Tahap Pengambilan Keputusan Matriks Grand Strategi

46 Peluang 2. Turn around 1. Agresif Kelemahan Kekuatan 3. Defensif 4. Diversifikasi Ancaman Gambar 4. Penentuan Matriks Grand Strategi Keterangan : Kuadran 1 : Strategi Agresif yaitu strategi memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang Kuadran 2 : Strategi Turnaround yaitu strategi memanfaatkan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada Kuadran 3 : Strategi Defensif yaitu strategi berusaha menghindari ancaman dan meminimalkan kelemahan Kuadran 4 : Strategi Diversifikasi yaitu strategi mengatasi ancaman dengan meraih peluang

3. Tahap Pengambilan Keputusan

Setelah dua tahapan teratas selesai diidentifikasi dan dianalisis, maka tahap selanjutnya adalah menyusun daftar prioritas yang harus dilakukan. Pada tahapan ini empat strategi yang telah dirumuskan dalam tahapan sebelumnya SO, ST, WO, WT dikaji ulang dan kemudian diambil keputusan strategi mana yang paling menguntungkan, efektif dan efisien bagi organisasi untuk diterapkan dari strategi-strategi yang ada yang pada akhirnya akan dapat dijadikan acuanpedoman dalam melakukan programkegiatan selanjutnya. Universitas Sumatera Utara 47

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Langkat

Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah yang berada di Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Langkat berada pada 3° 14’sampai 4° 13’ Lintang Utara, 97° 52’ sampai 98° 45’ Bujur Timur dan 4 sampai 105 m dari permukaan laut. Kabupaten Langkat menempati area seluas ± 6.263,29 Km 2 626.329 Ha yang terdiri dari 23 kecamatan dan 240 desa serta 37 kelurahan definitif. Area Kabupaten Langkat di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang dan Selat Malaka, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara Tanah Alas, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Seperti umumnya daerah-daerah lainnya yang berada di kawasan Sumatera Utara, Kabupaten Langkat termasuk daerah yang beriklim tropis, sehingga daerah ini memiliki 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau dan musim hujan biasanya ditandai dengan sedikit banyaknya hari hujan dan volume curah hujan pada bulan terjadinya musim. Curah hujan rata-rata pada tahun 2011 berkisar antara 75,47 mm sampai dengan 373,18 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan Oktober 2011, hari hujan rata-rata per bulan berkisar 5,35 – 19,71 hari. Berdasarkan luas daerah menurut kecamatan di Kabupaten Langkat, luas daerah terbesar adalah kecamatan Bahorok dengan luas 1.101,83 km2 atau 17,59 persen diikuti kecamatan Batang Serangan dengan luas 899,38 km2 atau 14,36 persen. Sedangkan luas daerah terkecil adalah kecamatan Binjai dengan luas 42,05 km2 atau 0,67 persen dari total luas wilayah Kabupaten Langkat. Luas Area tiap kecamatan di Kabupaten Langkat dan rasio luas area tiap kecamatan terhadap luas total Kabupaten Langkat dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 48 Tabel 4. Luas Daerah Menurut Kecamatan km 2 dan rasio terhadap total No Kecamatan Luas Area km 2 Rasio terhadap total 1 Bahorok 1.101,83 17,59 2 Serapit 98,50 1,57 3 Salapian 221,73 3,54 4 Kutambaru 236,84 3,78 5 Sei Bingai 333,17 5,32 6 Kuala 206,23 3,29 7 Selesai 167,73 2,68 8 Binjai 42,05 0,67 9 Stabat 108,85 1,74 10 Wampu 194,21 3,10 11 Bt. Serangan 899,38 14,36 12 Sawit Seberang 209,10 3,34 13 Padang Tualang 221,14 3,53 14 Hinai 105,26 1,68 15 Secanggang 231,19 3,69 16 Tj. Pura 179,61 2,87 17 Gebang 178,49 2,85 18 Babalan 76,41 1,22 19 Sei Lepan 280,68 4,48 20 Brandan Barat 89,80 1,43 21 Besitang 720,74 11,51 22 Pangkalan Susu 151,35 2,42 23 Pematang Jaya 209 3,34 Total 6.263,29 Sumber : Kabupaten Langkat Dalam Angka 2012 Kabupaten Langkat secara administratif ibukotanya adalah Stabat. Berdasarkan angka hasil sensus penduduk tahun 2010 penduduk Kabupaten Langkat berjumlah 967.535 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 154,48 jiwa per km 2 . Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Langkat pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2000 adalah sebesar 0,88 persen pertahun. Untuk tahun 2011 berdasarkan hasil proyeksi penduduk Kabupaten Langkat berjumlah 976.582 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Stabat yaitu sebanyak 82.739 jiwa dengan kepadatan penduduk 760,12 jiwa per km 2 sedangkan penduduk paling sedikit berada di Kecamatan Pematang Jaya sebesar 13.114 jiwa. Kecamatan Binjai merupakan kecamatan yang paling padat penduduknya dengan kepadatan 1.015,96 jiwa per km 2 dan Kecamatan Bahorok merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terkecil yaitu sebesar 36,51 jiwa per km 2 . Universitas Sumatera Utara 49 Jumlah KelurahanDesa, Ibukota Kecamatan, Jarak Ibukota Kecamatan ke Stabat, Jumlah Penduduk per Kecamatan disajikan pada Tabel 5 dibawah ini. Tabel 5. Jumlah KelurahanDesa, Ibukota Kecamatan, Jarak Ibukota Kecamatan ke Stabat, Jumlah Penduduk per Kecamatan No Kecamatan Jumlah Ibukota Jarak Ibukota Jumlah Kelurahan Kecamatan Kecamatan ke Penduduk Stabat per Kecamatan 1 Bahorok 19 Pekan Bahorok 73 40.208 2 Serapit 10 Sidorejo 60 16.044 3 Salapian 17 Minta Kasih 55 26.137 4 Kutambaru 8 Kutambaru 65 13.520 5 Sei Bingai 16 Namu Ukur Sltn 45 48.754 6 Kuala 16 Pekan Kuala 40 39.486 7 Selesai 14 Pekan Selesai 30 70.035 8 Binjai 7 Kwala Begumit 23 42.875 9 Stabat 12 Stabat Baru 83.093 10 Wampu 14 Bingai 5 40.951 11 Bt. Serangan 8 Bt. Serangan 31 35.310 12 Sawit Seberang 7 Sawit Seberang 28 25.410 13 Padang Tualang 12 Tj. Selamat 36 47.073 14 Hinai 13 Kebun Lada 14 48.228 15 Secanggang 17 Hinai Kiri 23 65.909 16 Tj. Pura 19 Pekan Tj. Pura 18 65.030 17 Gebang 11 Pekan Gebang 32 42.919 18 Babalan 8 Pelawi Utara 40 56.920 19 Sei Lepan 14 Alur Dua 40 47.215 20 Brandan Barat 7 Tangkahan Durian 45 22.118 21 Besitang 9 Pekan Besitang 61 44.338 22 Pangkalan Susu 11 Bukit Jengkol 63 41.907 23 Pematang Jaya 8 Limau Mungkur 75 13.102 Jumlah 277 976.582 Sumber : Kabupaten Langkat Dalam Angka 2012 Jumlah penduduk Kabupaten Langkat perjenis kelamin lebih banyak laki- laki dibandingkan penduduk perempuan. Pada tahun 2011 jumlah penduduk laki- laki sebesar 492.271 jiwa sedangkan penduduk perempuan sebanyak 484.311 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 101,64. Jumlah pencari kerja yang terdaftar di Kabupaten Langkat pada tahun 2011 sebanyak 1.966 orang yang terdiri dari 721 tenaga kerja laki-laki dan 1.245 perempuan. Pencari kerja yang terdaftar tersebut paling banyak mempunyai tingkat pendidikan tamat SLTA umumkejuruanlainnya yaitu 1.224 orang atau Universitas Sumatera Utara 50 62,26 sedangkan sarjana lengkap 84 orang atau 4,27, SLTP umumsederajat 283 orang atau 14,39 dan sisanya tamat DIDIIDIII 250 orang atau 12,72 dan tamat SD 125 orang atau 6,36. Penduduk Kabupaten Langkat sebagian besar bekerja disektor pertanian yaitu sebesar 154.112 orang atau sebesar 50,77, sektor industrikerajinan sebesar 11.548 orang atau 3,81, sektor perdagangan sebesar 30.538 orang atau sebesar 10, PNSABRI sebesar 16.125 orang atau sebesar 5,31, sektor angkutan sebesar 9.853 atau sebesar 3,25 dan sektor lainnya sebesar 81.385 orang atau sebesar 26,81. Berdasarkan golongan umur, penduduk Kabupaten Langkat yang berusia 0-14 tahun sebesar 311.119 orang atau 31,86, usia 15-59 tahun sebesar 605.710 orang atau 62,02 dan usia 60 tahun keatas sebesar 59.753 orang atau sebesar 6,12, berarti jumlah penduduk usia produktif yaitu usia 15-59 tahun di Kabupaten Langkat lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia non produktif yaitu usia 0-14 tahun dan 60 tahun keatas.

B. Populasi Ternak Sapi Potong

Kabupaten Langkat merupakan kabupaten yang mempunyai populasi ternak sapi potong terbanyak dibandingkan dengan kabupaten – kabupaten lain di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebanyak 152.115 ekor ternak sapi potong atau sebesar 24,94 dari jumlah total populasi sapi potong di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebanyak 609.951 ekor, disusul oleh Kabupaten Simalungun sebanyak 104.235 ekor ternak sapi potong atau sebanyak 17,1 sedangkan kabupaten yang mempunyai populasi ternak sapi potong terendah adalah Kabupaten Nias Selatan dengan jumlah populasi ternak sapi potong sebanyak 105 ekor atau sebesar 0,02 dari jumlah total populasi ternak sapi potong di Provinsi Sumatera Utara. Jumlah ternak sapi potong di Kabupaten Langkat pada tahun 2012 disajikan pada Tabel 6 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 51 Tabel 6. Jumlah Sapi Potong di Kabupaten Langkat per Kecamatan No Kecamatan Jumlah Sapi Potong ekor 1 Bahorok 12.524 2 Serapit 3.110 3 Salapian 6.324 4 Kutambaru 4.155 5 Sei Bingai 5.484 6 Kuala 6.825 7 Selesai 10.310 8 Binjai 5.957 9 Stabat 6.969 10 Wampu 7.970 11 Bt. Serangan 13.966 12 Sawit Seberang 10.385 13 Padang Tualang 8.799 14 Hinai 5.181 15 Secanggang 9.496 16 Tj. Pura 3.753 17 Gebang 5.365 18 Babalan 2.031 19 Sei Lepan 5.483 20 Brandan Barat 3.199 21 Besitang 5.531 22 Pangkalan Susu 3.410 23 Pematang Jaya 5.886 Jumlah 152.115 Sumber : Dinas Peternakan Kabupaten Langkat 2012 Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa Kecamatan yang memiliki populasi ternak terbesar adalah Kecamatan Batang Serangan dengan jumlah ternak sapi potong sebesar 13.966 ekor atau 9,18 dari jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Langkat, sedangkan kecamatan yang memiliki populasi ternak sapi potong terendah adalah Kecamatan Babalan dengan jumlah ternak sapi potong sebesar 2.031 ekor atau 1,34 dari jumlah populasi ternak sapi potong yang ada di Kabupaten Langkat.

C. Karakteristik Responden Penelitian

Responden yang diteliti pada kegiatan penelitian ini berada pada 5 lima wilayah kecamatan di Kabupaten Langkat yaitu dari Kecamatan Selesai, Kecamatan Kuala, Kecamatan Padang Tualang, Kecamatan Binjai dan Kecamatan Universitas Sumatera Utara 52 Wampu dengan jumlah responden sebanyak 150 orang yang terdiri dari 75 orang responden yang ternaknya melaksanakan teknologi Inseminasi Buatan dan 75 orang responden yang ternaknya melaksanakan kawin alam, dengan jumlah responden sebanyak 30 orang tiap kecamatan dimana penelitian ini dilaksanakan. Karakteristik responden penelitian ini meliputi usiaumur, lama beternak, pendidikan, pekerjaan, jumlah ternak yang dipelihara, jumlah ternak betina produktif yang dipelihara . 1 UsiaUmur Didalam melaksanakan suatu rencana program pembangunan dibutuhkan gambaran komposisi penduduk berdasarkan usiaumur yang akan berguna untuk mencerminkan ketersediaan sumber daya manusia dan mempertimbangkan bagaimana metode pembinaan dan penyampaian program pembangunan tersebut sehingga mudah dan gampang diterima dan diterapkan. Karakteristik usiaumur dari responden di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7. Karakteristik usiaumur responden No UsiaUmur Inseminasi Buatan Kawin Alam Responden Tahun Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 20 - 30 1 1,33 2 2,67 2 31 - 40 24 32 13 17,33 3 41 - 50 22 29,33 23 30,67 4 51 - 60 17 22,67 22 29,33 5 ≥ 61 11 14,67 15 20 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah, 2013 Dari tabel diatas diperoleh gambaran bahwa usiaumur responden dari Inseminasi Buatan yang berada diantara rentang usiaumur antara 20 sampai dengan 30 tahun sebanyak 1 orang atau sebesar 1,33, yang berumur 31 sampai dengan 40 tahun sebanyak 24 orang atau sebesar 32, yang berumur 41 sampai dengan 50 tahun sebanyak 22 orang atau sebesar 29,33, yang berumur 51 sampai dengan 60 tahun sebanyak 17 orang atau sebesar 22,67 dan yang berumur 61 tahun keatas sebanyak 11 orang atau 14,67. Universitas Sumatera Utara 53 Sedangkan untuk usiaumur responden dari Kawin Alam yang berada diantara rentang usiaumur antara 20 sampai dengan 30 tahun sebanyak 2 orang atau sebesar 2,67, yang berumur 31 sampai dengan 40 tahun sebanyak 13 orang atau sebesar 17,33, yang berumur 41 sampai dengan 50 tahun sebanyak 23 orang atau sebesar 30,67, yang berumur 51 sampai dengan 60 tahun sebanyak 22 orang atau sebesar 29,33 dan yang berumur 61 tahun keatas sebanyak 15 orang atau 20. Rentang usiaumur yang terbanyak pada responden Inseminasi Buatan adalah rentang usiaumur 31 sampai dengan 40 tahun sebanyak 24 orang atau sebesar 32 dan untuk responden Kawin Alam adalah usiaumur 41 sampai dengan 50 tahun sebanyak 23 orang atau sebesar 30,67, ini menunjukkan bahwa responden baik Inseminasi Buatan dan Kawin Alam adalah responden dalam sebaranrentang usia produktif untuk memelihara ternak dimana usia muda akan lebih cepat menyerap inovasi yang diperkenalkan atau yang diajarkan. 2 Pendidikan Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini : Tabel 8. Karakteristik tingkat pendidikan responden No Pendidikan Inseminasi Buatan Kawin Alam Responden Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 SD 33 44 33 44 2 SMP 19 25,33 21 28 3 SMA 23 30,67 21 28 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah, 2013 Dari gambaran diatas dapat dilihat bahwa untuk responden Inseminasi Buatan yang berpendidikan SD adalah sebanyak 33 orang atau 44, berpendidikan SMP sebanyak 19 orang atau 25,33 dan berpendidikan SMA sebanyak 23 orang atau 30,67. Untuk responden Kawin Alam yang berpendidikan SD sebanyak 33 orang atau 44, berpendidikan SMP sebanyak 21 orang atau 28 dan berpendidikan SMA sebanyak 21 orang atau 28. Dari kedua responden tersebut yang terbanyak adalah responden yang berpendidikan SD Universitas Sumatera Utara 54 yaitu masing-masing sebanyak 33 orang atau 44, ini berarti bahwa tingkat pendidikan responden masih sangat rendah yang akan mempengaruhi tingkat kemampuan peternak dalam menyerap dan menerapkan inovasi-inovasi baru dalam hal pengelolaan manajemen ternaknya dan berpengaruh terhadap pola pikir dan tingkah laku responden. 3 Lama beternak Pengalaman atau lamanya beternak sapi potong pada responden dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini. Tabel 9. Lama beternak No Lama Inseminasi Buatan Kawin Alam Beternak Tahun Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 1 - 5 20 26,67 11 14,67 2 6 - 10 20 26,67 19 25,33 3 11 - 15 14 18,66 31 41,34 4 16 - 20 6 8 7 9,33 5 ≥ 21 15 20 7 9,33 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas dapat dilihat bahwa lama responden Inseminasi Buatan beternak sapi potong 1 sampai 5 tahun adalah sebanyak 20 orang atau sebesar 26,67, lama beternak 6 sampai 10 tahun adalah sebanyak 20 orang atau sebesar 26,67, lama beternak 11 sampai 15 tahun adalah sebanyak 14 orang atau sebesar 18,66, lama beternak 16 sampai 20 tahun adalah sebanyak 6 orang atau sebesar 8, lama beternak 21 tahun atau lebih adalah sebanyak 15 orang atau sebesar 20. Untuk responden kawin alam, lama beternak 1 sampai 5 tahun adalah sebanyak 11 orang atau sebesar 14,67, lama beternak 6 sampai 10 tahun adalah sebanyak 19 orang atau sebesar 25,33, lama beternak 11 sampai 15 tahun adalah sebanyak 31 orang atau sebesar 41,34, lama beternak 16 sampai 20 tahun adalah sebanyak 7 orang atau sebesar 9,33, lama beternak 21 tahun atau lebih adalah sebanyak 7 orang atau sebesar 9,33. Semakin lama peternak dalam memelihara ternak sapinya maka peternak tersebut akan mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan dengan Universitas Sumatera Utara 55 peternak yang baru memelihara ternaknya. Peternak yang berpengalaman akan lebih mudah dan lebih cepat menerima inovasi karena pengalaman peternak yang lebih banyak mempunyai pengaruh terhadap persepsi atau cara pandangnya terhadap suatu inovasi. 4 Pekerjaan Karakteristik pekerjaan dari masing-masing responden dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 10. Karakteristik pekerjaan responden No Jenis Inseminasi Buatan Kawin Alam Pekerjaan Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 Petani 36 48 37 49,34 2 Karyawan 17 22,67 22 29,33 3 Wiraswasta 22 29,33 16 21,33 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas diperoleh bahwa pekerjaan dari responden Inseminasi Buatan sebagai petani adalah sebanyak 36 orang atau sebesar 48, pekerjaan sebagai karyawan sebanyak 17 orang atau sebesar 22,67 dan pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 22 orang atau sebesar 29,33. Untuk responden Kawin Alam yang bekerja sebagai petani adalah sebanyak 37 orang atau sebesar 49,34, pekerjaan sebagai karyawan sebanyak 22 orang atau sebesar 29,33 dan pekerjaan sebagai wiraswasta sebanyak 16 orang atau sebesar 21,33. Dari hasil perhitungan tersebut jenis pekerjaan baik dari responden Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yang terbanyak adalah sebagai petani yaitu 48 untuk Inseminasi Buatan dan 49,34 untuk Kawin Alam, hal ini menunjukkan bahwa petani dalam mengelola ternaknya merupakan usaha sambilan atau sampingan. 5 Jumlah ternak sapi potong yang dipelihara Jumlah ternak sapi potong yang dipelihara oleh responden dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 56 Tabel 11. Jumlah ternak sapi potong yang dipelihara responden No Jumlah Inseminasi Buatan Kawin Alam Ternak Jumlah Persentase Jumlah Persentase ekor orang orang 1 1 - 3 27 36 13 17,33 2 4 - 6 34 45,33 37 49,34 3 7 - 9 9 12 12 16 4 ≥ 10 5 6,67 13 17,33 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah kepemilikan ternak terbesar untuk responden Inseminasi Buatan adalah sebanyak 4 sampai 6 ekor ternak sapi potong dengan jumlah responden sebanyak 34 orang atau sebesar 45,33, demikian juga untuk responden Kawin Alam, jumlah kepemilikan ternak terbesar adalah sebanyak 4 sampai 6 ekor dengan jumlah responden sebanyak 37 orang atau sebesar 49,34, ini menunjukkan bahwa peternak responden masih mengelola peternakan skala kecil atau tradisional dengan jumlah kepemilikan ternak 4 sampai 6 ekor. 6 Jumlah Ternak Sapi Betina Produktif yang dipelihara Jumlah ternak sapi betina produktif yang dipelihara oleh responden dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12. Jumlah ternak sapi betina produktif yang dipelihara responden No Jumlah Inseminasi Buatan Kawin Alam Ternak Jumlah Persentase Jumlah Persentase ekor orang orang 1 1 - 3 60 80 50 66,67 2 4 - 6 13 17,34 18 24 3 7 - 9 1 1,33 3 4 4 ≥ 10 1 1,33 4 5,33 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah kepemilikan ternak sapi betina produktif terbesar untuk responden Inseminasi Buatan adalah sebanyak 1 sampai 3 ekor ternak sapi betina produktif dengan jumlah responden sebanyak 60 orang Universitas Sumatera Utara 57 atau sebesar 80, demikian juga untuk responden Kawin Alam, jumlah kepemilikan ternak sapi betina produktif terbesar adalah sebanyak 1 sampai 3 ekor dengan jumlah responden sebanyak 50 orang atau sebesar 66,67.

D. Penguasaanpengetahuan bioreproduksi

Penguasaanpengetahuan bioreproduksi ternak sangat diperlukan oleh responden dan ini merupakan salah satu modal dasar bagi responden dalam melaksanakan usaha pengembangbiakan ternaknya baik melalui teknologi Inseminasi Buatan ataupun Kawin Alam serta secara umum penguasaan bioreproduksi oleh responden berpengaruh juga terhadap perkembangan dan pertumbuhan populasi ternak. Penguasaan bioreproduksi responden mencakup umur pubertas ternak, penguasaan tanda-tanda berahi, lama berahi, siklus berahi, waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi, timbul berahi kembali pasca beranak. 1 Umur Pubertas Ternak Penguasaan responden terhadap umur pubertas ternak dapat dilihat pada Tabel 13 dibawah ini. Tabel 13. Penguasaan Umur Pubertas No Umur Inseminasi Buatan Kawin Alam Pubertas bln Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 18 15 20 4 5,33 2 18 - 24 40 53,33 37 49,34 3 24 20 26,67 34 45,33 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas diperoleh bahwa responden Inseminasi Buatan dan Kawin Alam pada umumnya cukup baik dalam menguasaimengetahui umur pubertas ternak sapi yang dipeliharanya yaitu berada pada kisaran 18-24 bulan dimana untuk responden Inseminasi Buatan sebanyak 40 orang atau sebesar 53,33 dan responden Kawin Alam sebanyak 37 orang atau sebesar 49,34. Menurut Jainudeen dan Hafez 1993, umur pubertas pada sapi berkisar antara 18-24 bulan. Universitas Sumatera Utara 58 2 Penguasaan Tanda-Tanda Berahi Penguasaan responden terhadap tanda-tanda berahi ternak dapat dilihat pada Tabel 14 dibawah ini. Tabel 14. Penguasaan tanda-tanda berahi No Skor Inseminasi Buatan Kawin Alam Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 1 8 10,67 10 13,33 2 2 28 37,33 30 40 3 3 39 52 35 46,67 Jumlah 75 100 75 100 Rata-rata skor 2,41 2,3 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas diperoleh bahwa responden Inseminasi Buatan dan Kawin Alam pada umumnya belum cukup baik dalam menguasaimengetahui tanda- tanda berahi ternak sapi yang dipeliharanya yaitu dilihat dari rata-rata skor yang didapat dimana untuk rata-rata skor responden Inseminasi Buatan sebesar 2,41 dan rata-rata skor untuk responden Kawin Alam sebesar 2,3, sedangkan untuk skor idealnya adalah 3. Penguasaan tanda-tanda berahi yang masih kurang mempengaruhi kepada keberhasilan inseminasi buatan maupun kawin alam. Menurut Jainudeen dan Hafez 1993, deteksi berahi yang dilakukan dengan tepat dapat meningkatkan efisiensi reproduksi dan mengurangi resiko kegagalan inseminasi Salisbury Vandemark 1985. 3 Lama Berahi Pengetahuan peternak mengenai lama berahi juga menentukan dalam hal keberhasilan pelaksanaan perkawinaninseminasi. Bila peternak mengetahui berapa lama berahi pada ternaknya, maka dia akan dapat menentukan saat yang tepat untuk mengawinkanmenginseminasikan ternaknya sehingga keberhasilan perkawinaninseminasi lebih tinggi. Penguasaan responden terhadap lama berahi ternak dapat dilihat pada Tabel 15 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 59 Tabel 15. Penguasaan lama berahi No Lama Inseminasi Buatan Kawin Alam Berahi Jumlah Persentase Jumlah Persentase jam orang orang 1 15 16 21,33 17 22,67 2 15 – 17 42 56 37 49,33 3 17 17 22,67 21 28 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas diperoleh hasil bahwa responden inseminasi buatan menjawab lama berahi antara 15-17 jam adalah sebanyak 42 orang atau 56 lebih banyak dibandingkan responden kawin alam yaitu sebanyak 37 orang atau sebesar 49,33, sedangkan responden inseminasi buatan yang menjawab lama berahi diluar kisaran 15-17 jam adalah sebanyak 33 orang atau sebesar 44, angka ini lebih sedikit dibandingkan dengan responden inseminasi buatan yang menjawab lama berahi antara 15-17 jam, sedangkan untuk responden kawin alam yang menjawab lama berahi diluar kisaran 15-17 jam adalah sebanyak 38 orang atau sebesar 50,67, angka ini lebih banyak bila dibandingkan dengan responden kawin alam yang menjawab lama berahi antara 15-17 jam, ini berarti penguasaan lama berahi pada responden inseminasi buatan lebih baik bila dibandingkan dengan penguasaan lama berahi pada responden kawin alam, seperti yang dikemukakan oleh Blakely dan Bade 1991 bahwa lama berahi sekitar ±16 jam atau antara 15-17 jam Partodihardjo 1992. 4 Siklus Berahi Penguasaan responden terhadap siklus berahi ternak dapat dilihat pada Tabel 16 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 60 Tabel 16. Penguasaan siklus berahi No Siklus Inseminasi Buatan Kawin Alam Berahi Jumlah Persentase Jumlah Persentase hari orang orang 1 18 6 8 4 5,33 2 18 – 24 59 78,67 56 74,67 3 24 10 13,33 15 20 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas diperoleh hasil bahwa responden inseminasi buatan menjawab siklus berahi antara 18-24 hari adalah sebanyak 59 orang atau 78,67 lebih banyak dibandingkan responden kawin alam yaitu sebanyak 56 orang atau sebesar 74,67, sedangkan responden inseminasi buatan yang menjawab siklus berahi diluar kisaran 18-24 hari adalah sebanyak 16 orang atau sebesar 21,33, angka ini lebih sedikit dibandingkan dengan responden inseminasi buatan yang menjawab siklus berahi antara 18-24 hari, sedangkan untuk responden kawin alam yang menjawab siklus berahi diluar kisaran 18-24 hari adalah sebanyak 19 orang atau sebesar 25,33, angka ini lebih banyak bila dibandingkan dengan responden kawin alam yang menjawab siklus berahi antara 18-24 hari, ini berarti penguasaan siklus berahi pada responden inseminasi buatan lebih baik bila dibandingkan dengan penguasaan siklus berahi pada responden kawin alam. Seperti yang dikemukakan oleh Bearden dan Fuquay 1980 serta Toelihere 1985 bahwa siklus berahi standart adalah berkisar antara 18-24 hari, sehingga bila lama siklus berahi memanjang sampai 27-33 hari menunjukkan bahwa sapi memiliki fertilitas yang rendah Salisbury Van Demark 1985. 5 Waktu Mengawinkan Setelah Timbul Gejala Berahi Penguasaan responden terhadap waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak dapat dilihat pada Tabel 17 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 61 Tabel 17. Penguasaan waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak No Waktu Inseminasi Buatan Kawin Alam Mengawinkan Jumlah Persentase Jumlah Persentase jam orang orang 1 8 21 28 18 24 2 8 – 12 53 70,67 45 60 3 12 1 1,33 12 16 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas diperoleh hasil bahwa responden inseminasi buatan menjawab waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak antara 8-12 jam adalah sebanyak 53 orang atau 70,67 lebih banyak dibandingkan responden kawin alam yaitu sebanyak 45 orang atau sebesar 60, namun responden inseminasi buatan yang menjawab waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak diluar kisaran 8-12 jam adalah sebanyak 22 orang atau sebesar 29,33, sedangkan untuk responden kawin alam yang menjawab waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak diluar kisaran 8-12 jam adalah sebanyak 30 orang atau sebesar 40. Penguasaan waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak pada responden inseminasi buatan dan responden kawin alam sudah cukup baik yaitu berada diatas 50. Penguasaan waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak yang tepat sangat diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan proses inseminasiperkawinan. Saat yang tepat untuk mengawinkan ternak adalah 8-12 jam setelah tanda-tanda berahi nampak pada ternak Bearden Fuquay 1980, dan menurut Toelihere 1985 saat melakukan inseminasi atau perkawinan ternak pada waktu 10 jam setelah timbul gejala berahi akan menghasilkan angka kebuntingan sebesar 82. 6 Timbul Berahi Kembali Pasca Beranak Penguasaan responden terhadap waktu mengawinkan setelah timbul gejala berahi ternak dapat dilihat pada Tabel 18 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 62 Tabel 18. Penguasaan timbul berahi kembali pasca beranak No Berahi Pasca Inseminasi Buatan Kawin Alam Beranak Jumlah Persentase Jumlah Persentase hari orang orang 1 40 10 13,33 2 40 – 60 38 50,67 25 33,33 3 60 27 36 50 66,67 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data Tabel 18 tersebut diperoleh bahwa responden inseminasi buatan yang menjawab bahwa timbul berahi kembali pasca beranak pada ternak selama 40-60 hari adalah sebanyak 38 orang atau sebesar 50,67 sedangkan untuk responden kawin alam yang mengatakan timbul berahi kembali pasca beranak pada ternak selama 40-60 hari adalah sebanyak 25 orang atau sebesar 33,33, ini menunjukkan bahwa penguasaan timbul berahi kembali pasca beranak pada ternak untuk responden inseminasi buatan lebih baik dibandingkan dengan responden kawin alam, hal ini mungkin disebabkan karena pada responden kawin alam penyapihan anak tidak dilakukan secara sengaja sehingga masa menyusui anak menjadi lebih panjang yang mengakibatkan berahi induk menjadi tertunda seperti yang dikemukakan oleh Partodihardjo 1992 berahi pasca beranak pada ternak bisa terjadi lebih panjang yaitu lebih dari 70 hari bila masa menyusui semakin panjang. Sementara menurut Sorenson 1980 bahwa berahi akan muncul setelah beranak berkisar antara 40-60 hari dan menurut Toelihere 1985 kisaran berahi setelah beranak antara 50-60 hari. Dari hasil penelitian terhadap penguasaanpengetahuan bioreproduksi peternak baik peternak inseminasi buatan maupun kawin alam dapat dilihat secara umum bagaimana penguasaanpengetahuan bioreproduksi peternak di daerah penelitian seperti pada Tabel 19 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 63 Tabel 19. Penguasaanpengetahuan bioreproduksi peternak No Penguasaanpengetahuan Peternak IB Peternak Kawin Alam Bioreproduksi Tahu Tdk Tahu Tahu Tdk Tahu Jlh Jlh Jlh Jlh org org org org 1 Umur Pubertas Ternak 40 53,33 35 46,67 37 49,34 38 50,67 2 Tanda - Tanda Berahi 39 52 36 48 35 46,67 40 53,33 3 Lama Berahi 42 56 33 44 37 49,33 38 50,67 4 Siklus Berahi 59 78,67 16 21,33 56 74,67 19 25,33 5 Waktu Mengawinkan Setelah 53 70,67 22 29,33 45 60 30 40 Timbul Gejala Berahi 6 Timbul Berahi Kembali Pasca 38 50,67 37 49,33 25 33,33 50 66,67 Beranak Rataan 60,22 39,78 52,22 47,78 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari data diatas dapat dilihat bahwa penguasaanpengetahuan bioreproduksi peternak inseminasi buatan umumnya lebih baik dibandingkan dengan peternak kawin alam dimana persentase peternak inseminasi buatan yang tahu tentang bioreproduksi sebanyak 60,22 sedangkan untuk kawin alam sebesar 52,22 dengan kata lain lebih dari separuh peternak yang melaksanakan inseminasi buatan mengetahuimenguasai aspek-aspek bioreproduksi, sementara untuk peternak kawin alam persentase peternak yang menguasaimengetahui bioreproduksi ternak umumnya dibawah angka 50 bahkan ada yang hanya mencapai 33,3 saja. Ini berarti bahwa penguasaanpengetahuan peternak kawin alam tentang bioreproduksi ternak masih perlu ditingkatkan.

E. Pemberian Pakan Ternak

Hasil survey pemberian pakan ternak terhadap ternak sapi yang kawin alam dan ternak sapi yang diinseminasi buatan berupa rumput lapangan, rumput gajah, jerami padi, ampas tahu dan berbagai daun-daunan. Pada umumnya peternak yang memelihara ternaknya setelah digembalakan dilapangan akan memberikan pakan ternak baik hijauan ataupun konsentrat keternak sapinya bila telah dikandangkan secara adlibitum. Konsentrat diberikan biasanya pada pagi hari lalu ternak digembalakan disekitar areal perkebunan kelapa sawit, setelah ternak dikandangkan peternak ada juga yang memberikan rumput tambahan yang diaritkan ataupun jerami padi Universitas Sumatera Utara 64 kepada ternaknya di kandang. Konsentrat yang diberikan umumnya adalah ampas tahu dan dedak. Pemberian konsentrat yang dilakukan peternak dapat dilihat pada Tabel 20 dibawah ini. Tabel 20. Pemberian konsentrat di lokasi penelitian No Pemberian Inseminasi Buatan Kawin Alam Konsentrat Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 Memberi 52 69,33 12 16 2 Tidak Memberi 23 30,67 63 84 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Sebanyak 52 orang atau 69,33 responden peternak inseminasi buatan memberikan konsentrat kepada ternak sapinya dan sebanyak 23 orang atau 30,67 responden peternak inseminasi buatan tidak memberikan konsentrat kepada ternak sapinya. Untuk responden peternak kawin alam sebanyak 12 orang atau 16 memberikan konsentrat kepada ternak sapinya dan sebanyak 63 orang atau 84 responden peternak kawin alam tidak memberikan konsentrat kepada ternak sapinya. Pemberian pakan hijauan tambahan yang dilakukan peternak dapat dilihat pada Tabel 21 dibawah ini. Tabel 21. Pemberian pakan hijauan tambahan di lokasi penelitian No Pemberian Inseminasi Buatan Kawin Alam Pakan Hijauan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Tambahan orang orang 1 Memberi 49 65,33 40 53,33 2 Tidak Memberi 26 34,67 35 46,67 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Sebanyak 49 orang atau 65,33 responden peternak inseminasi buatan memberikan pakan hijauan tambahan kepada ternak sapinya dan sebanyak 26 orang atau 34,67 responden peternak inseminasi buatan tidak memberikan pakan hijauan tambahan kepada ternak sapinya. Untuk responden peternak kawin alam sebanyak 40 orang atau 53,33 memberikan pakan hijauan tambahan Universitas Sumatera Utara 65 kepada ternak sapinya dan sebanyak 35 orang atau 46,67 responden peternak kawin alam tidak memberikan pakan hijauan tambahan kepada ternak sapinya. Menurut Hadi dan Ilham 2002, di daerah pertanian, jenis pakan ternak yang umumnya diberikan kepada ternaknya berupa hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan merupakan sumber serat kasar yang terdiri dari rumput-rumputan, jerami padi dan daun-daunan. Daerah Kabupaten Langkat merupakan daerah pertanian yang cukup subur sehingga memberikan potensi pakan ternak yang cukup memadai, dan secara umum pemberian pakan yang mencukupi baik kualitas dan kuantitasnya berpengaruh cukup baik kepada tingkat kesuburan ternak, seperti yang dikemukakan oleh Jaenudeen dan Hafez 1993 yang menyatakan bahwa level energi berpengaruh terhadap aktivitas ovarium pada sapi betina lepas sapih. Disfungsi ovarium dipengaruhi oleh defisiensi fosfor yang berpengaruh terhadap memanjangnya periode anestrus Bearden Fuquay 1980. Kekurangan nutrisi pada ternak saat bunting sampai beranak akan menghambat munculnya berahi kembali pasca beranak Tillman et al. 1986. Partodihardjo 1992 menyatakan bahwa angka kebuntingan yang rendah dapat disebabkan oleh faktor pelaksana IB, lingkungan yang kering, kekurangan rumput dan mineral.

F. Gangguan Reproduksi

Hasil survei yang dilakukan menunjukkan bahwa ternak-ternak sapi yang kawin alam maupun yang diinseminasi buatan menunjukkan tingkat gangguan reproduksi seperti pada Tabel 22 dibawah ini : Tabel 22. Gangguan Reproduksi No Jenis Inseminasi Buatan Kawin Alam Gangguan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Reproduksi 1 Prolapsus Utery 3 1,58 7 2,15 2 Distokia 4 2,11 5 1,54 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Universitas Sumatera Utara 66 Kejadian prolapsus utery menurut Partodihardjo 1992 disebabkan oleh faktor pakan dan sistem perkandangan dimana ternak yang menderita gangguan ini dikandangkan terus-menerus sepanjang tahun dengan kondisi pakan yang kurang baik, demikian juga dengan kasus distokia yaitu kesulitan ternak untuk melahirkan terjadi akibat pakan yang kurang baik kualitas maupun kuantitasnya sehingga kondisi tubuh ternak menjadi lemah dan aktivitas reproduksi menjadi berkurang. Menurut Toelihere 1985, kekurangan pakan pada sapi induk akan berpengaruh buruk terhadap saluran reproduksinya.

G. Kandang Ternak

Sistem perkandangan yang dilakukan peternak menurut hasil survey pada umumnya adalah kandang dengan sistem kandang kelompok dimana ternak ditempatkan pada satu kandang yang sama, lantai kandang masih berupa tanah yang dikeraskan walaupun ada juga sebagian peternak yang membuat lantai kandang ternak sapinya dari semen dan kandang bersifat permanen dan dilengkapi dengan tempat pakan dan penampungan kotoran serta kondisinya relatif bersih dan kering. Data tentang keadaan perkandangan dapat dilihat pada Tabel 23 dibawah ini. Tabel 23. Keadaan Perkandangan di lokasi penelitian No Keadaan Inseminasi Buatan Kawin Alam Perkandangan Jumlah Persentase Jumlah Persentase orang orang 1 Permanen 56 74,67 41 54,67 2 Semi Permanen 19 25,33 34 45,33 Jumlah 75 100 75 100 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Untuk responden peternak inseminasi buatan keadaan perkandangan permanen sebanyak 56 orang atau 74,67 dan semi permanen sebanyak 19 orang atau 25,33 sedang untuk responden peternak kawin alam keadaan perkandangan permanen sebanyak 41 orang atau 54,67 dan semi permanen sebanyak 34 orang atau 45,33. Kandang merupakan salah satu faktor produksi yang belum begitu mendapat perhatian dalam usaha peternakan sapi potong terutama peternakan Universitas Sumatera Utara 67 rakyat, tatalaksana kandang merupakan faktor penunjang untuk keberhasilan suatu usaha peternakan, dengan terlaksananya tatalaksana kandang yang baik maka kesehatan dan kebersihan ternak akan semakin terjamin dan terjaga yang juga akan berpengaruh kepada kesehatan reproduksi ternak itu sendiri.

H. Efisiensi Reproduksi

Efisiensi reproduksi merupakan suatu parameter yang kompleks dan berhubungan secara holistik dengan berbagai aspek lingkungan lainnya. Diduga bahwa efisiensi reproduksi ternak sapi rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor utama yang berasal dari peternak sendiri, manajemen reproduksi dan dukungan lingkungan agroklimatik dan agrososial peternakan sapi. Efisiensi reproduksi ternak mencakup beberapa hal antara lain adalah Angka tidak kembali minta diinseminasi atau Non Return Rate NRR, Angka kebuntingan atau Conception Rate disingkat CR, Kawin per kebuntingan atau Service per Conception SC dan Calf Crop. 1 Angka tidak kembali minta diinseminasi atau Non Return Rate NRR. Hasil evaluasi NRR ternak sapi potong yang diinseminasi buatan dan kawin alam dilokasi penelitian selama lima tahun dapat dilihat pada Tabel 24 dibawah ini Tabel 24. Hasil evaluasi NRR di lokasi penelitian selama lima tahun No Kecamatan Nilai NRR Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 IB KA IB KA IB KA IB KA IB KA 1 Selesai 80,06 97,96 82,94 68,92 66,78 63,56 71,11 76,33 73,83 97,14 2 Kuala 49,33 61,22 42 51,67 43,37 53,81 68,98 72,78 71,56 72,78 3 Padang Tualang 53,33 54 73,33 64,56 58,33 68,87 75,78 70,84 88,89 73,25 4 Binjai 77,60 57,22 62,78 59,56 71,56 64,22 62,89 63,44 68,33 60,10 5 Wampu 67,32 56,11 69,67 82,57 91,22 77,56 62,33 55,11 71,01 58,89 Rataan NRR tn 65,53 65,30 66,14 65,45 66,25 65,60 68,22 67,70 74,72 72,43 Sumber : Data Primer Diolah 2013 tn Hasil uji t menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak nyata t hitung t tabel pada taraf α 5 Universitas Sumatera Utara 68 Tabel 24 menunjukkan bahwa nilai rataan NRR pada ternak sapi yang di inseminasi buatan dan kawin alam selama lima tahun dari kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 cenderung menaik, hal ini menggambarkan bahwa nilai NRR baik dari hasil inseminasi buatan dan kawin alam terjadi peningkatan efisiensi setiap tahunnya seperti dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini. Gambar 5. Grafik Garis Trend Nilai NRR Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 sampai Tahun 2012. Dari Tabel 24 dan Gambar 5 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata NRR inseminasi buatan pada lokasi penelitian dari tahun 2008 sampai tahun 2012 lebih tinggi dari nilai rata-rata NRR kawin alam pada lokasi penelitian dari tahun 2008 sampai tahun 2012 dan hasil uji t terhadap nilai NRR inseminasi buatan dengan kawin alam setiap tahunnya menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara nilai NRR inseminasi buatan dengan nilai NRR kawin alam t hitung t tabel hasil perhitungan terdapat pada lampiran 22 sampai dengan lampiran 26. Non Return Rate NRR menggambarkan berapa persen akseptor yang tidak kembali berahi setelah 60-90 hari pasca inseminasi pertama Salisbury VanDemark 1985. Dari Tabel 24 diatas didapat bahwa nilai NRR untuk inseminasi buatan dan kawin alam berada pada kisaran terendah 65,30 sampai dengan tertinggi 74,72, ini menunjukkan bahwa sapi-sapi yang diamati masih dalam batas normal, seperti yang dikemukakan oleh Toelihere 1993 bahwa NRR Universitas Sumatera Utara 69 pada ternak sapi normal berkisar antara 65-72. Nilai NRR dipengaruhi oleh fertilitas sapi betina dan kualitas semen pejantan Jainudeen Hafez 1993. Nilai NRR yang besar dapat terjadi menurut Partodihardjo 1992 dan Jainudeen dan Hafez 1993 karena ternak yang tidak kembali minta diinseminasi dianggap bunting atau karena ketidaktahuan peternak dan tidak adanya laporan peternak kepetugas antara lain disebabkan karena kesulitan deteksi berahi, anestrus, kematian embrio, kematian induk, dijual atau hilang. 2 Angka kebuntingan atau Conception Rate disingkat CR Hasil evaluasi CR ternak sapi potong yang diinseminasi buatan dan kawin alam dilokasi penelitian selama lima tahun dapat dilihat pada Tabel 25 dibawah ini Tabel 25. Hasil Evaluasi CR di lokasi penelitian selama lima tahun No Kecamatan Nilai CR Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 IB KA IB KA IB KA IB KA IB KA 1 Selesai 40,56 53,29 54,06 53,38 50,67 45,33 55,22 45,22 60,03 68,51 2 Kuala 37,56 53 28,44 33,33 24,59 37,46 49,03 47,22 59,33 54,44 3 Padang Tualang 42 37,56 44 44,61 50,67 51,64 60,89 48,85 76,67 64,13 4 Binjai 62,46 34,11 49,88 46,11 55,22 56,44 47,33 43,78 61,67 50,70 5 Wampu 38,21 40 50,89 44,20 49,33 31,41 48,89 48,56 48,69 53,11 Rataan CR tn 44,16 43,59 45,45 44,33 46,10 44,46 52,27 46,73 61,28 58,18 Sumber : Data Primer Diolah 2013 tn Hasil uji t menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak nyata t hitung t tabel pada taraf α 5 Tabel 25 menunjukkan bahwa nilai rataan CR pada ternak sapi yang di inseminasi buatan dan kawin alam selama lima tahun dari kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 cenderung menaik, hal ini menggambarkan bahwa dari hasil evaluasi CR pada inseminasi buatan dan kawin alam terjadi peningkatan efisiensi setiap tahunnya, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 70 Gambar 6. Grafik Garis Trend Nilai CR Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 sampai Tahun 2012. Nilai CR menunjukkan berapa persen ternak sapi yang menjadi bunting dari sejumlah sapi yang diinseminasi pertama secara bersama-sama. Dari hasil penelitian nilai rata-rata CR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 pada ternak yang dikawinkan dengan inseminasi buatan berada pada kisaran 44,16 sampai dengan 61,28 sedangkan nilai rata-rata CR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 pada ternak yang dikawinkan dengan pejantan kawin alam berada pada kisaran 43,59 sampai dengan 58,18, lebih rendah dari nilai rata- rata CR pada ternak yang diinseminasi buatan walaupun dari hasil uji t terhadap nilai rata-rata CR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara nilai rata-rata CR inseminasi buatan dengan nilai rata-rata CR kawin alam setiap tahunnya t hitung t tabel hasil perhitungan terdapat pada lampiran 22 sampai dengan lampiran 26. Hasil rata-rata CR pada Tabel 25 memperlihatkan bahwa nilai rata-rata CR inseminasi buatan pada tahun 2008 sampai tahun 2012 berturut-turut adalah sebesar 44,16, 45,45, 46,1, 52,27 dan 61,28 sedangkan nilai rata-rata CR kawin alam pada tahun 2008 sampai tahun 2012 berturut-turut adalah sebesar 43,59, 44,33, 44,46, 46,73 dan 58,18 masih tergolong nilai CR yang cukup rendah. Menurut Salisbury dan VanDemark 1985 CR pada inseminasi Universitas Sumatera Utara 71 pertama adalah sebesar 60,2, 60 Partodihardjo 1992 atau 62 Toelihere 1993. Nilai CR yang tinggi diantaranya dipengaruhi oleh waktu yang tepat dalam pelaksanaan IB yaitu 12 jam setelah timbul gejala berahi dengan CR sebesar 75 Gomes 1977 dan 72 Partodihardjo 1992. Aspek kesuburan sapi sangat menentukan besarnya CR hasil inseminasi pertama Partodihardjo 1992. Menurut Salisbury dan VanDemark 1985, sapi betina yang pernah beranak lebih dari satu kali mempunyai tingkat kesuburan lebih tinggi dibandingkan sapi betina yang beranak pertama kali. 3 Kawin per kebuntingan atau Service per Conception SC Hasil evaluasi SC ternak sapi potong yang diinseminasi buatan dan kawin alam dilokasi penelitian selama lima tahun dapat dilihat pada Tabel 26 dibawah ini. Tabel 26. Hasil Evaluasi SC di lokasi penelitian selama lima tahun No Kecamatan Nilai SC Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 IB KA IB KA IB KA IB KA IB KA 1 Selesai 1,59 1,38 1,52 1,18 1,37 1,30 1,29 1,41 1,16 1,30 2 Kuala 0,72 0,84 0,81 1,13 1,10 1,19 1,23 1,34 1,16 1,29 3 Padang Tualang 0,69 1,01 1,18 1,16 1,01 1,04 1,19 1,30 1,13 1,14 4 Binjai 1,26 1,40 1,36 1,22 1,27 1,11 1,15 1,29 1,09 1,19 5 Wampu 1,58 1,29 1,42 1,77 1,83 1,24 1,17 1,11 1,25 1,08 Rataan SC tn 1,17 1,18 1,26 1,29 1,31 1,18 1,21 1,29 1,16 1,20 Sumber : Data Primer Diolah 2013 tn Hasil uji t menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak nyata t hitung t tabel pada taraf α 5 Tabel 26 menunjukkan bahwa nilai SC pada lokasi penelitian dari tahun 2008 sampai tahun 2012 baik pada ternak yang diinseminasi buatan ataupun kawin alam menunjukkan nilai SC dibawah nilai dua, ini memperlihatkan bahwa umumnya kemampuan inseminator cukup baik, dan bila diperhatikan nilai SC untuk ternak yang kawin alam ternyata terdapat juga beberapa kali pengulangan sehingga nilai SC untuk kawin alam tidak bernilai satu. Semakin tinggi nilai SC menunjukkan bahwa nilai efisiensi reproduksi sapi pada suatu kelompok semakin Universitas Sumatera Utara 72 rendah. Bila nilai SC semakin mendekati angka satu, maka semakin tinggi pula tingkat kesuburan sapi-sapi betina didalam kelompoknya Toelihere, 1993. Tingginya nilai SC pada ternak sapi betina dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti peternak terlambat melapor ke inseminator, kelainan organ reproduksi sapi betina, inseminator kurang trampil, fasilitas pelayanan inseminasi terbatas dan juga kualitas dari semen pejantan yang disuntikkan Hadi Ilham 2002. Untuk lebih jelasnya nilai SC dari hasil inseminasi buatan dan kawin alam dari tahun 2008 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini. Gambar 7. Grafik Garis Trend Nilai SC Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 sampai Tahun 2012. Nilai SC menggambarkan berapa banyak jumlah pelayanan suatu inseminasi sampai seekor ternak menjadi bunting. Dari Tabel 26 diatas didapatkan bahwa rata-rata nilai SC untuk Inseminasi Buatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 adalah sebesar 1,17, 1,26, 1,31, 1,21 dan 1,16 sedangkan untuk kawin alam adalah sebesar 1,18, 1,29, 1,18, 1,29 dan 1,2, dan hasil uji t terhadap nilai rata-rata SC dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara nilai rata-rata SC inseminasi buatan dengan nilai rata-rata SC kawin alam setiap tahunnya t hitung t tabel hasil perhitungan terdapat pada lampiran 22 sampai dengan lampiran 26. Universitas Sumatera Utara 73 4 Calf Crop Hasil evaluasi CC ternak sapi potong yang diinseminasi buatan dan kawin alam dilokasi penelitian selama lima tahun dapat dilihat pada Tabel 27 dibawah ini. Tabel 27. Hasil Evaluasi CC di lokasi penelitian selama lima tahun No Kecamatan Nilai CC Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 IB KA IB KA IB KA IB KA IB KA 1 Selesai 65,44 83,99 77,72 68,79 64,67 58,67 66,67 70 60,98 86,27 2 Kuala 43,67 48,56 37 43,44 43,47 50,08 60,14 72,78 67,56 68,89 3 Padang Tualang 48,67 49,83 69,44 58,11 58,33 64,40 75,78 61,30 82,22 60,79 4 Binjai 73,38 40,78 58,11 54,78 71,56 61,33 62,89 55,89 57,22 51,59 5 Wampu 52,59 49,11 68,33 76,70 86,22 71,89 62,33 50,56 68,18 54,11 Rataan 56,75 54,45 62,12 60,37 64,83 61,27 65,56 62,11 67,23 64,33 Sumber : Data Primer Diolah 2013 Dari Tabel 27 diatas dapat dilihat bahwa nilai CC pada lokasi penelitian dari tahun 2008 sampai tahun 2012 baik pada ternak yang diinseminasi buatan ataupun kawin alam cenderung menunjukkan nilai CC yang semakin meningkat, ini berarti bahwa efisiensi kegiatan inseminasi buatan dan kawin alam mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menggambarkan bahwa kegiatan inseminasi buatan dan kawin alam menghasilkan keturunan anak sapi yang cukup mampu bertahan hidup sampai lepas sapih. Untuk kegiatan inseminasi buatan mungkin hal ini tidak terlalu mengherankan karena seperti kita ketahui frozen semen yang digunakan adalah frozen semen yang berasal dari pejantan unggul yang berkualitas dan untuk kegiatan kawin alam, sejak tahun 2010 pemerintah telah mencanangkan program intensifikasi kawin alam dengan pengadaan pejantan pemacek kepada daerah-daerah yang masih banyak ternak sapinya melaksanakan kawin alam, dengan program ini diharapkan kualitas dan kuantitas anak yang dihasilkan semakin baik. Nilai CC dilokasi penelitian dari hasil inseminasi buatan dan kawin alam pada tahun 2008 sampai tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini. Universitas Sumatera Utara 74 Gambar 8. Grafik Garis Trend Nilai CC Kegiatan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam Ternak Sapi Potong di Lokasi Penelitian Kurun Waktu Tahun 2008 sampai Tahun 2012. Disamping faktor genetik yang menentukan tingginya nilai CC masih ada faktor lain yang cukup mempengaruhi seperti faktor umur fisiologis ternak sapi betina, faktor kualitas maupun kuantitas pakan selama kebuntingan induk dan untuk pedet, manajemen pemeliharaan dan penyakit. Menurut Hadi dan Ilham 2002, ternak sapi betina dara pada berahi pertama yang diinseminasi dengan semen pejantan unggul akan cenderung mengakibatkan terjadinya kesulitan beranak dibandingkan dengan induk yang pernah beranak. Faktor terjadinya kesulitan beranak pada ternak sapi betina dara adalah umur pertama kali dikawinkan dan kualitas pakan selama kebuntingan. Sapi betina dengan kualitas pakan yang baik dapat dikawinkan pada umur 18 bulan sedangkan ternak sapi betina yang mendapat pakan kurang baik dikawinkan pada umur 20,5 bulan Salisbury VanDemark 1985. Menurut Jainudeen dan Hafez 1993, hasil suatu kegiatan inseminasi buatan dengan manajemen pemeliharaan yang baik diperoleh CC sebesar 85 persen. Partodihardjo 1992 menyatakan bahwa kekurangan energi dalam pakan selama bunting menyebabkan pedet yang dilahirkan dalam kondisi lemah dan tidak dapat bertahan hidup lebih lama. Kematian pedet dari lahir sampai prasapih Universitas Sumatera Utara 75 bisa mencapai 50 persen disebabkan karena pemberian pakan yang kualitasnya tidak baik Hadi Ilham 2002.

I. Pengelompokan Wilayah Inseminasi Buatan IB di Kabupaten Langkat

Pengelompokan wilayah inseminasi buatan IB didasarkan pada beberapa aspek seperti kinerja yang meliputi kemampuan inseminator pertahun, nilai SC, nilai CR , waktu pelaksanaan inseminasi buatan, wilayah, jumlah akseptor, cakupan wilayah binaan dan sumber dana. Untuk Kabupaten Langkat aspek-aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel 28 dibawah ini. Tabel 28. Gambaran Batasan dan Kriteria Wilayah Tahapan Pelayanan IB sesuai standart dan keadaan di Kabupaten Langkat Uraian Wilayah Tahapan Kab. Langkat Introduksi Pengembangan Swadaya Kinerja: Kemampuan Inseminatorthn dosis SC CR 300 3 – 5 50 500 2 – 3 70 800 2 80 Batasan: 2. Waktu Pelaksanaan IB 5 thn 5 – 10 thn 10 thn 3. Wilayah SP – IB SP – IB SP – IB 4. Jumlah akseptor ekorthn 100 200 400 Inseminator 5. Cakupan Wilayah Binaan 1.800 3.600 7.200 ekortahun 6. Sumber Dana 100 APBN APBN APBD 100 Peternak Koperasi Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012 dan Data Primer Diolah 2013 Dilihat pada Tabel 28 diatas dan bila diperbandingkan dengan batasan dan kriteria wilayah tahapan pelayanan IB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010 maka Kabupaten Langkat dapat dikategorikan termasuk pada wilayah tahapan swadaya, namun ada beberapa kriteria dan batasan yang belum mencapai batasan dan kriteria swadaya yaitu tingkat nilai CR dan Sumber Dana. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010 batasan atau kriteria nilai CR untuk wilayah tahapan swadaya adalah sebesar 80 persen dan batasan atau kriteria sumber dana adalah 100 persen peternak atau koperasi, sedangkan untuk Kabupaten Langkat nilai CRnya adalah sebesar 56,7 dan sumber dana yang ada berasal dari APBN dan 955 1,76 56,7 10 tahun SP – IB 452 27.120 APBN APDB Universitas Sumatera Utara 76 APBD. Dari data tersebut maka Kabupaten Langkat masih termasuk wilayah tahapan pengembangan IB yang sedang bergerak menuju wilayah tahapan swadaya dengan lebih memacu dan meningkatkan nilai CR menjadi 80 dan mendorong peran serta aktif peternak dan koperasi untuk meningkatkan pelayanan inseminasi buatan di masyarakat dan tidak semata bergantung pada pemerintah. Perkembangan evaluasi CR dan SC kegiatan inseminasi buatan ternak sapi potong di Kabupaten Langkat dalam kurun waktu tahun 2008 sampai 2012 dapat dilihat pada Tabel 29 dan dipaparkan pada Gambar 9 dan 10 dibawah ini Tabel 29. Perkembangan Evaluasi CR dan SC Kegiatan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Langkat Kurun Waktu Tahun 2008 sampai Tahun 2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 CR 55,9 57,87 52 60,2 56,7 SC 2,01 1,78 2,06 1,9 1,76 Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013 Gambar 9. Grafik Garis Trend Nilai CR Kegiatan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Langkat Kurun Waktu Tahun 2008 sampai Tahun 2012 Dari Gambar 5 diatas dapat dilihat bahwa garis trend nilai CR kegiatan inseminasi buatan ternak sapi potong di Kabupaten Langkat selama lima tahun yaitu dari tahun 2008 sampai dengan 2012 cenderung menunjukkan grafik menaik walaupun di tahun 2010 dan 2012 terlihat menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Universitas Sumatera Utara 77 Gambar 10. Grafik Garis Trend Nilai SC Kegiatan Inseminasi Buatan Ternak Sapi Potong di Kabupaten Langkat Kurun Waktu Tahun 2008 sampai Tahun 2012 Dari Gambar 6 diatas dapat dilihat bahwa garis trend nilai SC kegiatan inseminasi buatan ternak sapi potong di Kabupaten Langkat selama lima tahun yaitu dari tahun 2008 sampai dengan 2012 cenderung menunjukkan grafik menurun walaupun di tahun 2010 grafik SC nya naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya, ini menunjukkan bahwa tiap tahun nilai SC semakin baik karena nilainya semakin kecil dengan perkataan lain dalam pelaksanaan inseminasi buatan terhadap akseptor ternak sapi betina semakin sedikit jumlah straw semen beku yang digunakan untuk menjadikan akseptor ternak sapi betina tersebut berhasil bunting.

J. Kondisi Kawin Alam di Kabupaten Langkat

Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu kabupaten yang menerapkan sistem pengembangbiakan ternak sapi potong dengan cara inseminasi buatan dan kawin alam. Masih banyak peternak yang berada di Kabupaten Langkat menerapkan sistem kawin alam pada ternaknya karena kebanyakan peternak masih memelihara ternaknya dengan cara mengangonkan ternak sapinya secara bersama-sama diareal perkebunan, hal ini menyebabkan kawin alam antara ternak sapi betina dengan ternak sapi jantan dilapangan tidak dapat dihindari. Hal ini Universitas Sumatera Utara 78 merupakan salah satu kelemahan sistem kawin alam di Kabupaten Langkat, dimana pejantan yang mengawini ternak sapi betinanya tidak terseleksi sehingga menyebabkan anak sapi yang dilahirkan tidak seperti yang diharapkan. Peternak belum mau menerapkan sistem intensifikasi kawin alam yang dianjurkan pemerintah disebabkan karena peternak masih bersifat usaha sampingan sehingga peternak tidak betul-betul memperhatikan ternak sapi yang dipeliharanya terutama masalah perkawinannya. Parameter Teknis Kinerja Peternakan Sapi pada Dinas Peternakan Kabupaten Langkat menyatakan bahwa persentase kawin alam yang terjadi di Kabupaten Langkat adalah sebanyak 70 dan inseminasi buatan sebesar 30, ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Langkat persentase kawin alam jauh lebih tinggi dibandingkan dengan inseminasi buatan. Dinas Peternakan Kabupaten Langkat 2011 melaporkan bahwa pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2011 pendataan akseptor ternak sapi yang melaksanakan kawin alam adalah sebesar 13.000 ekor dengan kelahiran sebanyak 8.700 ekor. Pencapaian populasi ternak sapi potong melalui inseminasi buatan dan kawin alam di Kabupaten Langkat dapat dapat dilihat pada Tabel 30 dibawah ini. Tabel 30. Pencapaian populasi ternak sapi potong melalui inseminasi buatan dan kawin alam di Kabupaten Langkat Tahun Inseminasi Buatan ekor Kawin Alam ekor 2008 12.128 4.372 2009 12.314 8.710 2010 12.100 9.010 2011 12.064 10.341 2012 19.961 10.412 Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Langkat 2011, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 2012 Pencapaian populasi ternak sapi potong di Kabupaten Langkat juga diperoleh dari hasil kawin alam. Banyak faktor dan alasan kenapa peternak masih melaksanakan kawin alam pada ternaknya antara lain karena 1 sebagian peternak masih menggembalakan ternaknya secara bersama-sama di areal perkebunan kelapa sawit yang ada sehingga kawin alam pada ternaknya tidak Universitas Sumatera Utara 79 dapat dihindari, 2 biaya kawin alam lebih murah dibandingkan biaya IB, 3 peternak kurang memperhatikan ternaknya sehingga gejala berahi pada ternak tidak dapat segera terdeteksi dan terlebih dahulu dikawini pejantan, 4 peternak belum tersosialisasi dengan keuntungan dan kelebihan program IB, 5 letak lokasi peternak yang berjauhan dengan pos IB dan 6 manajemen pemeliharaan ternak yang kurang baik sehingga menyebabkan kejadian kawin berulang pada ternak yang diinseminasi buatan. Dari Parameter Teknis Kinerja Peternakan Sapi pada Dinas Peternakan Kabupaten Langkat menyatakan bahwa tingkat kelahiran kawin alam adalah hanya sebesar 30 saja dari 70 ternak yang melaksanakan kawin alam dan untuk inseminasi buatan sebesar 35 dari 30 ternak yang melaksanakan inseminasi buatan. Hal ini cukup disayangkan karena potensi kawin alam yang masih cukup besar di Kabupaten Langkat. Rendahnya tingkat pencapaian populasi dari kawin alam di Kabupaten Langkat disebabkan oleh banyak faktor antara lain adalah kualitas pejantan yang digunakan masih rendah, pemeliharaan pejantan yang berkualitas memerlukan biaya yang tinggi, tidak adanya sistem pencatatanrekording kawin alam dipeternak sehingga mengakibatkan rentan terjadi inbreeding yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas anak sapi hasil kawin alam dan berpengaruh pada hasil keturunan berikutnya untuk hidup dan berkembangbiak, jarak kelahiran tidak dapat diatur karena tergantung pada adatidak adanya pejantan. Untuk mengantisipasi hal ini sejak tahun 2011 pemerintah kembali menggalakkan program intensifikasi kawin alam InKA dengan mengadakan dan mendistribusikan pejantan pemacek kedaerah-daerah yang masih melaksanakan kawin alam pada ternaknya. Dengan berjalannya program ini diharapkan kendala pengadaan pejantan pemacek yang berkualitas dapat diatasi sehingga diharapkan kedepannya potensi kawin alam yang ada di Kabupaten Langkat dapat lebih dikembangkan, namun semua tidak dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang diharapkan bila peran serta dan kerjasama dari berbagai pihak terkait tidak ada, terutama peran dari peternak itu sendiri karena merekalah yang merasakan dan menerima hasil dari kerja keras dan usaha mereka sendiri. Universitas Sumatera Utara 80 K. Analisis Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Melalui Inseminasi Buatan dan Kawin Alam di Kabupaten Langkat Evaluasi Faktor Internal Faktor lingkungan internal yang dianalisis dan digunakan sebagai kekuatan strengths dan kelemahan weakness.

1. Kekuatan Strengths

Beberapa faktor internal yang merupakan kekuatan untuk pengembangan sapi potong melalui inseminasi buatan dan kawin alam di Kabupaten Langkat yaitu :

a. Adanya program Inseminasi Buatan dan Intensifikasi Kawin Alam.