Kata konkret Analisis Unsur Fisik Puisi “Seonggok Jagung” .1 Diksi pemilihan kata
menyeluruh. Seperti halnya pengimajinasian, kata yang diperkonkret juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang Waluyo, 1987:81. Dalam
puisi “Seonggok Jagung”, penyair sudah memberikan gambaran yang membuat pembaca bisa memahami maksud penyair. Pengkonkretan kata oleh penyair
terdapat pada bait 2, 5, 6, 7, dan bait 8. Bait 1, 3, dan bait 4 tidak terdapat kota konkret karena kata-kata yang digunakan penyair sederhana dan bisa dimengerti
oleh pembaca. Untuk memperkonkret gambaran masyarakat yang tidak bekerja dan tidak
bersekolah oleh penyair, terdapat pada bait kedua
.......................... sang pemuda melihat ladang
ia melihat petani; ia melihat panen;
dan suatu hari subuh, para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ......................... Dan ia juga melihat
suatu pagi hari di dekat sumur
gadis-gadis bercanda sambil menumbuk jagung
Ungkapan penyair pada bait tersebut cukup jelas menggambar bahwa masyarakat di desa itu khususnya wanita pergi ke pasar, seharusnya yang mencari
nafkah adalah suami mereka. Selain itu juga para gadis-gadis menumbuk jagung, seharusnya para gadis tersebut pergi ke sekolah. Pengkonkretan tersebut diperkuat
dengan kata-kata suatu hari subuh, suatu pagi hari. Untuk memperkonkret gambaran seorang pemuda yang gagal melanjutkan
pendidikannya karena keterbatasan biaya, penyair menulis pada bait kelima
Seonggok jagung di kamar, dan seorang pemuda tammat S.L.A., Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa., Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ungkapan penyair tersebut cukup jelas melukiskan kehidupan seorang pemuda yang kurang beruntung. Pemuda tersebut tidak bisa melanjutkan pendidikannya,
karena ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Hal itu mengakibatkan pemuda tersebut hanya bisa menggarap jagung di ladang.
Untuk melukiskan kemalangan nasib seorang pemuda, penyair menulis pada bait keenam, Ia melihat dirinya terlunta-lunta., Ia melihat dirinya
ditendang dari discotique., Ia melihat saingannya naik sepeda motor., Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.. kata-kata tersebut merupakan kata
konkret yang diciptakan penyair untuk melukiskan nasib malang sang pemuda yang kurang beruntung, dan pemuda tersebut hanya bisa meratapi dirinya sendiri.
Pada bait ketujuh, penyair menggambarkan bahwa sang pemuda membutuhkan perhatian dari pemerintah dan bantuan dari orang kaya. Kata-kata yang digunakan
penyair yaitu, Seonggok jagung di kamar, tak akan menolong seorang pemuda, yang pandangan hidupnya berasal dari buku,, Yang tidak terlatih dalam
metode,, tetapi kurang latihan bebas berkarya.. Untuk melihat protes penyair akan ketidakadilan tersebut, dapat dilihat
pada bait ke delapan.
Aku bertanya: Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibu kota
kikuk pulang ke daerahnya ? Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja,
bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi ”
Pada bait di atas, “bila hanya” merupakan kata-kata konkret yang diciptakan penyair untuk mempertegas kalimat sebelumnya yang berupa protes
dari penyair, yaitu “apa gunanya pendidikan”. Hal itu memperkuat argumentasi penyair untuk membenarkan protes ketidakadilan.
Pengkonkretan kata oleh penyair tersebut dapat membantu pembaca membayangkan secara jelas peristiwa atau kejadian yang dilukiskan oleh penyair.
Dalam puisi “Seonggok Jagung”, W. S. Rendra tidak hanya membeberkan adanya ketidakrelevan pendidikan, namun ia memperkuatnya dengan data-data yang
menciptakan kata konkret.