1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak merupakan iuran masyarakat yang dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara. Selain itu pajak
merupakan salah satu unsur penerimaan negara yang memiliki kontribusi yang sangat besar dan semakin diandalkan untuk kepentingan
pembangunan dan pengeluaran pemerintahan. Menurut Soemitro 1990: 5 pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang
dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal kontraprestasi, yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Untuk mengoptimalkan penerimaan pajak, pemerintah mengadakan
reformasi perpajakan tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan undang-undang Nomor 16
Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dengan reformasi perpajakan tersebut sistem pemungutan pajak di Indonesia
berubah dari official assessment system menjadi self assessment system. Official assessment system
merupakan sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak. Sedangkan self assessment system merupakan suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk
menentukan besarnya pajak terutang. Dalam sistem ini peran pemerintah fiskus hanya memberikan pengarahan, penerangan dan pengawasan.
Dalam self assessment system, SPT Surat Pemberitahuan merupakan sarana yang paling penting bagi wajib pajak. SPT Surat Pemberitahuan
adalah sarana yang paling mutlak bagi wajib pajak untuk melaporkan pajak terutangnya dengan benar semua hal tentang wajib pajak mulai dari
identitas, kegiatan usaha atau gambaran pekerjaan hingga jumlah kekayaan harta yang semuanya berkaitan dengan perpajakan. Oleh karena itu
perhatian secara penuh diberikan pada penyempurnaan SPT baik dalam masalah bentuk, isi dan susunannya sehingga SPT merupakan cara yang
paling tepat untuk memenuhi tujuan perpajakan. Menurut Tarjo dan Kusumawati 2006, keuntungan self assessment
system adalah wajib pajak diberi kepercayaan oleh pemerintah fiskus
untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Kelemahan
self assessment system adalah memberikan kepercayaan kepada wajib
pajak untuk menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak terutangnya. Dalam praktik pelaksanaan self assessment system sulit
berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena wajib pajak masih mengalami kebingungan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Hal ini dapat dilihat dari tingkat kesadaran wajib pajak yang masih rendah dan banyaknya wajib pajak yang dengan sengaja tidak patuh
dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Rendahnya kepatuhan
dan kesadaran wajib pajak ini bisa terlihat dari sangat kecilnya jumlah mereka yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP dan cara
wajib pajak yang melaporkan SPT tahunannya. Persepsi wajib pajak dapat dipengaruhi oleh latar belakang wajib
pajak. Persepsi wajib pajak yang bersifat subyektif dapat menghasilkan penilaian yang sama atau berbeda, meskipun obyek yang dinilai sama.
Munculnya persepsi wajib pajak dapat ditentukan oleh tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan.
Menurut Purwantini dan Suratno 2004, Undang-undang pajak penghasilan Tahun 2000 pada kenyataannya tidak sesederhana seperti
yang diidealkan dan tingkat pendidikan mayoritas masyarakat di Indonesia masih tergolong rendah. Jika pemahaman masyarakat
Indonesia masih rendah maka dapat dipastikan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia tentang perpajakan pun rendah. Karena
pemahaman dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang perpajakan masih rendah maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman wajib pajak
terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan pun cenderung negatif. Menurut Ningrum 2012, tingkat pendidikan mempengaruhi persepsi terhadap
self assessment system . Wajib pajak dengan tingkat pendidikan yang rendah
diduga akan mempunyai persepsi tidak setuju terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Sebaliknya, wajib pajak dengan tingkat pendidikan yang tinggi
diduga akan mempunyai persepsi setuju terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Menurut pendapat Engels sebagaimana dikutip oleh Shiddiq 2011, kepala keluarga yang berpendapatan rendah, tingkat kesadaran
membayar PBB menjadi rendah karena banyak dari pendapatan mereka untuk konsumsi sehari-hari, sehingga tidak bisa menabung termasuk
memenuhi pembayaran PBB. Sedangkan kepala keluarga yang berpendapatan tinggi, tingkat kesadaran juga tinggi dalam membayar
PBB karena mereka mampu menabung dan bisa menyisihkan untuk keperluan lain termasuk membayar PBB.
Berdasarkan hal tersebut, jika dihubungkan dengan self assessment system maka wajib pajak yang
berpenghasilan rendah diduga akan mempunyai persepsi yang cenderung negatif terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Sedangkan wajib pajak
yang berpenghasilan tinggi diduga akan mempunyai persepsi yang cenderung positif terhadap pemenuhan kewajiban perpajakannya.
B. Rumusan Masalah