Faktor Predisposisi atau Predisposing Factors
66
menyembuhkan pasien tetapi hanya menenangkan dan membuat pasien beristirahat. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan
wawancara sebagai berikut: “Saya mau juga dia di Bangli rumah sakit jiwa, tapi
nanti juga lagi dua bulan dibalikan, kambuh. Gitu aja terus, saya jadi malas. Datang dari situ tanpa sesuatu
yang pasti. Disitu capek juga ngurus, disini juga bingung” Reponden I
“Obatnya gak berfungsi, hanya meredam aja, biar dia bisa tidur. Tapi gak menyembuhkan” Reponden II
“Saya dulu berusaha bawa kemana aja, tetangganya yang nyuruh ke dokter, ke balian kami coba, tapi tetap
kayak gitu.” Reponden III
3 Pengalaman Buruk Menggunakan Pengobatan Medis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ketiga narasumber menceritakan memiliki pengalaman kurang baik dengan rumah sakit
jiwa setempat. Subjek II dan III cenderung mengeluh dengan kebijakan baru yang berlaku dirumah sakit jiwa, yaitu pasien harus
dipulangkan dari rumah sakit jiwa bila pasien telah dirawat selama tiga bulan, terlepas pasien sembuh ataupun tidak. Namun bila pasien
kambuh kembali, keluarga diperbolehkan membawa pasien kembali PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
kerumah sakit. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara
sebagai berikut:
“Kan saya nanyak juga “Ini kalo gak sembuh kok sudah dikembalikan?” Terus mereka bilang “Biar ada data,
nanti kalo lagi gitu dibawa lagi”. Kan jadi saya bingung, lagi saya ngurus nanti, udah sih gratis, tapi
nanti jangka satu minggu lagi saya bawa kesana, kan ngurus dia aja jadinya terus ya.” Subjek II
“Kalo sudah tiga bulan dipulangkan anaknya, mau sembuh atau tidak anak tetap dipulangkan, saya juga
tidak mengerti sekarang dengan dokter disana. Dulu anak saya satu tahun disana dia gak dipulangkan sama
rumah sakit.” Subjek III
Kebijakan baru tersebut juga dibenarkan oleh pihak rumah sakit jiwa. Salah satu narasumber dari RSJ menjelaskan bahwa pasien
tidak diperbolehkan dirawat dirumah sakit lebih dari tiga bulan, karena aturan baru yang dibentuk oleh BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut:
68
“Itu aturan BPJS, Tiga bulan saja pasien ditanggung oleh BPJS. Sehingga pasien harus dipulangkan terlebih
dahulu, biarpun hanya satu hari, harus pulang dulu. Sehat atau tidak, pasien tidak ditanggung selama kurun
waktu itu setelah 3 bulan. Sehingga dia harus pulang sebentar, lalu dibawa lagi kesini tidak apa-
apa, begitu.”
Hal tersebut menjadi salah satu permasalahan dari narasumber II dan III karena merasa kelelahan harus membawa ke RSJ saat pasien
kambuh. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut :
“Bolak-balik bangli terus, dikembalikan, biar ada pembukuan disana, pembukuan kalo dia sembuh. Kalo
lagi seminggunya sakit, baru bawa kesana. Kan capek ngurusnya. ” Subjek II
“Dibawa pulang dalam waktu 3 bulan mau sembuh atau enggak, harus pulang. Nanti kalo gimana lagi dibawa
kesana. Kalo nanti dia sudah pulang kita bawa kesana susah juga, gak ada yang bawa kesana,lagi bawa kesana
lagi pulang.” Subjek III Selain itu, subjek III juga mengeluh dengan kebijakan baru
yang berlaku dirumah sakit jiwa, yaitu keluarga tidak dijinkan membeli obat tanpa mengajak pasien ke rumah sakit. Hal tersebut
69
dirasa mempersulit keluarga karena jarak rumah pasien dan rumah sakit sangat jauh. Hal tersebut dibuktikan dari kutipan wawancara
sebagai berikut: “Saya sempat kesana buat nyari obat tapi tidak ngajak
anak, terus gak dikasi, kan rugi saya kesana sudah jauh- jauh tapi tidak diikasi obat. nyari kesana gak ngajak
pasien gak di kasi obat” Subjek III
Permasalahan tersebut sempat membuat partisipan III memberhentikan obat pada pasien, dan membiarkan pasien tanpa
pengobatan. “Pulang dari rumah sakit terus saya kasi obat, lalu
setelah saya cari obat dan tidak dikasi membeli kesana tanpa pasien, terus berhenti minum obat, kumat lagi
dia” Subjek III Peraturan baru tersebut dibenarkan oleh pihak rumah sakit
jiwa, hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
“Terbentur aturan BPJS, dimana kita tidak boleh turun ke lapangan, pasien harus datang ke Puskesmas dulu, itu
aturan jenjang rujukannya ke puskesmas dulu. Kalo tidak ada obat di Puskesmas, ke rumah sakit dulu yang
tingkat dua, kalo rumah sakit gak ada, baru ke tingkat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
III, RSJ. Sehingga pasien harus kesini, pasien gak boleh gak ikut, harus ikut”
Hal tersebut mempersulit pasien karena pasien tidak bisa membeli obat kerumah sakit jiwa tanpa mengajak pasien. Sedangkan
pelayanan kesehatan di tingkat I Puskesmas dan tingkat II Rumah Sakit tidak menyediakan obat gangguan jiwa. Hal tersebut juga
dijelaskan oleh narasumber dari pihak rumah sakit jiwa sebagai permasalahan utama pengobatan pasien gangguan jiwa di Bali.
“Problem kalo ada aturan seperti itu keluarga harus membawa pasien kerumah sakit untuk membeli obat
puskesmas tidak menyediakan obat. Aturan ada, tapi infrastruktur tidak dipersiapkan, itulah kendalanya
sehingga banyak pasien yang meningkat, termasuk pasung yang meningkat. Gangguan jiwa yang kumat
juga meningkat.” Narasumber RSJ Namun hal tersebut tidak dirasakan oleh narasumber I karena
kebijakan tersebut belum dibentuk saat keluarga membawa pasien kerumah sakit. Keluarga memiliki pengalaman kurang baik yang
berbeda dengan narasumber II dan III. Narasumber I menjelaskan bahwa pasien mendapatkan perlakuan yang kurang baik di rumah
sakit. Hal tersebut dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut:
71
“Pemerintah gak tanggung jawab, taruh di bangli dia
pulang sendiri. Pulang sendiri? Iya, berkelahi sama
temennya, bocor kepalanya. Dipukul bata, dirumah sakit bangli. Jadi dia pulang numpang bemo” Narasumber I
Hal tersebut membuat keluarga trauma untuk membawa pasien kembali kerumah sakit karena takut pasien akan diperlakukan
kurang baik, sehingga keluarga memilih untuk memasung pasien. Hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
“Udah pernah kok dibawa ke Bangli rumah sakit jiwa, buktinya gitu, kan trauma. Dulu rajin dia kesini, dikasi
obat satu-satu, akhirnya kita sempet ke puskesmas gitu, dikasi vitamin b12, sama obat satu saya lupa, saya
sempat ambil dulu. Di pasung akhirnya. Sempet disuruh lepas, kan gak boleh di pasung itu, disuruh dibawa ke
bangli,saya gak mau, takut mati nanti anak orang ini, akhirnya gak.”
4 Pengalaman Buruk Sebelum Pasien Dipasung
Berdasarkan hasil wawancara, semua narasumber mengaku memiliki beberapa pengalaman buruk dengan pasien sebelum
dipasung. Seluruh narasumber mengeluhkan pasien skizofrenia membahayakan, meresahkan, dan merugikan orang lain. Hal tersebut
dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
72
“Dulu pernah lari dia ke kuburan, jabe Pura sebutan untuk bagian depan Pura, di Kediri, naik motor. Kesana
pakai celana aja, tidak pakai baju, kayak bertapa. Datang banjarwarga, kesana semua mau dikroyok,
akhirnya dia kena denda karena berperilaku buruk di dalam tempat suci, akhirnya kena denda 75ribu.”
Narasumber I
“Dulu sebelum saya nikah, kan rumah sepi, dia kan bebas, terus dia narik neneknya yang sakit dari kamar,
terus sampai meninggal. ditarik dia sampai meninggal, gak ada yang melihat waktu itu, dia langsung
meninggal. Sedang ada acara di desa, jadi rumah sepi. Keras dia. Terus meninggal, nah setelah itu langsung
dipasung” Narasumber II
Sehingga dapat diasumsikan bahwa pengalaman buruk dengan pasien menjadi salah satu predisposisi keluarga untuk memasung
pasien. Karena keluarga merasa khawatir dengan perilaku pasien.