Klasifikasi Tindak Pidana. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Indonesia.

Menurut Lamintang bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam kitab undang- undang hukum pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan dan dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. 19 Unsur-unsur subjektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan unsur-unsur objektif, itu ialah unsur-unsur yang berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu di mana keadaan tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

3. Klasifikasi Tindak Pidana.

Perbuatan tindak pidana berdasarkan sifatnya secara kualitatif, Moeljatno menyebutkan di dalam KUHP dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana, yang terdiri dari: a. Kejahatan misdrijven, misalnya pencurian pasal 362 KUHP, penggelapan pasal 378 KUHP, penganiayaan pasal 351 KUHP, pembunuhan pasal 338 KUHP, dan sebagainya. b. Pelanggaran overtredingen, misalnya: kenakalan pasal 486 KUHP, mengemis di tempat umum pasal 504 KUHP, mengadakan pesta atau keramaian umum tanpa izin pejabat yang berwenang pasal 510 KUHP, dan sebagainya. 20 Menurut M.v.T, menjelaskan pembagian atas kedua bagian di atas didasarkan pada perbedaan prinsipil. Dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten” yaitu perbuatan- 19 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, h. 193 20 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, h. 2 perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. 21 Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Perbuatan-perbuatan pidana ini oleh Moeljatno dikatakan sebagai perbuatan yang menurut wujud dan atau sifatnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum dan merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat. Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, menurut Moeljatno biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam 22 : 1. Delik dolus dan Delik culpa tindak pidana sengaja dan kealpaan Delik dolus merupakan delik perbuatan pidana yaitu dilakukan dengan sengaja, sebagai contoh pasal 338 KUHP yang merumuskan: “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, …”. 23 Sedangkan delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak disengaja atau merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana disebutkan dalam pasal 359 KUHP: “Barangsiapa karena kesalahannya kealpaannya menyebabkan orang lain mati…”. 2. Delik commissionis dan Delikta commissionis 21 Ibid., h. 71 22 Ibid, h. 75 23 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta, PT Renika Cipta, 2005, cet ke 12, h. 134 Delik commissionis merupakan perbuatan pidana yang terjadi karena seseorang berbuat sesuatu melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri pasal 362 KUHP, menggelapkan pasal 372 KUHP, atau menipu pasal 378 KUHP, dan sebagainya. Yang termasuk di dalam delik commissionis bagi praktik kedokteran misalnnya: melakukan praktik kedokteran tanpa mimiliki SIP pasal 76 Undang-undang Praktik Kedokteran, melakukan praktik kedokteran tanpa membuat rekam medis pasal 79 huruf b Undang-undang Praktik Kedokteran. 24 Sedang delikta commissionis adalah perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana karena seseorang tidak berbuat atau melakukan sesuatau yang seharusnya ia lakukan. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, memberikan istilah lain dari delikta ommissionis yaitu delik omisi atau tindakan pasif passive handeling yang diharuskan, yang jika tidak melakukannya diancam dengan pidana. 25 Misalnya, pasal 224 KUHP keharusan menjadi saksi, pasal 164 KUHP mewajibkan untuk melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan, tatkala ia mengetahui adanya permufakatan jahat, maka orang yang tidak melaporkan permufakatan kejahatan yang oleh undang-undang diwajibkan lapor tersebut dianggap telah melakukan delikta commissionois. Dokter atau dokter gigi dapat juga terkena bentuk delikta commissionis ini berdasarkan pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran, misalnya tidak memberikan pertolongan darurat atas dasar perikemanusian, padahal ia mengetahui tidak ada orang 24 Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II, h. 33 25 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, h. 237 lain yang bertugas dan mampu melakukannya sebagiamana dimaksud dalam pasal 51 huruf a, b, c, d, dan e UU Praktik Kedokteran 26 . 3. Delik biasa dan Delik yang dikualifisir dikhususkan Pengertian delik biasa adalah perbuatan pidana yang sederhana, misalnya pencurian biasa pasal 362 KUHP, pembunuhan biasa dalam bentuk pokok pasal 338 KUHP. Sedangkan delik yang dikualifisir adalah delik biasa yang ditambah dengan unsur-unsur lain yang memperberat ancaman pidananya yang oleh Moeljatno tambahan unsur-unsur tersebutkan antara lain: a. Unsur yang khas dalam melakukan delik biasa, misalnya pencurian dengan jalan membongkar rumah atau dilakukan dengan beberapa orang pasal 363 KUHP b. Bersamaan dengan peristiwa lain, misalnya pencurian pada waktu terjadi kecelakaan, atau kebakaran. c. Dilakukan pada waktu tertentu, misalnya pencurian di malam hari. 4. Delik menerus dan Tidak menerus Dalam delik menerus, ialah perbuatan yang dilarang minimbulkan keadaan yang berlangsung terus, misalnya Pasal 221 KUHP tentang orang yang sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatan. Walaupun orang yang menyembunyikan sudah ditangkap, tetapi perbuatan yang dilarang masih dapat berlangsung terus, selama waktu persembunyiannya tersebut. 26 Undang-undang No. 29 tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, Surabaya, Kesindo Utama, 2007, h. 32 . Delik tidak menerus artinya perbuatan yang dilarang telah selesai atau habis pada saat pelaku sudah tidak melakukan perbuatan lagi, misalnya pencurian. Pencurian akan berhenti bila si pencuri sudah ditangkap dan tidak melakukan perbuatan lagi. Agak sedikit berbeda dengan Moeljatno, Rubai membedakan dan memberikan tambahan lain mengenai jenis-jenis tindak pidana adalah sebagi berikut 27 : 1. Tndak pidana formil dan Tindak pidana materil Tindak pidan formil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan kepada larangan terhadap perbuatannya. Contohnya pasal 263 KUHP tentang perbuatan memalsukan surat, pasal 267 KUHP tentang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu. Sedangkan tindak pidana materil adalah tindak pidana yang perumusannya lebih dititik beratkan kepada akibat yang dilarang. Misalnya pasal 359 KUHP yang menitik beratkan kepada terjadinya kematian sebagai akibat kekhilafan atau kelalaian dan kealpaan yang pasal ini sering dikaitkan keapada tuntutan malpraktik terhadap dokter atau dokter gigi. 2. Tindak pidana aduan dan Tindak pidana bukan aduan Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari korban, atau dengan perkataan lain, dasar penuntutan dari tindak pidana adalah pengaduan korban. Tindak pidana aduan terbagi menjadi dua yaitu: 27 Anny Isfandyari dan Fachrizal Afandi, Tanggungjawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku ke II , h. 37 Tindak pidana aduan bersifat absolut, adalah pengaduan korban merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi agar tindak pidana ini dapat dilakukan penuntutan, misalnya perzinahan pasal 284 KUHP. Tindak pidana aduan yang bersifat relatif, yang artinya tindak pidana yang sebenarnya termasuk di dalam tindak pidana bukan aduan, karena adanya hubungan khusus antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian di kalangan keluarga pasal 367 KUHP. Sedangkan tindak pidana bukan aduan adalah semua tindak pidana yang penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan dari korban yang dirugikan seperti dalam tindak pidana pembunuhan.

B. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Islam.