Dampak Subsidi Pupuk Organik terhadap Produksi dan Pendapatan Padi serta Faktorfaktor yang Mempengaruhi Adopsi Pupuk Organik Provinsi Lampung

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perekonomian Indonesia hingga saat ini didominasi oleh tiga sektor, yaitu

sektor industri pengolahan, sektor pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan

restoran. Secara kumulatif ketiga sektor tersebut memberikan kontribusi terhadap

total PDB Indonesia di tahun 2011 sebesar 53,56 persen. Pada Tabel 1.1 dapat

dilihat sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap PDB

Indonesia yaitu 15,40 persen dengan pertumbuhan rata-rata 3,89 persen ditiap

tahunnya (BPS, 2011).

Tabel 1.1 PDB atas Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2007-2010

Lapangan Usaha Tahun (Triliun Rp) Growth

(persen) 2007 2008 2009 2010

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan

dan Perikanan 271,5 284,6 295,9 304,4 3,89

2. Pertambangan dan Penggalian 171,3 172,5 180,2 186,4 2,87 3. Industri Pengolahan 538,1 557,8 569,8 595,3 3,43 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 13,5 15,0 17,1 18,0 10,12

5. Konstruksi 121,8 131,0 140,3 150,1 7,21

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 340,4 363,8 368,6 400,6 5,63 7. Pengangkutan dan Komunikasi 142,3 165,9 191,6 217,4 15,18

8. Keuangan, Real Estate dan Jasa

Perusahaan 183,7 198,8 208,8 220,6 6,30

9. Jasa-jasa 181,7 193,0 205,4 217,8 6,23

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011

Pertanian dapat dikatakan memiliki peranan yang strategis dalam aspek


(2)

(Koestiono et al, 2010). Menurut Undang-Undang Indonesia Nomor 41 tahun 2009 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga

tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

aman, merata dan terjangkau. Mayoritas masyarakat Indonesia masih

mengkonsumsi padi sebagai pangan utama, oleh karena itu ketahanan pangan

berkaitan erat dengan tingkat produksinya.

Sumber : BPS, 2011

Gambar 1.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Padi 2006-2009

Tingkat produksi padi memiliki tren yang meningkat di tiap tahunnya.

Pada tahun 2006 produksi padi sebesar 54,45 juta ton dan di tahun 2009 produksi

padi meningkat sebesar 15.43 persen menjadi 64,39 juta ton. Walaupun produksi

padi cenderung meningkat dari tahun ke tahun tetapi belum mampu mengimbangi

kebutuhan dalam negeri (Gambar 1.1). Kenyataan ini disebabkan oleh

pertambahan penduduk yang terus meningkat tanpa diimbangi oleh peningkatan

produktivitas (Purnama, 2006).

54.45 57.19 60.33 64.39

362.42 347.9 353.49 343.09

1 10 100 1000

2006 2007 2008 2009

Produksi


(3)

Pemerintah memberlakukan kebijakan memperbesar keran impor untuk

mengatasi rendahnya tingkat produksi bahan pangan dalam negeri ini,

(Tambunan, 2009). Impor beras Indonesia tahun 2010 sebanyak 4.210 ton dengan nilai US$ 14.779.167 (BPS, 2010). UN Comtrade (2010) menyatakan bahwa

Indonesia masuk dalam negara pengimpor beras terbesar di Dunia dengan

pertumbuhan rata-rata dari tahun 2006-2010 sebesar 28,4 persen. Bahkan di tahun

2011 Indonesia kembali impor beras sebanyak 5.944 ton (BPS, 2012).

Faktor utama rendahnya produksi padi adalah terjadinya degradasi mutu

lahan di sebagian besar lahan pertanian intensif. Berbagai hasil penelitian

mengindikasikan sangat rendahnya kandungan C-organik dalam tanah (kurang

dari 2 persen) dimana ukuran C-organik agar produktivitas optimal setidaknya 2,5

persen. Degradasi mutu lahan disebabkan oleh perilaku petani Indonesia yang cenderung menggunakan pupuk anorganik secara berlebihan demi terciptanya produksi tinggi tanpa mengetahui pengaruh jangka panjangnya terhadap lingkungan.

Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang mampu meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi mutu lahan (Balitbang, 2006).

Sehingga, pupuk organik dipandang sangat memberikan kontribusi yang baik bagi

peningkatan produksi pertanian dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Oleh

karena itu, petani harus didorong untuk menggunakan pupuk secara berimbang,

dengan cara mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan mensubstitusi

pengurangan tersebut dengan peningkatan penggunaan pupuk organik. Untuk


(4)

Organik (BLP Organik) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian

No.30/Permentan/OT.140/6/2008 (PSP3, 2010).

Perkembangan realisasi anggaran subsidi pupuk selama kurun waktu

2008-2011 secara nominal mengalami peningkatan, yaitu dari Rp 15,2 triliun pada

tahun 2008 menjadi Rp 18,4 triliun pada tahun 2010 dan meningkat ditahun 2011

sebesar Rp 18,8 triliun. Pada Tabel 1.2 bahwa subsidi pupuk organik mengalami

pertumbuhan sangat pesat terutama dalam volume pupuk organik yang diberikan

dari 68.000 ton di tahun 2008 menjadi 704.000 ton tahun 2011 dengan

pertumbuhan 146 persen (Kemenkeu, 2012).

Tabel 1.2 Perkembangan Subsidi Pupuk Organik Tahun 2008-2011

Uraian

Tahun Growth

(persen)

2008 2009 2010 2011

Subsidi Pupuk (triliun) 15,2 18,3 18,4 18,8 7,71

Volume (ribu ton) 68 236,5 246 704 146

Harga Pokok Produksi (ribu/ton) 1582 1508,1 1525,5 1665,1 1,88

Harga Eceran Tertinggi (ribu/ton) 1000 500 700 700 -3,33

Sumber : Kementerian Pertanian, 2012

Berdasarkan laporan Kemenkeu (2012) peningkatan anggaran subsidi

pupuk tersebut sejalan dengan upaya untuk mendukung, menjaga serta

meningkatkan program ketahanan pangan nasional melalui peningkatan produksi,

produktivitas dan mutu produk pertanian. Selain subsidi pupuk organik, dalam

upaya memberikan dukungan terhadap program revitalisasi pertanian, pemerintah

mengalokasikan anggaran untuk subsidi benih. Realisasi anggaran dalam kurun


(5)

rata-rata 101,9 persen per tahun, dari Rp 0,1 triliun tahun 2006 menjadi Rp 2,2 triliun

pada tahun 2010.

Program BLP Organik dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul)

dilandasi pemikiran bahwa pupuk organik dan benih unggul merupakan faktor

kunci dalam meningkatkan produktivitas. Wilayah cakupan program BLP Organik

telah mencakup 199 kabupaten yang tersebar di 29 provinsi (Kementerian

Pertanian, 2011) termasuk Provinsi Lampung. Alokasi BLP Organik untuk

Provinsi Lampung sebesar 25.000 ton dan menempati posisi keenam dari total

alokasi BLP Organik di tingkat Nasional.

1.2 Perumusan Masalah

Masalah utama yang dihadapi sektor pertanian khususnya berkaitan

dengan masalah ketahanan pangan saat ini adalah rendahnya produktivitas

dibanding permintaannya (Simatupang dan Maulana, 2006). Hal tersebut sejalan

dengan perilaku petani Indonesia yang mementingkan produksi tinggi tanpa

memperhatikan lingkungan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang

dapat mengembalikan unsur hara dalam tanah dan juga meningkatkan produksi.

Kekurangan dari pupuk organik yaitu volume penggunaan pupuk organik yang

lebih banyak dari penggunaan pupuk anorganik sehingga berimbas pada biaya

produksi yang harus dikeluarkan oleh petani. Oleh karena itu, pemerintah memilih

kebijakan subsidi pupuk organik yang berupa Bantuan Langsung Pupuk Organik

(BLP Organik) untuk mendorong petani menggunakan pupuk organik dan


(6)

Petani ragu untuk mengadopsi pupuk organik karena selain dari sisi biaya

produksi yang tinggi juga masih banyak petani belum mengetahui manfaat

ekonomi dan lingkungan dari pupuk organik. Kekhawatiran lain yang muncul

adalah ketika BLP Organik sudah dihapuskan sehingga pengeluaran petani sangat

membengkak. Studi PSP3 (2010) menunjukkan hasil positif dari BLP Organik, terkait produksi dan pendapatan padi namun, belum ada informasi terkait

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik setelah diberikan

subsidi. Sehingga penelitian ini menjadi perlu dilakukan agar terciptanya

pertanian yang berkelanjutan.

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi dan pendapatan

usahatani padi di Provinsi Lampung.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor penentu pengadopsian pupuk organik di tingkat

petani.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun hal-hal yang menjadi manfaat dari penelitian ini, adalah :

1. Memberikan gambaran kebijakan subsidi pupuk organik terhadap sektor

pertanian khususnya padi di Provinsi Lampung.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pengambil


(7)

kebijakan subsidi pupuk organik yang paling efektif dalam mendukung sektor

pertanian serta sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, maka penelitian ini terbatas pada

petani padi yang mendapatkan bantuan langsung pupuk organik dan benih unggul

tahun anggaran 2010 yang didistribusikan PT Pertani untuk Kabupaten Lampung


(8)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori-teori 2.1.1 Teori Subsidi

Subsidi adalah suatu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah dengan

tujuan mensejahterakan masyarakat (Zarkasih, 2010). Menurut Handoko dan

Patriadi (2005) subsidi merupakan pembayaran yang diberikan pemerintah

kepada badan usaha maupun rumah tangga dengan harapan tercapainya

kondisi yang lebih baik.

Subsidi dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Subsidi langsung

dapat berbentuk uang tunai, pinjaman bebas bunga dan sebagainya sedangkan

subsidi tidak langsung berbentuk pembebasan penyusutan, potongan sewa dan

semacamnya. Menurut Rini (2006) subsidi dapat berbentuk:

1. Subsidi produksi, dimana pemerintah menutup sebagian biaya

produksi untuk mendorong peningkatan output produk tertentu dan

dimaksudkan untuk menekan harga dan memperluas penggunaan

produk tersebut.

2. Subsidi ekspor, yang diberikan pada produk ekspor yang dianggap

dapat membantu neraca perdagangan negara.

3. Subsidi pekerjaan, yang diberikan untuk membayar sebagian dari

beban upah perusahaan agar dapat diserap lebih banyak pekerjaan dan


(9)

4. Subsidi pendapatan, yang diberikan melalui sistem pembayaran

transfer pemerintah untuk meningkatkan standar hidup minimum

sebagian kelompok tertentu seperti tunjangan hari tua dan lainnya.

Sesuai dengan uraian diatas maka subsidi uang tunai yang dimaksud

dalam penelitian ini adalah subsidi produksi, dimana peningkatan output

produknya ditanggung oleh pemerintah dengan cara menanggung sebagian

biaya produksi yaitu pupuk organik dan benih unggul agar harga jual kepada

masyarakat dapat dicapai.

2.1.2 Analisis Usaha Tani

Ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani

memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, kerja, modal, waktu dan

pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuan. Umumnya tujuan petani

dalam berusahatani adalah menggunakan seefisien mungkin sumberdaya yang

dimiliki. Prinsip analisis biaya merupakan prinsip terpenting karena petani

hanya dapat mengatur biaya produksi dalam usahataninya namun mereka tidak

mampu mengatur harga komoditi yang dijualnya atau memberikan nilai

kepada komoditi tersebut. Jika tidak ada peningkatan harga komoditi yang

dihasilkan maka petani harus mengurangi biaya per satuan komoditi yang

dihasilkan bila petani ingin meningkatkan pendapatan bersih usahataninya

(Soekartawi et al, 1986).

Berdasar pada Soekartawi (1986) penggolongan biaya produksi

dilakukan berdasarkan sifatnya yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya

tetap ialah biaya yang tidak ada kaitannya dengan jumlah barang yang


(10)

dihasilkan usahataninya. Biaya tetap menjadi sangat penting apabila petani

memikirkan tambahan investasi seperti alat pertanian, tenaga kerja, mesin

pertanian atau bangunan. Tiap tambahan investasi dapat dilakukan jika petani

mampu membelinya dan dapat memberikan keuntungan dalam jangka

panjang. Biaya tidak tetap yaitu biaya yang berubah apabila luas usahanya

berubah dan ada jika terdapat suatu barang yang diproduksi oleh petani.

Usahatani yang baik adalah usahatani yang bersifat produktif dan

efisien dengan produktivitas tinggi dan berkelanjutan. Soekartawi (2006)

menjelaskan secara garis besarnya organisasi usahatani terdiri dari

unsur-unsur pokok produksi usahatani yang terdiri dari lahan, bibit, pupuk,

obat-obatan pertanian dan tenaga kerja, dimana unsur-unsur produksi tersebut

mempunyai peranan yang cukup penting dalam usahatani.

Menurut Soekartawi (1986) pendapatan kotor usahatani didefinisikan

sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang

dijual maupun yang tidak dijual serta sebagai ukuran hasil perolehan total

sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Semua komponen produk yang

tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar dalam menaksir pendapatan

kotor. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, pertama pendapatan atas

seluruh biaya tunai yaitu biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani,

kedua pendapatan atas biaya total dimana semua input milik petani juga

diperhitungkan sebagai biaya dan dihitung dengan analisis rasio penerimaan

dan biaya serta analisis rasio pendapatan dan biaya.

Penerimaan tunai usahatani didefinisikan sebagai nilai uang yang


(11)

jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

Penerimaan tunai dan pengeluaran tunai usahatani tidak mencakup yang

berbentuk benda sehingga nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak

dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani dan nilai kerja yang dibayar

dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani. Selisih

antara penerimaan tunai usahatani dan pengeluaran tunai usahatani disebut

pendapatan tunai usahatani dan merupakan ukuran kemampuan usahatani

untuk menghasilkan uang tunai (Soekartawi et al, 1986).

Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan kotor

usahatani dan pengeluaran total usahatani. Penerimaan kotor usahatani yaitu

nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik yang dijual

maupun tidak dijual. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang

habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi termasuk biaya yang

diperhitungkan. Dalam menaksir pendapatan total usahatani semua komponen

produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar (Soekartawi et al, 1986).

Keberhasilan usahatani ditentukan oleh hasil analisis pendapatan

usahatani. Gambaran keadaan aktual usahatani didapatkan dari analisis

pendapatan usahatani sehingga evaluasi dengan perencanaan kegiatan

usahatani pada masa yang akan datang dapat dilakukan. Informasi yang

dibutuhkan dalam perhitungan pendapatan usahatani yaitu keadaan

penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan (Purba,


(12)

Analisis pendapatan usahatani dirasa kurang cukup untuk menyatakan

apakah usahatani tersebut memberikan keuntungan atau tidak. Perhitungan

lebih lanjut yaitu perhitungan rasio R/C dan rasio B/C. Rasio pendapatan dan

biaya (R/C) merupakan perbandingan pendapatan bersih yang diperoleh dari

setiap biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Sedangkan, rasio

manfaat dan biaya (B/C) merupakan perbandingan manfaat yang didapat dari

setiap biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi (Purba, 2005).

Nilai rasio R/C dan B/C lebih dari satu artinya setiap tambahan biaya

yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar

daripada tambahan biaya sebaliknya jika nilai rasio R/C dan B/C lebih kecil

dari satu maka usahatani tersebut mengalami kerugian karena untuk setiap

tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan

yang lebih kecil daripada tambahan biaya yang dikeluarkan (Purba, 2005).

2.1.3 Teori Adopsi

Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat

diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan,

sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima inovasi

yang disampaikan oleh penyuluh (Suharyanto, 2001). Adopsi teknologi

disektor pertanian merupakan hasil dari kegiatan suatu komunikasi pertanian

sehingga terkait dengan pengaruh interaksi antar individu, antar kelompok,

anggota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga dipengaruhi oleh

interaksi antar kelompok dalam masyarakat (Rangkuti, 2007).

Adopsi teknologi sebagai hasil atas penerimaan teknologi oleh pemakai


(13)

penggunaan teknologi tersebut menghasilkan perilaku dan perhatian untuk

menggunakan teknologi baru (Bahmanziari, 2003). Persepsi akan manfaat serta kemudahan yang dihasilkan oleh teknologi baru tersebut menjadi penting

agar petani mau mengadopsinya seperti halnya pupuk organik.

Menurut Pattanayak (1983) terdapat lima faktor yang mempengaruhi

adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yaitu :

1. Preferensi petani, secara eksplisit efek dari preferensi petani sulit

untuk diukur maka digunakan pendekatan berdasarkan faktor sosial

demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan dan status sosial.

2. Resource endowment digunakan untuk mengukur ketersediaan sumberdaya pada adopsi teknologi untuk diimplementasikan pada

teknologi baru. Umumnya resource endowment memiliki korelasi positif dengan adopsi teknologi.

3. Insentif pasar merupakan faktor yang berhubungan dengan

rendahnya biaya atau tingginya penerimaan dari adopsi teknologi.

Insentif pasar fokus pada faktor-faktor ekonomi seperti harga,

ketersediaan pasar dan pendapatan potensial. Faktor ini diharapkan

dapat meningkatkan penerimaan sehingga akan memberikan

pengaruh positif terhadap adopsi teknologi.

4. Faktor biofisik diharapkan mampu mempengaruhi proses produksi

yang berhubungan dengan pertanian dan kehutanan seperti kualitas

lahan. Umumnya jika kondisi biofisik rendah akan berkorelasi positif


(14)

5. Resiko dan ketidakpastian memperlihatkan ketidaktahuan pasar dan

pemerintah terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam jangka pendek

contoh dari resiko dan ketidakpastian adalah fluktuasi harga

komoditi, output dan curah hujan. Pada jangka panjang contohnya

adalah hak sewa menyewa yang tidak aman. Adopsi teknologi akan

menurunkan resiko dan ketidakpastian pada investasi pertanian dan

kehutanan selama periode pertumbuhan.

2.1.4 Model Pilihan Binary

Penggunaan pupuk anorganik jangka panjang akan menyebabkan

degradasi mutu lahan. Sifat khas yang senantiasa ada pada diri petani ialah

berusaha memenuhi kebutuhan ekonominya tanpa memperhatikan sisi

lingkungan (Purba, 2005). Degradasi mutu lahan dapat diatasi dengan

penggunaan pupuk organik. Kekurangan dari pupuk organik dibanding pupuk

anorganik adalah volume penggunaannya yang lebih banyak. Pendugaan

peluang apakah petani akan menggunakan pupuk organik atau tidak dengan

menggunakan model Pilihan Binary. Pilihan Binary mengasumsikan

individu-individu dihadapkan pada suatu pilihan diantara dua alternatif dan pilihan

mereka tergantung pada karakteristik masing-masing individu tersebut.

Masalah yang sifatnya pilihan binary menurut Pindyck and Rubinfeld (1991)

dapat dijawab dengan tiga model yaitu linear probability model, probit model dan logit model.

Model linier mempunyai kelemahan karena terdapat kemungkinan


(15)

Model probit dan model logit memilki nilai peluang selalu berada pada kisaran

(0-1), namun model probit lebih rumit perhitungannya dan sukar diduga

dibandingkan model logit. Model logit mempunyai nilai peluang selalu berada

pada kisaran 0-1 maka dari itu memiliki ragam relatif kecil (Juanda, 2009).

Sehingga, model logit digunakan dalam penelitian ini untuk menghitung

faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi pupuk organik non-subsidi.

Model logit didasari oleh Fungsi Peluang Logit Kumulatif dan model

ini dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeld, 1991) :

P = + X = ... (1) Jika ruas kanan dan ruas kiri persamaan (1) dikalikan dengan 1 + , sehingga diperoleh :

1 + e P = 1...(2) persamaan (2) dibagi dengan Pidan kemudian dikurangi 1, maka diperoleh : e = − 1 = ...(3) Berdasarkan definisi = 1/ , diperoleh :

e = ...(4) Dengan menggunakan logaritma dikedua sisi, sehingga:

Z = log ...(5) Sehingga didapat persamaan regresi:


(16)

Dimana :

Pi : Peluang munculnya kej

orang ke-i

β : Nilai koefisien yang didapatka Xi: Variabel bebas (i = 1,2,3,...,n)

ei : Galat acak

Penjabaran rumus

penting dari model logit

peluang dalam selang (0

(Y=1) dalam selang bilangan riil

Sumber : Wonnacot, 1979

Gambar 2.4 Model Probabilitas Linea

Model Probabilitas

Kurva linear yang berbent

probabilitas linear dengan

eluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon untuk

ilai koefisien yang didapatkan dari regresi.

Variabel bebas (i = 1,2,3,...,n)

rumus diatas menunjukkan bahwa salah satu karakteristik

model logit bahwa model ini mentransformasi masalah

selang (0 atau 1) ke masalah prediksi log odds tentang (Y=1) dalam selang bilangan riil - ~ ≤ logit(Pi) ≤ ~ (Juanda, 2009).

Sumber : Wonnacot, 1979

2.4 Model Probabilitas Linear dan Logit

Probabilitas linear dan logit dapat dilihat pada Gambar 2.4

yang berbentuk garis lurus menjelaskan bahwa pada

dengan penambahan nilai X secara konstan akan menin ubah respon untuk

satu karakteristik

masalah prediksi

tentang kejadian

Gambar 2.4 berikut.

bahwa pada model


(17)

nilai P secara konstan. Dalam kenyataannya, bertambahnya X secara konstan

tidak menghasilkan pertambahan dalam P secara konstan. Salah satu solusinya

adalah memotong model probabilitas linear dengan cara membelokkan garis

horizontal ketika mencapai 0 atau 1 (Wonnacot, 1979). Sehingga, terdapat model

logit dengan bentuk kurva seperti huruf “S”.

2.2 Dinamika Subsidi Pupuk Organik di Indonesia

Pembangunan pertanian untuk mewujudkan pertanian tangguh dan efisien

memerlukan kebijakan yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan, stabilitas

dan pemerataan pembangunan ekonomi. Salah satu caranya melalui peningkatan

produksi pertanian yang berkelanjutan dengan mendorong petani untuk

menerapkan teknologi pertanian (Manaf, 2000). Teknologi pertanian yang

dimaksud adalah teknologi modern, tanpa penggunaan teknologi modern, maka

hasil panen tidak akan sebesar yang diharapkan. Salah satunya berupa penggunaan

pupuk dan benih unggul sebagai salah satu input dalam usahatani (PSP3, 2010).

Pemerintah selalu berupaya mendorong petani untuk memanfaatkan pupuk secara

tepat waktu dan tepat dosis agar dapat meningkatkan produksi pertanian.

Konsekuensinya adalah pemerintah juga harus berupaya meningkatkan produksi

pupuk, sehingga tercapai cukupnya pasokan dengan harga yang dapat dijangkau

oleh petani (Manaf, 2000).

Pupuk sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia

nomor 42/Permentan/OT.140/09/2008 adalah bahan kimia atau organisme yang

berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung


(18)

kimia, fisika dan atau biologi yang merupakan hasil industri atau pabrik pembuat

pupuk. Petani Indonesia memiliki kecenderungan untuk menggunakan pupuk

anorganik yang tinggi untuk mengejar hasil yang tinggi pada lahan sawah tanpa

mempertimbangkan kandungan bahan organik tanah yang menurun, baik jumlah

maupun kualitasnya. Menurut Rachman (2009) hal tersebut disebabkan terjadinya

penimbunan hara dalam tanah, terkurasnya hara mikro dari tanah yang tidak

pernah diberikan melalui pupuk anorganik, terganggunya keseimbangan hara

dalam tanaman, lebih pekanya tanaman terhadap serangan hama dan penyakit

serta terganggunya perkembangan jasad renik yang menguntungkan dalam tanah.

Presiden RI menyatakan bahwa potensi sektor pertanian dapat

ditingkatkan jika kendala-kendala seperti produktivitas, efisiensi usaha, konversi

lahan pertanian, keterbatasan sarana dan prasarana pertanian serta terbatasnya

kredit dan infrastruktur pertanian dapat teratasi dengan baik. Usaha pemerintah

dalam menangani masalah produktivitas yaitu membantu petani dengan

memberikan bantuan input produksi berupa pemberian subsidi pupuk. Menurut

Anjak (2006) pemberian subsidi pupuk masih sangat diperlukan petani Indonesia.

Hal tersebut dilandasi dengan dua argumentasi yaitu sebagai kewajiban

pemerintah untuk membantu petani yang sebagian besar merupakan masyarakat

miskin dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kapasitas

produksi pertanian, dan juga sebagai pelindung petani miskin dari ancaman

eksternal akibat ketidakadilan perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka

menjadi masyarakat yang mandiri mampu menghidupi dirinya dan juga menjaga


(19)

Pupuk bersubsidi adalah pupuk yang pengadaan dan penyalurannya

mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas

dasar program pemerintah di sektor pertanian. Jenis pupuk bersubsidi yaitu, pupuk

anorganik (urea, superphose, ZA, NPK) dan pupuk organik (granul dan cair).

Pupuk yang umum dipakai pada tanaman pangan adalah pupuk urea dan NPK.

Pupuk urea digunakan untuk merangsang pertumbuhan vegetatif, sedangkan

pupuk NPK sebagai penambah unsur N pada tanah agar tanah tetap subur (Manaf,

2000).

Kebijakan subsidi pupuk bersifat dinamis sesuai dengan kondisi

lingkungan strategis. Subsidi pupuk untuk pupuk urea diberikan sejak tahun 1969

guna mendorong produktivitas dan produksi pangan nasional. Sejak itu, subsidi

pupuk urea terus diberikan dalam bentuk Harga Eceran Tertinggi (HET) sampai

terjadinya krisis pada tahun 1998. Krisis multidimensional dan tekanan dari IMF

memaksa pemerintah harus mencabut subsidi pupuk urea selama 1 tahun yakni

tahun 1999 sampai 2000. Selama penghapusan subsidi pupuk urea kompensasi

yang diberikan yaitu peningkatan harga Gabah Kering Giling (GKG) dari Rp.

1000 menjadi Rp. 1400-1500 per kg yang berlaku sejak tanggal 1 Desember 1998

(Ilham, 2001).

Peningkatan harga pupuk urea dunia akibat peningkatan harga gas sebagai

komponen terbesar pembuatan pupuk urea sejak tahun 2000 memaksa pemerintah

untuk mengendalikan harga pupuk urea domestik dalam rangka membantu petani

dan mencegah dampak negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian. Subsidi

pupuk urea tahun 2001-2002 diberikan dalam bentuk insentif gas domestik dan


(20)

gas untuk urea tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya yaitu SP-36, ZA dan

NPK (Rachman, 2009).

Pada tahun 2008 pemberian subsidi pupuk organik mulai dilaksanakan

melalui program Bantuan Langsung Pupuk Organik (BLP Organik) bertujuan

mendukung petani dengan cara memberikan pupuk organik secara cuma-cuma.

Program BLP Organik yang dimulai pada tahun 2008 telah mencakup 159

kabupaten yang tersebar di 17 provinsi dan memakan biaya sangat besar yaitu

Rp. 383,4 miliar (PSP3, 2010). Di tahun 2010 wilayah cakupan program BLP

Organik telah mencakup 199 kabupaten yang tersebar di 30 provinsi

(Kementerian Pertanian, 2010). Pemberian BLP Organik selalu dibarengi dengan

pemberian BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul). Program BLBU dimulai

tahun 2007 kepada petani di 29 provinsi yang tersebar di 249 kabupaten dan pada

tahun 2010 program ini terlaksana di 21 Provinsi yang tersebar di 261 kabupaten.

Pada Tabel 2.1 alokasi subsidi pupuk terbesar di tahun 2011 yaitu pupuk

urea sebesar 5,1 juta ton atau sebesar 52,28 persen dari total volume pupuk

bersubsidi. Pupuk NPK menempati urutan terbesar kedua yaitu 2,3 juta ton

dengan rata-rata pertumbuhan dari tahun 2006-2011 44 persen. Kedua pupuk

anorganik tersebut memang memiliki kontribusi yang baik bagi peningkatan hasil

produksi, namun pemakaian pupuk anorganik dalam jangka panjang akan

memberi dampak negatif bagi lingkungan seperti degradasi mutu lahan.

Penggunaan pupuk organik untuk mengatasi dampak tersebut adalah hal yang


(21)

Tabel 2.1 Perkembangan Subsidi Pupuk Tahun 2006-2011

Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Growth (persen) Subsidi Pupuk (triliun

rupiah) 3,2 6,3 15,2 18,3 18,4 18,8 52,25

Faktor-faktor yang mempengaruhi :

a. Volume (ribu ton) 5.674 6.353 6.891 7.612,5 7.355 9.753,9 12,03 - Urea 3.962 4.249 4.558 4.624,9 4.279 5.100 6

- SP-36 711 765 558 582,1 644 750 2

- ZA 601 702 751 751,3 713 850 8

- NPK 400 637 956 1.417,7 1.473 2.349,9 44

- Organik 68 236,5 246 704 146

b. Harga Pokok Produksi (Rp000/ton)

- Urea 1.352 1.803 2.153 2.729,1 2.729,1 3.132,4 19 - SP-36 1.654 2.432 2.655 2.525,6 2.525,6 3.138,9 15 - ZA 1.182 1.815 3.573 2.498 2.498 2.421,8 23 - NPK 2.227 3.104 5.134 5.164,8 5.164,8 5.099,8 21

- Organik 1.582 1.508,1 1.525,5 1.665,1 2

c. Harga Eceran Tertinggi (Rp000/ton)

- Urea 1.200 1.200 1.200 1.200 1.600 1.600 7 - SP-36 1.550 1.550 1.550 1.550 2.000 2.000 6 - ZA 1.050 1.050 1.050 1.050 1.400 1.400 7 - NPK 1.750 1.750 1.750 1.722 2.300 2.300 6

- Organik 1.000 500 700 700 -3

Sumber : Kementrian Pertanian, 2012

Bahan dasar pupuk organik dapat berasal dari berbagai sumber limbah

pertanian seperti sisa tanaman, sisa panen, pangkasan tanaman pagar, sisa media

tanam jamur, pupuk hijau seperti orok-orok, serta kotoran hewan. Umumnya,

kohe (kotoran hewan) dibiarkan oleh para peternak atau dibuang ke sungai.

Tercampurnya kohe dengan tanah dan air sungai menghasilkan polusi tanah dan

air, hal ini dapat merusak kesehatan orang menggunakan air yang telah

terkontaminasi oleh kohe. Mengolah kohe menjadi pupuk organik secara langsung


(22)

tersebut dapat dijadikan pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana

maupun dengan penambahan mikroba perombak bahan organik serta pengkayaan

dengan hara lain (Rusastra et al, 2005). Pupuk kandang mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan pupuk alam yang lain maupun pupuk buatan (Rochmah,

2009).

Kekurangan bahan organik dan pemakaian pupuk anorganik yang intensif

dalam periode waktu panjang membuat tanah-tanah pertanian kehilangan

kemampuannya untuk menyerap dan menyimpan air. Sebagai konsekuensinya,

setiap turun hujan aliran air permukaan tanah menjadi berlebihan yang

mengakibatkan longsor dan banjir. Pemberian pupuk organik secara berkelanjutan

akan memperbaiki daya serap dan daya simpan air oleh tanah sehingga akan

mengurangi terjadinya banjir dan longsor. Hal ini akan berdampak pada

peningkatan produktivitas tanaman serta peningkatan pendapatan petani (PSP3,

2010).

Pupuk organik dalam Permentan RI nomor 42/Permentan/OT.140/09/2008

adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri dari bahan organik

tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk

granul atau cair yang digunakan untuk mensuplai bahan organik, memperbaiki

sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pupuk organik lebih ditujukan kepada

kandungan C-organik atau bahan organik daripada kadar haranya; nilai C-organik

menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak

masuk dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah

tanah organik. Pengembangan pupuk organik merupakan langkah strategis untuk


(23)

bersubsidi dinilai sesuai dengan kondisi sebagian besar petani yang

meminimumkan biaya.

Berdasarkan alokasi program BLP Organik yang ditetapkan Menteri

Pertanian, Direktur Jendral Prasarana dan Sarana menugaskan kepada PT Pertani

(Persero), PT Sang Hyang Seri (Persero) dan PT Berdikari (Persero) untuk

menyalurkan BLP Organik kepada kelompok tani penerima di masing-masing

wilayah tanggung jawabnya dengan memperhatikan penetapan calon petani dan

calon lokasi penerima BLP Organik oleh Gubernur.

Tabel 2.2 Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun 2011 Menurut Sub Sektor

Sub Sektor

Jenis dan Jumlah Pupuk Bersubsidi (Ton)

Urea SP-36 ZA NPK Organik

Tanaman Pangan 3.266.794 432.531 361.700 1.432.237 542.750

Hortikultura 463.226 36.725 147.506 201.888 76.961

Perkebunan 1.108.892 225.867 338.777 615.875 184.233

Peternakan 14.842 1.012 2.017 - 2.466

Perikanan Budidaya 172.083 53.865 - - 28.590

Cadangan Nasional 74.163 - - 100.000

-Jumlah 5.100.000 750.000 850.000 2.350.000 835.000

Sumber : Kementrian Pertanian, 2011

BLP Organik difokuskan pada tanaman pangan. Pemberian pupuk organik

bersubsidi lebih banyak di subsektor tanaman pangan karena sesuai dengan salah

satu tujuan BLP Organik yaitu meningkatkan produksi tanaman pangan

khususnya padi, jagung dan kedelai (PSP3, 2010). Pada tahun 2011 alokasi


(24)

(Tabel 2.2) atau sebesar 65 persen dari jumlah alokasi pupuk bersubsidi untuk

sektor pertanian.

Sumber : Kementrian Pertanian, 2012

Gambar 2.1 Perkembangan Subsidi Pupuk Organik Tahun 2008-2010

Volume bantuan langsung yang diberikan pemerintah berupa pupuk

organik tercatat mengalami peningkatan 146 persen dari tahun 2008-2011 (Tabel

2.1). Tahun 2008 merupakan tahun pertama diberikannya subsidi pupuk organik

dengan volume hanya sebesar 68 ribu ton dan terus berkembang hingga tahun

2011 volume subsidi pupuk organik sebesar 704 ribu ton. (Kementrian Pertanian,

2012). Pada gambar 2.1 subsidi pupuk organik pun terus mengalami peningkatan.

Peningkatan yang cukup tinggi terjadi di tahun 2010 sebesar 39,97 persen dari Rp

961 miliar di tahun 2009 menjadi Rp 1,6 triliun. 15.2

18.3 18.4

0.82626 0.96152 1.6

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

2008 2009 2010

Triliun Rupiah

Th

ou

san

d

s

Pupuk Total Pupuk Organik


(25)

2.4 Penelitian-penelitian Terdahulu

Penelitian yang berhubungan dengan subsidi pupuk telah banyak

dilakukan. Salah satunya adalah studi Osario et al (2008) menganalisis subsidi pupuk urea di Indonesia dengam metode 2SLS. Implikasi dari kebijakan subsidi

pupuk adalah penggunaan pupuk Urea dan SP-36 diatas takaran yang disarankan

dimana hal tersebut berdampak negatif bagi unsur hara dalam tanah. Tujuan dari

pemberian subsidi tersebut adalah mengurangi harga pupuk di pasaran agar petani

kecil dapat tetap menggunakan pupuk. Pemberian subsidi pupuk dikatakan tidak

tepat sasaran karena sebagian besar yang menikmati subsidi tersebut adalah

kalangan petani kaya bahkan sebesar 60 persen dari total alokasi subsidi pupuk

dinikmati oleh 40 persen petani besar.

Penelitian Marisa (2011) tentang Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi

Pupuk di Kabupaten Bogor. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah dengan

adanya HET untuk pupuk bersubsidi dari pemerintah maka petani dapat

menghemat pengeluaran pupuk sebesar 44,72 persen dari pengeluaran seharusnya.

Namun, kebijakan subsidi pupuk belum dapat dikategorikan efektif dikarenakan

hasil presentase ketepatan yang kurang dari 80 persen dimana subsidi pupuk

dinilai tidak efektif pada prinsip tepat harga, tepat tempat dan tepat jumlah.

Prinsip tepat waktu menjadi satu-satunya prinsip yang terpenuhi. Hasil regresi

berganda menyatakan variabel luas lahan, benih, tenaga kerja, pupuk, dummy

benih dan dummy efektivitas harga mempunyai nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata (10 persen) berarti variabel independen tersebut berpengaruh nyata


(26)

Studi yang dilakukan oleh Kasiyati (2004) di Jawa Tengah menunjukkan

hasil positif dari subsidi pupuk terhadap produksi output petani yang meningkat

sebesar Rp. 3.455.333 juta. Selain itu, pengadaan pupuk bersubsidi mampu

memberikan insentif bagi produsen pupuk untuk menambah produksi pupuk

sebesar Rp. 2.122.497 juta. Adanya subsidi pupuk juga dapat meningkatkan

pendapatan rumah tangga petani sebesar Rp. 107.589,87 juta.

Dampak penghapusan subsidi pupuk menjadi penelitian Andari (2001)

yang menghubungkan permintaan pupuk dan produksi padi di Jawa Barat. Hasil

pendugaan koefisien input dalam fungsi produksi Cobb-Douglas menunjukan penghapusan subsidi pupuk tidak akan menurunkan produksi padi karena petani

lebih mementingkan usaha untuk memaksimalkan produksi dibanding keuntungan

yang didapat. Hasil lainnya yang berkaitan dengan permintaan pupuk

menunjukkan kenaikan harga pupuk tidak menurunkan permintaan pupuk sendiri.

Studi Yuliarmi tahun 2006 tentang faktor-faktor penentu adopsi teknologi

pemupukan berimbang, di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Provinsi

Jawa Barat. Hasil yang didapat adalah rata-rata poduksi petani peserta

pemupukan berimbang lebih tinggi 976 kg dibandingkan produksi yang diperoleh

petani non peserta pemupukan berimbang. Hasil dari metode logit

memperlihatkan bahwa variabel harga gabah, biaya pupuk dan luas lahan

berpengaruh secara nyata pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen.

Variabel lainnya yaitu resiko produksi, keuntungan usahatani, pendidikan petani

dan pengalaman usahatani bertanda negatif dan tidak berpengaruh nyata.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan


(27)

(Bantuan Langsung Pupuk) dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul)

terhadap produktivitas usahatani padi meningkat 17,56 persen dari sebelumnya.

Dampak terhadap kesempatan kerja pun meningkat 7,5 persen. Target penurunan

penggunaan pupuk anorganik seperti Urea, TSP dan KCl tercapai karena terjadi

peningkatan penggunaan pupuk organik sebesar 52,9 persen. Secara keseluruhan,

pendapatan usahatani padi meningkat sebesar 34,56% antara sebelum dan sesudah

menggunakan BLBU dan BLP, yakni dari Rp. 6.800.000/ha menjadi Rp.

9.100.000/ha. Keuntungan bukan hanya dirasakan petani, Perusahaan yang

memproduksi POG mengalami peningkatan produksi dan pendapatan.

Perekonomian Nasional pun meningkat dengan adanya BLP dan BLBU tersebut.

2.5 Kerangka Pemikiran

Penggunaan pupuk organik dinyatakan mampu meningkatkan produktivitas

sehingga pemberian subsidi pupuk organik diharapkan dapat memotivasi petani

untuk mengadopsi pupuk organik dengan cara mengurangi biaya produksi.

Perhitungan pendapatan petani pada penelitian ini menggunakan analisis

usahatani atas dasar biaya tunai dan biaya total. Setelah mengetahui pendapatan

petani maka dilakukan pendugaan model logit untuk mengetahui faktor-faktor apa

sajakah yang mempengaruhi petani untuk mengadopsi pupuk organik. Setelah

didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi diharapkan terjadi pengadopsian


(28)

Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran


(29)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data

sekunder. Data primer yaitu survey rumah tangga petani yang mendapat BLP

Organik dan BLBU (Bantuan Langsung Benih Unggul) didistribusikan oleh PT

Pertani di Provinsi Lampung tahun anggaran 2010 oleh Pusat Studi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan Institut Pertanian Bogor (PSP3 IPB). Data sekunder

sebagai penunjang diperoleh dari dokumen tertulis atau laporan yang terdapat di

berbagai instansi atau departemen yang terkait dengan masalah penelitian seperti

Departemen Pertanian, Badan Pusat Statistik, Kementrian Keuangan serta instansi

lainnya.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan Provinsi Lampung sebagai

penerima BLP Organik terbesar keenam dan sentra produksi padi tingkat

Nasional. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten

Lampung Timur, Provinsi Lampung. Pada Kabupaten Lampung Timur,

Kecamatan yang dijadikan sampel adalah Kecamatan Raman Utara. Sedangkan

pada Kabupaten Lampung Utara, Kecamatan yang dipilih untuk sampel adalah

Abung Timur. Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli 2011 dengan melihat

hasil produksi padi pada dua musim tanam yang berbeda yaitu sebelum


(30)

3.3 Metode Pemilihan Responden

Responden penelitian adalah petani yang mempunyai pekerjaan tetap atau

sampingan sebagai petani padi (pemilik atau penyewa) dan menerima BLP

Organik tahun anggaran 2010. Jumlah responden yang digunakan adalah 60 orang

yang dipilih secara Stratified Sampling (penarikan contoh berlapis) dari daftar penerima bantuan yang dimiliki oleh petugas pertanian setempat. Dari 60

responden tersebut didapat dua informasi usahatani padi yaitu sebelum

menggunakan BLP Organik dan setelah menggunakan BLP Organik sehingga

jumlah usahatani padi yang dianalisis berjumlah 120 unit.

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Metode Analisis Pendapatan Usahatani

Analisis usahatani bertujuan untuk memberikan informasi mengenai

rata-rata besarnya pendapatan petani yang mendapat subsidi pupuk organik di

Provinsi Lampung. Secara umum pendapatan diperhitungkan sebagai

penerimaan dikurangi dengan biaya yang telah dikeluarkan (Soekartawi,

1986). Tingkat pendapatan usahatani dapat dinyatakan dalam persamaan

matematika sebagai berikut:

Penerimaan = Harga GKP x Produksi GKP

Keuntungan = Penerimaan – Total Biaya

Keuntungan Tunai = Penerimaan – Total Biaya Tunai

Keuntungan Total = Penerimaan – Total Biaya Total

Keterangan :


(31)

Komponen biaya yang masuk dalam perhitungan total biaya yaitu

biaya benih, tenaga kerja manusia (dari persiapan dan pengolahan lahan

hingga pengangkutan panen), tenaga kerja hewan, tenaga kerja mesin, pupuk,

pestisida dan obat-obatan dan biaya lain-lain (pembayaran PBB, sewa/bagi

hasil dan biaya lainnya). Pembeda antara total biaya tunai dan total biaya total

adalah pada perhitungan total biaya total tenaga kerja dalam keluarga turut

diperhitungkan.

Analisis pendapatan usahatani dirasa kurang cukup untuk menyatakan

apakah usahatani tersebut memberikan keuntungan atau tidak. Sehingga,

dilakukan perhitungan lebih lanjut yaitu perhitungan rasio R/C dan rasio B/C .

Rasio pendapatan dan biaya (R/C) merupakan perbandingan pendapatan

bersih yang diperoleh dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam proses

produksi. Sedangkan, rasio manfaat dan biaya (B/C) merupakan perbandingan

manfaat dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi

Kriteria yang dipakai adalah suatu usahatani dikatakan memberikan

manfaat apabila nilai rasio R/C dan B/C > 1 (Soekartawi, 2006). Semakin

besar nilai rasio B/C dan R/C maka usahatani tersebut dikatakan

menguntungkan karena semakin besar pula penerimaan usahatani yang

diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Jika nilai rasio R/C dan

B/C lebih kecil dari satu maka usahatani tersebut mengalami kerugian karena

untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan

penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya yang dikeluarkan


(32)

3.4.2 Uji Beda Nilai Tengah

Uji beda nilai tengah menurut Walpole (1992) dihitung untuk melihat perbedaan dari variabel produksi, total biaya, pendapatan dan pendapatan bersih dari sebelum menggunakan pupuk organik dengan setelah menggunakan pupuk organik. Selang kepercayaan (1-α)100% bagi µD atau nilai dugaan dapat diperoleh

dengan menyatakan

− ⁄ < < ⁄ = 1 − Rumus T didapat dari

= − μ

√ ⁄

Dengan adalah nilai sebaran t dengan n-1 derajat bebas. Selang kepercayaan bagi μ = µ1 - µ2 untuk pengamatan berpasangan. Data berpasangan didapat dari

satu responden yang sama, namun diambil data sebelum dan sesudah menggunakan pupuk organik. D dan Sd merupakan nilai tengah dan simpangan

baku selisih n pengamatan berpasangan, maka selang kepercayaan (1-α)100% bagi μ = µ1 - µ2 adalah

D- ⁄ √ < μ < D + ⁄ √

3.4.3 Metode Logit

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengadopsian pupuk organik

non-subsidi didapat dengan analisis model logit. Pengaruh relatif dari setiap

variabel terhadap peluang petani memakai pupuk organik dihitung

menggunakan Exp (β). Exp (β) disebut odds ratio yaitu rasio peluang terjadinya pilihan 1 (adopsi pupuk organik) terhadap peluang terjadi pilihan 0

(tidak mengadopsi pupuk organik). Nilai odds merupakan suatu indikator kecenderungan seeorang menentukan pilihan 1 (Juanda, 2009). Nilai Exp (β) lebih besar dari satu artinya peluang petani menggunakan pupuk organik akan


(33)

nilai Exp (β) lebih kecil atau sama dengan satu, maka peluang petani menggunakan pupuk organik menurun dengan terdapatnya peningkatan pada

variabel bebas (Warlina, 2007). Wonnacott (1979) menyatakan rumusnya

sebagai berikut :

= =1 + 1

Keterangan :

P = Peluang petani mengadopsi pupuk organik non-subsidi α = Intersep

βi = Parameter peubah Xi

X1 = Luas lahan usahatani (ha)

X2 = Lama usahatani (tahun)

X3 = Umur petani responden (tahun)

X4 = Jumlah persil lahan

X5 = Total biaya produksi (Rp)

X6 = Dummy akses terhadap penyuluhan

Variabel total biaya produksi diharapkan dapat menggambarkan struktur

pendapatan usahatani setelah mengadopsi pupuk organik. Variabel lama

usahatani dan umur petani responden dipilih untuk mewakili gambaran

sumberdaya petani responden. Variabel luas lahan, jumlah persil lahan, serta

dummy akses terhadap penyuluhan dipilih untuk menggambarkan variabel lainnya yang mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik di level


(34)

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAM

4.1 Gambaran Umum Provinsi

utara berbatasan dengan Provinsi

berbatasan dengan Selat

Indonesia di sebelah Barat.

C. Dengan

Total wilayah Provinsi Lampung

446.049 ha (BPS, 2008).

Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesi Gambar 4.1 Peta Provinsi Lampung

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

Gambaran Umum Provinsi Lampung

Lintang Selatan. Disebelah

berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Sela

dengan Selat Sunda, Laut Jawa di sebelah Timur dan Samudera

di sebelah Barat.

-Dengan rata-rata curah hujan di tahun 2011 sebesar 163,7mm.

Provinsi Lampung sebesar 35.376 km2dengan Luas Panen

9 ha (BPS, 2008).

Peta Rupa Bumi Indonesia Badan Informasi Geospasial, 2011 r 4.1 Peta Provinsi Lampung

dan SUBSIDI PUPUK

Selatan. Disebelah

sebelah Selatan

dan Samudera

sebesar 163,7mm.

Luas Panen sebesar


(35)

Sektor pertanian masih merupakan sektor penyumbang terbesar bagi

perekonomian Provinsi Lampung. Dilihat dari Tabel 4.1 Pada tahun 2010

sumbangan sektor ini terhadap pembentukan PDRB Lampung sebesar 36,98

persen dan penduduk Provinsi Lampung sebagian besar bekerja di sektor

pertanian yaitu 56,48 persen atau 2.110.571 jiwa (BPS, 2011).

Tabel 4.1 Produk Domestik Regional Bruto atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut Lapangan Usaha di Provinsi Lampung Tahun 2008-2010

Lapangan Usaha

Tahun

2008 2009 2010

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan

Perikanan

14.317.532 14.693.881 14.759.602

2. Pertambangan dan Penggalian 812.854 737.977 712.841

3. Industri Pengolahan 4.608.469 4.879.401 5.177.596

4. Listrik dan Air Bersih 125.819 129.396 144.237

5. Bangunan 1.685.423 1.767.563 1.833.091

6. Perdagangan, Restoran dan Hotel 5.422.902 5.799.952 6.075.664

7. Angkutan dan Komunikasi 2.178.898 2.428.791 2.803.218

8.Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan

2.691.785 3.039.338 3.900.645

9. Jasa-jasa 2.599.470 2.744.839 2.898.383

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung

Sub sektor tanaman bahan makanan merupakan sub sektor yang memiliki

kontribusi terbesar yaitu 47,8 persen (Tabel 4.2) terhadap PDRB Sektor Pertanian.

Subsektor tanaman perkebunan menempati urutan kedua, dan di urutan ketiga


(36)

memiliki tingkat kontribusi terkecil bagi PDRB sektor pertanian di Provinsi

Lampung. Sub sektor tanaman bahan makanan mengalami penurunan di tahun

2009. Penurunan tersebut tetap tidak menurunkan posisi sub sektor tanaman

bahan makanan sebagai penyumbang utama bagi perekonomian Provinsi

Lampung.

Tabel 4.2 Kontribusi Sub Sektor Pertanian terhadap PDRB Sektor Pertanian Provinsi Lampung

Lapangan Usaha

Tahun (Juta Rupiah)

2007 2008 2009

Sektor Pertanian 13.912.097 14.327.563 14.679.914

1. Tanaman Bahan Makanan 6.693.476 6.914.138 6.902.965

2. Tanaman Perkebunan 3.233.852 3.496.031 3.701.759

3. Peternakan dan Hasil-hasilnya 1.458.291 1.483.778 1.621.667

4. Kehutanan 160.961 153.263 152.680

5. Perikanan 2.365.517 2.280.353 2.300.842

Sumber : BPS Provinsi Lampung, PDRB Provinsi Lampung 2009

Produksi komoditas tanaman bahan makanan tiap tahunnya mengalami

peningkatan walau mengalami penurunan di tahun 2009. Hal tersebut didorong

oleh meningkatnya produksi ketiga komoditas bahan makanan yaitu padi, jagung

dan ubi kayu. Produksi Padi di Provinsi Lampung terus mengalami kenaikan dari

tahun ke tahun walaupun kenaikan dari tiap tahunnya tidak cukup signifikan. Pada

tahun 2010 produksi padi mencapai 2.807.676 ton (Tabel 4.3) yaitu naik sekitar 5

persen dibandingkan tahun 2009. Produksi padi yang terus meningkat tersebut

membuat Provinsi Lampung merupakan sentra produksi padi nomor tujuh di


(37)

Tabel 4.3 Produksi Tanaman Bahan Makanan Provinsi Lampung Tahun 2000-2010

Tahun

Produksi (Ton)

Padi Jagung Ubi Kayu

2000 1.946.406 1.122.954 2.924.418

2001 1.992.726 1.122.886 3.584.225

2002 1.951.109 989.169 3.471.136

2003 1.966.293 1.087.751 4.984.616

2004 2.091.996 1.216.974 4.673.091

2005 2.124.144 1.439.000 4.806.254

2006 2.129.914 1.183.982 5.499.403

2007 2.308.404 1.346.821 6.394.906

2008 2.341.075 1.809.886 7.721.882

2009 2.673.844 2.067.710

-2010 2.807.676 2.126.571 8.637.594

Sumber : BPS Provinsi Lampung

Produksi Padi yang berlimpah didukung dengan besarnya luas panen

sehingga menunjang tingginya produksi di Provinsi Lampung. Luas panen

terbesar di Provinsi Lampung sesuai dengan Tabel 4.4 berada di Kabupaten

Lampung Tengah yaitu 126.465 Ha dengan produksi padi sebesar 608.294 Ton.

Daerah produksi padi terbesar kedua di Provinsi Lampung terdapat di Kabupaten

Lampung Timur dengan Luas panen sebesar 88.022 Hektar dan jumlah produksi

435 ribu ton Gabah Kering Giling atau sebesar 19,46 persen dari total produksi


(38)

dalam produksi padi di tingkat provinsi dengan luas panen sebesar 34.670 Hektar

dan produksi sebanyak 139.377 Ton.

Tabel 4.4 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Tanaman Padi menurut Kabupaten/Kota Provinsi Lampung Tahun 2009

Kabupaten/Kota

Luas Panen

(Ha)

Hasil/Ha

(Kuintal)

Produksi

(Ton)

Lampung Barat 36.637 43,53 159.483

Tanggamus 62.763 49,98 313.708

Lampung Selatan 74.717 48,86 365.050

Lampung Timur 88.022 49,48 435.541

Lampung Tengah 126.465 48,10 608.294

Lampung Utara 34.670 40,20 139.377

Way Kanan 39.337 40,65 159.897

Tulang Bawang 76.686 43,86 336.343

Pesawaran 24.876 49,77 123.801

Bandar Lampung 1.804 51,11 9.220

Metro 4.440 52,09 23.130

Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2009

Daerah yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Lampung Utara

dan Lampung Timur dengan luas panen Kabupaten Lampung Utara sebesar 6,07

persen dan Lampung Timur sebesar 15,43 persen dari total Luas panen Provinsi

Lampung. Kedua Kabupaten tersebut merupakan Kabupaten yang menyumbang


(39)

4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Utara

Secara geografis Kabupaten Lampung Utara terletak pada 104฀40฀ sampai 105฀08฀ Bujur Timur dan 4฀34฀ sampai 5฀06฀ Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah utara dengan Kabupaten Way Kanan

2. Sebelah selatan dengan Kabupaten Lampung Tengah

3. Sebelah timur dengan Kabupaten Tulang Bawang

4. Sebelah barat dengan Kabupaten Lampung Barat

Luas wilayah Kabupaten Lampung Utara sebesar 272,563 Ha. Kecamatan

Abung Timur memiliki luas wilayah 10,447 Ha yaitu sebesar 3,83 persen terhadap

luas Kabupaten Lampung Utara. Sebagian besar lahan di Kabupaten Lampung

Utara digunakan untuk pertanian dengan luas panen sebesar 34.748 Ha.

Secara umum pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lampung Utara

cenderung meningkat dari tahun 2006-2009 dengan pertumbuhan 17,45 persen.

Perekonomian Kabupaten Lampung Utara mengalami peningkatan berdasarkan

adanya kenaikan di hampir semua sektor. Sektor pertanian termasuk ke dalam

empat sektor dengan pertumbuhan yang tinggi yaitu 5,97 persen. PDRB perkapita

Lampung Utara pada tahun 2009 mencapai Rp. 11,99 juta diatas PDRB perkapita

Provinsi Lampung yang hanya sebesar Rp. 11,79 juta. PDRB Kabupaten

Lampung Utara berada pada urutan lima besar jika dibandingkan dengan PDRB

Kabupaten lain se-Provinsi Lampung. (BPS Kabupaten Lampung Utara, 2010).

Wilayah Kabupaten Lampung Utara merupakan daerah agraris dengan

mata pencaharian pokok penduduknya di sektor pertanian. Sektor unggulan di


(40)

terhadap total PDRB. Kabupaten Lampung Utara merupakan salah satu daerah

produsen tanaman pangan. Selama periode tahun 2008-2009, produksi padi

meningkat dari 121.353 ton menjadi 139.377 ton dengan persentase perubahan

12,93 persen.

Tabel 4.5 Statistik Tanaman Pangan Lampung Utara

Komoditi

Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

2008 2009 2008 2009

Padi 30.707 34.670 121.353 139.377

Jagung 32.130 34.944 127.944 140.744

Kedelai 121 1.753 134 2.124

Kacang Tanah 1.969 1.131 2.494 1.452

Ubi Kayu 49.454 49.938 1.209.858 10231.960

Ubi Jalar 667 747 6.383 7.167

Sumber : Statistik Daerah Kabupaten Lampung Utara, 2010

4.1.2 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Timur

Kabupaten Lampung Timur membentang pada posisi : 105฀15฀ sampai 106฀20฀ Bujur Timur dan 4฀37฀ sampai 5฀37฀ Lintang Selatan. Memiliki luas wilayah kurang lebih 5.325,03 km2atau sekitar 15 persen dari total wilayah

Provinsi Lampung. Secara administratif kabupaten Lampung Timur berbatasan :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Rumbia, Kecamatan Seputih

Surabaya dan Kecamatan Seputih Banyak Kabupaten Lampung Tengah serta

Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang.


(41)

3. Sebelah Selatan berbatasan

Ketibung, Kecamatan

Selatan.

4. Sebelah Barat berbatasan

Raya, Kota Metro dan

Kabupaten Lampung Te

Iklim Kabupaten

termasuk dalam kategori

hujan merata tahunan sebesar

Timur umumnya didominasi

kuning cocok untuk ditanam tanaman padi (BPS, 2010).

Sumber : PDRB Kabupaten Lampung Timur Gambar 4.1 Peranan Pertumbuhan

PDRB Kabupaten Lampung Timur Perekonomian Kabupaten

lebih baik dibanding tahun

empat sektor tumbuh diatas

persen. Sektor-sektor yang pertumbuhann 3.16 -1.14 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang, Kecamatan

Kecamatan Palas dan Kecamatan Sidomulyo Kabupaten

berbatasan dengan Kecamatan Bantul dan Kecamatan

Metro dan Kecamatan Punggur serta Kecamatan Seputih

Kabupaten Lampung Tengah.

Kabupaten Lampung Timur berdasarkan Smith dan

kategori iklim B, yang dicirikan oleh bulan b

- -

-tahunan sebesar 2000-2500 mm. Jenis tanah di Kabupaten

didominasi oleh tanah jenis latosol berwarna merah

ntuk ditanam tanaman padi (BPS, 2010).

PDRB Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009

Peranan Pertumbuhan Masing-masing Sektor Terhadap Pertumbuhan Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009

Perekonomian Kabupaten Lampung Timur mengalami pertumbuhan

dibanding tahun sebelumnya. Semua sektor mengalami pertumbuhan,

tumbuh diatas 5 persen sedangkan sektor lainnya tumbuh dibawah

sektor yang pertumbuhannya cukup tingi selama tahun 2009 adalah

0.3 0.01 0.19 1.24 0.23 0.15 0.23

Bintang, Kecamatan

Kabupaten Lampung

Kecamatan Metro

Seputih Raman

dan Ferguson

C. Curah

Kabupaten Lampung

berwarna merah hingga

Terhadap Pertumbuhan

pertumbuhan yang

mengalami pertumbuhan,

tumbuh dibawah 5


(42)

sektor pengangkutan dan komunikasi mencapai 8,46 persen diikuti sektor

perdagangan, hotel dan restoran 7,18 persen, sektor pertanian 6,56 persen dan

sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 5,08 persen (BPS, 2009).

Pertumbuhan yang tinggi belum tentu berdampak pada pertumbuhan

PDRB, tetapi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan total adalah besarnya

kontribusi pertumbuhan tiap sektor terhadap PDRB. Pertumbuhan sektor

pertanian mempunyai peranan yang besar meskipun pertumbuhan sektor tersebut

hanya 6,56 persen pada tahun 2009 (Tabel 4.6).

Tabel 4.6 Statistik Tanaman Pangan Kabupaten Lampung Timur Tahun 2008 Jenis Tanaman Luas Lahan (Ha) Produksi (Ton)

Padi 77.470 382.387

Jagung 119.557 568.846

Kedelai 693 809

Kacang Tanah 971 1.203

Ubi Kayu 39.188 932.307

Ketela Rambat 527 5.236

Kacang Hijau 457 408

Sumber : Badan Pusat Statistik (Atap 2008)

Kenaikan pertumbuhan sektor pertanian diakibatkan oleh peningkatan

yang cukup besar pada sub sektor tanaman bahan makanan dan sub sektor

kehutanan. Kontribusi subsektor tanaman bahan makanan merupakan

penyumbang terbesar nilai tambah sektor pertanian pada tahun 2009 sebesar 51,65

persen. Sub sektor tanaman bahan makanan pada tahun 2006 pertumbuhannya


(43)

Produksi Padi dan Palawija di Kabupaten Lampung Timur terus mengalami

peningkatan dimana Padi di tahun 2005 memproduksi 308.577 Ton dan di tahun

2008 memproduksi sebanyak 382.387 Ton GKG yaitu 16,33 persen dari total

produksi padi Provinsi Lampung (BPS, 2008).

4.2 Gambaran Umum Subsidi Pupuk Organik Provinsi Lampung

Secara ilmiah, pemakaian pupuk organik pada petani memberikan banyak

manfaat bukan hanya berdampak pada peningkatan produksi pangan, pendapatan

petani dan swasembada pangan tetapi juga secara bertahap akan memperbaiki

kualitas lingkungan dan mengurangi frekuensi terjadinya banjir dan longsor di

kawasan produksi pangan nasional. Subsidi pupuk organik merupakan salah satu

cara pemerintah untuk mengatasi masalah akibat tidak adanya pihak (produsen

maupun masyarakat) yang mampu membayar eksternalitas positif dari

pengadopsian pupuk organik (PSP3, 2011).

Kebijakan pemerintah dalam pengadaan dan penyaluran pupuk sejak awal

didasari oleh keinginan untuk memenuhi prinsip enam tepat dalam penyalurannya,

yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu dan mutu (Rusastra et al, 2005). Pada prakteknya seringkali keenam prinsip tersebut tidak dipenuhi. Kurang

cepatnya pelaksanaan subsidi pupuk organik hanya dirasakan oleh 11,67 persen

responden petani sehingga dapat dikatakan BLPO Provinsi Lampung tepat waktu.

Jumlah pupuk organik bersubsidi yang diberikan pada tanaman padi sawah antara

100-300 kg/ha untuk pupuk organik granul (POG) dan 1-2 liter/ha untuk pupuk

organik cair (POC) dirasa kurang oleh 31,67 persen responden karena petani


(44)

100 persen hanya 1 orang saja yang menyatakan pupuk organik bersubsidi tidak

sesuai kualitasnya. Tepat jenis dirasakan oleh 99,95 persen responden dimana

pupuk organik bantuan sesuai dengan lahan yang dimilikinya.

Petani sangat senang mendapatkan bantuan benih dan pupuk dan

mengharapkan program tersebut tetap berjalan pada tahun berikutnya. Program

tersebut sangat membantu petani karena meringankan biaya produksi,

meningkatkan hasil pertanian, dan menambah pendapatan mereka. Petani

responden merasa kekurangan dari adanya BLP Organik di Provinsi Lampung

adalah kurangnya penyuluhan tentang penanggulangan penyakit, benih dan pupuk

kadangkala datang tidak bersamaan, harga pemerintah dan petani tidak sesuai dan


(45)

V. DAMPAK SUBSIDI PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PADI SERTA FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMPENGARUHI ADOPSI PUPUK ORGANIK DI PROVINSI LAMPUNG 5.1 Karakteristik Petani Responden

Penelitian dilakukan di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten

Lampung Timur dengan responden sebanyak 60 responden. Berikut ini akan

disajikan karakteristik petani responden. Pemaparan karakteristik ini diharapkan

dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi petani dan keragaan usahatani padi

di Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Lampung Timur.

Karakteristik responden petani padi di Provinsi Lampung dijelaskan dalam

Tabel 5.1 dengan usia termuda 26 tahun dan tertua 68 tahun dengan rata-rata 44

tahun. Sebanyak 28,33 persen atau 17 orang petani yang berusia 25–39 tahun.

Mayoritas petani responden berusia antara 40–54 tahun atau sebanyak 51,67

persen sehingga karakteristik petani responden petani padi di Provinsi Lampung

tergolong usia produktif.

Ditinjau dari segi umur, petani dengan umur lebih tua memiliki

pengalaman usahatani yang lebih banyak sehingga semakin baik dalam mengelola

usahataninya. Disisi lain semakin tua semakin menurun kemampuan fisiknya

sehingga semakin memerlukan bantuan tenaga kerja baik dalam keluarga maupun

dari luar keluarga (Suratiyah, 2009). Faktor usia juga mampu mengukur kepekaan

petani untuk mengadopsi teknologi baru, dimana petani muda lebih cepat

menerima inovasi baru dan lebih berani menanggung resiko daripada petani tua


(46)

Tabel 5.1 Karakteristik Responden Petani Padi di Provinsi Lampung

Karakteristik Jumlah (orang) Presentase

Umur

 25 – 39 tahun 17 28,33

 40 – 54 tahun 31 51,67

 55 – 68 tahun 12 20,00

Rata-rata Umur (Tahun) 44

Lama Pendidikan

 Tidak Tamat SD 2 3,33

 Tamat SD 22 36,67

 Tamat SLTP 14 23,33

 Tamat SLTA 19 31,67

 Perguruan Tinggi 3 5,00

Rata-rata Lama Pendidikan (Tahun) 9

Lama Usahatani

 1 – 15 Tahun 20 33,33

 16 – 30 Tahun 30 50,00

 31 – 45 Tahun 8 13,34

 Lainnya 2 3,33

Rata-rata Lama Pengalaman Usahatani (Tahun) 21 Sumber : Data (diolah)

Tingkat pendidikan turut berkontribusi dalam pengadopsian teknologi

baru, menurut Yuliarmi (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka

semakin respon dalam menggunakan input-input baru seperti pupuk organik.

Tingkat pendidikan mayoritas responden adalah tamat SD dengan jumlah


(47)

pendidikan tertinggi yaitu Diploma dan S1. Hal ini menunjukkan bahwa

karakteristik petani responden tidak berpendidikan tinggi sehingga pengetahuan

mereka terbatas. Pendidikan non-formal akan membuka cakrawala petani,

menambah keterampilan dan pengalaman petani dalam mengelola usahataninya

(Suratiyah, 2009). Penyuluhan dari berbagai instansi khususnya dinas pertanian

dianggap sebagai cara terbaik dalam sosialisasi penggunaan pupuk organik

dengan pemupukan berimbang sehingga dapat menunjang keberhasilan usahatani

padi yang dilaksanakan.

Pada umumnya responden melakukan usahatani cukup lama yaitu 16-30

tahun dengan presentase sebesar 50 persen. Petani responden yang baru

melakukan ushatani 1-15 tahun sebanyak 20 petani responden. Selain itu,

responden yang melakukan usahatani lebih dari 30 tahun sebanyak 8 orang yaitu

13,34 persen. Artinya sebagian besar responden petani padi provinsi Lampung

memiliki pengalaman usahatani yang cukup lama.

Tabel 5.2 Karakteristik Lahan Responden Petani Padi Provinsi Lampung

Luas Lahan

Milik Sewa Sakap Total

Rata-rata (%) Rata-Rata (%) Rata-rata (%) (%)

< 0,5 ha 0.3 6.67 - - 0.125 1.7 8.30

0,5 - 1 ha 0.6 41.67 - - - - 41.70

> 1 ha 1.1 48.33 1.5 1.7 - - 50.00

Total (%) 96.67 1.7 1.7 100.0

Rata-rata jumlah persil (unit) 1.2

Sumber : Data (diolah)

Status lahan responden (Tabel 5.2) umumnya memiliki lahannya sendiri,


(48)

responden yaitu 1,1 ha. Responden yang menyewa lahan untuk bertani hanya 1

orang dengan luas lahan sebesar 1,5 ha. Petani responden yang melakukan

usahatani bersakap hanya 1 orang dengan luas lahan 0,125 ha. Semakin luas lahan

milik petani akan mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik.

5.2 Dampak Subsidi Pupuk Organik terhadap Produksi dan Pendapatan Padi

Perhitungan usahatani padi bertujuan untuk mengetahui rata-rata produksi

serta pendapatan petani padi responden di Provinsi Lampung. Perhitungan

usahatani dilakukan atas dasar biaya tunai dan atas dasar biaya total. Perhitungan

atas dasar biaya tunai sesuai dengan biaya yang dikeluarkan petani, karena

program BLP Organik memberikan secara cuma-cuma benih, pupuk NPK, pupuk

organik granul (POG) dan pupuk organik cair (POC) sehingga harga pada 4

komponen tersebut bernilai 0. Berbeda dengan perhitungan atas dasar biaya total

yang memasukkan harga untuk ke-4 komponen didapat dari harga yang berlaku

dipasaran pada saat Program BLP Organik di Provinsi Lampung dilaksanakan.

Penambahan jumlah tenaga kerja dalam keluarga dimaksudkan untuk

mengetahui seberapa besarkah biaya yang seharusnya petani keluarkan dalam 1

masa tanam. Jumlah tenaga kerja dalam keluarga dimasukkan pada perhitungan

atas dasar biaya total. Pada umumnya petani tidak pernah membayar jasa anggota

keluarganya, sehingga harga yang ditetapkan untuk komponen ini berasal dari

harga rata-rata tenaga kerja manusia di Provinsi Lampung.

Produksi dan pendapatan petani meningkat cukup tinggi dari rata-rata 4,8

ton per ha menjadi 5,9 ton per ha. Ditambah dengan peningkatan harga gabah dari


(49)

juta per ha menjadi Rp 15,4 juta per ha. Hal tersebut berarti dengan mengadopsi

pupuk organik dapat meningkatkan pendapatan petani sekitar 25,38 persen.

Struktur biaya produksi padi di Provinsi Lampung memiliki perbedaan

dari sebelum dan sesudah adanya Program BLP Organik. Berdasarkan

perhitungan atas dasar biaya tunai (Lampiran 3), terdapat peningkatan rata-rata

total biaya yaitu tenaga kerja manusia, tenaga kerja mesin, pestisida dan

obat-obatan serta biaya lain-lain. Rata-rata total biaya tenaga kerja manusia yang

membantu proses produksi setelah adanya BLP Organik yaitu Rp 2.113.050,20

meningkat 28,27 persen dibanding sebelum menerima BLP Organik. Rata-rata

total biaya untuk tenaga kerja mesin sebelum program BLP Organik sebesar Rp

471.277,78 sedangkan setelah program BLP Organik meningkat hingga 33,75

persen menjadi Rp 711.385,25. Rata-rata total biaya untuk komponen pestisida

dan obat-obatan merupakan biaya yang termurah baik sebelum maupun sesudah

menggunakan BLP Organik walaupun terjadi peningkatan. Peningkatan biaya

pada tiap-tiap komponen tersebut dikarenakan adanya peningkatan dari harga

masing-masing komponen.

Penurunan rata-rata biaya atas dasar biaya tunai terjadi di beberapa

komponen usahatani yaitu komponen benih, pupuk dan tenaga kerja hewan.

Penurunan rata-rata biaya benih dan pupuk karena adanya program BLBU dan

BLP yang memberikan secara gratis benih unggul, pupuk NPK dan pupuk

organik. Penurunan rata-rata biaya pupuk sebesar 63,77 persen. Rata-rata total

biaya tenaga kerja hewan mengalami penurunan sebesar Rp 83.068,78 atau 19,14


(50)

Perhitungan usahatani padi atas dasar biaya total (Lampiran 4) hanya

memiliki sedikit perbedaan dengan perhitungan atas dasar biaya tunai. Pada

dasarnya perhitungan tenaga kerja dalam keluarga yang dihitung dalam biaya total

dimaksudkan untuk mengetahui secara keseluruhan pengeluaran atau biaya yang

dikeluarkan petani. Harga pada tenaga kerja dalam keluarga bukan merupakan

harga sebenarnya, karena petani tidak pernah memberi gaji kepada keluarga yang

turut membantu proses produksi. Harga tenaga kerja dalam keluarga didapat dari

asumsi bahwa rata-rata harga tenaga kerja manusia sama dengan harga untuk

tenaga kerja dalam keluarga. Sehingga dilakukan rata-rata dari seluruh harga

tenaga kerja manusia. Maka harga tersebutlah yang diambil untuk menjadi harga

tenaga kerja dalam keluarga.

Penurunan rata-rata total biaya hanya dialami oleh biaya benih sebesar 34

persen dan tenaga kerja hewan sebesar 19,31 persen. Penurunan rata-rata total

biaya tersebut karena pada dasarnya terjadi penurunan harga benih dan tenaga

kerja hewan di Provinsi Lampung. Sebaliknya, peningkatan rata-rata total biaya

terjadi di sebagian besar rata-rata total biaya yaitu biaya tenaga kerja manusia

(28,26 persen), tenaga kerja dalam keluarga (8,03 persen), tenaga kerja mesin

(33,75), pupuk dan obat-obatan (3,25 persen) serta biaya lain-lain (16,36 persen).

Peningkatan rata-rata total biaya yang terjadi ternyata tidak mempengaruhi

rata-rata total pendapatan yang diterima oleh petani karena pendapatan petani

tetap mengalami peningkatan. Seperti hasil dari perhitungan atas dasar biaya total

keuntungan petani padi sebelum dan sesudah meningkat 29,16 persen dari Rp.


(51)

didapat lebih tinggi yaitu 35,62 persen dari Rp 6.567.359,92 menjadi Rp

10.200.269,60.

Perhitungan untuk menganalisis efisiensi usahatani yaitu rasio R/C dan

rasio B/C. Hasil perhitungan rasio R/C atas dasar biaya tunai mengalami

peningkatan dari 2,34 sebelum menggunakan pupuk organik menjadi 2,98 setelah

petani mengadopsi pupuk organik. Nilai rasio B/C pun mengalami peningkatan

dari 1,34 menjadi 1,98. Perhitungan atas dasar biaya total menunjukkan

peningkatan rasio R/C dari 2,31 menjadi 2,48 dan peningkatan rasio B/C dari

1,31 menjadi 1,48.

Tabel 5.3 Hasil Uji Beda Produksi, Total Biaya, Pendapatan dan Pendapatan Bersih Setelah dan Sesudah Penggunaan Pupuk Organik

Variabel Mean t-statistik Probability

Produksi

Q0 = 4794,06

-6,018 0,000

Q1 = 5861,17

Total Biaya

Q0 = 4342551,45

-3,364 0,001

Q1 = 4786153,92

Pendapatan

Q0 = 11458594,44

-8,520 0,000

Q1 = 15356961,11

Pendapatan Bersih

Q0 = 7016021,32

-6,648 0,000

Q1 = 10570858,38

Sumber : Data (diolah)

Perhitungan lanjut untuk menunjukkan perbedaan dari sebelum program

BLP Organik dengan sesudah program BLP Organik dilakukan uji beda mean. Pada Tabel 5.3 terlihat bahwa variabel produksi, total biaya, pendapatan serta


(52)

kecil dari taraf nyata 1 persen. Secara statistik terdapat perbedaan produksi, total

biaya, pendapatan dan pendapatan bersih dari sebelum adanya program BLP

Organik dengan sesudah program BLP Organik. Pengaplikasian pupuk organik

pada lahan petani responden di Provinsi Lampung mampu meningkatkan produksi

serta pendapatan petani padi.

5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi Pupuk Organik

Pupuk organik merupakan pupuk yang memiliki kelebihan, selain dapat

meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas juga dapat

mengembalikan unsur hara tanah yang hilang akibat penggunaan pupuk anorganik

secara berlebih. Petani responden yang pernah menggunakan pupuk organik

sebelum adanya program BLP Organik sebanyak 33. Petani yang belum pernah

mengadopsi pupuk organik beralasan bahwa harga pupuk organik lebih mahal dan

masih belum merasa perlu menggunakan pupuk organik.

Bantuan langsung pupuk organik bertujuan untuk tiga tujuan utama yaitu

meningkatkan kesadaran petani tentang penggunaan dan manfaat pupuk organik,

meringankan beban petani dalam pengadaan pupuk organik serta meningkatkan

produktivitas tanaman bahan makanan utama seperti padi. Ketiga tujuan tersebut

bermuara pada kemandirian petani dalam membangun ketahanan pangan nasional

jangka panjang dan peningkatan pendapatan petani (PSP3, 2010). Pada

prakteknya program BLP Organik memiliki hambatan yg dirasakan langsung oleh

sebagian besar petani responden yaitu volume paket yang tidak memadai dan

lambannya proses pendistribusian BLP Organik dari distributor hingga ke tangan


(1)

76

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 1a X1 1.950 1.108 3.099 1 .078 7.027

X2 -.039 .028 1.900 1 .168 .962

X3 .026 .030 .737 1 .391 1.026

X4 -1.307 .642 4.145 1 .042 .271

X5 .001 .000 6.123 1 .013 1.001

X6(1) -22.450 28364.310 .000 1 .999 .000

Constant -1.457 1.336 1.188 1 .276 .233

a. Variable(s) entered on step 1: X1, X2, X3, X4, X5, X6.

Correlation Matrix

Constant X1 X2 X3 X4 X5 X6(1)

Step 1 Constant 1.000 -.078 .187 -.710 -.271 -.261 .000

X1 -.078 1.000 -.240 .093 -.190 -.562 .000

X2 .187 -.240 1.000 -.473 .086 -.129 .000

X3 -.710 .093 -.473 1.000 -.228 .036 .000

X4 -.271 -.190 .086 -.228 1.000 -.032 .000

X5 -.261 -.562 -.129 .036 -.032 1.000 .000


(2)

77

Lampiran 7. Pola penanaman padi pada pertanian organik (Sutanto, 2008) :

1. Penyiapan lahan, merupakan kegiatan yang dilakukan dua minggu sebelum masa tanam dan dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pembajakan, penggaruan dan perataan tanah. Setelah pembajakan selesai, pupuk organik ditaburkan secara merata dengan dosis rata-rata 1.000 kg/ha atau sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, dilakukan perataan tanah dan dibuat saluran air tengah dan saluran air pinggir di sekeliling pematang.

2. Persiapan benih atau persemaian merupakan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pola tanam yang akan digunakan seperti :

a) Persemaian dilakukan pada bak kecil yang terbuat dari kayu

b) Benih yang digunakan bukan berasal dari hasil rekayasa dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia. Takaran yang biasa digunakan yaitu 10-15 kg benih perhektar

c) Media yang digunakan merupakan campuran tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1

d) Umur persemaian antara 8 sampai 10 hari setelah semai

3. Penanaman, merupakan kegiatan dimana benih padi ditanam di lokasi dengan rincian

a) Benih berumur 8 – 10 hari setelah semai b) Jumlah tanam/lubang = 1 batang/tunas


(3)

78

4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman merupakan kegiatan untuk menekan kerusakan dan kehilangan hasil produksi yang disebabkan oleh hama atau penyakit tanaman lainnya. Pola ini biasanya melakukan beberapa program seperti perlindungan musuh alami hama melalu penyediaan habitat yang cocok sehingga hama tersebut tidak memakan tanaman padi namun memakan tanaman lainnya. Selain itu, terkadang dilakukan dengan pemberian musuh alami yaitu pelepasan predator dan parasit, penggunaan pestisida dan menggunakan perangkap

5. Panen merupakan kegiatan dimana pengelolaan produk harus dipisah dari produk non organik


(4)

Lampiran 3. Analisis Usahatani Petani Padi Provinsi Lampung Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Tunai) BCR Padi Provinsi Lampung

No Uraian

Sebelum Menggunakan Bantuan Sesudah Menggunakan Bantuan Jumlah Nilai (Rp/sat) Total Nilai (Rp) Jumlah Nilai (Rp/sat) Total Nilai (Rp)

1 Benih (Kg) 28.42619048 9147.813887 260037.5 23.52063492 0 0

2 Tenaga Kerja Manusia (HOK)

Persiapan dan Pengolahan Lahan 4.6 23,967.52 110,250.58 4.6 23,967.52 110,250.58 Penanaman 5.6 30,556.07 171,114.00 6.2 31,110.58 192,885.57 Penyiangan Tanaman 4.5 25,892.40 116,515.82 6.9 34,659.75 239,152.31 Pemupukan 2.7 24,706.82 66,708.42 4.3 28,035.65 120,553.30 Pemberantasan Hama Penyakit Tanaman 4.1 25,372.09 104,025.58 6.5 28,035.65 182,231.73 Panen 21.1 37,171.35 784,315.55 25 37,243.26 931,081.57 Pengangkutan Hasil Panen 7.6 21,423.46 162,818.29 15 22,393.84 335,907.60

Total Tenaga Kerja Manusia 1,515,748.24 2,112,062.65

3 Tenaga Kerja Hewan 4.10 126,279.07 517,142.86 3.33 130,222.22 434,074.07

4 Tenaga Kerja Mesin 1.73 271,716.85 471,277.78 1.94 366,538.50 711,385.25

5 Pupuk

Urea 250.49 1,548.56 387,901.64 164.03 1,593.18 261,331.24 TSP 165.42 1,969.57 325,813.32 167.53 2,142.86 358,994.98 KCL 41.67 5,533.33 230,555.56 55.00 6,000.00 330,000.00

NPK 148.20 2,470.21 366,094.44 132.71 0 0

Pupuk organik granul 400.00 600.00 240,000.00 532.97 0 0

Pupuk organik cair (liter) 0.10 60,000.00 6,000.00 2.27 0 0

Total pupuk 1,556,364.96 950,326.21

6 Pestisida dan obat-obatan

Pestisida cair 2.48 31,762.62 78,689.56 2.66 33,377.84 88,913.81 Pestisida padat 3.92 24,366.61 95,435.90 3.52 26,655.17 93,696.97 Obat 1.99 52,876.25 106,054.14 2.01 53,204.42 107,000.00

Total obat-obatan 280179.6015 289610.7792

7 Biaya lain-lain

PBB 45.525 46,660.71 47.4 49,276.87

Sewa/Bagi hasil 2.375 390,000.00 1.625 500,000.00

Biaya lainnya 22.4 113,871.00 23.4 108,969.00

Total biaya lain-lain 550531.7061 658245.8684

Keseluruhan Biaya Tunai (Rp) 4891245.146 5155704.832

Produksi Padi (GKP) 4794.06 2,390.17 11,458,605.07 5861.167 2,620.12 15,356,961.98

Keuntungan 6,567,359.92 10,201,257.15

(Produksi Padi - Biaya Tunai)

R/C Ratio

2.34 2.98

(Produksi / Total Biaya Tunai)

B/C Ratio 1.34 1.98


(5)

Lampiran 4. Analisis Usahatani Petani Padi Provinsi Lampung Sebelum dan Sesudah Menggunakan BLP Organik (Atas Dasar Biaya Total) BCR Padi Provinsi Lampung

No Uraian Sebelum Menggunakan Bantuan Sesudah Menggunakan Bantuan Jumlah Nilai (Rp/sat) Total Nilai (Rp) Jumlah Nilai (Rp/sat) Total Nilai (Rp)

1 Benih (Kg) 28.43 9147.813887 260037.5 23.52 7296.969901 171629.3651

2 Tenaga Kerja Manusia (HOK)

Persiapan dan Pengolahan Lahan 4.6 23967.5174 110250.58 4.6 23967.5174 110250.58 Penanaman 5.6 30556.0716 171114.001 6.2 31110.57593 192885.5708 Penyiangan Tanaman 4.5 25892.40404 116515.8182 6.9 34659.75474 239152.3077 Pemupukan 2.7 24706.82224 66708.42005 4.3 28035.65045 120553.2969 Pemberantasan Hama Penyakit Tanaman 4.1 25372.09332 104025.5826 6.5 28187.58151 183219.2798 Panen 21.1 37171.35309 784315.5502 25 37243.26268 931081.567 Pengangkutan Hasil Panen 7.6 21423.45924 162818.2903 15 22393.83971 335907.5957 Total Tenaga Kerja Manusia 1515748.242 2113050.198

2a Tenaga Kerja Dalam Keluarga 2.00 27,012.82 54,025.63 2 29,371.17

58,742.34

3 Tenaga Kerja Hewan 4.10 126279.0698 517142.8571 3.33 130222.2222 434074.0741

4 Tenaga Kerja Mesin 1.73 271716.8482 471277.7778 1.94 366538.5 711385.2516

5 Pupuk

Urea 250.49 1548.559 387901.641 164.03 1593.182 261331.2366 TSP 165.42 1969.565 325813.3206 167.53 2142.857 358994.9761 KCL 41.67 5533.333333 230555.5556 55.00 6000 330000 NPK 148.20 2470.20885 366094.4444 134.96 2408.273779 325019.774 Pupuk organik granul 6.6 600 3960 532.97 676.4026653 360502.3285 Pupuk organik cair (liter) 0.1 60000 6000 2.27 54597.47267 124142.0954

Total pupuk 1320324.962 1759990.411

6 Pestisida dan obat-obatan

Pestisida cair 2.48 31762.61852 78689.56044 2.66 33377.84451 88913.80952 Pestisida padat 3.92 24366.61211 95435.89744 3.52 26655.17241 93696.9697 Obat 1.99 52876.25418 106054.1436 2.01 53204.41989 107000

Total obat-obatan 280179.6015 289610.7792

7 Biaya lain-lain

PBB 45.53 46660.70608 47.40 49276.86844

Sewa/Bagi hasil 2.38 390000 1.63 500000

Biaya lainnya 22.40 113871 23.40 108969

Total biaya lain-lain 550531.7061 658245.8684

Keseluruhan Biaya Total (Rp) 4,969,268.28

6,196,728.28

Produksi Padi (GKP) 4794.06 2390.167221 11458605.07 5861.17 2620.120188 15356961.98

Keuntungan

6489336.79 9160233.70

(Produksi Padi - Biaya Tunai)

R/C Ratio

2.31 2.48

(Produksi / Total Biaya Tunai)

B/C Ratio

1.31 1.48


(6)

RINGKASAN

PUSPASARI AISAH PRAYITNO. Dampak Subsidi Pupuk Organik terhadap Produksi dan Pendapatan Padi serta Faktor-fator yang Mempengaruhi Adopsi Pupuk Organik Provinsi Lampung (dibimbing oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI).

Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap PDB Indonesia sehingga sektor pertanian bukan lagi menjadi sektor utama perekonomian Indonesia. Terjadinya degradasi mutu lahan di sejumlah lahan pertanian intensif merupakan salah satu penyebab turunnya produksi sektor pertanian. Sehingga fungsi utama sektor pertanian sebagai penyokong ketahanan pangan tidak dapat tercapai.

Pertanian organik dianggap sebagai solusi yang tepat karena dapat memperbaiki unsur hara tanah dan dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Pemerintah mulai memberikan subsidi pupuk organik di tahun 2008 yang berfokus pada sub-sektor tanaman pangan agar ketahanan pangan dapat tercipta. Provinsi Lampung dipilih sebagai wilayah penelitian dengan jumlah responden sebanyak 60 petani responden.

Petani ragu untuk mengadopsi pupuk organik karena selain dari sisi biaya produksi yang tinggi juga masih banyak petani belum mengetahui manfaat ekonomi dan lingkungan dari pupuk organik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh subsidi pupuk terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan usahatani padi di Provinsi Lampung serta mengetahui faktor-faktor penentu pengadopsian pupuk organik di tingkat petani.

Alat analisis yang digunakan adalah analisis usahatani dan metode logit. Hasil analisis usahatani dilakukan dari data usahatani sebelum menggunakan BLP (Bantuan Langsung Pupuk) Organik dan sesudah menggunakan BLP Organik menunjukkan adanya peningkatan produksi padi sebesar 22,26 persen dan peningkatan biaya yang cukup besar yaitu 15,35 persen namun keuntungan petani tetap meningkat sebesar 45 persen.

Hasil model logit menunjukkan variabel luas lahan, jumlah persil lahan dan total biaya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi pupuk organik. Variabel yang sangat mempengaruhi tingkat pengadopsian pupuk organik yaitu luas lahan dengan hasil Odds Ratio22,535.

Produksi dan pendapatan petani yang meningkat menjadi bukti bahwa program subsidi pupuk organik memberikan dampak positif terhadap produksi dan pendapatan. Subsidi pupuk organik sebaiknya tetap diberikan dan perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut serta pembinaan kepada petani agar dapat memproduksi pupuk organik secara swadaya, sehingga petani dapat terus mengadopsi pupuk organik walaupun tanpa subsidi.