Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Memiliki kebahagiaan dalam hidup merupakan dambaan setiap orang. Menurut Aristoteles di dunia ini terdapat dua jenis kebahagiaan, yaitu kebahagiaan hedonic dan kebahagiaan eudaimonic. Kebahagiaan hedonic ialah kebahagiaan yang sekedar memberikan rasa senang, sedangkan kebahagiaan eudaimonic ialah saat seseorang merasa potensi hidupnya telah berjalan secara maksimal. Kebahagiaan eudaimonic menurut Aristoteles adalah kebahagiaan yang tidak kosong atau yang hilang setelah sumber kebahagiaan itu sudah tak terlihat mata atau tak terasa oleh indera perasa. Kebahagiaan eudaimonic lebih bersifat kejiwaan, sehingga lebih membuat jiwa seseorang sejahtera. Tiga orang peneliti dari Amerika Serikat, yaitu Michael Steger, Todd Kashdan, dan Shigehiro Oishi membuktikan perkataan Aristoteles tersebut. Mereka menemukan bahwa dalam hidup, orang akan menemukan kebahagiaan hedonic atau kebahagiaan eudaimonic . Hanya kebahagiaan eudaimonic yang berhubungan dengan kesejahteraan jiwa psychological well-being . Mereka menemukan bahwa setelah menjalani kebahagian eudaimonic , orang merasa hidupnya lebih memuaskan, merasa bahwa hidupnya lebih memiliki arti, dan merasakan emosi yang lebih positif Ramadion, 2009. Kesejahteraan psikologis sendiri merupakan suatu gambaran kualitas kehidupan dan kesehatan mental yang dimiliki seseorang. Snyder dan Lopez dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008 mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun kesejahteraan psikologis meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan dalam hidup, dan hubungan seseorang pada obyek ataupun orang lain. Berdasarkan hal tersebut, kesejahteraan psikologis mengarahkan individu yang sehat secara psikologis untuk mengontrol secara sadar kehidupannya, bertanggung jawab terhadap keadaan diri, serta mengenali diri. Ryff dan Singer dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008 menyimpulkan bahwa gambaran dari orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah mampu merealisasikan potensi dirinya secara berkesinambungan, mampu menerima diri apa adanya, mampu menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian, memiliki arti hidup, serta mampu mengontrol lingkungan. Semua orang menginginkan agar hidupnya tidak saja sejahtera secara ekonomi dan fisik, namun juga secara psikologis. Kesejahteraan psikologis dapat menjadikan gambaran mengenai level tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan apa yang diidam-idamkannya sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan akan berjuang untuk tujuan hidupnya Snyder and Lopez dalam Handayani, 2010. Individu yang merasa sejahtera akan mampu memperluas persepsinya di masa mendatang dan mampu membentuk dirinya sendiri Fredrickson dalam Handayani, 2010. Adanya perasaan sejahtera dalam diri akan membuat individu untuk mampu bertahan serta memaknai kesulitan yang dialami sebagai pengalaman hidupnya. Berbagai macam cara dilakukan seseorang untuk mencapai kesejahteraan dalam hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh untuk mencapai kesejahteraan hidup itu ialah dengan bekerja. Ada orang yang bekerja untuk mencari uang, ada yang bekerja untuk mengisi waktu luang, ada juga yang bekerja untuk mencari identitas, dan sebagainya. Bila ditelusuri lebih jauh lagi, sebuah pekerjaan lebih berkaitan dengan kebutuhan psikologis seseorang dan bukan hanya berkaitan dengan kebutuhan materi semata. Secara materi, seseorang dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya dengan bekerja. Secara psikologis, bekerja bertujuan untuk memenuhi rasa identitas, status, atau pun fungsi sosialnya Steers and Porter dalam Eliana, 2003. Seiring dengan berjalannya waktu, kondisi fisik manusia untuk bekerja ada batasannya. Semakin tua, kondisi fisik seseorang semakin menurun. Beriringan dengan hal itu, produktivitas kerjanya pun akan menurun. Selanjutnya seseorang akan diminta untuk berhenti bekerja, yang awamnya dikenal dengan istilah pensiun. Secara umum, arti kata pensiun adalah seseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena usianya sudah lanjut dan harus diberhentikan. Seseorang yang pensiun biasa mendapat uang pensiun atau pesangon. Jika mendapat pensiun, maka ia tetap mendapatkan semacam gaji sampai meninggal dunia Agustina dalam Surbakti, 2008. Masa pensiun ini dapat menimbulkan masalah karena tidak semua orang siap menghadapinya. Pensiun akan memutuskan seseorang dari aktivitas rutin yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, selain itu akan memutuskan rantai sosial yang sudah terbina dengan rekan kerja, dan yang paling vital adalah menghilangkan identitas seseorang yang sudah melekat begitu lama Warr dalam Eliana, 2003. Tidak heran masa pensiun ini menimbulkan masalah psikologis baru bagi yang menjalaninya, karena banyak dari mereka yang tidak siap menghadapi masa ini. Ketidaksiapan menghadapi masa pensiun pada umumnya timbul karena adanya kekhawatiran tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Perubahan yang diakibatkan oleh masa pensiun ini memerlukan penyesuaian diri. Atchley dalam Eliana, 2003 mengatakan bahwa proses penyesuaian diri yang paling sulit adalah pada masa pensiun. Pada umumnya usia pensiun di Indonesia berkisar antara usia 55 hingga 60 tahun, namun semua itu tergantung dari instansi yang menaunginya. Jika suatu instansi masih tetap membutuhkan individu yang bersangkutan, maka pensiun akan diperpanjang Satria dan Fakhrurrozi, 2009. Sedangkan di negara Barat usia pensiun adalah berkisar 65 tahun. Pada usia 65 tahun, secara psikologi perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa akhir late adulthood . Keadaan ini cukup berlainan dengan situasi di Indonesia dimana seseorang sudah termasuk pensiun pada tahapan dewasa menengah middle adulthood . Masa dewasa menengah ini masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik maupun kekuatan mental seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka harus bertanggung jawab dalam membesarkan anak-anak yang mulai berangkat remaja, bahkan ada yang sudah berkeluarga. Dapat dipahami bahwa pada masa ini sebetulnya masa yang penuh tantangan khususnya untuk pensiunan di Indonesia. Terlebih jika pensiunan yang masih harus membiayai kuliah anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun keadaan keuangan mulai menurun. Tidak heran jika hal ini bisa menimbulkan konsekuensi psikologis tertentu; disatu pihak mereka masih mampu bekerja tapi dipihak lain harus berhenti bekerja karena peraturan perusahaan. Jika kita meninjau siklus dunia pekerjaan dari sudut psikologi perkembangan maka kita harus peka dengan istilah turning points titik balik ataupun crisis point titik krisis. Masa ini ditandai dengan adanya suatu periode dimana ada saat untuk melakukan proses penyesuaian diri kembali dan juga melakukan proses sosialisasi kembali sejalan dengan tuntutan dari pekerjaan yang baru. Pensiun dapat dikatakan masa titik balik karena masa ini adalah masa peralihan dari seseorang memasuki dewasa akhir atau manula. Pensiun juga merupakan titik krisis karena terjadi akibat ketidakmampuan seeorang untuk mencari pekerjaan atau merupakan langkah akhir dalam perjalanan karir seseorang. Ditinjau dari sudut pandang psikologis, pensiun menyebabkan seseorang akan mempertanyakan kembali “Siapa diriku?”. Hal ini dikenal dengan istilah konsep diri, atau self concept . Menurut Sullivan dalam Wrightsman 1993 dalam Eliana, 2003 konsep diri adalah bagaimana kita melihat diri kita sebagaimana orang lain melihat kita. Prinsipnya adalah penilaian yang direfleksikan kembali atau reflected appraisal . Konsep diri merupakan hal yang penting artinya dalam kehidupan seseorang, karena konsep diri menentukan bagaimana seseorang bertindak dalam berbagai situasi. Jika kita memahami konsep diri seseorang kita akan mampu memahami tindakan dan juga dapat meramalkan tingkah lakunya dikemudian hari. Konsep diri berkatian dengan kesehatan mental seseorang Biren, 1980. Dengan kata lain jika konsep diri seseorang positif maka hal ini akan mempengaruhi kesehatan mentalnya juga. Hurlock dalam Eliana, 2003 mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai konsep diri positif adalah jika ia berhasil mengembangkan sifat-sifat percaya diri, harga diri dan mampu melihat dirinya secara realistik. Dengan adanya sifat –sifat seperti ini orang tersebut akan mampu berhubungan dengan orang lain secara akurat dan hal ini akan mengarah pada penyesuaian diri yang baik di lingkungan sosial. Orang yang mempunyai konsep diri negatif sebaliknya akan merasa rendah diri, inadekuat, kurang percaya diri. Diprediksi bahwa orang yang mempunyai konsep diri negatif akan mengalami hambatan dalam proses penyesuaian dirinya dilingkungan baru. Masa pensiun bisa mempengaruhi konsep diri, karena pensiun menyebabkan seseorang kehilangan peran role , identitas dalam masyarakat yang dapat mempengaruhi harga diri mereka Turner dalam Eliana, 2003. Pensiun akan menyebabkan seseorang kehilangan perannya dalam masyarakat yang selanjutnya mempengaruhi statusnya dan pada akhirnya bisa mempengaruhi konsep diri menjadi negatif. Selain itu, mereka juga kehilangan prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah juga karena kehilangan peran Eyde dalam Eliana, 2003. Akibat psikologis dari hal ini adalah nantinya akan mempengaruhi kesehatan mental seseorang, dan juga proses penyesuaian dirinya. Sedangkan akibat dari fisik adalah bisa menimbulkan gangguan penyakit yang dikenal dengan istilah retirement syndrome . Menurut Turner Helms dalam Handayani, 2008 hilangnya harga diri karena hilangnya jabatan, membuat individu merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya. Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang diemban. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa individu yang masih bekerja memiliki derajat self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah tidak bekerja lagi. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi. Bengston dalam Eliana, 2003 mengemukakan bahwa harga diri seorang pria biasanya dipengaruhi oleh pensiunnya mereka dari pekerjaan. Untuk mempertahankan harga dirinya, harus ada aktivitas pengganti untuk meraih kembali keberadaan dirinya. Dalam hal ini berkurangnya harga diri dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti feeling of belonging perasaan memiliki, feeling of competence perasaan mampu, dan feelling of worthwhile perasaan berharga. Ketiga hal yang disebutkan di atas sangat mempengaruhi harga diri seseorang dalam lingkungan pekerjaan. Begitu pentingnya konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang di lingkungannya sehingga diharapkan seseorang dapat mempunyai penilaian yang positif mengenai dirinya. Evaluasi terhadap diri berkaitan dengan harga diri, orang yang mempunyai penilaian positif mengenai dirinya akan mempunyai harga diri yang tinggi, sebaliknya orang yang mempunyai penilaian yang negatif mengenai dirinya akan mempunyai harga diri yang negatif Deaux dalam Eliana, 2003. Konsep diri yang positif akan memungkinkan seseorang untuk bisa bertahap menghadapi masalah yang mungkin saja muncul. Selain itu akan membawa dampak positif pula pada orang lain disekitarnya. Sebaliknya konsep diri yang negatif adalah merupakan penilaian yang negatif mengenai diri sendiri. Efek dari konsep diri yang negatif ini akan mempengaruhi baik itu hubungan interpersonal maupun fungsi mental lainnya. Benner dalam Eliana, 2003. Konsep diri yang sehat akan mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Orang akan mampu coping terhadap perubahan dan peristiwa yang menekan jika mempunyai konsep diri yang sehat dalam Eliana, 2003. Menurut Ryff dan Singer dalam Tenggara, Zamralita, dan Suyasa, 2008 kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, kelas sosial, dan latar belakang budaya. Ryff dalam Putri dan Suryadi, 2007 juga mengatakan bahwa individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. Selain itu, Hoyer dan Roodin menambahkan bahwa kemampuan mengontrol diri, otonomi, tingkat aktivitas dan istirahat dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam Putri dan Suryadi, 2007. Terkait dengan kemampuan mengontrol diri, ada wacana baru yang mengungkap suatu kemampuan individu dalam menghadapi masalah sehingga individu tersebut dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik. Kemampuan ini oleh Paul G. Stoltz 2000 dinyatakan dengan adversity intelligence . Menurut Paul G. Stoltz adversity intelligence memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengadapi kegagalan, kondisi-kondisi sulit, dan tekanan. Dengan adversity intelligence , seseorang tidak hanya dapat menghadapi kondisi sulit dan kegagalan namun juga dapat mengubahnya menjadi peluang untuk meraih kesuksesan yang lebih besar. Adversity intelligence sendiri merupakan derajat kemampuan seseorang dalam bertahan dan menanggulangi situasi yang dianggapnya sebagai masalah. Satu proses yang dimulai dari persepsi seseorang terhadap sebuah situasi yang menentukan tindakan orang itu dalam menghadapi situasi tersebut. Tindakan ini akan menjadi pola reaksi dari individu yang mana pola ini dapat berubah dan diubah. Selanjutnya adversity intelligence AQ akan berinteraksi dengan kecerdasan umum IQ dan kecerdasan emosional EQ sehingga memungkinan individu mampu menghadapi rintangan hidup. Surekha dalam Wijaya, 2007 menambahkan bahwa adversity adalah kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola –pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan. Mereka yang berada dalam masa pensiun tentunya ingin menikmati semua hasil jerih payah mereka selama bekerja, dengan hidup bahagia dan sejahtera. Pada kenyataannya tidak semua individu yang mengalami permasalahan dalam masa pensiun mampu mengatasi masalahnya tersebut untuk mencapai kesejahteraan secara psikologis. Beberapa dari mereka cenderung pesimis dengan kemampuan diri mereka dimasa pensiun dan menganggap diri mereka tidak mampu. Akan tetapi ada juga dari mereka yang optimis dan mampu untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi, sehingga dapat meraih kesejahteraan secara psikologis. Seligman dalam Stoltz, 2000 menyatakan perbedaan individu yang pesimis dan optimis sebagai perbandingan seseorang yang memiliki adversity intelligence yang tinggi atau rendah. Permasalahan yang terjadi pada mereka yang menjalani masa pensiun tentunya dapat direduksi apabila mereka memiliki adversity intelligence yang tinggi. Hal ini dikarenakan masalah-masalah yang didapatkan dalam menjalani masa pensiunnya dapat dihadapi dengan baik, sehingga segala macam tujuan yang mereka cita-citakan untuk dapat menikmati masa pensiun dengan bahagia dan sejahtera secara psikologis pun dapat tercapai. Dari berbagai uraian di atas dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara adversity intelligence seseorang dalam mencapai kesejahteraan secara psikologis. Banyak penelitian sebelumnya tentang adversity intelligence pada remaja. Ada beberapa penelitian juga yang meneliti tentang kesejahteraan psikologis dalam bidang industri. Akan tetapi belum banyak penelitian yang menyoroti kemampuan individu dalam mencapai kesejahteraan psikologis dari segi internal pada para pensiunan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin meneliti tentang hubungan antara adversity intelligence dan kesejahteraan psikologis pada pensiunan.

B. Rumusan Masalah