Tugas dan Wewenang POLRI

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa pimpinan KPK yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil anggota, yang semuanya merangkap sebagai anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 30 ayat 1. Segala hal yang berkaitan dengan hubungan kedudukan antara KPK dengan lembaga-lembaga negara lain selalu mengacu kepada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tugas dan kewenangan yang serupa dengan lembaga kejaksaan membuat KPK terkesan lebih dekat dengan cabang kekuasaan eksekutif dibandingkan dengan cabang kekuasaan legislatif maupun yudikatif. KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan kekuasaan yudikatif. Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 7 mengamanatkan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi TIPIKOR yang bertugas dan berwenang memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutanya diajukan oleh KPK. Walaupun berada di lingkungan peradilan umum terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 53 dan 54 7 Sejak 19 Desember 2006, pasal ini dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi MK RI, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun sejak putusan MK RI tersebut dibacakan. Putusan MK RI Nomor 012-016-019PUU-IV2006, h. 290 ayat 1, namun pengadilan Tipikor bersifat khusus karena berhubungan langsung dengan penuntut umum yang berasal dari KPK, bukan kejaksaan. Kedua hal inilah \, yaitu 1 pembentukan pengadilan Tipikor atas amanat Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan 2 pelimpahan perkara oleh KPK kepada pengadilan Tipikor secara langsung tanpa melalui kejakasaan, yang mempertegas kekhususan hubungan kedudukan KPK dengan cabang kekuasaan yudikatif. Keterkaitan kedudukan antara KPK dengan cabang kekuasaan kehakiman juga terlihat pada pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan landasan oleh KPK sebagai dasar hukum yang menjamin eksistensi KPK, yaitu pasal 24 ayat 3 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal ini menyatakan bahwa badan-badan selain lembaga peradilan yang memiliki fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman dapat dibentuk dan diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Keberadaan KPK dalam menjalankan tugasnya menjalin hubungan fungsional dan koordinatif dengan lembaga penegak hukum yang telah ada yaitu Kepolisian dan Kejakasaan. Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK seperti yang telah tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut diatas. Dengan adanya pemberian kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi kepada KPK, maka KPK dapat melaksanakan sebagian kewenangan dari Kepolisian dan Kejaksaan di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. 8 Hubungan fungsional antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia bersifat timbal balik, hal ini didasari dengan adanya ketentuan yang menjelaskan kedua lembaga negara tersebut dapat melakukan kerjasama dengan lembaga negara lain yang berfungsi menegakan hukum, keadilan, mengayomi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai hal ini jelas diatur dalam ketentuan Pasal 6 huruf a dan b, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berfungsi memberantas korupsi. Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan koordinasi, dan supervisi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia danatau dengan Kejaksaan Negara Republik Indonesia. Sedangkan ketentuan mengenai lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan kerjasama denga lembaga atau instansi lain yang berfungsi memberantas korupsi yaitu terdapat dalam ketentuan Pasal 42 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang secara rinci menegaskan bahwa kepolisian dalam menjalankan tugasnya dapat melakukan hubungan dan kerjasama dengan badan, lembaga serta instansi di dalam negeri dan di luar negeri yang berfungsi memberantas tindak pidana korupsi. 8 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, h. 16