Bahasa figurasi majas Analisis Unsur Fisik Puisi “Seonggok Jagung” .1 Diksi pemilihan kata
a Metafora
Metafora adalah sebuah kiasan langsung tapi tidak menggunakan kata pembanding, atau melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain Becker via
Pradopo, 2009:66. Penggunaan metafora pada puisi “Seonggok Jagung” terdapat pada bait kedua dan keenam,
Bait ke dua:
Memandang jagung itu, sang pemuda melihat ladang
ia melihat petani; ia melihat panen;
...................................
Bait ke enam:
Ia memandang jagung itu dan melihat dirinya terlunta-lunta.
Ia melihat dirinya ditendang dari discotique. Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalage.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor. Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal. ...............................................................
Penggunaan majas metafora pada kedua bait di atas cukup jelas. Penyair memberikan kiasan bahwa dengan memandang jagung pemuda itu seolah-alah
melihat petani, panen, dirinya yang terlunta-lunta, dirinya yang ditendang dari discotique, saingannya naik motor, nomor-nomor lotre, dan melihat dirinya yang
miskin dan gagal.
b Ironi
Ironi adalah penggunaan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir atau mengkritik Waluyo, 1987:89. Penggunaan ironi pada puisi “Seonggok Jagung”
terdapat pada bait kelima dan kedelapan. Berikut penjelasannya. Bait ke lima:
Seonggok jagung di kamar dan seorang pemuda tammat S.L.A.
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Pada bait di atas, penyair melukiskan potret kehidupan seorang pemuda yang tidak bisa melanjutkan sekolahnya, karena berasal dari keluarga yang kurang
mampu. Tujuan penyair melukiskan hal tersebut yaitu menyindir adanya ketidakadilan dalam dunia pendidikan bangsa kita. Secara tak langsung penyair
ingin mengatakan, jika tidak memiliki uang, kita tidak dapat melanjutkan sekolah dan tidak memiliki pekerjaan. Hal itu dipertegas oleh penyair pada baris ke 3 bait
di atas. Bait ke delapan:
Aku bertanya: Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibu kota kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja, bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi ”
Bait di atas menjelaskan bahwa penyair meggambarkan secara sinis kemunduran dunia pendidikan. Selain itu, penyair secara tak langsung menyindir
pemerintah yang kurang menyediakan lapangan pekerjaan khususnya untuk masyarakat miskin. Penggunaan kata-kata yang cukup keras oleh penyair dapat di
lihat pada baris yang dipertebal oleh penulis.