 1995. Menurut Ross 1994
a
, sumber utama logam berat dalam tanah berasal dari pelapukan mineral dan kegiatan manusia antropogenik. Secara alamiah logam
berat terdapat dalam struktur kimia mineral, dan umumnya dalam bentuk yang tidak tersedia. Batuan beku memiliki kandungan logam seperti Mn, Cr, Co, Ni,
Cu, dan Zn yang lebih tinggi dibandingkan batuan sedimen. Batuan beku dan batuan metamorfik merupakan penyumbang utama logam dalam tanah karena
jumlahnya yang mencapai 95 kulit bumi, dan 5 sisa merupakan batuan sedimen. Akan tetapi, batuan sedimen lebih banyak dijumpai sebagai bahan induk
tanah mineral karena menyelimuti batuan beku dan metamorfik. Ketersediaan logam bagi tanaman dan dalam siklus ekosistem tanah sangat
tergantung dari tingkat kemudahan terlapuknya batuan. Batu pasir terdiri dari mineral tidak mudah lapuk, sehingga sangat sedikit menyumbangkan logam
dalam tanah. Beberapa mineral dari batuan beku dan batuan metamorfik seperti olivine, hornblande dan augite lebih mudah terlapuk, sehingga dapat
menyumbangkan logam dalam jumlah yang lebih signifikan. Banyak logam dijumpai pada sulfida, seperti galena PbS, cinnabar HgS, chalcopyrite
CuFeS
2
, sphalerite ZnS, dan pentlandite NiFe
9
S
8
. Dibandingkan dengan sumber yang berasal dari pelapukan mineral,
kegiatan manusia antropogenik lebih berpotensi menyebabkan pencemaran logam berat. Sumber antropogenik utama logam berat dalam tanah dan
lingkungan adalah: 1 pertambangan dan peleburan mineral logam; 2 industri; 3 endapan dari udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar minyak; 4
bahan pertanian dan hortikultura; serta 5 pembuangan limbah.
2.3.2. Bentuk Logam Berat dalam Tanah
Menurut Darmawan dan Wada 1999 logam berat dalam tanah terdapat dalam lima fraksi, yaitu: 1 fraksi terlarut; 2 fraksi yang dapat dipertukarkan;
3 fraksi yang terikat pada oksida dan hidroksida Fe dan Mn; 4 fraksi khelat bahan organik; dan 5 residu. Fraksionasi logam berat dipengaruhi oleh reaksi
yang terjadi di dalam tanah, jenis mineral liat, serta kandungan bahan organik. Ross 1994
b
menyatakan bahwa proses utama yang berkaitan dengan mobilitas logam dalam tanah antara lain: pelapukan mineral, pelarutan,
pengendapan, serapan oleh tanaman, imobilisasi oleh mikro organisme, pertukaran kation dalam tanah, adsorpsi, pengkhelatan, dan pencucian. Pada
prinsipnya, proses yang mempengaruhi terlarutnya logam berat dalam tanah adalah pH, kadar bahan organik terlarut, dan reaksi redoks tanah. Proses
pengikatan logam dalam tanah lebih dominan terjadi jika dibandingkan dengan proses pencucian.
2.3.3. Serapan Logam Berat oleh Tanaman
Jumlah logam yang diserap oleh tanaman dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1 konsentrasi dan jenis
logam di larutan tanah; 2 pergerakan logam dari tanah ke permukaan akar; 3 pengangkutan logam dari permukaan akar ke dalam akar; dan 4 translokasi
logam dari akar ke tajuk tanaman. Masuknya logam berat dapat terjadi melalui dua proses, yaitu secara pasif non-metabolik dan aktif metabolik. Proses
serapan pasif meliputi difusi ion di larutan tanah ke endodermis akar, sedangkan serapan aktif melibatkan agen untuk melawan perbedaan konsentrasi tetapi
memerlukan energi metabolik Alloway, 1995. Selain itu, serapan logam berat oleh tanaman sangat dipengaruhi oleh fraksionasi logam berat dalam tanah
Darmawan dan Wada, 1999. Tanaman memiliki suatu mekanisme untuk mengurangi bahaya logam
berat. Mekanisme toleransi tanaman terhadap pencemaran logam berat, meliputi: 1 selektifitas serapan ion; 2 penurunan permeabilitas atau struktur dan fungsi
membran; 3 imobilisasi ion logam berat pada akar; 4 deposisi atau penyimpanan ion logam berat dalam bentuk tak larut sehingga tidak terlibat dalam
metabolisme; 5 perubahan pola metabolisme, yaitu peningkatan sistem enzim
yang menghambat atau meningkatkan metabolik antagonis atau memotong jalur metabolisme dengan tidak melalui tapak yang terhambat ion logam berat; 6
adaptasi terhadap pergantian ion logam fisiologis dalam enzim oleh logam berat; serta 7 pelepasan ion logam berat dari tanaman melalui pencucian lewat daun,
gutasi, dan ekspresi lewat daun Kabata dan Pendias, 2011. Dilihat dari sisi produksi tanaman budidaya, ukuran keberhasilan upaya
pengendalian logam berat didasarkan pada terjadinya penurunan serapannya oleh tanaman. Penurunan serapan oleh tanaman terhadap logam berat berkaitan dengan
tiga hal, yaitu: a akibat penurunan kadar fraksi aktif logam berat dalam tanah; atau b peningkatan selektifitas tanaman dalam menyerap unsur dari media
tumbuhnya; atau c kombinasi keduanya Alloway, 1995.
2.4. Sifat Umum Latosol
Tanah Latosol terbentuk dari bahan induk batu atau abu volkan, pada topografi berombak hingga bergunung pada ketinggian 10
–1000 m dpl dengan vegetasi utama hutan tropis. Menurut Dudal dan Supraptohardjo 1957, tanah
Latosol terbentuk melalui proses latosolisasi. Proses latosolisasi terjadi di bawah pengaruh curah hujan dan suhu yang tinggi di daerah tropik dimana gaya-gaya
hancuran bekerja lebih cepat dan pengaruhnya lebih ekstrim daripada daerah dengan curah hujan dan suhu sedang. Pelapukan dan pencucian sangat intensif
dan mineral silikat cepat hancur. Di banyak tempat di daerah tropik, musim basah dan kering terjadi silih berganti. Hal ini berakibat semakin meningkatnya kegiatan
kimia dalam tanah. Pada tanah Latosol proses hidrolisis dan oksidasi berlangsung sangat
intensif, sehingga basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na cepat dibebaskan oleh bahan organik. Oleh karena itu, tanah Latosol memiliki kejenuhan basa rendah
35 dan KTK yang sangat rendah 24 me100 g Supraptohardjo, 1961. Umumnya Latosol mempunyai sifat kimia yang kurang menguntungkan bagi
tanaman, tetapi pada sifat fisik mempunyai drainase yang baik sehingga memungkinkan terjadinya proses oksidasi yang intensif dan menghasilkan bahan-
bahan berwarna merah dan kuning dengan kandungan seskuioksida tinggi serta kandungan silika rendah.
Seperti telah disebutkan bahwa kapasitas tukar kation tanah Latosol rendah. Hal ini sebagian diakibatkan oleh kadar bahan organik yang rendah dan
sebagian oleh sifat liat hidro-oksida. Namun demikian, jika dibandingkan dengan tanah lain di Indonesia tanah Latosol masih tergolong tanah subur. Tanah ini
menempati area seluas 9 persen daratan Indonesia Soepardi, 1983.
2.5. Tinjauan Umum Tanaman Padi