Negara Hukum LANDASAN TEORI

Prinsip-prinsip negara hukum selalu berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Professor Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu negara hukum formal atau negara hukum klasik, dan negara hukum material atau negara hukum modern. Negara hukum formal menyangkut pengertian hukum yang bersifat formal dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undang tertulis. Tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut untuk menegakan ketertiban. Tipe negara tradisional ini dikenal dengan istilah negara penjaga malam. Negara hukum material mencakup pengertian yang lebih luas termasuk keadilan didalamnya. Tugas negara tidak hanya menjaga ketertiban dengan melaksanakan hukum tetapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk keadilan welfarestate. 6 Konsepsi negara hukum Indonesia berangkat dari prinsip dasar bahwa ciri khas suatu negara hukum adalah negara memberikan perlindungan kepada warganya dengan cara berbeda. Negara hukum adalah suatu pengertian yang berkembang, terwujud sebagai respon atas masa lampau. Oleh karena itu, unsur negara hukum berakar pada sejarah dan perkembangan suatu bangsa. Setiap bangsa atau negara memiliki sejarah tersendiri yang berbeda. 7 6 Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta: Ichtiar 1962, h. 9 7 Marwan Effendi, Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum Jakarta: Gramedia, 2005, h. 30-32

B. Konsep Pemisahan Kekuasaan

Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan- kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara lebih terjamin. Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke 1632-1704 dan Montesquieu 1689-1755 dan pada taraf itu ditafsikan sebagai pemisahan kekuasaan separation of power. Filsuf inggris John Locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul Two Treatis on Civil Government 1690 yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja Stuart serta untuk membenarkan Revolusi Gemilang tahun 1688 the Gloriuos Revolution of 1688 yang telah dimenangkan oleh parlemen inggris. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu: kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif, yang masing-masing terpisah satu sama lain. 8 Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1748, filsuf prancis Montesquieu mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Espirit des Lois the Spirit of the Laws. Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan o lehnya: “kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan 8 Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1977, h. 151 penguasa, maka tak akan ada kemerdekaan. Merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahkan untuk menyelenggarakan ketiga kekuasaan tersebut. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut. Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah secara absolut.. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahaan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksud agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Ketiga kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya. Pendapat tersebut tentu berbeda dengan John Locke yang memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena kekuasaan tersebut dianggapnya sangat berbeda dengan kekuasaan eksekutif. Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut oleh John Locke “federatif” dimasukannya ke dalam kekuasaan eksekutif. 9 Kenyataannya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Teori pemisahan kekuasaan trias politica Baron de Montesquieu yang membagi tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dinilai kurang relevan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan yang terus mengalami perkembangan tuntutan demokrasi. Kemudian muncullah trend di berbagai negara untuk membentuk lembaga-lembaga bantu yang bersifat independen. Di Indonesia lembaga-lembaga ini diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokrasi yang lebih efektif. 10 Lembaga-lembaga semacam ini kemudian disebut-disebut sebagai the fourth branch of the government cabang kekuasaan keempat. Istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga ini juga bervariasi mulai dari state auxiliary organ U.S.A, quasi outonomous governmental organization-quangos Prancis, agencies Inggris, lembaga negara bantu dan lainnya. Di Indonesia sendiri umumnya menggunakan istilah komisi untuk menyebut lembaga ini. 11 9 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana, 2009, h.11 10 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, h. 217 11 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006, h. 9

C. Konsep Lembaga Negara

Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintahan yang dalam bahasa inggris disebut Non-Government Organization atau Non- Gove rnmental Organization NGO’s. Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Indonesia KBBI 1997, kata “lembaga” diartikan sebagai i asal mula atau bakal yang akan menjadi sesuatu; ii bentuk asli rupa, wujud; iii acuan, ikatan; iv badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan v pola perilaku yang mapan yang terdiri dari atas interaksi sosial yang berstruktur. 12 Dalam kamus hukum Belanda-Indonesia, 13 kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan. Oleh 12 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S. Natabaya, dalam Jimly Asshiddiqie dkk. editor Refly Harun dkk.., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2004, h. 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan antar Lembaga-Lembaga Negara, Sekretariat Jendral MKRI dan KRHN, Jakarta, 2005, h. 29-30 13 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan cet- 2, 2002, h. 390