Unsur-Unsur Tindak Pidana. Klasifikasi Tindak Pidana.

jarimah apabila dilarang oleh syara’, juga berbuat atau tidak berbuat tidak dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancamkan hukuman kepadanya. Sebagaimana disebutkan di atas, pengertian jarimah ialah larangan-larangan syara’ yang diancamkan hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang dicegah, atau meninggalkan yang disuruh. Juga bahwa dengan penyebutan kata-kata syara’ dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan nash-nash syara’, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah apabila diancamkan hukuman terhadapnya.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana.

Setiap perintah dan larangan yang datang dari syara’ itu hanya ditunjukan kepada orang yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan ﻜ , taklif, sebab pembebanan itu merupakan panggilan بﺎ , khitab, dan orang yang tidak dapat memahami seperti hewan dan benda-benda mati tidak mungkin menjadi objek panggilan tersebut. Dari pembicaraan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunnyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu 32 : a Secara yuridis normatif, di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. 33 Nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman tersebut dapat disebut juga dengan “unsur formal” آر ﻰ ﺮ , rukun syari’. 32 Ahmad hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 6 33 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, cet ke I, h. 22 b Secara yuridis normatif mempunyai unsur materil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah atau adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut “unsur materil” ىدﺎ آر, rukun maddi. c Pembuat adalah orang mukalaf, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan, dan unsur ini bias disebut “unsur moral” دأ آر , rukun adabi. Ketiga unsur tersebut harus terdapat pada sesuatu perbuatan untuk digolongkan kepada suatu “jarimah”. Di samping unsur umum pada tiap-tiap jarimah juga terdapat unsur-unsur khusus untuk dapat dikenakan hukuman, seperti unsur “pengambilan dengan diam-diam” bagi jarimah pencurian. Perbedaan antara unsur-unsur umum dengan unsur- unsur khusus ialah kalau untuk unsur-unsur umum satu macamnya pada semua jarimah, maka unsur-unsur khusus dapat berbeda-beda bilangan dan macamnya menurut perbedaan jarimah.

3. Klasifikasi Tindak Pidana.

Dalam hukum pidana Islam tindak pidana jarimah dapat berbeda penggolongannya, sesuai dengan sudut tinjauannya 34 : a. Dilihat dari segi berat ringannya hukuman, jarimah dibadi menjadi tiga yaitu: jarimah hudud دوﺪ ﺔ ﺮ , jarimah qishas diyat صﺎ ﺔ ﺮ وأ ﺔ د , dan jarimah ta’zir ﺮ ﺰ ﺔ ﺮ . 34 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 7 b. Dilihat dari segi niat si pembuat, jarimah dibagi dua yaitu: jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja . c. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif dan jarimah negatif . d. Dilihat dari segi orang yang menjadi korban yang terkena akibat perbuatan, jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat. e. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa dan jarimah politik. Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Audah, tindak pidana dapat diklasifikasikan dalam beberapa macam kriteria tertentu: Tindak pidana jarimah jika dilihat dari segi berat ringannya hukuman terbagi menjadi 35 : 1. Kejahatan hudud, دوﺪ ا اﺮ Kejahatan hudud meliputi tujuh macam jarimah, ialah jarimah perzinahan, menuduh zina Qadzaf, menkonsumsi khamar, pencurian, perampokan, murtad, dan pemberontakan. 2. Kejahatan qishas dan diyat ﺔ ﺪ او صﺎ ا اﺮ Kejahatan qishas diyat meliputi lima macam jarimah, ialah pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan serupa sengaja, pelukaan karena kesalahan. 3. Kejahatan Ta’zir, ا اﺮ ﺮ ﺰ 35 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, h. 79 Sedangkan dalam kejahatan ta’zir ialah tindak pidana yang tidak tergolong ke dalam dua jenis kejahatan di atas. Jarimah ta’zir terbagi menjadi tiga bagian 36 : a Jarimah hudud atau qishas diyat yang terdapat unsur syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pembunuhan, percobaan pencurian di kalangan keluarga. b Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh nash Al-Qur’an dan Hadits, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, dan menghina agama. c Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Ulil Amri untuk kemaslahatan umum, dalam hal ini ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum. Dilihat dari sisi maksud atau tujuan pelaku tindak pidana jarimah dibagi ke dalam: 1. Tindak pidana sengaja delik dolus, ﺔ ﺪ اﺮ Ialah tindakan atau perbuatan seseorang dengan sengaja untuk melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pembunuhan yang direncanakan sebelumnya. 2. Tindak pidana tidak sengaja atau karena kesalahan delik culpa, ﺔ ﺪ ﺮ اﺮ Jika si pelaku dengan sengaja atau tidak sengaja berbuat sesuatau dengan tidak menghendaki akibat-akibat perbuatannya atau karena kurang hati-hati, contohnya penganiayaan yang membawa kematian. Ditinjau dari sisi mengerjakannya, suatu tindak pidana jarimah tergolong ke dalam: 1. Kejahatan positif atau Delict commissionis, ﺔ ﺎ ﻹا ﺔ ﺮ Yaitu kejahatan dengan melanggar larangan yang berupa perbuatan aktif, contohnya seperti mencuri, merampok, membunuh, dan lainnya. 36 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2000, h. 13 2. Kejahatan negative atau Delict ommissionis, ﺔ ا ﺔ ﺮ Adalah kejahatan yang melanggar perintah, seperti tidak melaksanakan amanah, tidak membayar zakat bagi orang-orang yang telah wajib membayarnya dan lainnya. 3. Omisi tidak murni, ﺎ ﺮ ﺔ ﺎ ﻹا ﺔ ﺮ Contoh dari kejahatan omisi tidak murni ialah seperti seorang ibu yang tidak memberikan air susu pada anaknya dengan maksud untuk membunuhnya. Dan tindak pidana jarimah jika dilihat dari aspek kerugian korban akibat jarimah tersebut, terbagi menjadi: 1. Jarimah masyarakat, ﺔ ا ﺪ ﺔ ﺮ Adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat dan keamanannya, menurut para fuqaha penjatuhan hukuman atas perbuatan tersebut menjadi hak Allah. 2. Jarimah perseorangan, داﺮ ﻷا ﺪ ﺔ ﺮ Suatu jarimah yang mana penjatuhan hukumannya untuk melindungi kepentingan individu, contohnya pada jarimah diyat seperti hutang dan gadai. Pemaafan dari korban dapat memringankan hukuman bahkan menghapus hukuman-hukuman pokok akan tetapi tidak berarti ia bebas dan tetap dikenakan ta’zir 37 . Akan tetapi Ibn Rusyd memberikan penjelasan lain mengenai pembagian tindak pidana jarimah. Menurutnya ada lima kejahatan yang dikenai hukuman tertentu dari syara’, yaitu 38 : 37 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana, h. 9 a Kejahatan atas badan, jiwa, adan anggota-anggota badan, yaitu yang disebut pembunuhan al-qatl dan pelukaan al-jarh. b Kejahatan kelamin, yaitu yang disebut zina dan pelacuran sifah. c Kejahatan atas harta, seperti perampokan hirabah, pencurian sariqah, perampasan ghashb, dan lainya. d Kejahatan atas kehormatan, seperti contohnya tuduhan melakukan zina qadzaf. e Kejahatan berupa pelanggaran dengan membolehkan makanan dan minuman yang diharamkan oleh syara’. Hanya saja dalam syariat Islam yang dikenal dari kejahatan tersebut hanya minuman keras saja, yang hukumannya telah disepakati sepeninggalnya pembawa syari’at, Muhammad Saw. 38 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Beirut, Dar Al-Jiil 1989, cet ke I, h. 503

BAB III PROFESI KEDOKTERAN DALAM PANDANGAN HUKUM INDONESIA DAN

HUKUM ISLAM

A. Pengertian, Sejarah dan Jenis Profesi Kedokteran.

1. Pengertian Profesi Kedokteran.

Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan di Indonesia tidak terdapat dengan jelas perumusan mengenai profesi dokter. Secara bahasa etimologis pengertian dokter dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai “Lulusan pendidikan kedokteran yang ahli dalam hal penyakit dan pengobatannya” 39 Akan tetapi jika dilihat dari kedudukan dokter sebagai tenaga kesehatan yang merupakan salah satu sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan untuk mendukung terselenggaranya upaya kesehatan, maka di dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1 butir 11 Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran UU Praktik Kedokteran, memberikan rumusan tentang profesi kedokteran, yaitu: “Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat”. 40 Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan 39 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, cet ke III, h 272 40 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004, Tentang Praktik Kedokteran, Surabaya, Kesindo Utama, 2007, h 3