Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan hukum Pidana Islam.

2. Korporasi yang memiliki sarana pelanan kesehatan yang memperkerjakan dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki SIP, dipidana dengan 2 dua bentuk pidana yaitu : a. Denda Rp.400.000.000 empat ratus juta rupiah atau b. Denda Rp.400.000.000 empat ratus juta rupiah, ditambah dengan pencabutan izin 92 . Ketentuan-ketentuan pidana pada Undang-undang Praktik Kedokteran ini pada umumnya menganut sistem alternatif yang memberikan kebebasan kepada hakim untuk memilih salah satu jenis pidana yang tercantum dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

B. Tindak Pidana Profesi Kedokteran Dalam Pandangan hukum Pidana Islam.

Dalam pandangan hukum pidana Islam bahwa pembahasan mengenai tindak pidana profesi kedokteran tergolong ke dalam dua kategori tindak pidana. Apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau obyek dari tindak pidana tersebut, maka dapat dikategorikan kepada tindak pidana atas selain jiwa ا نود ﺎ ﻰ ﺔ ﺎ . Sedangkan apabila tindak pidana profesi kedokteran didasarkan kepada niat pelakunya dan mengakibatkan matinya korban, dikategorikan ke dalam pembunuhan karena kesalahan ﺄ ا . Tindak pidana profesi kedokteran yang didasarkan atas berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tergolong ke dalam tindak pidana atas selain jiwa. 92 Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. 188 Sedangakan yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Audah adalah: ا نود ﺎ ﻰ ﺔ ﺎ ﺎ ىدﺆ ﺮ نﺎ ﻹا ﻰ ىذأ آ 93 Artinya: “Setiap perbuatan menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya” . Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, maupun pemukulan, sedangakan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak tergangu. 94 Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan dalam definisi di atas adalah perbuatan menyakiti. Dengan demikian yang termasuk dalam pengertian perbuatan menyakiti, setiap pelanggaran yang bersifat menyakiti atau merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan, pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan penempelengan. Oleh karenanya yang menjadi sasaran tindak pidana ini adalah badan atau jasmani manusia, maka perbuatan yang menyakiti perasaan orang tidak termasuk dalam definisi di atas, karena perasaan bukan jasmani dan sifatnya abstrak, tidak konkret. Dalam menentukan pembagian tindak pidana selain jiwa ada dua klasifikasi, yaitu: 1 Ditinjau dari segi niatnya ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada dua bagian. a. Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. 93 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, Beirit, Muassasah Risalah, 1984, Cet ke V, Juz II, h. 204 94 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus, Dar Al-Fikr, 1989, Juz ke VI, h. 331 b. Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja. Pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, seperti dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Audah adalah: ناوﺪ ا ﺪ ا ﻰ ﺎ ا ﺪ ﺎ ﻮه ﺪ ﺎ Artinya: “Perbuatan sengaja adalah setiap perbuatan di mana pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum” . Dari definisi tersebut dapat diambil suatu asumsi bahwa dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, pelaku sengaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya perbuatannya itu mengenai dan menyakiti orang lain sebagai contoh, seseorang yang dengan sengaja melempar orang lain dengan batu, dengan maksud supaya batu itu mengenai badan atau kepalanya. Sedangkan pengertian tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau karena kesalahan adalah: ناوﺪ ا ﺪ نود ا ﻰ ﺎ ا ﺪ ﺎ ﻮه ﺄ او Artinya: “Perbuatan karena kesalahan adalah suatu perbuatan di mana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk melawan hukum” . Pembagian sengaja dan tidak sengaja al-khata’ dalam tindak pidana atas selain jiwa, masih diperselisihkan oleh para ulama. Seperti dalam tindak pidana atas jiwa, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam tindak pidana atas selain jiwa juga ada pembagian yang ketiga, yaitu syibhul‘amdi atau menyerupai sengaja. Contohnya, seperti seseorang yang menempeleng muka orang lain dengan tempelengan yang ringan, tetapi kemudian terjadi pelukaan dan pendarahan. Contoh kasus semacam ini menurut mereka tidak termasuk sengaja, melainkan menyerupai sengaja, karena alat yang digunakan yaitu tempelengan ringan, pada galibnya tidak akan menimbulkan pelukaan atau pendarahan. Namun dari segi hukumnya mereka menyamakan dengan tidak sengaja. 95 2 Ditinjau dari segi objek sasarannya. Ditinjau dari objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa baik sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi ke dalam lima bagian, yaitu: a. Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya. Yang dimaksud dengan penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya adalah tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan, baik berupa pemotongan maupun pelukaan. Dalam kelompok ini termasuk pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar kemaluan, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokan gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah. b. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh. Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Dengan demikian apabila anggota badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka perbuatannya termasuk kelompok pertama, yaitu perusakan anggota badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah menghilangkan daya pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, dan lain-lain. c. Asy-Syajjaj Yang dimaksud dengan Asy-Syajjaj adalah pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala, tetapi khusus bagian-bagian tulang saja, seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak 95 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasri Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 332 dagingnya tidak termasuk syajjaj, tetapi ulama lain berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala secara mutlak. 96 Adapun organ-organ tubuh yang termasuk kelompok anggota badan meskipun ada pada bagian muka seperti mata, telinga, dan lain-lain tidak termasuk syajjaj. d. Al-Jirah. Al-Jirah adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala, dan athraf. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. al-jirah terdapat dua macam, yaitu : 1 Al-Jaifah, yaitu pelukaan sampai ke bagian dalam dari dada dan perut, baik pelukaannya dari depan, belakang, maupun samping. 2 Ghairu Jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari dada atau perut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja. e. Tindakan selain yang telah disebutkan di atas. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok tindakan selain yang telah disebutkan di atas adalah setiap tindakan pelanggaran atau menyakiti yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan syajjaj atau jirah. Sebagai contoh dapat dikemukakan, seperti pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki, atau badan, tetapi tidak sampai menimbulkan atau mengakibatkan luka, melainkan hanya memar, muka merah, atau terasa sakit. Hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, menyerupai sengaja 96 Ibid., h. 206 dan karena kesalahan. Pengelompokan hukuman untuk sengaja, menyerupai sengaja dan kesalahan dalam tindak pidana atas selain jiwa, sebenarnya tidak begitu dipermasalahkan. Karena dalam tindak pidana atas selain jiwa realisasinya dan penerapan hukuman didasarkan atas berat ringannya akibat yang menimpa sasaran atau objek tindak pidana, bukan kepada niat pelaku. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, ditinjau dari segi objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa dibagi kepada lima bagian, yaitu perusakan anggota badan atau sejenisnya, menghilangkan manfaatnya, syajjaj, jirah, dan tindakan yang tidak termasuk keempat jenis tersebut. Hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang timbul atas beberapa jenis tindak pidana tersebut, baik perbuatannya dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi kepada dua bagian dari tindak pidana atas selain jiwa, yaitu perusakan anggota badan atau semacamnya dan menghilangkan manfaatnya. Karena sangat terkait hubungannya dalam pembahasan tindak pidana profesi kedokteran, juga pada umumnya kedua bagian tersebut merupakan tindakan yang sering terjadi dalam dunia kedokteran. Di bawah ini penulis akan menguraikan secara rinci hukuman untuk tindak pidana atas selain jiwa, yang dikaitkan dengan sasaran atau objeknya atas kedua bagian tersebut, adalah: 1. Hukuman untuk Ibanah perusakan Athraf dan semacamnya. Athraf menurut para fuqaha adalah tangan dan kaki. 97 Pengertian tersebut kemudian diperluas kepada anggota badan yang lain sejenis athraf, yaitu jari, kuku, bulu mata, gigi, 97 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, h. 333 rambut jenggot, alis, kumis, hidung, zakar kemalun, biji pelir, telinga, bibir, mata, dan bibir kemaluan perempuan. Hukuman pokok untuk perusakan athraf dengan sengaja adalah qishash, sedangkan hukuman penggantinya adala Diyat dan Ta’zir. Adapun hukuman pokok untuk perusakan athraf yang menyerupai sengaja dan kesalahan adalah diyat, sedangkan hukuman penggantinya adalah ta’zir. a. Hukuman Qishash. Hukuman qishash merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja, sedangkan diat dan ta’zir merupakan hukuman pengganti yang menempati tempat qishash. Sehubungan dengan hal tersebut, pada prinsipnya hukuman pokok qishash dan hukuman pengganti diyat dan ta’zir tidak dapat dijatuhkan bersama-sama dalam satu jenis tindak pidana, karena penggabungan hukuman dapat menafikan karakter penggantian. Konsekuensinya lebih lanjut dari karakter penggantian ini adalah bahwa hukuman pengganti tidak dapat dilaksanakan kecuali apabila hukuman pokok tidak bisa dilaksanakan. Menurut pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Hanabilah, hukuman pokok qishash tidak mungkin dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman penganti diyat dalam satu jenis pelukaan. Dengan demikian apabila si pelaku sudah di- qishash untuk sebagian pelukaan, tidak ada hukuman diyat untuk sisanya sebagian pelukaan lainnya. Oleh karena itu dalam kasus semacam ini, korban diwajibkan untuk memilih antara qishash tanpa diyat atau langsung mengambil diyat. 98 98 Abdul Qadir ‘Audah, At-tasyri’ Al-jinaiy Al-Islamiy, h. 212 Hukuman pokok yaitu qishash tidak dapat dilaksanakan atau gugur karena ada beberapa sebab. Sebab-sebab ini ada yang bersifat umum dan ada pula yang bersifat khusus yang berkaitan dengan tindak pidana atas selain jiwa, antara lain: 1 Sebab-sebab terhalangnya Qishsah yang bersifat umum. a. Korban merupakan bagian dari pelaku. Apabila korban orang yang dilukai merupakan bagian dari pelaku yang melukai maka hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan. Yang dimaksud dengan bagian di sini adalah bahwa orang yang menjadi korban tindak pidana itu adalah anaknya atau cucunya. Dengan demikian, apabila seorang ayah atau ibu melukai anaknya, ia tidak dikenakan hukuman qishash. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, Ibn Majjah, dan Baihaqi dari Umar ibn Khattab, bahwa ia mendengar Rasullah Saw bersabda: لﺎ ﷲا ﻰ ر بﺎ ا ﺮ و : لﻮ و ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر : ﺪ ﺪ ﻮ ﺎ ﺪ اﻮ ا ﻰ ﻬ او دورﺎ ا ا و ﺎ او ىﺬ ﺮ او ﺪ أ اور . 99 Artinya: “Dari Umar ibn Khattab r.a. berkata, saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Tidaklah diqishash orang tua karena membunuh anaknya” HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibn Majah, dan disahihkan oleh Ibn Jarud dan Baihaqi. b. Tidak ada keseimbangan antara korban dan pelaku. Apabila korban tidak seimbang dengan pelaku, pelaku tidak dikenakan hukuman qishash . Ukuran keseimbangan ini dilihat dari sisi korban bukan pelaku. Dasar keseimbangan menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad adalah merdeka dan Islam, sedangkan menurut Abu Hanifah adalah merdeka dan jenis kelamin. 100 99 Muhammad ibn Ismail Al-Kahlani, Subulussalam, Mesir, Syarikah Musthafa Al-Baby Al- Halaby, 1960, Juz III, h. 233 100 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri.Al-Jinaiy, h. 214 c. Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang menyerupai sengaja Syibhul ‘Amdi . Seperti telah dikemukakan di atas, menurut Imam Syafi’I dan Ahmad tindak pidana atas selain jiwa dapat terjadi dengan sengaja dan dapat pula menyerupai sengaja. Apabila perbuatan terjadi dengan sengaja maka berlaku hukuman qishash. Akan tetapi perbuatan menyerupai sengaja hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan. Sedangakan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, tidak ada perbuatan menyerupai sengaja dalam tindak pidana atas selain jiwa yang ada hanya sengaja dan kesalahan. Dengan demikian dalam tindak pidana atas selain jiwa dalam keadaan bagaimana pun tetap berlaku qishash, selama perbuatannya dilakukan dengan sengaja dan kondisinya memungkinkan. d. Tindak pidana terjadi di Dar Al-Harb. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa apabila tindak pidana atas selain jiwa terjadi di Dar Al-Harb Negara non-Islam, pelaku tidak dapat dikenakan hukuman qishash dan tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat di mana pun terjadinya tindak pidana tersebut, pelaku tetap harus dikenakan hukuman qishash. e. Qishash tidak mungkin dilaksanakan. Sebagai ilustrasi dalam masalah ini misalnya, korban sendi ibu jarinya yang sebelah atas sudah tidak ada, kemudian datang pelaku memotong sendi kedua sebelah bawah dari ibu jari tersebut. Dalam hal ini qishash tidak mungkin dilaksanakan, apabila ibu jari pelaku tersebut sempurna tidak cacat. Karena apabila qishash dilaksanakan berarti ada dua sendi yang dipotong, padahal pelaku hanya memotong satu sendi, karena sendi pertama memang sudah tidak ada. 2 Sebab-sebab terhalangnya Qishash yang khusus. a. Qishash tidak dapat dilaksanakan tanpa kelebihan. Salah satu syarat untuk dapat dilaksanakannya hukuman qishash adalah bahwa hukuman qishash harus dilaksanakan secara tepat tanpa ada kelebihan. Dalam masalah athraf anggota badan misalnya, hukuman qishash mungkin dilaksanakan dengan tepat tanpa kelebihan, apabila pemotongannya pada persendian atau pada anggota badan yang ada batas tertentu ujungnya seperti daun telinga. Apabila pemotongannya bukan pada persendian, seperti pemotongan tangan antara pergelengan dan siku para fuqaha berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian fuqaha Hanabilah tidak berlaku hukuman qishash, karena sulit untuk melaksanakan qishash dengan tepat tanpa ada kelebihan. Sedangkan menurut Imam Syafi’I dan sebagian fuqaha Hanabilah dapat dilaksanakan qishash dari persendian pertama yang termasuk objek tindak pidana, yaitu pergelangan tangan dan sisanya dibayar dengan hukumah ganti rugi. Menurut Imam Malik apabila memungkinkan dapat dilaksanakan hukuman qishash, akan tetapi apabila tidak memungkinkan maka hukuman qishash tidak dilaksanakan dan hukumannya diganti dengan diyat. b. Tidak ada kesepadanan mumatsalah dalam objek Qishash. Salah satu syarat yang lain untuk dapat diterapkan hukuman qishash adalah adanya kesepadanan atau persamaan di dalam objek qishash. Tangan misalnya, hanya dapat di- qishash dengan tangan, dan kaki hanya dapat di-qishash dengan kaki. Demikian pula anggota badan yang lainnya. Apabila tidak ada kesepadanan atau persamaan antara anggota badan yang akan di-qishash dengan anggota badan yang dirusak oleh tindak pidana, hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan, misalnya tangan tidak dapat di- qishash untuk menggantikan kaki yang dipotong. c. Tidak sama dalam kesehatan kualitas dan kesempurnaan. Syarat yang lain untuk dapat dilaksanakannya hukuman qishash adalah kedua anggota badan yang akan di-qishash dan yang menjadi korban tindak pidana harus sama seimbang baik dalam kesehatan atau kesempurnaannya. Apabila kedua anggota badan tersebut tidak sama kesehatan atau kesempurnaannya, maka hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan. Sebagai contoh, tangan yang sehat tidak dapat di-qishash untuk mengganti tangan yang lumpuh, demikian pula kaki yang sehat tidak dapat di-qishash untuk menggantikan kaki yang lumpuh. 3 Gugurnya hukuman Qishash. Di samping terhalang oleh beberapa sebab yang telah dikemukakan di atas, hukuman qishash juga dapat gugur karena beberapa sebab. Sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut: a Tidak adanya tempat objek qishash. b Pengampunan. c Perdamaian shulh b. Hukuman Diyat. Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk qishash apabila hukuman qishash terhalang karena suatu sebab, atau gugur karena sebab-sebab yang telah dibicarakan di atas. Diyat sebagai hukuman pengganti dalam tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Di samping itu diyat juga merupakan hukuman pokok apabila jinayahnya menyerupai sengaja atau kesalahan. Diyat baik sebagai hukuman pokok maupun sebagai hukuman pengganti, digunakan untuk pengertian diyat penuh kamilah yaitu seratus ekor unta. Adapun untuk hukuman yang kurang dari diyat yang penuh kamilah maka digunakan untuk hukuman dari diyat yang penuh kamilah maka digunakan istilah irsy شرإ . terdapat dua macam diyat dalam tindak pidana atas selain jiwa, yaitu diyat kamilah dan diyat ghair kamilah. Diyat kamilah atau diyat sempurna berlaku apabila manfaat jenis anggota badan dan keindahannya hilang sama sekali. Hal ini terjadi dengan perusakan seluruh anggota badan yang sejenis atau dengan menghilangkan manfaatnya tanpa merusak atau menghilangkan bentuk atau jenis anggota badan. Adapun anggota badan yang berlaku diyat sempurna adalah: 1 Anggota badan tanpa pasangan yaitu, hidung, lidah, kemaluan, tulang belakang ash-shulb , lubang kencing dan dubur, kulit, rambut, dan jenggot. 2 Anggota badan yang berpasangan yaitu, tangan, kaki, mata, telinga, alis, bibir, payudara, telur kemaluan laki-laki, bibir kemaluan perempuan, pinggul, dan tulang rahang. 3 Anggota badan yang terdiri dari dua pasang yaitu, kelopak mata dan bulu mata. 4 Anggota badan yang terdiri lima pasang atau lebih, yaitu jari tangan, jari kaki, dan gigi. Sedangkan untuk diyat ghair kamilah berlaku dalam ibanah al-athraf apabila jenis anggota badan atau manfaatnya hilang sebagian, sedangkan sebagian lagi masih utuh. Diyat ghair kamilah atau irsy ini berlaku untuk semua jenis anggota badan, baik tunggal tanpa pasangan mapun yang berpasangan. Seperti misalnya, pada pemotongan satu jari berlaku irsy muqaddar yaitu sepuluh ekor unta, dua jari dua puluh ekor unta dan seterusnya. 101 2. Hukuman untuk menghilangkan manfaat anggota badan. Menghilangkan manfaat anggota badan tidak berarti menghilangkan jenis anggota badan itu sendiri, yaitu yang hilang hanya manfaatnya saja, sedangkan jenis anggota badannya masih tetap ada. Dengan demikian apabila di samping manfaatnya, anggota badannya juga turut hilang atau rusak maka perbuatan tersebut termasuk anggota badan ibanah al-athraf , karena manfatnya mengikuti anggota badan. Hukuman untuk tindak pidana menghilangkan manfaat anggota badan ini adalah sebagai berikut: a. Hukuman Qishash. Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan qishash dalam tindak pidana menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun menurut jumhur fuqaha selama hal itu memungkinkan, tetap diupayakan untuk melaksanakannya. Apabila qishash betul-betul tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diyat. b. Hukuman Diyat. Dalam hal manfaat yang menyatu dengan angota badannya maka apabila anggota badannya hilang atau rusak, dan dengan sendirinya mengakibatkan lenyapnya manfaat, hukuman yang dijatuhkan hanya satu diyat, yaitu diyat anggota badan. Apabila manfaatnya lenyap, sedangkan anggota badanya masih tetap utuh barulah berlaku diyat manfaat. Adapun dalam hal manfaat yang terpisah dari anggota badannya, apabila 101 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, Cet II, h. 198 anggota badan hilang atau rusak karena satu tindak pidana dan manfaatnya juga turut lenyap maka dalam kasus ini pelaku dikenakan dua diyat, yaitu diyat anggota badan dan diyat manfaat. 102 Contohnya apabila seseorang memukul bagian telinga orang lain, sehingga mengakibatkan hilangnya daun telinga dan daya pendengarannya maka ia dikenakan dua diyat, yaitu diyat telinga dan diyat pendengaran. Berikut ini diyat atau ganti rugi untuk sebagian manfaat anggota badan yang dianggap sangat penting, antara lain: 1 Diyat akal. Apabila seseorang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya akal, ia dapat dikenakan hukuman diyat. Karena pada hakekatnya akal menyebabkan manusia berbeda dengan binatang, sehingga manusia dibebani taklif. Oleh karena itu wajarlah apabila seseorang melakukan tindak pidana yang menyebabkan hilangnya akal dikenakan hukuman diyat, yaitu seratus ekor unta. Ketentuan ini didasarkan kepada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Amr ibn Hazm yang di dalamnya disebutkan: ... ﻹا ﺔ ﺎ ا ﻰ و ﻰ ﻬ ا اور 103 Artinya: “…dalam perusakan akal berlaku hukuman diyat yaitu seratur ekor unta” HR. Baihaqi 2 Diyat pendengaran. Apabila terjadi suatu tindak pidana yang mengkibatkan rusak atau lenyapnya daya pendengaran, maka pelakunya dapat dikenakan hukuman diyat. Sebagaimana hadits Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Mu’adz bahwa Nabi Saw bersabda: 102 Ibid., h. 209 103 Muhammad ibn Ismail Al-Kahlani, Subulussalam, Juz III, h. 247 ... ﺔ ﺪ ا ا ﻰ و ... ﻰ ﻬ ا اور Artinya: “…Dalam melenyapkan daya pendengaran berlaku hukuman diyat…” HR. Baihaqi Di samping hadits tersebut juga ada atsar sahabat yang diriwayatkan dari Abi Qabilah, bahwa seseorang melempar orang lain dengan batu pada kepalanya sehingga hilanglah pendengarannya, akalnya, pembicaraannya, dan kejantanannya, sedang orangnya masih hidup. Maka Sayyidina Umar memutuskan dengan memberikan hukuman empat macam diyat atau empat ratus ekor unta. 3 Diyat daya penglihatan. Dalam menghilangkan daya penglihatan berlaku hukuman diyat, karena penglihatan merupakan manfaat kedua mata. Apabila hilangnnya anggota badan mewajibkan hukuman diyat, maka demikian pula menghilangkan manafaatnya. Apabila manfaat yang hilang itu sebelah maka diyatnya adalah separuh, yaitu lima puluh ekor unta. 104 Akan tetapi apabila manfaat itu hilang bersama-sama dengan hilangnya kedua mata maka hukumannya hanya satu diyat, yaitu diyat mata. 4 Diyat penciuman. Menghilangkan daya penciuman dapat dikenakan hukuman diyat. Ketentuan ini berdasarkan kepada hadits Nabi Saw dalam suratnya kepada Amr ibn Hazm, yang di dalamnya disebutkan: ﺔ ﺪ ا مﺎ ا ﻰ Artinya: “…Pada perusakan atau pelenyapan daya penciuman berlaku hukuman diyat…” 104 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 275 Apabila seseorang memotong hidung orang lain yang mengakibatkan hilangnnya daya penciuman hukumannya adalah dua diyat, karena penciuman terpisah dari hidung. Apabila daya penciuman hilang sebelah lubang maka berlaku separuh diyat, yaitu lima puluh ekor unta. 5 Diyat perasaan Dzauq. Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah, dalam melenyapkan perasaan lidah Dzauq berlaku hukuman diyat. Alasannya adalah mengkiaskan perasaan lidah kepada panca indra yang lain, seperti penciuman. Di kalangan mazhab Hambali berkembang dua pendapat. Pendapat pertama berlaku hukuman diyat, sedangkan menurut pendapat yang ke dua tidak berlaku hukuman diyat. 105 Hukuman diyat penuh ini berlaku apabila perasaan lidah hilang secara total. Akan tetapi apabila rasa yang hilang itu hanya sebagian saja maka berlaku hukumah. Menurut Imam Nawawi, indra perasa ini dapat mengetahui rasa manis, asam, pahit, asin, dan sedap yang hukuman diyatnya dibagi-bagi sesuai dengan hilangnya rasa tersebut. 106 6 Diyat kemampuan berbicara. Apabila seseorang memotong lidah orang lain sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya maka untuk semua akibat tersebut pelaku hanya dikenakan satu diyat, karena diyat kalam berbicara dan diyat rasa dzauq sudah termasuk ke dalam diyat lidah. Akan tetapi apabila seseorang melakukan tindak pidana sehingga mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara dan perasaan lidahnya 105 Ibid., 106 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1990, Cet IV, h. 361 sedangkan lidahnya masih utuh, pelaku dikenakan dua diyat. Sedangkan menurut sebagian fuqaha Hanabilah dalam kasus terakhir ini hanya berlaku satu diyat. 107 Namun apabila dalam tindak pidana profesi kedokteran didasarkan atas niat pelaku dan menyebabkan matinya korban, dalam hukum pidana Islam ia termasuk ke dalam jarimah pembunuhan karena kesalahan ﺄ ا . Sebagaiamana firman Allah di dalam Al-Qur’an : ﺄ إ ﺎ ﺆ نأ ﺆ نﺎآﺎ و ... ءﺎ ـ ا : Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja…” Q.S. An-Nisa: 92 Menurut Haliman, dalam pengertian etimologi istilah al-khata’ berarti kesalahan, keliru, tidak sengaja, salah, tersalah, dan dosa. 108 Sedangkan Abdul Qadir ‘Audah memberikan depinisi lain dari al-khata’ ialah sebagai berikut: ﺄ ا : ا نود ا ﻰ ﺎ ا ﺪ ﺎ ﻮه , ﻰ ﺄ أ ﻜ و . 109 Artinya :“Al-Khata’ ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak mempunyai maksud untuk berbuat maksiat, tetapi terjadi karena kesalahannya baik kesalahan dalam perbuatan maupun kesalahan dalam persangkaan”. Dari depinisi di atas dapat disimpulkan bahwa jarimah al-khata’ adalah suatu perbuatan tindak pidana di mana pelaku tidak bermaksud melakukan tindak kejahatan tersebut atau tidak sadar atas akibat yang terjadi karena tindakannya itu. Terdapat tiga unsur dalam jarimah al-khata’ pembunuhan tersalah, ialah 110 : 107 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 276 108 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam, h. 152 109 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h 104 110 Ahmad Dzajuli, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2000 h. 134 1 Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian; 2 Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan; 3 Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban. Dalam hukum pidana Islam mengenai sanksi pidana bagi pembunuhan karena kesalahan dikenal adanya hukuman pokok asli yaitu Diyat dan Kafarat, dan hukuman pengganti yaitu berpuasa مﻮ ا , juga adanya hukuman tambahan mengikuti ialah pencabutan hak waris dan pencabutan hak wasiat. Berikut ini penjelasan secara singkat dari ketiga hukuman tersebut: 1. Hukuman pokok ﺔ ﻷا ﺔ ﻮ ا a. Denda atau Diyat ﺔ ﺪ ا Diyat merupakan hukuman pokok dan bukan hukuman pengganti dari hukuman- hukuman yang lain, karena terhadap perbuatan yang melawan hukum dalam pembunuha karena kesalahan telah ditentukan hukumannya, dan cukup atasnya dikenakan diyat. Adapun kadar diyatnya adalah tersendiri dari pembunuhan dengan sengaja ‘amdi dan pembunuhan semi sengaja syibhul ‘amdi yaitu seratus unta. 111 Diwajibkannya diyat atas pembunuhan karena kesalahan al-khata’ dapat terbagi kedalam lima bagian seperlima, yaitu 20 ekor unta yang sedang bunting di dalamnya ada anak betina, 20 ekor unta yang bunting di dalamnya ada anak jantan, 20 ekor anak unta betina yang berumur tiga tahun, 20 ekor unta yang layak, dan 20 ekor unta yang masih muda. Pendapat ini disepakati oleh jumhur ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali yang menjadi dalil mereka adalah berdasarkan riwayat Abdullah Ibn 111 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 201 Mas’ud yang mengatakan, bahwa Rasulallah Saw bersabda: “Diyat bagi jarimah pembunuhan karena kesalahan al-khata’ ialah 20 ekor unta yang layak, 20 ekor unta yang muda, 20 ekor unta yang bunting di dalamnya ada anak betina, 20 ekor unta betina berumur tiga tahun, dan 20 ekor unta yang bunting di dalamnya ada anak jantan. Mengenai tindakan seorang dokter yang mengakibatkan kematian, menurut pendapat Abu Hanifah, As-Syatibi, dan An-Nakhai’ tidak adanya qishash, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Nu’man Basyir yang disambung riwayatnya hingga Rasulallah Saw, beliau bersabda: “Setiap cara pembunuhan itu dianggap tanpa sengaja, kecuali pembunuhan dengan pedang senjata tajam, dan setiap pembunhan tanpa sengaja itu hanya wajib denda. 112 Dalam susunan matan lain Rasullah saw bersabda: شرأ ءﺎ ﻜ و ا إ ﺄ آ ﻰ ﺎﻬ ا ﺮ أ Artinya: “Setiap suatu pembunuhan selain dengan senjata tajam dianggap tanpa sengaja dan setiap pembunuhan tanpa sengaja itu hanya wajib denda”. Diriwayatkan oleh Baihaqi Karena tindakan dokter yang mengakibatkan kematian itu tidak termasuk menggunakan alat berat seperti yang diungkapkan hadits di atas, maka termasuk ke dalam tanpa sengaja dan tidak wajib qishash melainkan denda. Akan tetapi menurut Al- Hadawiyah dan Imam Malik, apabila pembunuhan dengan alat semacam itu biasanya seperti tongkat, cambuk, serta tamparan maka wajib qishash. Sedangkan menurut Imam Syafi’I, Abu Hanifah dan mayoritas ulama sahabat dan tabi’in, tidak wajib qishash dalam pembunuhan semacam itu, karena itu menyerupai sengaja, pada pembunuhan yang menyerupai sengaja itu wajib denda seratus ekor unta. Sebagai pemberatan denda, maka di anatara seratus ekor unta tersebut harus ada 40 ekor unta yang sedang bunting. Hal ini 112 As-Shan’ani, Subulussalam, Surabaya, Al-Ikhlash, 1995, Juz III, cet 1, h. 851 berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan ulama pemilik kitab sunan selain At-Tirmidzi dari Abdullah bin Amru: ﺎﻬ ﻮ ﻰ نﻮ رأ ﺎﻬ ﻹا ﺔ ﺎ ﺎ او طﻮ اﺎ نﺎآﺎ ﺪ ا و ﺄ ا ﻰ نإو إ ﺎهد وأ ىﺬ ﺮ ا إ ا هأو ﺪ أ ﺮ أ Artinya: “Ketahuilah sesungguhnya pada pembunuhan tanpa sengaja dan menyerupai sengaja seperti pembunuhan dengan cambuk dan tongkat, seratus ekor unta dendanya, dalam seratus ekor unta ada empat puluh ekor unta yang dalam perutnya ada anaknya yang sedang bunting”. diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlu sunan selain At- Tirmidzi. b. Kafarat ةرﺎ ﻜ ا Landasan ditetapkannya hukuman kafarat ialah berdasarkan firman Allah dalam Al- Qur’an surat An-Nisa ayat 92: ... نﺈ اﻮ ﺪ نأ إ هأ ﻰ إ ﺔ ﺔ دو ﺔ ﺆ ﺔ ر ﺮ ﺮ ﺄ ﺎ ﺆ و مﻮ نﺎآ هأ ﻰ إ ﺔ ﺔ ﺪ قﺎ ﻬ و ﻜ مﻮ نﺎآ نإو ﺔ ﺆ ﺔ ر ﺮ ﺮ ﺆ ﻮهو ﻜ وﺪ ﺮﻬ مﺎ ﺪ ﺔ ﺆ ﺔ ر ﺮ ﺮ و ﷲا ﺔ ﻮ ﺎ ... ءﺎ ا : Artinya: “…Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya si terbunuh itu, kecuali jika mereka keluarga terbunuh bersedekah. Jika ia si terbunuh dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin maka hendaklah si pembunuh memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, dan jika ia si terbunuh dari kaum kafir yang ada perjanjian damai antara mereka dengan kamu maka hendaklah si pembunuh membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya si terbunuh serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia si pembunuh berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara bertaubat kepada Allah…” Q.S. An-Nisa: 92 Kafarat merupakan hukuamn pokok asli, yaitu memerdekakan hamba sahaya budak yang mukmin, dan jika tidak mendapatkannya maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut, sedangkan berpuasa merupakan hukuman pengganti, maka tidak dapat dikenakan apabila sudah dikenakan hukuman pokok asli. Secara literal Nash Al-Qur’an di atas menerangkan bahwa kafarat telah disyari’atkan terhadap pembunuhan karena kesalahan. Jumhur ulama telah sepakat bahwa kafarat wajib atas pembunuhan karena kesalahan, dan begitu juga atas pembunuhan semi sengaja syibhul ‘amdi , karena menyerupai jarimah tersalah. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang wajib tidaknya dikenakan kafarat pada setiap pembunuhan. Menurut Imam Syafi’I kafarat itu wajib dikenakan atas pembunuhan sengaja, karena apabila diwajibkan atas pembunuhan tersalah dengan tanpa penyempurnaan dari jarimah tersebut, maka diwajibkan atas pembunuhan sengaja dan semi sengaja, dan dikuatkan atas kejahatan yang pertama 113 . Pendapat ini berdasarkan riwayat Ibn Asqa’I yang berkata: “Kami datang menemui Rasullah Saw untuk menemani kami, dan telah mewajibkan pada setiap pembunuhan, Rasulallah Saw bersabda: “Merdekakanlah hamba sahaya budak niscaya Allah merdekakan setiap anggota tubuh atas anggota tubuh pada setiap pembunuhan dari api neraka”. Sedangkan Imam Ahmad sependapat dengan Syafi’I, akan tetapi yang terkenal di kalangan mazhabnya bahwa tidak ada kafarat atas pembunuhan sengaja. Mereka berpendapat bahwa tidak ada kafarat pada pembunuhan sengaja, karena Nash Al-Qur’an tersebut khusus diperuntukan bagi setiap pembunuhan dan tidak ditentukan kafarat, dan sesungguhnya Allah memberikan balasan hukuman bagi pembunuhan sengaja itu ialah qishash dari si pembunuh, berdasarkan kepada bahwa Suwaid Ibn Shamit membunuh seorang laki-laki pada masa Nabi Saw, dan mewajibkan atasnya ukuran yang setimpal dan tidak mewajibkan kafarat. 2. Hukuman pengganti ﺔ ﺪ ا ﺔ ﻮ ا 113 Abdul Qadir ‘Audah, At-tasyri’ Al-Jinay Al-Islamiy, h. 172 Hukuman pengganti dalam pembunuhan karena kesalahan, yaitu berpuasa. Berpuasa merupakan hukuman pengganti untuk hukuman kafarat yaitu memerdekakan hamba sahaya budak, tidak diwajibkan berpuasa apabila sudah memerdekakan hamba sahaya, dan apabila tidak memperoleh hamba sahaya maka diwajibkan kepadanya berpuasa. Adapun lamanya berpuasa ialah dua bulan, dan disyaratkan berpuasa berturut-turut. Apabila dalam berpuasa itu terbagi-bagi pelaksanaanya, maka dihitung waktu yang layak patut. Apabila berpuasa dari awal bulan meskipun salah satu dari bulan tersebut berkurang harinya, dan jika berpuasa pada pertengahan bulan maka dihitung jumlah harinya, dengan perumpamaan jumlah bulan 30 tiga puluh hari. 114 3. Hukuman tambahan atau mengikuti ﺔ ا ﺔ ﻮ ا a. Pencabutan hak waris ثاﺮ ا نﺎ ﺮ ا Dasar hukum yang menjadi pijakan bagi hukuman pencabutan hak waris dalam pembunuhan karena kesalahan adalah hadist dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya yang disambung sanadnya hingga Rasulullah Saw: لﺎ ﺮ : ثاﺮ ﺎ لﻮ و ﷲا ﻰ ﻰ ا ﺄ ﻮ ا ﻰ ﻚ ﺎ اور ﺎ او ﺪ أو Artinya: Dari umar berkata aku pernah mendengar Rasulallah Saw bersabda “pembunuh tidak ada hak waris” HR. Malik dalam Muwath-tha, Ahmad dan Ibn Majah. b. Pencabutan hak wasiat ﺔ ﻮ ا نﺎ ﺮ ا Sedangkan dalil yang menjadi sandaran mengenai sanksi hukuman pencabutan hak wasiat ialah seperti hadits Nabi Saw: 114 Ibid., 184 لﺎ و ﷲا ﻰ ﻰ ا ﺪ أ ﺮ : ﺄ ﺎ ا ثﺮ اور دوادﻮ أ Artinya: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Saw, ia bersada “seorang pembunh tidak dapat hak waris sama sekali” HR. Abu Daud. Kata sesuatu dalam hadits tersebut diartikan sebagai warisan dan termasuk juga di dalamnya wasiat. Nash hadits di atas dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat bahwa secara mutlak pembunuh tidak mendapat hak waris, baik pembunuhanya dengan sengaja atau pun karena keliru, diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’I, Abu Hanifah dan kebanyakan ahli ilmu. Mereka juga mengatakan bahwa pembunuh tidak mendapatkan hak waris, baik dari harta orang yang terbunuh itu sendiri maupun harta yang berasal dari diyat. 115

C. Analisa Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam.