Konflik Israel dan Palestina dalam kajian Sosial, Politik dan Teologis

B. Konflik Israel dan Palestina dalam kajian Sosial, Politik dan Teologis

Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat di sekitar abad keduabelas. 50 Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional dalam hal ini Amerika sebagai puncak penyelesaian konfik Israel- Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut. 50 Perang Salib seringkali dipahami sebagai perang yang dipicu oleh persoalan agama dengan sendirinya menjadi konotasi Perang Agama, padahal jika dianalisis lebih jauh, Perang Salib pada prinsipnya merupakan benturan antara peradaban Timur dan Barat, dua peradaban yang digambarkan Samuel P Huntington sebagai peradaban yang hampir sulit diakurkan. Terbukti bahwa, banyak pihak dari kalangan Yahudi dan sejumlah kalangan Nasrani turut berjuang melawan Tentara Salib di pihak Timur yang berada dalam kekuasaan khalifah Islam. Penyebab utamanya adalah upaya Syaljuk merebut Syria dari Fatimiyah pada 1070 M. Ketidakmampuan Alexius Comnenus I, Raja Bizantium ketika itu, dalam menghentikan kemajuan Turki menyebabkannya meminta bantuan kepada Paus pada 1901, dan Paus Urban II mengumumkan Perang Salib I. Lihat: Karen Armstrong. 2003. Islam: A Short History. Alih Bahasa: Funky Kusnaendy Timur. Islam Sejarah Singkat. Yogyakarta: Jendela, hal.112-13; lihat juga: James Turner Johnson. 1997 The Holy War Idea in Western and Islamic Tradtion. Terjemah: Perang Suci Atas Nama Tuhan: Dalam Tradisi Barat dan Islam. Mizan, Bandung, 1997. Universitas Sumatera Utara dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza beberapa waktu terakhir benar-benar menarik perhatian banyak pihak, tidak saja dari kalangan masyarakat muslim melainkan hampir seluruh masyarakat dunia. Keprihatinan dan simpati masyarakat dunia akan kondisi Palestina yang menjadi korban keganasan agresi meliter Israel diungkapkan dalam berbagai bentuk solidaritas, mulai dari aksi kecamanan, kutukan dan penolakan terhadap tindakan Israel hingga pengiriman bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk, seperti tenaga medis, makanan serta obat-obatan. Atas nama kemanusiaan, solidaritas semacam ini wajar dilakukan. Namun yang cukup menarik dari sekian banyak solidaritas yang ditujukan pada korban Palestina adalah simpati dan dukungan yang datang dari masyarakat Islam. Lebih dari sekedar memberikan bantuan kemanusiaan pada masyarakat Palestina, beberapa institusi dan ormas Islam bahkan siap mengirimkan tenaga relawannya sebagai pasukan jihad. Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah jihad sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan Universitas Sumatera Utara di jalan Allah, 51 Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel. sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam tentang adanya fakta lain di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina. 52 Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konflik sosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai ...a strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals. Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap dimentahkan Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai kampung halaman Islam, dan berteman dekat dengan Amerika semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini. 53 51 Kata jihad seringkali dipahami – jika bukan diarahkan – sebagai perang yang melibatkan insiden fisik lihat misalnya: Safuan al Fandi. tt. Jihad: Makna dan Keutamaannya dalam Sudut Panndang Islam. Solo: Sendang Ilmu, hal. 20, padahal ayat al Qur’an – sebagaimana yang pernah penulis lacak – tidak menempatkan kata jihad sebagai padanan perang, terlebih lagi kata jihad yang ditemukan dalam al Qur’an sering didahului dengan kata māl harta daripada nafs jiwa, ini menunjukkan bahwa istilah jihad lebih mengutamakan pengorbanan harta dari pada jiwa. 52 Banyak pandangan yang menganggap Amerika bertanggung jawab terhadap konflik di Timur Tengah. Dengan berbagai alasan, kebijakan Amerika dalam kasus 53 A. Oberschall, Theories of Social Conflict, Annual Review of Sociology. Vol. 4. 1978, Page:291-315 Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas social class conflict, konflik ras ethnics Universitas Sumatera Utara and racial conflicts , konflik antar pemeluk agama religions conflict, konflik antar komunitas communal conflict, dan lain sebagainya. Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap tanah yang dijanjikan sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas politik dan teologi yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel- Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Pertanyaan yang mungkin lebih tepat adalah: aspek mana dari keduanya yang lebih dominan mewarnai konflik. Berdasarkan uraian mengenai konflik Israel-Palestina sebagaimana dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa, baik dimensi politik maupun dimensi teologis menjadi dua hal yang sulit dipisahkan meskipun keduanya harus dapat dibedakan. Beberapa catatan mengenai konflik Israel-Palestina bahkan memperlihatkan sebuah analisis tentang pandangan konflik yang bermula dari persoalan politik ke teologis. Fakta semacam ini dapat dibenarkan, mengingat dalam litaratur Islam sendiri persoalan persoalan politik lebih dahulu muncul disusul dengan persoalan teologi. Seperti disebutkan Harun Nasution, memang agak aneh jika dikatakan bahwa persoalan yang pertama kali timbul dalam Islam adalah persoalan politik yang kemudian meningkat Universitas Sumatera Utara menjadi persoalan teologi, akan tetapi sejarah menunjukkan fakta tersebut. 54 Persoalan teologis yang penulis maksud adalah keyakinan bangsa Yahudi terhadap tanah yang dijanjikan dan harus direbut sebagai bentuk intervensi Tuhan untuk mengembalikan hak bangsa Yahudi yang telah tertindas. Konsep teologis tidak Selain itu, sulitnya memisahkan antara konflik politik dengan konflik teologis tidak saja disebabkan oleh pergeseran otomatis yang terjadi dari masalah politik ke teologi sebagaimana yang seringkali muncul, akan tetapi konflik yang bermula dari persoalan teologi juga tidak jarang memasuki ranah politik sebagai reaksinya untuk bertarung melawan teologi yang lain. Dengan demikian, konflik politik maupun konflik teologis menjadi dua hal yang saling membaur dan membutuhkan peranan yang satu terhadap yang lainnya. Dari berbagai catatan mengenai latar belakang konflik Israel-Palestina sebagai bagian dari konflik Arab-Israel yang lebih luas, tampak jelas bahwa konflik ini terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh masalah politik yang kemudian menjurus pada persoalan teologis. Tidak sepenuhnya benar pandangan yang menganggap bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai persoalan politik, sebab argumentasi teologis – khususnya yang datang dari pihak Yahudi – juga turut mengambil peranan dalam konflik ini. Pernyataan yang mungkin lebih tepat adalah, konflik Palestina-Israel merupakan konflik yang bermula dari persoalan politik dan sedikit melibatkan persoalan teologis. Namun demikian, sekecil apapun alasan teologis yang melatar belakangi konflik Israel Palestina, tetap saja alasan tersebut memiliki pengaruh yang besar pada kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh negara Israel. 54 Dalam sejarahnya, persoalan teologi pada mulanya muncul sebagai akibat dari tahkim siffin yang terjadi antara Muawiyah dan Ali. Problem Muawiyah dan Ali jelas merupakan problem politik menyangkut kekuasaan Islam. Namun problem ini kemudian melahirkan sejumlah aliran-aliran teologis, seperti: Syiah, Khawarij, dan Murji’ah sebagai aliran awal, menyusul aliran-aliran lain seperti Mu’tazilah. Lihat: Harun Nasution, Teologi Islam:Aliran-Aliran Sejarah Analisa, dan Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986. Universitas Sumatera Utara dimaksudkan sebagai perang agama yang terjadi antara agama Yahudi dan Islam yang menjadi pandangan kolektif hampir seluruh umat Islam, dan harus ditegaskan bahwa pandangan semacam ini merupakan pandangan yang keliru. 55 Sepanjang sejarahnya, konflik antara Yahudi dan Islam atas nama agama belum pernah terjadi, sungguhpun konflik Israel-Palestina telah berlangsung sejak enam puluh tahun silam. Sebaliknya, konflik atas nama agama justru dialami Yahudi dengan umat Nasrani, ketika Ferdinand dan Isabella menaklukan Granada pada tahun 1942 dan memerintahkan pengusiran perkampungan Yahudi yang mengakibatkan sekitar 70.000 kaum Yahudi berpindah ke agama Kristen, dan mereka yang terusir hidup di bawah perlindungan Islam Imperium Utsmaniyah. 56 Memahami situasi konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, analisis sosial tentu menjadi alternatif yang mutlak diperlukan untuk mencari jalan keluar yang tepat, karena konflik ini – secara luas – menyangkut masalah interaksi sosial yang menyentuh berbagai aspek. Interaksi sosial tidak selamanya dapat dipahami sebagai hubungan timbal balik yang bernilai kooperatif cooperation, akan tetapi persaingan competition dan pertantangan maupun pertikaian conflict merupakan salah satu bentuk interaksi sosial itu sendiri. 57 Holsti bahkan menyebutkan, pada dasarnya segala jenis hubungan interaksi menunjukkan adanya sifat konflik. 58 55 Dalam beberapa pandangan, agama kerap ditempatkan sebagai salah satu variable pembentuk konflik, sebab semua agama yang dibawa oleh para utusan Tuhan pada hakikatnya berada dalam misi universal yang sama: pertama, memberikan afirmasi terhadap kebutuhan spiritual manusia; kedua, agama diharapkan mampu mewadahi bagi terimplementasikannya amal-amal social dan kemanusiaan. Rohadi Abdul Fatah, Sosiologi Agama. Titian Kencana Mandiri, Jakarta, 2004, hal. 114. 56 Lihat: Karen Armstong, 2001, opcit, hal: 10-11 57 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Perss, Jakarta,1996, hal. 76. 58 K. J. Holsti, Politik Nasional, Kerangka untuk Analisis. Rajawali Perss, Jakarta, 1988, hal.171. Karenanya, solusi untuk konflik sosial yang membingkai interaksi Israel-Palestina hanya dapat ditempuh melalui analisis sosial mengingat langkah ini dapat mengantarkan pemahaman pada faktor-faktor yang membentuk interaksi antar Universitas Sumatera Utara kelompok dan situasi yang membentuk interaksi tersebut pada level ketegangan maupun hubungan yang harmonis. 59 Berdasarkan pemaparan di atas, tampak jelas bahwa kunci penyelesaian konflik Israel-Palestina sesungguhnya terletak pada kedua belah pihak yang bertikai. Penyelesaian konflik Israel Palestina akan sulit tercapai manakala pihak-pihak yang terlibat konflik tidak mentaati kesepakatan yang telah diambil. Pada aspek politik, langkah bijak yang tentunya dapat dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai persoalan dari kedua belah pihak untuk mendapatkan kerja sama dengan kepentingan yang sama dari masing-masing kebijakan politik keduanya. Sementara pada aspek teologis, dialog merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan persoalan keduanya. Selain itu, aspek teologis agaknya tidak terlalu dominan mewarnai konflik, mengingat dalam sejarahnya hubungan teologis tiga agama besar pernah terjalin harmonis tanpa sentuhan tangan-tangan politik. Setidaknya, interaksi Israel-Palestina yang membentuk konflik teridentifikasi pada dua masalah besar: politik dan teologis. Jika dilacak dari latarbelakang sejarahnya, masalah politik pada prinsipnya menjadi pemicu utama yeng membentuk situasi konflik Israel-Palestina, dan argumentasi teologis tentang berbagai hal seperti: keyakinan tentang tanah yang dijanjikan; bangsa terpilih; maupun tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah; menjadi kekuatan lain yang membentuk konflik. Beberapa kalangan bahkan menganggap argumentasi teologis ini merupakan politik mitos yang diciptakan oleh bangsa Yahudi sendiri untuk melegitimasi setiap tindakannya dalam mendapatkan tanah yang dijanjikan, sehingga pandangan ini semakin berpotensi membentuk anggapan bahwa konflik Israel-Palestina murni sebagai konflik yang dipicu oleh permasalahan politik. 59 Meutia Ghani, Analisis Sosial Relasi Etno-Religius di Indonesia, Buletin: Kebebasan. No: IV2007, 2007, hal. 2-5 Universitas Sumatera Utara

C. Peranan Amerika Serikat dalam Konflik Israel dan Palestina