Yurisdiksi Pengadilan Internasional terhadap Pelaku Kejahatan

C. Yurisdiksi Pengadilan Internasional terhadap Pelaku Kejahatan

Internasional Mekanisme yang paling cepat untuk menggerakkan kekuatan menyelidiki dan mengadili kejahatan internasional dinyatakan dalam Pasal 13 b, dimana suatu “situasi” ditunjukkan kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan PBB yang bertindak menurut Bab VII Piagam PBB. Inilah metode yang digunakan pada Pengadilan Den Haag dan Arusha, yaitu melalui resolusi yang menyatakan bahwa situasi di Yugoslavia dan Rwanda mengancam perdamaian dunia. PBB tidak perlu lagi membentuk pengadilan ad-hoc, ketika sudah ada kesepakatan negara-negara superpower atas kebutuhan untuk menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, yangdilakukan pada masa damai atau perang, oleh atau di wilayah negara manapun baik negara pihak ataupun bukan negara pihak dari statuta. Dewan keamanan kemudian akan menyerahkan masalah itu kepada jaksa di ICC. Tindakan tersebut secara otomatis menarik yurisdiksi pengadilan atas kasus-kasus yang dipilih oleh jaksa untuk dibuatkan tuntutannya. Dalam hal kelambanan tindakan atau ketidaksepakatan dalam Dewan Keamanan PBB, posisi pengadilan menjadi makin sulit. Pengadilan tidak dapat memperoleh yurisdiksi tanpa resolusi Dewan Keamanan, kecuali jika tindakan yang dipertanyakan terjadi di dalam wilayah negara yang merupakan negara pihak dari Statuta. Atau jika terdakwa adalah warga negara yang merupakan negara pihak dari Statuta. Tak satupun kondisi ini akan terpenuhi dalam kasus pimpinan politik dan militer yang terlibat dalam tindakan represif yang kejam terhadap warga sipil atau kelompok etnis yang menentang pemerintahan. Sebab adalah tidak logis untuk Universitas Sumatera Utara mengharapkan negara-negara yang dipimpin orang-orang semacam itu akan meratifikasi Statuta Roma. 78 Selanjutnya, dewasa ini isu mengenai terorisme sangat berkembang di dunia internasional, Dua tahun masa war of terrorism yang dimotori Amerika Serikat masih belum menyentuh akar pemasalahan. Yang tersisa kini kedukaan para keluarga korban dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan tindak pidana terorisme. Menolak terorisme adalah wajib tetapi menyelesaikan akar permasalahan merupakan kunci utama dari sikap penolakan terhadap terorisme. Amerika Serikat hanya mengejar pelaku teror tetapi belum pernah memberi jawaban secara resmi dan lengkap terhadap tuntutan dan motivasi para teroris baca Osama bin Laden. Kelangsungan hidup International Criminal Court akan lebih bergantung pada tingkat keahlian dan pengalaman hakim-hakim dan jaksa-jaksa ketimbang dari Statutanya. Sistem penunjukan Internasional cenderung ragu untuk tidak mengindahkan Pemerintah atau mereka yang bertanggung jawab kepada negara. Seringkali tidak ada orang-orang yang benar-benar independen dengan pemikiran dan imajinasi yang baik. Tapi, salah satu alasan utama mengapa Pengadilan Nuremburg berhasil adalah karena hakim-hakim dari Inggris, Prancis dan Amerika telah berpengalaman sebagai Pembela Kriminal, selain juga sebagai jaksa penuntut. Dari pengalaman inilah berekmang ras keadilan yang mendorong proses penuntutan di pengadilan tersebut. Jadi, yang dibutuhkan International Criminal Court adalah suatu sistem penunjukan yang independen dari pemerintahan-pemerintahan, dan satu perangkat kualifikasi berdasarkan suatu statuta yang memberikan bobot kepada mereka yang mempunyai karakteristik karir yaitu pernah melakukan pekerjaan pembelaan kriminal. 78 Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 430-431. Universitas Sumatera Utara Mengurai, mengidentifikasi, dan menyelesaikan akar permasalahan merupakan sikap penolakan terhadap terorisme yang paling penting untuk mencegah terjadinya terorisme di masa mendatang. Terorisme bukan problem lokal tetapi problem internaional, Playground-nya berskala international. Terorisme dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan targetnya pun siapa saja. Terorisme bukan problem Amerika semata tatapi manjadi masalah seluruh umat manusia. Dalam sistem peradilan pidana internasional, tindak pidana teroris manjadi materi diskusi yang cukup menarik. Hampir semua ahli hukum pidana dan kriminolog mengatakan bahwa tindak pidana terorisme merupakan extraordinary crime dan proses peradilannya pun berbeda dengan tindak pidana biasa. Karena sifatnya yang extraordinary crime inilah hampir semua negara mengunakan undang-undang khusus dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Akan tetapi, Kent Roach Canada, Adnan Buyung Nasution dan beberapa ahli hukum pidana dan HAM antara lain, Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil menolak pandangan demikian. Bagii mereka, terorisme merupakan tindak pidana biasa dan penangganannyapun cukup dengan aturan perundang-undang yang berlaku bagi tindak pidana lainnya. Dalam kontek sistem peradilan pidana cukup dengan ketentuan KUHP dan KUHAP saja tidak perlu menggunakan UU Antiteroris atau yang lainnya seperti ISA Internal scurity act. 79 Namun demikian, tidak dapat disanggah bahwa tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagia mala per se bukan termasuk mala prohibita. Hal ini karena terorisme merupakan crime against concience, menjadi jahat bukan karena dilarang oleh undang-undang tetapi karena pada dasarnya terorisme merupakan tindakan tercela. Walaupun terorisme dianggap sebagai extraordinary crime dan crime against 79 M. Jodi Santoso, Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana, Harian Tempo, 27 Oktober 2003. Universitas Sumatera Utara humanity , terorisme bukan merupakan tindak pidana dalam yuridiksi International Criminal Court. Amerika Serikat dengan tegas menolak usulan beberapa negara yang menghendaki tindak pidana terorisme sebagai tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi ICC. Dengan tidak masuknya terorisme maka menurut Art. 5 Rome Statute of the international Criminal Court Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional hanya empat tindak pidana yang dianggap sebagai tindak pidana paling serius, yaitu : 1 genocida; 2 tindak pidana terhadap kemanusian; 3 tindak pidana perang; dan 4 agresi. Sampai sekarang, Amerika Serikat belum menandatangani International criminal court . Pada hal dukungan Amerika Serikat sangat dibutuhkan dalam upaya dunia internasional untuk segera pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Di sinilah mulai muncul anggapan negatif atas ambivalensi Amerika Serikat dalam upaya penanganan terorisme. Pada sisi lain Amerika Serikat menolak terorisme masuk dalam yuridiksi International Criminal Court dan sampai sekarang belum menandatangai ICC pda sisi lain Amerika Serikat, melalui pernyataan resmi George W. Bush tanggal 11 Oktober 2001, terorisme sebagai Sebuah Serangan Terhadap Peradaban Dunia. 80 Ambivalensi sikap Amerika juga tercermin dalam law enforcement. Amerika Serikat telah melanggar prinsip-prinsip perlindungan HAM dalam criminal justice process terhadap pelaku terorisme. Sikap ini berbeda dengan upaya perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana protection of human right in criminal justice administration di mana Amerika Serikat sebagai pendukung utamanya. Bahkan konsep perlindungan HAM dalam sistem peradilan Pidana criminal Justice system yang berkembang di Amerika Serikat telah menjadi kiblat bagi negara-negara berkembang. Akan tetapi, administrasi peradilan pidana yang telah dibangun selama 80 Ibid. Universitas Sumatera Utara berabad-abad tersebut sama sekali tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme. Amerika Serikat telah berhasil membangun sistem peradilan pidana yang kondusif bagi perlindungan tersangka pelaku tindak pidana di negaranya tetapi gagal mengembangankan sistem peradilan pidana internasional. Catatan terpenting yang dapat dicermati selama dua tahun masa war of terrorism adalah Amerika Serikat telah memutar “jarum jam” administrasi peradilan pidana. Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat telah menghancurkan bangunan konsep dan praktik peradilan pidana yang memberikan perlindungan hak tersangka yang dibangun sejak berabad-abad tahun yang lalu. Amerika Serikat telah membawa kembali dunia peradilan pidana ke abad 13 di mana metode yang digunakan dalam administrasi peradilan pidana adalah iquisitorial method ketika pertama kali muncul dalam sejarah peradilan pidana. Karakteristik penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem model iquisitorial seperti antara lain : dilakukan secara rahasia, tersangka pelaku tindak pidana ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan puhak lain termasuk keluarga, Pemeriksaan saksi terpisah. Tujuan pemeriksaan waktu itu adalah untuk memperoleh pengakuan confession dari tersangka. Apabila tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau kesalahannya maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan toture sampai diperoleh pengakuan. Tertuduh tidak berhak didampingi pembela, tidak ada perlindungan dan jaminan hak asasi. Karakteristik yang demikian sebenarnya telah lama ditinggalkan. Akan tetapi, Amerika dalam penanganan tindak pidana terorisme telah mengangkat kembali administrasi peradilan pidana yang demikian dalam penangganan tindak pidana terorisme. Penahanan para tersangaka di Universitas Sumatera Utara Guntanamo, proses penyidikan yang rahasia, dan menghilangkan hak-hak dasar seorang tersangka lainnya telah dihilangkan. 81

D. Mekanisme Penegakan Hukum Internasional terhadap Kejahatan Kemanusiaan