Perilaku kesehatan medis pada keluarga penderita skizofrenia yang dipasung.

(1)

I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perilaku kesehatan medis yang dilakukan oleh keluarga pasien skizofrenia selama ini dan melihat faktor-faktor apa yang akhirnya melatarbelakangi keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan mengambil keputusan memasung pasien. Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap tiga keluarga penderita skizofrenia yang dipasung, satu narasumber dari pihak rumah sakit. Pendekatan penelitian dilakukan dengan desain studi kasus. Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK), menggunakan pendekatan deduktif, yakni analisis isi terarah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dipengaruhi oleh: a) pengetahuan yang cenderung kurang ilmiah mengenai penyebab skizofrenia b) persepsi yang negatif tentang keparahan dan manfaat penggunaan pengobatan medis, c) pengalaman negatif saat melakukan pengobatan medis dan saat tanpa pemasungan, dan d) pengalaman positif selama pasien dipasung.


(2)

I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni

ABSTRACK

This research was intended to observe health medical behavior that was treated by person with a schizophrenia patient’s family all this time and to look at what factors that influence the family quit using medical treatment and decided to physical restraint the patient. Semi-structured interviews were held to three physical restrained schizophrenia patient’s family, one source from hospital side. Research approach with study case research design. Data was analyzed using Qualitative Content Analysis (QCA), using deductive approach, which is directional content analysis. This research result showed the patient’s family that quit using medical treatment was affected by: a) knowledge that tends to be less scientific about schizophrenia disease causes b) negative perception about severe condition and medical treatment benefit, c) negative experience when using medical treatment and without physical restrains, and d) positive experience when patient was physical restrained.


(3)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni 129114136

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

The most beautiful things In the world cannot be seen or touched

They are felt with the heart.

Now here is my secret, it’s very simply: you can only see things clearly with your heart.

What is essential is invisible to the eye. - Antoine de Saint – Exupery, The Little Prince


(7)

v

All men have stars, but they are not the same things for different people. For some, who are travelers, the stars are guides.

For others they are no more than little lights in the sky. For others, who are scholars, they are problems…

But all these stars are silent.

You You alone will have stars as no one else has them. - Antoine de Saint – Exupery, The Little Prince


(8)

vi

Everything can be taken from a man but one thing; the last of the human freedoms — to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose

one's own way."


(9)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk Tuhan yang Maha Penyayang.

Untuk Ibu, Ayah, Kakak dan seluruh kelurga dan sahabat yang mendukung saya untuk menyelesaikan karya ini.

Untuk seluruh masyarakat dunia yang menginspirasi dan mendorong saya untuk menyelesaikan karya ini.


(10)

(11)

ix

PERILAKU KESEHATAN MEDIS PADA KELUARGA PENDERITA SKIZOFRENIA YANG DIPASUNG

I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat perilaku kesehatan medis yang dilakukan oleh keluarga pasien skizofrenia selama ini dan melihat faktor-faktor apa yang akhirnya melatarbelakangi keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan mengambil keputusan memasung pasien. Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap tiga keluarga penderita skizofrenia yang dipasung, satu narasumber dari pihak rumah sakit. Pendekatan penelitian dilakukan dengan desain studi kasus. Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK), menggunakan pendekatan deduktif, yakni analisis isi terarah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dipengaruhi oleh: a) pengetahuan yang cenderung kurang ilmiah mengenai penyebab skizofrenia b) persepsi yang negatif tentang keparahan dan manfaat penggunaan pengobatan medis, c) pengalaman negatif saat melakukan pengobatan medis dan saat tanpa pemasungan, dan d) pengalaman positif selama pasien dipasung.


(12)

x

HEALTH MEDICAL BEHAVIOR OF FAMILY LIVING A PERSON WITH SCHIZOPRENIC PATIENT IN PASUNG: PHYSICAL RESTRAINT

I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni

ABSTRACK

This research was intended to observe health medical behavior that was treated by person with a schizophrenia patient’s family all this time and to look at what factors that influence the family quit using medical treatment and decided to physical restraint the patient. Semi-structured interviews were held to three physical restrained schizophrenia patient’s family, one source from hospital side. Research approach with study case research design. Data was analyzed using Qualitative Content Analysis (QCA), using deductive approach, which is directional content analysis. This research result

showed the patient’s family that quit using medical treatment was affected by: a) knowledge that tends to be less scientific about schizophrenia disease causes b) negative perception about severe condition and medical treatment benefit, c) negative experience when using medical treatment and without physical restrains, and d) positive experience when patient was physical restrained.


(13)

(14)

xii

KATA PENGANTAR

1. Sang Pencipta dari Negeri Awan, yang telah mengijinkan, mendukung dan bekerjasama dengan penulis untuk melaksanakan penelitian ini. Terimakasih untuk Inspirasinya.

2. Ibu, Bapak, Kakak, yang membiarkan penulis untuk mengambil konsekuensi terhadap pilihannya. Terimakasih sudah mengijinkan penulis untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

3. Dr. Tjipto Susana, sosok yang mengajarkan bahwa melakukan kesalahan adalah sesuatu yang wajar dan menjadikan pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Terimakasih sudah menjadi role model untuk penulis.

4. Pangeran kecil, sahabat imajinatif yang selalu mengajarkan penulis untuk menikmati dan menemani setiap proses dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Sahabat Cabe’s, manusia di belakang layar yang menjadi alarm pengingat untuk tidak pernah menyerah. Terimakasih untuk hari-hari yang berwarna yang telah kalian tawarkan dan bagikan untuk hidup penulis.

6. Ovi dan Inel, duo manusia (deep conversation) yang selalu menjadi teman untuk membagi isi pikiran-pikiran gila si penulis, ditambah beberapa bumbu teoritis yang alhasil membuat kebiasaan over thinking penulis menjadi berkurang. Terimakasih untuk waktu yang kalian habiskan bersama penulis.


(15)

xiii

7. Arin dan Tasya, duo room mate di Wirata yang selalu ikut menjadi team horayy-horayy dan penyemangat untuk penulis. Terimakasih untuk semangat yang kalian tularkan.

8. Untuk Banda Neira, John Mayer, Gabrielle Aplin, Monita Tahalea, Tulus, Raisa dan banyak lagi yang memenuhi playlist skripsi penulis. Musik kalian berhasil membuat penulis menyelesaikan tugas akhir. Terimakasih untuk aransemen dan lirik yang mempengaruhi hidup penulis.

9. Chezmoi, X map satu-satunya yang hampir setiap hari penulis datangi untuk mengerjakan skripsi (sampai setiap keluar dari chezmoi, gak pernah disuruh datang kembali karena udah bosen liat penulis). Terimakasih untuk kue-kue yang benar-benar membuat mood penulis jadi berseri-seri setiap makan kuenya.

10.Untuk semua orang yang sudah memberikan warna dan pengaruh di hidup penulis, yang tak bisa disebutkan satu persatu, penulis amat sangat berterimakasih.

11.Terimakasih untuk Kamu. Silakan tulis nama Kamu sendiri

………


(16)

xiv

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan kelalauian yang telah diperbuat, baik kata, maupun tulisan. Penulis menerima semua kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Yogyakarta, 12 Desember 2016 Penulis


(17)

xv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Skizofrenia 1. Definisi Gangguan Skizofrenia ... 14

2. Gejala Skizofrenia ... 15

3. Kriteria Diagnostik untuk Skizofrenia ... 21

4. Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR ... 21

5. Etologi Skizofrenia... 23

B. Perilaku Kesehatan ... 30

C. Pelayanan Kesehatan ... 36


(18)

xvi

E. Pemasungan ... 40

F. Perilaku Kesehatan Keluarga pada Penderita Skizofrenia ... 41

G. Kekhasan Studi Kasus ... 42

BAB III. METODE PENELITIAN... 46

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 46

B. Fokus Penelitian ... 47

C. Partisipan Penelitian ... 47

1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 48

2. Jumlah Subjek Penelitian ... 49

3. Lokasi Pengambilan Data ... 49

D. Instrumen Penelitian... 49

E. Prosedur Pengumpulan Data ... 51

F. Metode Analisis Data ... 52

G. Kredibilitas Penelitian ... 53

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Pelaksanaan Penelitian ... 54

B. Profil Narasumber 1. Narasumber pertama ... 56

2. Narasumber kedua ... 57

3. Narasumber ketiga ... 58

C. Hasil Penelitian ... 60

1. Faktor Predisposisi ... 60

2. Faktor Pendukung ... 69

3. Faktor Penguat ... 72

D. Dinamika Perilaku Kesehatan dalam Pemasungan ... 77

BAB V. PENUTUP ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Keterbatasan Penelitian ... 86

C. Saran ... 87

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 87


(19)

xvii

3. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa ... 88 4. Bagi Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung ... 89


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, di mana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia. Hal ini ditemukan oleh dr. Danardi Sosrosumihardjo, Spp. KJ dari kedokteran Jiwa FKUI/RSCM (Republika, 2000). Selain itu, prognosis untuk penderita skizofrenia pada umumnya kurang mengembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum muncul gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada di antaranya, ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat (Arif, 2006). Hal tersebut membuat skizofrenia menjadi salah satu gangguan mental yang sangat berat. Bila tidak segera ditangani, gangguan ini akan sangat cepat mengganggu proses perkembangan kepribadian pasien, sehingga mengakibatkan kerentanan yang berat dan berujung pada kerusakan pada kepribadian individu (Arif, 2006).

Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi pasien, tapi juga bagi orang-orang terdekatnya. Biasanya keluarga adalah orang yang paling terkena dampak kehadirnya pasien skizofrenia. Selain dikarenakan biaya perawatan yang tinggi, hampir 70% penderita adalah pasien di RSJ


(21)

secara menahun. Akibatnya, kehadiran penderita cenderung dirasakan sebagai beban keluarga (Arif, 2006). Pilihan keluarga untuk merawat dan tinggal bersama pasien skizofrenia akan menimbulkan permasalahan yang akan dialami oleh seluruh anggota keluarga. Perubahan yang dapat memicu munculnya stress pada keluarga antara lain gejala skizofrenia yang mengganggu, perubahan rutinitas dan aktivitas seluruh anggota keluarga sehari-hari, ketegangan hubungan keluarga dengan lingkungan sosial, kehilangan dukungan sosial, berkurangnya waktu luang dan kondisi keuangan yang memburuk (Stengard dalam Wardhani, 2013).

Dampak-dampak yang dialami keluarga ini cenderung membuat anggota keluarga menjauhkan diri dari penderita skizofrenia dan cenderung menolak pasien skizofrenia (Koolaee & Eternadi, 2009). Penelitian Wardhani (2013) menjelaskan bahwa perilaku keluarga terhadap pasien skizofrenia yang menolakan berupa keluarga tidak mencari informasi, merawat dengan merantai kaki, mengasingkan dan berperilaku kasar selama penderita skizofrenia berada di rumah, dan keluarga menolak untuk menjenguk ke rumah sakit jiwa. Kita ketahui, akibat dari perilaku keluarga yang cenderung menjauhkan diri dari pasien skizofrenia akan memperburuk kondisi pasien. Tetapi tidak jarang beberapa keluarga menyerah untuk menghadapi penderita skizofrenia, sehingga cenderung menjauhinya, dan beberapa di antaranya memilih untuk memasung pasien skizofrenia.

Menurut survei Kementerian Sosial pada 2008, dari sekitar 650 ribu penderita gangguan jiwa berat di Indonesia, sedikitnya 30 ribu dipasung.


(22)

Memasung pasien skizofrenia berarti keluarga melakukan segala tindakan pengikatan dan pengekangan fisik yang dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan seseorang (Minas & Diarti, 2008 dalam Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi, 2013).

Pemasungan menjadi salah satu bentuk perilaku keluarga untuk menangani penderita skizofrenia, padahal pemasungan jelas akan memperparah penderitaan pasien skizofrenia. Dampak negatifnya, yaitu penderita mengalami trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendah diri, dan putus asa. Hal ini akan memunculkan depresi dan gejala bunuh diri pada korban pemasungan (Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi, 2013). Hasil penelitian dari Divisi Psikiatri Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, mengenai dampak pemasungan menunjukan bahwa dalam kurun waktu 2006-2007 terdapat 15 kasus pemasungan penderita skizofrenia di Samosir, Sumatera Utara, dan Bireuen, Aceh. Pemasungan tersebut membuat kaki dan tangan korban mengecil. Setelah diperiksa dengan saksama, otot dari pinggul sampai kaki mengecil karena lama tidak digunakan. Dampak ini dijumpai pada penderita yang sudah dipasung selama sepuluh tahun (Minas dan Diatri, 2008)

Berdasarkan penjelasan di atas, sudah pasti pemasungan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena dipandang tidak manusiawi, dan menambah siksaan fisik dan psikis. Pemasungan sangat bertolak belakang dengan undang yang telah dibuat, yakni dalam Pasal 42


(23)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”. Pada tahun 2010, pemerintah berusaha mengatasi masalah pemasungan tersebut dengan mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung. Program tersebut berjalan cukup baik. Terjadi penurunan jumlah pemasungan di Indonesia. Pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data penderita psikotik yang di pasung sebanyak 383 kasus, 238 pengalami pembebasan, dan 145 masih tetap di pasung. Pada tahun 2011 ditemukan 1139 kasus, 990 bebas pasung dan 149 masih tetap di pasung. Pada tahun 2012 ditemukan 880 kasus, 524 bebas pasung dan 356 masih tetap pasung. Pada tahun ini 2013 ditemukan 799 kasus, sebanyak 456 bebas pasung dan 343 masih di pasung (https://www.kemsos.go.id, 2013).

Upaya pemerintah mengatasi masalah pemasungan dengan mencanangkan Indonesia Bebas Pasung sudah cukup baik karena berdasarkan penelitian yang dilakukan Fitrikasari dan Hediati (2011) didapatkan hasil bahwa pengobatan yang dilakukan dapat meningkatkan penilaian fungsi pribadi dan sosial, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan berulangnya kasus pemasungan setelah pasien kembali ke keluarganya atau terjadinya kasus pemasungan yang baru, apabila keluarga masih punya kecenderungan


(24)

untuk melakukan tindakan pemasungan, termasuk pada pasien yang sudah mendapatkan pengobatan.

Berikut ini adalah hasil cerita singkat yang dijumpai penulis berkaitan dengan permasalahan mengenai pemasungan di provinsi Bali. Permasalahan yang diceritakan oleh seorang psikiater yang berkecimpung dalam Suryani Institute for Mental Health, pada tanggal 14 Agustus, 2015. Seorang psikiater mendapatkan informasi ini, ketika ia melakukan kegiatan penanganan pasien skizofrenia yang dipasung:

”Beberapa orangtua terkadang sangat antusias dengan kedatangan para psikiater dan perawat yang datang ke rumah-rumah penderita yang dipasung untuk memberikan pengobatan, bahkan beberapa diantara mereka meminta agar pengobatan tersebut dilakukan dengan rutin agar anak mereka bisa pulih kembali. Namun ketika psikiater melakukan pendekatan dengan orang tua untuk melepas pasung, beberapa diantara orangtua menunjukan sikap penolakan dan cenderung mengalihkan pembicaraan “

Tidak hanya itu, salah satu team Suryani Institute for Mental Health ikut menambahkan lagi komentarnya mengenai permasalahan program pemerintah tersebut :

“Masalahnya tidak hanya membebaskan pasien skizofrenia saja, tapi ada penanganan jangka panjang yang tidak pernah orang bayangkan. Kebanyakan orang berpikir seperti


(25)

menangani sakit flu, setelah panas hilang pasien akan berfungsi kembali dengan sendirinya”

Berdasarkan pemaparan di atas, serta hasil wawancara singkat yang dilakukan, penulis melihat bahwa pemerintah sudah mencoba menangani permasalahan pemasungan yang terjadi di Indonesia, dengan cara memberi bantuan pengobatan kepada penderita skizofrenia yang dipasung. Namun, tidak semua penanganan tersebut berjalan dengan lancar. Beberapa keluarga memilih untuk tetap memasung anaknya dan tidak mau melepas pasien dan membawa pasien berobat kembali kerumah sakit, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan jaminan kesehatan berupa pemberian fasilitas dan pengobatan gratis melalui program bebas pasung.

Saat ini muncul pertanyaaan mengenai bagaimana pemanfaatan jaminan kesehatan medis tersebut oleh keluarga yang mendapat pengobatan medis, terutama keluarga yang berhenti melakukan pengobatan medis dan tetap melakukan perilaku memasung, padahal pemerintah sudah mengeluarkan dana untuk meluncurkan program pengobatan gratis tersebut. Apakah pemerintah kurang memberi fasilitas yang memadai kepada keluarga, sehingga keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan masih tetap memasung anaknya? Apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut sehingga keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan tetap memasung? Menurut Lewin (1954) dalam Notoadmodjo (2010), perilaku keluarga dalam mengambil keputusan untuk pengobatan keluarganya dipengaruhi oleh kepercayaan keluarga terhadap fasilitas kesehatan. Upaya atau tindakan


(26)

seseorang untuk memanfaatkan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia yang sering dipaparkan dalam bentuk perilaku kesehatan.

Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat adalah sebuah hasil dari interaksi yang kompleks dan holistik oleh individu dengan lingkungan yang mempengaruhinya beserta pelayanan kesehatan yang ada. Sehingga perilaku kesehatan itu sangat dinamis dan mengikuti aspek-aspek yang mempengaruhinya. Menurut Lawrence Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010 menjelaskan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang dirangkum dalam akronim PRECED: Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Causes in Educational Diagnoses and Evaluation. Precede ini adalah merupakan arahan dalam menganalisis atau mendiagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede dapat diuraikan melalui 3 faktor, yakni faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sikap yang menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap objek,


(27)

kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu terhadap penyakit tersebut oleh keluarga pasien. Faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam sumber-sumber daya yang mencakup fasilitas, biaya, waktu, tenaga, jarak tempuh, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, ketersedian alat transportasi yang mempengaruhi keluarga untuk menggunakan pengobatan medis. Faktor-faktor pendorong atau penguat (renforcing factors), merupakan faktor sesudah perilaku yang memberikan reward atau insentif berkelanjutan bagi perilaku dan berkontribusi bagi persistensi atau pengulangan terhadap perilaku keluarga pasien.

Munculnya fenomena pemasungan ini sebagai hasil dari perilaku kesehatan masyarakat dalam bentuk tanpa melakukan pengobatan, membuat penulis tertarik untuk melihat secara lebih dalam mengenai perilaku kesehatan yang terfokus pada pengobatan medis yang dilakukan oleh keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia yang dipasung. Perilaku kesehatan medis mengkaji aktivitas dan respon keluarga berkaitan dengan upaya pemeliharaan atau peningkatan kesehatan dengan cara melihat pengalaman yang dirasakan selama proses pengobatan atau penyembuhan menggunakan pengobatan medis hingga keluarga mengambil keputusan untuk berhenti melakukan pengobatan dan memilih untuk melakukan pemasungan. Respon keluarga terhadap perilaku kesehatan medis dapat ditinjau dari beberapa faktor, yaitu predisposing factor, enabling, dan reinforcing causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga


(28)

yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung. Faktor-faktor tersebut akan dijadikan acuan bagi penulis dalam menganalisis atau diagnosis perilaku kesehatan medis dari keluarga sehingga dapat dilakukan evaluasi dan dapat memberikan intervensi yang sesuai.

Diharapkan hasil penelitian bisa membantu pemerintah dan pemberi layanan kesehatan untuk memperbaiki program yang sudah dibentuk selama ini, dengan melihat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan masyarakat mengenai penggunaan dari fasilitas kesehatan medis. Sehingga layanan kesehatan bisa menentukan strategi pendekatan yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan medis masyarakatnya yang masih tetap memasung anaknya.

Dalam penelitian ini penulis akan melakukan penelitian terhadap anggota keluarga yang memiliki anak atau saudara yang menderita gangguan skizofrenia yang masih dipasung dan pernah mendapatkan penanganan dari tim rumah sakit jiwa. Peneliti memilih anggota keluarga sebagai subjek karena perilaku kesehatan pada pasien skizofrenia merupakan perilaku yang dikondisikan oleh anggota keluarga pasien dan tidak dijalani, ataupun dirasakan sendiri oleh pasien.

Sejauh ini belum ada penelitian yang membahas mengenai gambaran perilaku kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anak menderita gangguan skizofrenia yang dipasung. Penelitian mengenai perilaku kesehatan selama ini juga lebih banyak membicarakan tentang perilaku kesehatan pada


(29)

penderita penyakit yang tergolong berat dan berstadium lanjut. Nugroho (2011) ingin melihat faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan tuberkolosis paru di BP4 Tegal, dan disimpulkan faktor yang melatarbelakangi drop out adalah lama pengobatan melewati tahap intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa sembuh, pembiayaan pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak mengetahui tentang tahapan pengobatan, tidak adanya pengawasan menelan obat, adanya kesulitan transportasi menuju BP4, adanya efek samping obat, ketidaktahuan tentang komplikasi penyakit. Chusairi (2004) melakukan penelitian terhadap penderita kanker stadium akhir di poli perawatan paliatif, dan menghasilkan simpulan bahwa gambaran perilaku kesehatan pada pasien poli perawatan paliatif mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Penyakit yang berada pada tahap terminal membuat mereka memutuskan cara pengobatan medis maupun non-medis untuk memperingan beban sakit baik disease maupun illnessnya (2) Para pasien poli perawatan paliatif sudah tidak banyak diminta untuk memutuskan sendiri cara pengobatannya, namun pendapat keluarga dan other person or significant person lebih berperan dalam pengambilan keputusan health seeking behavior-nya (3) Pertimbangan faktor internal seperti personal reference, kepercayaan dorongan spiritual dan sikap tetap memberikan kontribusi positif dalam health seeking behavior (4) Pertimbangan faktor eksternal seperti kondisi keuangan, budaya, waktu dan fasilitas juga merupakan sesuatu hal yang tidak pernah diabaikan dalam health seeking behavior. Beberapa peneliti juga sempat membahas mengenai


(30)

perilaku keluarga terhadap pasien skizofrenia. Salah satunya yaitu penelitian dari Wardhani (2013) yang melihat proses penerimaan keluarga terhadap pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap. Hasil penelitian menunjukan bahwa hanya satu dari tiga keluarga pasien yang mau menerima secara penuh pasien skizofrenia. Hal tersebut dipengaruhi oleh permasalahan yang dihadapi ketiga keluarga yaitu: 1) Pemahaman dan informasi terkait gangguan jiwa, 2) Cara merawat pasien, 3) Penilaian lingkungan terhadap keluarga, 4) Penilaian keluarga terhadap pasien.

Penulis sudah mencari jurnal online maupun jurnal cetak, namun sejauh ini penulis hanya sedikit menemukan jurnal atau hasil penelitian yang mengkaitkan pemasungan dengan perilaku kesehatan. Lestari, Choiriyyah, Mathafi (2014) melakukan penelitian untuk melihat kecenderungan atau sikap keluarga penderita gangguan jiwa terhadap tindakan pasung, dan menghasilkan kesimpulan bahwa 50% keluarga penderita gangguan jiwa yang datang ke poliklinik RSJ mempunyai sikap kurang mendukung terhadap tindakan pasung karena alasan kasihan, menyiksa, dengan dipasung penderita tidak bisa sembuh, bisa melukai, dan tidak bisa bergerak bebas. Sedangkan keluarga yang mempunyai kecenderungan untuk memasung merasa bahwa pasung baik dilakukan jika pasien mengamuk, jika kondisi ekonomi tidak ada, dan bersifat sementara untuk mengendalikan emosi pasien. Sehingga tidak mengamuk, membahayakan, dan mengganggu orang lain. Minas dan Diatri (2008) menjelaskan bahwa sedikit aktivis dan organisasi yang tertarik untuk meneliti penomena pemasungan, hal tersebut karena akses yang


(31)

terjangkau. Diharapkan jika penelitian berfokus pada perilaku kesehatan medis pasien, hasil ini dapat menambahkan informasi mengenai dinamika perilaku yang dilakukan keluarga selama menggunakan pengobatan medis dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis dan tetap memasung pasien skizofrenia secara lebih mendalam, yang ditinjau dari faktor predisposing, enabling, dan reinforcing causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang, maka ditemukan dua pertanyaan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku kesehatan yang ditinjau dari faktor predisposing, enabling, dan reinforcing causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung?

2. Bagaimana perilaku kesehatan medis dan dinamika perilaku kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anak menderita gangguan skizofrenia yang dipasung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran dari perilaku kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia yang dipasung, pengalaman dan proses yang jelas selama melakukan


(32)

pengobatan medis, serta mengetahui alasan keluarga dalam pengambilan keputusan akhir untuk memasung.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber literatur terkait dengan tema pemasungan dan perilaku kesehatan medis. Selain itu, terkait dengan faktor minimnya penelitian mengenai kasus pemasungan, penulis berharap penelitian ini bisa menjadi tambahan informasi jika nantinya penelitian berikutnya ingin mengembangkan topik serupa.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Praktisi Psikologis

Diharapkan hasil dari penelitian mampu memberikan gambaran permasalahan-permasalahan pada pasien skizofrenia yang ada di lapangan, sehingga harapannya para praktisi psikologis bisa memberikan penanganan yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi di lapangan.

b. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa

Diharapkan hasil tersebut dapat membantu pihak rumah sakit untuk memperbaiki program yang sudah dibentuk selama ini, dengan melihat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan masyarakat mengenai penggunaan dari fasilitas kesehatan. Sehingga layanan kesehatan bisa menentukan strategi pendekatan


(33)

yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan masyarakatnya yang masih tetap memasung pasien.

c. Bagi Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung

Diharapkan hasil penelitian bisa memberikan informasi dan gambaran kepada keluarga, bahwa perilaku pemasungan tidak baik untuk dilakukan kepada pasien skizofrenia.


(34)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini, penulis pertama-tama akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan penyakit skizofrenia, gejala-gejala, kategorisasi jenis skizofrenia dan etiologinya. Kemudian, penulis akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan perilaku kesehatan medis, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan medis. Selanjutnya, pembahasan akan menerangkan mengenai definisi pemasungan dan jenis-jenisnya. Pada bagian terakhir, penulis akan menyampaikan kerangka konsep penelitian ini.

A.Skizofrenia 1. Definisi Gangguan Skizofrenia

Bleuler dalam Semiun (2006) menjelaskan bahwa skizofrenia diartikan sebagai “kepribadian terbelah”. Schizophrenia berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata, yakni schistos = terbelah dan phren = otak. Dengan demikian, skizofrenia berarti otak terbelah atau kepribadian terbelah.

World Health Organitation (2013) menjelaskan bahwa skizofrenia adalah gangguan mental parah yang secara tipikal muncul pada usia remaja akhir atau dewasa awal. Gangguan ini ditandai dengan distorsi persepsi dan pikiran, serta emosi yang tidak sesuai. Gangguan ini juga meliputi fungsi-fungsi dasar yang pada orang normal, memberikan perasaan individualis, keunikan, dan pengarahan diri. Perilakunya


(35)

benar-benar terganggu selama tahap munculnya gangguan, yang mengarah pada konsekuensi sosial yang tidak menyenangkan, kepercayaan salah yang sangat kuat dan tanpa realita.

White mengatakan bahwa ciri yang sangat membedakan skizofrenia dari psikosis-psikosis lain ialah sikap aneh terhadap kenyataan, kurangnya perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan, perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan menjadi sekunder dibandingkan perhatiannya terhadap hal-hal lainnya (White, 1948 dalam Semiun, 2006)

Berdasarkan beberapa pengertian skizofrenia yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah gangguan mental parah yang cenderung muncul pada usia remaja akhir atau dewasa awal. Gangguan ini ditandai dengan distorsi persepsi dan pikiran, serta emosi yang tidak sesuai. Perilakunya benar-benar terganggu selama tahap munculnya gangguan. Ditandai dengan sikap aneh terhadap kenyataan, kurangnya perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan, perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan menjadi sekunder dibandingkan perhatiannya terhadap hal-hal lainnya.

2. Gejala-Gejala Skizofrenia

Gejala-gejala skizofrenia terbagi atas tiga katagori, yaitu gejala positif, negatif, dan disorganisasi.


(36)

a. Gejala positif

Gejala positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan delusi atau waham. Gejala ini, sebagian tersebarnya menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.

1) Delusi atau dikenal juga dengan istilah waham, yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, beberapa yang mendekati delusi juga dianggap sebagai gejala-gejala positif yang umum pada skizofrenia (Schneider, 1959 dalam Davison, 2006). Gambaran delusi di bawah ini dikutip dari Mellor, 1970 dalam Davison, 2006:

a) Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya dimasukkan ke dalam pikirannya oleh suatu sumber ekternal. b) Pasien yakin bahwa pikiran mereka disiarkan dan

ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui apa yang mereka pikiran.

c) Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri, secara tiba-tiba dan tanpa terduga, oleh suatu kekuatan eksternal.

d) Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka dikendalikan oleh suatu kekuatan ekstenal.

2) Halusinasi yaitu keadaan dimana penderita yang berhalusinasi mengungkapkan pengalamannya tentang kenyataan secara salah dan sama sekali tidak tepat, mendengar, mencium, atau melihat segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Yustinus, 2006). Tipe–


(37)

tipe halusinasi antara lain (dikutip dari Mellor, 1970 dalam Davison, 2006):

a) Beberapa pasien skizofrenia menuturkan bahwa mereka mendengarkan pikiram mereka diucapkan oleh suara lain. b) Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar

suara-suara yang saling bedebat.

c) Beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari perilaku mereka.

b. Gejala negatif

Gejala negatif skizofrenia mencakup berbagai defisit behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Gejala-gejala ini cenderung bertahan melampaui suatu episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skizofrenia. Gejala ini juga penting secara prognostik, banyaknya gejala negatif merupakan prediktor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (a.l., ketidakmampuan bekerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat dirumah sakit (Ho, 1998 dalam Davison, 2006). 1) Avolition

Apati atau avolation merupakan kondisi kurangnya energi dan ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin.


(38)

2) Alogia

Merupakan suatu gangguan pikiran negatif, alogia dapat terwujud dalam beberapa bentuk. Seperti miskin isi percakapan, jumlah percakapan yang memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang. 3) Anhedonia

Ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan disebut anhedonia. Ini tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas rekreasional, gagal untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain, dan kurangnya minat dalam hubungan seks. Pasien sadar akan gejala-gejala ini dan menuturkan bahwa apa yang biasanya dianggap aktivitas yang menyenangkan tidaklah demikian bagi mereka.

4) Afek Datar

Pada pasien yang memiliki afek datar hampir tidak ada stimulus yang dapat memunculkan respons emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot-otot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa nada. Afek datar terjadi pada 66 persen dari suatu sampel besar pasien skizofrenia (Sartorius, 1974 dalam Davison, 2006)


(39)

5) Asosialitas

Beberapa pasien mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan sosial, yang disebut asodialitas. Mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan sosial yang rendah, dan sangat kurang berminat berkumpul bersama orang lain. Manifestasi skizofrenia ini sering kali merupakan yang pertama kali mucul, berawal dari masa kanak-kanak sebelum timbulnya gejala-gejala yang lebih psikotik.

c. Gejala Disorganisasi

Gejala disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku aneh (bizarre).

1) Disorganisasi Pembicaraan juga dikenal sebagai ganguan berpikir formal, dan merujuk pada masalah dalam mengorganisasikan berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya. Pembicaraan juga menjadi terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar, atau keluar jalur (derailment), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam berkomunikasi dengan seorang pendengar namun mengalami kesulitan untuk tetap pada satu topik. Ia tampak seolah terbawa oleh aliran asosiasi yang muncul dalam pikiran yang berasal dari suatu pemikiran sebelumnya. Para pasien memberikan deskripsi atau kondisi tersebut.


(40)

2) Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan perilaku seksual yang tidak pantas seperti melakukan manstrubasi di depan umum. Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikan dengan berbagai standar masyarakat. Mereka juga menampilkan kesulitan melakukan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup.

d. Gejala Lain

Beberapa gejala lain skizofrenia yang tidak cukup tepat untuk digolongkan ke dalam ketiga lategori yang telah disampaikan. Dua gejala penting dalam kelompok ini adalah katatonik dan afek yang tidak sesuai :

1) Katatonik

Beberapa abnormalitas motorik menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat melakukan suatu gerakan berulang kali, mengunakan urutan yang aneh dan kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan, yang sering kali tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa pasien menunjukan peningkatan yang tidak biasa pada keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat ringan, menggerakan anggota badan secara liar, dan pengeluaran energi yang sangat


(41)

besar seperti yang terjadi pada mania. Di ujung lain spectrum ini adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam posisi demikian untuk waktu yang sangat lama.

2) Afek yang tidak sesuai

Beberapa penderita skizofrenia memiliki afek yang tidak sesuai. Respon-respon emosional individu semacam ini berada di luar konteks, pasien dapat tertawa ketika mendengar kabar bahwa ibunya baru meninggal atau marah ketika ditanya dengan pertanyaan sederhana. Para pasien tersebut dengan cepat berubah dari satu kondisi emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan yang jelas. Meskipun gejala ini cukup jarang terjadi, namun bila benar-benar terjadi, gejala ini memiliki kepentingan diagnostik yang besar karena relatif spesifik bagi skizofrenia.

3. Kriteria diagnostik untuk skizofrenia

Berawal dari DSM-III dan berlanjut dalam DSM-IV dan DSM-IV-TR, konsep skizofrenia mengalami perubahan besar dari definisi terdahulu yaitu:

a. Characteristic sympthoms : terdapat dua atau lebih gejala-gejala berikut ini dengan porsi waktu yang signifikan selama sekurang-kurangnya satu bulan:


(42)

1. Waham 2. Halusinasi

3. Disorganisasi bicara 4. Disorganisasi perilaku 5. Gejala-gejala negatif

b. Social/occupational dysfungtion: keberfungsian sosial dan pekerjaan menurun sejak timbulnya gangguan.

c. Duration: gejala gangguan terjadi sekurang-kurangnya enam bulan, sekurang-kurangnya satu bulan untuk gejala-gejala pada poin pertama. Selebihnya gejala-gejala negatif atau gejala lain pada poin pertama dalam bentuk ringan.

d. Para pasien mengalami gejala-gejala gangguan mood secara spesifik dipisahan. Skizofrenia tipe skizoafektif, sekarang dicantumkan sebagai gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda sebagai salah satu gangguan psikotik. Gangguan skizoafektif mencakup gangguan gabungan gejala-gejala skizofrenia dan gangguan mood.

e. DSM-IV-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi sekurang-kurangnya enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan tersebut harus mencakup satu episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya satu bulan, ditandai dengan adanya minimal dua gejala. Sisa waktu yang diperlukan bagi diagnosis dapat terjadi sebelum atau sesudah fase aktif. Berbagai masalah yang terjadi pada fase ini mencakup penarikan diri dari hubungan sosial, kendala dalam


(43)

keberfungsian peran, afek yang tumpul atau tidak sesuai, kurangnya inisiatif, cara bicara yang membingungkan dan tidak dapat dimengerti, gangguan dalam kebersihan dan kerapian, keyakinan yang aneh atau pikiran magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar.

f. Beberapa gangguan pada DSM-II dianggap bentuk ringan skizofrenia, sekarang didiagnosis sebagai gangguan kepribadian. Contohnya, gangguan kepribadian skizotipal.

4. Kategori sizofrenia dalam DSM-IV-TR

a. Paranoid Type

Semiun (2006) menjelaskan bahwa penderita skizofrenia paranoid memperlihatkan ide-ide referensi dan pengaruh, serta delusi dikejar-kejar (delusion of persecution) dan kadang-kadang delusi kemegahan (delusion of grandeur. Gangguan ini berkembang agak lambat dan mungkin muncul sedikit dibandingkan reaksi-reaksi skizofrenia lainnya. Ciri khas penderita paranoid adalah murung, mudah tersinggung, dan curiga.

b. Disorganized Type

Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan oleh Kraeplin disebut skizofrenia disorganisasi dalam DSMM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh pendengar. Pasien dapat bicara secara tidak runtut, menggabungkan kata-kata yang terdengar sama dan bahkan menciptakan kata-kata baru, sering kali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar


(44)

atau terus-menerus mengalami perubahan emosi yang dapat meledak menjadi tawa atau tangis yang tidak dapat dipahami. Perilaku pasien secara umum tidak terorganisir dan tidak bertujuan. Pasien kadang kala mengalami kemunduran sampai ke titik yang tidak pantas, buang air besar sembarangan, dan benar-benar mengabaikan penampilan (Davison, 2006).

c. Catatonic Type

Skizofrenia katatonik cenderung bertingkah laku yang tidak masuk akal dan selalu terjadi berulang-ulang, seperti misalnya berjalan mondar-mandir tidak henti-henti, selain itu cenderung terus mengulang kata-kata yang sama. Meskipun tingkah lakunya menunjukan pengunduran diri dari kenyataan, tetapi kemungkinan untuk sembuh jauh lebih besar dibandingkan dengan tipe-tipe skizofrenia yang lain (Semiun, 2006). Dalam reaksi katatonik, penderita berubah-ubah sikap antara keadaan stupor (seperti terbius) dan keadaan gempar serta meledak-ledak. Dalam keadaan stupor, penderita kehilangan segala semangatnya, tetap tidak bergerak selama berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan pada kejadian-kejadian tertentu bias lebih lama lagi. Ia tidak makan dan tidak menunjukan usaha untuk menunjukan usaha ingin mengendalikan buang air besar atau buang air kecil. Suatu hal yang mengherankan bahwa meskipun ia tampaknya stupor, tetapi ia bisa mengetahui semua yang terjadi di sekitarnya dan kadang-kadang dapat


(45)

memberikan bukti yang jelas atas apa yang diketahuinya. Kadang-kadang negativisme bisa berubah menjadi sikap mudah dipengaruhi dan penderita akan menirukan tingkah laku orang lain dan mengulang secara mekanik kata-kata orang lain atau menjalankan perintah orang lain secara otomatis. Selain itu, pada tahap cerea flexibility, yaitu badan menjadi beku seperti lilin. Ia menderita katalepsi, seperti berada dalam keadaan trance, seluruh badannya menjadi kaku, atau bahkan tidak bias dibengkokkan. Jika ia mengambil posisi tertentu maka ia bertingkah laku demikian bisa sampai berjam-jam atau bahkan berhari-hari.

Dari keadaan stupor, penderita beralih kepada keadaan gempar dan meledak-ledak, dan munculnya secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan. Ia seperti berada di bawah beban kegiatan yang berat. Ia berbicara gempar dan meledak-ledak tanpa sebab dan tanpa tujuan. Ia bias melakukan tingkah laku seksual yang tidak terkendali, atau perbuatan agresif yang ditunjukan kepada dirinya sendiri, atau terhadap orang-orang lain yang ada disekitarnya. d. Undifferentiated Type

Skizofrenia yang tidak terperinci atau undifferentiated type merupakan tipe yang tidak memiliki satu atau lebih dari semua kriteria yang dikemukakan. Skizofrenia yang tidak terperinci tidak memenuhi kriteria umum untuk didiagnosa skizofrenia, tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,


(46)

katatonik, atau tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia (Maslim, 1998 dalam Semiun 2006). e. Residual Type

Orang-orang yang mengalami gangguan skizofrenia residual adalah orang-orang uang sekurang-kurangnya memiliki riwayat episode psikotik yang jelas pada masa lampau dan sekarang memperlihatkan beberapa tanda skizofrenia, seperti emosi yang tumpul, menarik diri dari masyarakat, bertingkah laku eksentrik, atau mengalami gangguan pikiran, tetapi gejala-gejala ini pada umumnya tidak begitu kuat. Selanjutnya, gejala-gejala seperti delusi dan halusinasi mulai terjadi dan hanya samar-samar (Holmes, 1991 dalam Semiun, 2006).

Untuk didiagnosisi sebagai skizofrenia residual harus memenuhi semua persyaratan sebagai berikut: (1) gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya psikomotor lambat, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan tidak ada inisiatif, kuantitas atau isi pembicaraan miskin, modulasi suara, posisi tubuh, serta perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk; (2) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas pada masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia; (3) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham (keyakinan atau pikiran yang salah karena bertentangan dengan dunia nyata, serta dibangun atas


(47)

unsur-unsur yang tidak berdasarkan logika, curiga) dan halusinasi sangat berkurang (minimal) dan timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia, serta (4) Tidak terdapat dementia atau penyakit atau gangguan otak organik yang lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut (Maslim, 1998 dalam Semiun, 2006).

5. Etiologi Skizofrenia

a. Data genetik

Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasi bahwa suatu predisposisi bagi skizofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar, dan adopsi digunakan dalam penelitian dan menyimpulkan bahwa skizofrenia diturunkan secara genetik. Selain itu para pasien yang memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga mengalami banyak gejala negatif dibandingkan para pasien yang tidak memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga (Malaspina, 2000 dalam Davison, 2006), menunjukan bahwa gejala-gejala negatif dapat mengandung komponen genetik yang lebih kuat. Dengan demikian, data yang diperoleh melalui metode keluarga mendukung bahwa suatu predisposisi terhadap skizofrenia dapat menurun secara genetik. Meskipun demikian, berbagai studi yang lebih mutakhir terhadap anak-anak yang orangtuanya menderita skizofrenia yang dibesarkan oleh orangtua asuh dan orangtua adopsi, ditambah pemantauan terhadap para kerabat anak-anak adopsi yang menderita skizofrenia, hampir


(48)

menghilangkan potensi pengaruh lingkungan yang membingungkan. Faktor-faktor genetik hanya dapat menjadi pemberi predisposisi terhadap skizofrenia. Diperlukan beberapa jenis stress untuk membuat predisposisi menjadi patologi yang dapat diamati.

b. Faktor Biokimia

Peran faktor-faktor genetik dalam skizofrenia menunjukan bahwa faktor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologis membuat faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Penelitian saat ini mengkaji beberapa neurotransmitter yang berbeda, seperti norepinefrin dalam serotonin, dan salah satu faktor yang paling mempengaruhi yaitu, dopamin.

Pada awalnya para peneliti berasumsi bahwa skizofrenia disebabkan oleh kelebihan dopamin. Namun, seiring dilakukannya berbagai studi lain, asumsi ini tidak mendapat dukungan, karena jumlah dopamin tidak ditemukan dalam jumlah yang besar pada penderita skizofrenia (Bowers, 1947 dalam Davison, 2006).

c. Otak

Analisis pasca kematian pada otak pasien skizofrenia merupakan salah satu sumber bukti. Berbagai studi mengungkapkan adanya abnormalitas pada beberapa daerah otak pasien skizofrenia, meskipun abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antar studi, dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada


(49)

hilangnya beberapa sel otak. Beberapa temuan lain yang cukup konsisten mengindikasikan abnormalitas struktur pada daerah subkortikal temporalimbik, seperti hipokampus dan basal ganglia, dan pada korteks prefrontalis dan temporal (Dwork, 1997; Heckers, 1997; dalam Davison, 2006). Rongga otak yang lebar pada pasien skizofrenia berkorelasi dengan kinerja yang lemah dalam berbagai tes neuropsikologis, penyesuaian yang buruk sebelum timbulnya gangguan, dan respon yang buruk dalam terapi pengobatan (Andresen dkk., 1982; Weinberge dkk., 1980; dalam Davison, 2006)

d. Stres Psikologis

Stress psikologi berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan biologis untuk menimbulkan penyakit ini. Data menunjukan bahwa sebagaimana pada banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stress kehidupan meningkatkan kemungkinan kekambuhan (Hirsch dkk., 1996; Ventura dkk., 1989; dalam Davison, 2006). Para individu yang menderita skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stressor yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari

B. Perilaku Kesehatan Medis

Notoadmodjo (2007) menjelaskan bahwa perilaku kesehatan medis merupakan suatu respon dari seseorang yang berkaitan dengan masalah kesehatan, penggunaan pelayanan kesehatan medis, pola hidup, maupun lingkungan sekitar yang


(50)

mempengaruhinya. Perilaku kesehatan medis adalah seluruh aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan medis. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan ke rumah sakit. Oleh sebab itu perilaku kesehatan medis ini pada garis besarnya dikelompokan menjadi dua, yakni:

1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab itu perilaku ini disebut perilaku sehat yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari penyakit dan meningkatkan kesehatan.

2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatan. Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan. Tempat pencarian kesehatan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan modern atau profesional.

Lawrence Green (1981) dalam Notoatmodjo (2010) mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan melalui teori PRECEDE dan PROCEED. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes), selanjutnya faktor perilaku dan di luar perilaku tersebut dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang dirangkum dalam akronim PRECEDE: Predisposing, Enabling, dan


(51)

Reinforcing Causes in Educational Diagnoses and Evaluation. Precede ini adalah merupakan arahan dalam menganalisis, mendiagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede merupakan fase analisis dan diagnosa masalah.

Sedangkan setelah diperoleh analisis dan diagnosa yang jelas, selanjutnya akan dilakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dirangkum dalam akronim PROCEED: Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and Environmental Development yang merupakan arahan dalam perencanaan, inplementasi, dan evaluasi pendidikan kesehatan. Apabila Preceed merupakan fase diagnosis masalah, maka Proceed adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi promosi kesehatan.

Peneliti akan berfokus pada proses diagnosa terhadap perilaku kesehatan medis pada keluarga. Sehingga peneliti mencoba melihat dari teori Precede model, yang diuraikan dari 3 faktor, yakni:

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam : a. Pengetahuan, sikap, kepercayaan, mengenai penyakit dan tanggung

jawab individu terhadap penyakit tersebut

b. Pengalaman tentang pengobatan yang sama sebelumnya termasuk efek samping dari obat tersebut

c. Persepsi mengenai sehat dan sakit, tingkat keparahan. 2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam:

a. Jarak tempuh ke tempat pelayanan kesehatan (dokter, bidan, apotek) b. Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan


(52)

c. Ketersedian alat transportasi yang dapat dimanfaatkan untuk menuju ke tempat pelayanan kesehatan

3. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factor) adalah faktor sesudah perilaku yang memberikan reward atau insentif berkelanjutan bagi perilaku dan berkontribusi bagi persistensi atau pengulangan.

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi. Disamping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Selanjutnya, peneliti akan berfokus pada dinamika kesehatan medis yang dilakukan oleh keluarga pasien. Dinamika dari perilaku kesehatan medis akan menekankan mengenai respon seseorang yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan respon terhadap penggunaan pelayanan kesehatan atau yang disebut dengan perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan atau respon terhadap penyakit cenderung berbentuk aktivitas atau kegiatan seseorang yang berkaitan dengan peningkatan atau pemeliharaan kesehatan medis pasien. Perilaku kesehatan medis disini akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu perilaku pencarian kesembuhan atau pemecahan masalah menggunakan pengobatan medis dan perilaku tidak mengobati atau tidak mencari pengobatan medis. Perilaku kesehatan atau respon tersebut akan dikaitkan dengan faktor-faktor yang membentuk respon perilaku tersebut, sehingga diperoleh dinamika kesehatannya. Perilaku kesehatan pada penelitian ini dilakukan oleh keluarga pasien. Hal tersebut dikarenakan perilaku kesehatan yang terjadi pada


(53)

pasien skizofrenia cukup berbeda dari pasien-pasien yang terkena penyakit, yang pada umumnya merasakan gejala dari sakit yang diderita. Pasien skizofrenia cenderung tidak merasakan sakit atau merasakan sesuatu dalam tubuhnya, sehingga tidak mampu secara mandiri untuk mengambil keputusan dalam mencari pengobatan. Sehingga hasil penelitian ini lebih melihat bagaimana perilaku kesehatan yang dilakukan oleh keluarga pasien dalam merespon sakit yang diderita oleh pasien, karena perilaku kesehatan pasien merupakan perilaku yang dikondisikan oleh keluarg

.

C. Pelayanan Kesehatan

Departemen kesehatan (2009) menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersamaan dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya Azwar (1996) menjelaskan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan penggunaan fasilitas pelayanan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas kesehatan ataupun bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan tersebut yang didasarkan pada ketersediaan dan kesinambungan pelayanan, penerimaan masyarakat dan kewajaran, mudah dicapai oleh masyarakat, terjangkau serta bermutu.


(54)

Azwar (1996) juga menjelaskan bahwa suatu pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada masyarakat dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan. Beberapa diantaranya persyaratan pokok pelayanan kesehatan:

1. Ketersediaan Fasilitas

Pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat (acceptable) serta berkesinambungan (sustainable). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat ditemukan serta keberadaanya dalam masyarakat adalah ada pada setiap saat dibutuhkan 2. Kewajaran dan Penerimaan Masyarakat

Pelayanan kesehatan yang baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan tersebut dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan yang baik.

3. Mudah Dicapai oleh Masyarakat

Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Jangkauan fasilitas membantu untuk menentukan permintaan yang efektif. Bila fasilitas mudah dijangkau dengan menggunakan alat transportasi yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. Tingkat penggunaan di masa lalu dan kecenderungan


(55)

merupakan indikator terbaik untuk perubahan jangka panjang dan pendek dari permintaan pada masa akan datang.

4. Terjangkau

Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau (affordable) oleh masyarakat, dimana diupayakan biaya pelayanan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.

5. Mutu

Mutu (kualitas) yaitu menunjukan tingkat kesempurnaaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan menunjukan kesembuhan penyakit secara keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

D. Keluarga

Murdock dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan keluarga adalah anggota yang terdiri dari lelaki dewasa, dan perempuan dewasa dengan kesepakatan berhubungan seksual dan bisa mempunyai anak. Mereka juga tinggal dalam satu rumah. Selain itu, Wilk dan Netting (1984), Hamel (1984) dan Carter (1984) dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelasakan bahwa keluarga adalah pengelompokan kerabat yang tak harus tinggal satu tempat. Kondisi ini amat mungkin terjadi dalam era modern saat ini, yang tingkat mobilitas tinggi dan letak kantor dengan rumah amat jauh, sehingga sebuah keluarga bisa terpecah selama hari kerja dan berkumpul kembali di akhir pekan. Selain itu, Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan


(56)

terdapat dua bentuk keluarga: yaitu 1) keluarga batih/ inti (nuclear family) merupakan bentuk umum dari sebuah keluarga. Bentuk ini terlihat dari komposisinya yang paling dasar, yakni ada ayah, ibu, dan anak yang semuanya sedarah.2) keluarga besar (extended family), yaitu keluarga yang merujuk pada keluarga inti dengan penambahan anggota keluarga selain anak, semisal paman, bibi, serta orangtua dari pasangan suami istri (pasutri).

Murdock (1947), Georgas (2006) dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan bahwa keluarga memiliki dua fungsi dasar, yakni sebagai 1) Pendukung dalam seksualitas, dimana secara alamiah tubuh manusia sebagai salah satu mamalia primate memiliki kemampuan menghasilkan hormon-hormon seks. Bagi manusia yang memiliki seperangkat aturan sosial menjadikan seks sebagai area yang privat dan dikendalikan oleh masyarakat. Bentuk pengendalian itulah yang dinamakan pernikahan yang menjadi dasar terbentuknya keluarga. Selanjutnya keluarga berfungsi untuk 2) memelihara anak. Menurut Mead (1936), Georgas (2006) Koentjaraningrat (1991) Roopnarine (2005) dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan bahwa memelihara anak jika dalam konteks sederhana adalah hanya berkisar pada pemeliharaan fisik, seperti memberikan makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa fisik, dan sebagiannya. Akan tetapi ada fungsi lain, yaitu membentuk karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat. Untuk itu, proses pemeliharaan anak juga mengandung sosialisasi dan enkulturasi pada anak, secara khusus ditekankan oleh ibu, tetapi bisa juga pihak lain seperti nenek, bibi, dan kakak.


(57)

Berdasarkan beberapa informasi yang diperoleh mengenai pengertian dan fungsi dari keluarga, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pengelompokan kerabat yang cenderung tinggal dalam satu rumah, yang cenderung memiliki fungsi untuk saling membantu dalam pemberian informasi, pemeliharaan fisik, seperti memberikan makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa fisik, dan sebagiannya. Fungsi lain keluarga, yaitu membentuk karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat.

E. Pemasungan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pasung adalah alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher; sedangkan memasung artinya (1) membelenggu seseorang dengan pasung; memasang pasung (2) memasukkan ke dalam kurungan (penjara); (3) membatasi (menghambat) ruang gerak. Berdasarkan pengertian tersebut tentu saja pemasungan itu merampas kebebasan seseorang dengan perlakuan yang tidak manusiawi sehingga melanggar hak asasi manusia.

Menurut Suharto (2014), pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Pemasungan bisa diartikan sebagai segala tindakan yang dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan seseorang akibat tindakan pengikatan dan pengekangan fisik walaupun telah ada larangan terhadap pemasungan.


(58)

Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalam Minas & Diatri, 2008)

Berdasarkan beberapa pengertian pemasungan yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemasungan adalah tindakan untuk menghukum orang terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya, dengan cara memasang sebuah balok kayu pada tangan dan kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan, sehingga cenderung membatasi atau menghambat ruang gerak.

F. Perilaku Kesehatan Medis Keluarga Pada Penderita Skizofrenia

Menurut penelitian Wuryaningsih, Yani, dan Helena (2013), skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang cenderung menahun dan butuh pengobatan yang bertahap. Dalam hal ini keluarga menjadi satu-satunya sumber pendukung bagi perawatan pasien gangguan skizofrenia ketika berada di tengah masyarakat (Maldonado, Urizar, & Kavanagh, 2005; Thompson, 2007; dalam Wuryaningsih, Yani, dan Helena, 2013). Menurut penelitian Wardhani (2013) perilaku kesehatan keluarga yang memiliki penerimaan yang baik terhadap pasien skizofrenia ditunjukan melalui kepasrahan, kepedulian dan menyerahkan penanganan pengobatan sepenuhnya kepada rumah sakit, maupun pihak-pihak yang bersedia membantu keluarga dalam mengatasi skizofrenia. Hal ini didukung penelitian


(59)

Soekarta (2004) dalam Wuryaningsih, Yani, dan Helena (2013) yang menjelaskan bahwa keluarga berupaya menyediakan waktu untuk berkomunikasi, sering berbincang-bincang, bercanda, mengadakan rekreasi bersama dapat meringankan beban psikologis. Keluarga berkomitmen dalam memberikan dukungan dan mendampingi pasien untuk patuh dalam pengobatan.

Namun disisi lain, tidak jarang beberapa keluarga terkadang menganggap kehadiran penderita dirasakan sebagai beban keluarga (Arif, 2006). Menurut penelitian Drapalsky, et al (2008) menjelaskan bahwa keluarga sering merasa kewalahan dan terbebani merawat pasien dengan gangguan jiwa berat yang memiliki risiko perilaku kekerasan. Sekitar 36 % keluarga merasa terstigma karena memiliki pasien gangguan jiwa di rumahnya dan 8% di antaranya enggan mencari bantuan pelayanan kesehatan akibat stigma negatif dari lingkungan. Menurut penelitian Wardhani (2013) bentuk perilaku penolakan kesehatan keluarga terhadap pasien skizofrenia berupa keluarga tidak mencari informasi, merawat dengan merantai kaki, mengasingkan dan berperilaku kasar selama penderita skizofrenia berada dirumah, dan keluarga menolak untuk menjenguk ke rumah sakit jiwa. Pada tahap marah perilaku keluarga berupa perkataan yang kurang menyenakan keluarga kepada orang lain, pergi meniggalkan pasien skizofrenia dirumah sakit.

G. Keunikan kasus perilaku kesehatan medis yang mengambil keputusan untuk memasung pasien di Bali.

Hasil penelitian Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi (2013) menjelaskan bahwa penderita gangguan jiwa berat bisa kembali ke masyarakat, bekerja dan hidup normal


(60)

sebagaimana masyarakat pada umumnya. Hanya saja, proses pemulihan tersebut tidak selalu berjalan lurus dan lancar, kadang ada proses naik turunnya. Agar proses pemulihan berjalan dengan baik, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, utamanya dukungan dari keluarga (atau orang dekat), tenaga kesehatan, kawan sesama penderita gangguan jiwa dan masyarakat sekitar. Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi (2013) menambahkan bahwa keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada pasien. Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan pasien.

Berikut adalah hasil cerita singkat yang dijumpai penulis berkaitan dengan penanganan pasien skizofrenia di salah satu seminar bersama caregiver pasien skizofrenia pada tanggal 20 Juni, 2015:

“Saya sebagai seorang ayah sekaligus caregiver merasa sangat berperan dalam kesembuhan anak saya. Saya merasa bahwa kuat atau lemahnya saya sebagai caregiver, dan kuat lemahnya dukungan sosial terhadap anak saya menjadi pengaruh terhadap kesembuhan anak saya. Semakin kuat saya dan keluarga memberikan dukungan kepada anak saya, saya merasa perubahan yang lebih positif pada anak saya. Saya pernah menyerah menghadapi anak saya, dengan tidak menghiraukannya. Tidak mengingatkan untuk meminum obat lagi. Namun hal tersebut membuat penyakit anak saya semakin sering kambuh, saat itu saya merasa


(61)

bahwa dukungan sosial sangat mempengaruhi kesembuhan anak saya”

Hal tersebut menunjukan bahwa pasien skizofrenia bisa beraktivitas kembali, namun membutuhkan penanganan yang khusus. Namun tidak jarang beberapa penderita skizofrenia tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Salah satunya adalah pemasungan. Kasus pemasungan sangat banyak terjadi di Indonesia. Menurut survei Kementerian Sosial pada 2008, dari sekitar 650 ribu penderita gangguan jiwa berat di Indonesia, sedikitnya 30 ribu dipasung. Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi (2013) menjelaskan bahwa pemasungan berarti tanpa penanganan. Dalam kondisi tanpa penanganan dan dipasung jelas akan memperparah penderitaan pasien skizofrenia.

Penulis juga memperoleh informasi dari cerita singkat yang berkaitan dengan permasalahan mengenai pemasungan di provinsi Bali. Permasalahan yang diceritakan oleh seorang pengurus Badan Kesehatan Masyarakat di Rumah Sakit Jiwa Bangli, pada tanggal 14 Agustus, 2015. Informasi ini didapatkan ketika ia melakukan kegiatan penanganan pasien skizofrenia yang dipasung:

”Saya dan teman-teman sudah menginformasikan bahwa anak mereka butuh perawatan dan pengobatan, kami juga menjelaskan terdapat bantuan dana gratis untuk anaknya yang menderita gangguan jiwa, saya mengatakan bahwa anaknya bisa dirawat dirumah sakit dengan gratis selama tiga bulan untuk penanganan awal, namun keluarga masih tetap menolak dan membiarkan anaknya dipasung. Karena


(62)

penolakan yang mereka lakukan akhirnya membuat kami selalu turun kelapangan setiap dua bulan sekali untuk pemerikasaan kesehatan pada anaknya”

Kasus tersebut menjadikan perilaku kesehatan medis keluarga penting untuk diteliti karena terdapat perilaku kesehatan yang berbeda pada keluarga yang memiliki gangguan skizofrenia yang mengalami pemasungan. Dua kasus tersebut menjelaskan bahwa keluarga telah mengetahui bahwa penderita skizofrenia membutuhkan bantuan kesehatan dan pengobatan, namun beberapa keluarga memilih untuk berhenti menggunakan pengobatan dan tetap memasung penderita skizofrenia. Padahal kita ketahui bahwa pada umumnya bila seseorang menderita penyakit seharusnya mendapatkan pengobatan. World Health Organitation (2002), juga menegaskan bahwa perawatan kesehatan yang dapat diberikan keluarga pada pasien yaitu mendampingi pasien melakukan pengobatan, memberikan dorongan yang positif, dan konsisten dalam merawat pasien. Namun berbeda dengan kasus pemasungan yang terjadi. Keluarga telah mendapatkan informasi bahwa anaknya sakit dan membutuhkan pengobatan, namun keluarga tetap melakukan pemasungan.

Penulis berasumsi bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab keluarga tidak melanjutkan pengobatan medis dan memasung pasien. Notoatmojo (2013) menjelaskan bahwa perilaku seseorang dalam menangani penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan, kepercayaan, sikap, sarana dan prasarana, pengaruh yang diberikan oleh orang-orang dan budaya.

Sehingga dengan mengetahui proses selama perilaku kesehatan medis berlangsung pada keluarga pasien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, akan


(63)

membantu mengetahui bagaimana persepsi keluarga terhadap sakit yang diderita oleh pasien. Hal tersebut diharapkan akan membantu melihat cara pandang keluarga terhadap penyakit yang diderita oleh pasien dan cara keluarga mengatasi penyakit, melalui jenis pengobatan yang dipilih. Selain itu, dengan melihat proses yang dilakukan selama melakukan pengobatan medis, besar harapan penelitian ini akan mengetahui hal-hal yang membentuk perilaku keluarga dalam mengambil keputusan untuk memasung. Sehingga bisa membantu mengantisipasi perilaku pemasungan-pemasungan yang akan terjadi pada penderita skizofrenia lainnya.


(64)

46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Poerwandari (2015) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan studi interpretif yang tujuannya lebih kepada suatu usaha untuk menangkap esensi, mengeksplorasi, dan menjelaskan suatu masalah secara mendalam dari sudut pandang peneliti. Creswell (2013) menambahkan bahwa penelitian kualitatif berusaha untuk mendeskripsikan dan menginterpretasi tujuan dan maksud dari suatu fenomena ataupun pengalaman personal yang dialami oleh subjek penelitian.

Penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif (AIK), yaitu penafsiran secara subjektif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematik berupa coding dan pengidentifikasian berbagai tema dan pola. Selanjutnya jenis penelitian

yang digunakan adalah case study research atau penelitian studi kasus. Creswell

(2013) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan pendekatan kualitatif yang

penelitiannya bertujuan untuk mengeskplorasi kehidupan nyata, melalui

pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi atau sumber informasi majemuk, dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus tersebut. Metode studi kasus juga menyediakan ide dan hipotesis yang baru dan kesempatan untuk mempelajari fenomena yang langka. Beberapa peristiwa tampaknya secara alamiah jarang terjadi, sehingga kita dapat mendeskripsikannya


(1)

kurang baik dalam menggunakan pengobatan medis. Hal tersebut akan membentuk konsep yang negatif mengenai penggunaan pelayanan kesehatan medis pada keluarga. Selain itu, e) jarak tempuh menuju rumah sakit yang cukup jauh, f) tidak adanya biaya untuk pengobatan pasien, g) sarana transportasi yang tidak memadai, juga menjadi pendukung keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis.

3. Ketiga narasumber pada akhirnnya mengambil keputusan untuk memasung karena a) memiliki pengalaman buruk seperti membahayakan, merugikan, dan meresahkan keluarga dan warga sekitar saat merawat pasien, b) selain itu keputusan keluarga untuk memasung diperkuat oleh saran dari orang-orang yang dianggap penting dilingkungan terdekat keluarga.

4. Dari uraian hasil penelitian, ketiga narasumber menjelaskan tidak mau untuk melepas pasung pasien dan membawa ke rumah sakit kembali. Selain dikarenakan faktor-faktor yang disampaikan pada kesimpulan diatas, dipengaruhi juga dengan dampak dari perilaku memasung yang cenderung menguntungkan keluarga pasien, yaitu: a) pasien tidak berkeliaran dan jarang mengamuk setelah dipasung, b) responden II dan III merasa terbantu dengan pertolongan yang diterima pasca pasien dipasung. Selain bantuan dana yang diterima untuk membuat ruangan pemasungan, keluarga juga memperoleh bantuan sembako dari pemerintah dan warga.


(2)

B. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan, khususnya dalam pencarian partisipan sebelum mengambil data. Peneliti awalnya ingin mewawancarai salah satu orangtua pasien, karena merasa orangtua adalah narasumber yang terdekat yang mengasuh dan mengurus pasien selama ini. Namun penulis menemukan kesulitan untuk mewawancarai orangtua pasien karena usia orangtua pasien yang sudah tua. Sehingga penulis memilih saudara terdekat pasien untuk menjadi narasumber. Hal tersebut dirasa menjadi kekurangan penelitian karena informasi yang penulis peroleh menjadi kurang terperinci. Namun diakhir wawancara penulis berusaha melakukan kroscek hasil wawancara dengan orangtua pasien.

C. Saran 1. Bagi Penelitian Selanjutnya

Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai evaluasi terhadap pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dan rumah sakit jiwa di Bali, sehingga mampu mengetahui permasalahan yang terjadi pada pelayanan kesehatan jiwa.

2. Bagi Praktisi Psikologi

Pendampingan untuk keluarga yang memiliki anak menderita skizofrenia perlu untuk dilakukan. Hal itu akan meningkatkan edukasi keluarga mengenai penyebab dan penanganan yang baik untuk merawat


(3)

pasien, sehingga bisa mengurangi perilaku kesehatan yang buruk, seperti memasung atau tidak merawat pasien

3. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa

Karena banyaknya keluhan yang dirasakan oleh keluarga pasien, diharapkan pihak rumah sakit untuk 1) melakukan evaluasi terhadap program yang selama ini sudah dijalani, agar pengobatan yang diberikan bisa lebih diterima dengan baik oleh pihak pasien dan keluarga, 2) merancang dan membuat program psikoedukasi mengenai penyebab penyakit dan penanganan yang baik untuk pasien gangguan jiwa, 3) menyediakan tenaga ahli di beberapa puskesmas ataupun rumah sakit untuk membantu mempermudah pasien melakukan penanganan awal terhadap penyakit kejiwaan, selain itu tersedianya tenaga ahli disetiap puskesmas akan mempermudah suplay obat ke puskesmas dan rumah sakit setempat.

4. Bagi Para Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung

Keluarga diharapkan memberikan penanganan yang lebih baik untuk merawat pasien skizofrenia dan berhenti memasung pasien.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders fourth edition text revision. In DSM-IV-TR. Arlington: American Psychiatric Association.

Arif, I. S. (2006). Memahami dinamika keluarga pasien skizofrenia . Bandung: Refika Aditama. Azwar,R.A. (1996). Menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Jakarta: Ikatan Dokter

Indonesia.

Chusairi, A. (2004). Health seeking behavior para pasien poli perawatan palitatif studi eksploratif terhadap lima pasien poli perawatan palitatif rsud dr. soetomo surabaya.

Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 11-12.

Creswell, J. (2013). Research Design : Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Davison, G. C. (2006). Psikologi abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Departemen Kesehatan. (2009). Menuju masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Diakses dari www.depkes.go.id/resources/download/laporan/.../kinerja-kemenkes-2009-2011.pdf pada tanggal 19 Oktober 2016.

Dewi, & Wawan. (2011). Teori dan pengukuran : pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

Drapalski, A., Marshall, T., Seybolt, D., Medoff, D., Leith, J., & Dixon, L. (2008). Unmet needs of families of adults with mental illness and preferences regarding family services.

Psychiatric Services,657.

Glanz, K., Rimer, B. K., & Viswanath. (2002). Health behavior and health education: Theory,

Research, adn Practice (3rd ed.). ((Eds), Ed.) San Francisco: Jossey-Bass.

Hariyanti, T., Harsono, & Prabandari, Y. S. (2015). Health seeking behaviour pada pasien stroke. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(3), 242-246.

Huffman, K., Vernoy, J., Vernoy, M., & Vernoy, M. W. (2000). Psychology in action, 5th

Edition. Hoboken New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Koolaee, A. K., & Eternadi, A. (2009). The outcome of two family interventions for the mothers of schizophrenia patients in iran. International Journal of Social Psychiatry, 56(6), 634-646.

Kementrian Sosial. (2013). Indonesia bebas pasung: pencapaian program. Diunduh dari http://sehat-jiwa.kemkes.go.id/detailkegiatandirektorat/7. pada tanggal 19 Oktober 2016 Lawrence, G. (1980). Health education planning a diagnnostic approach. Journal of Nutrition

Education and Behavior. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0022-3182(86)80109-1

Lestari, P., Choiriyyah, Z., & Mathafi. (2014). Kecenderungan atau sikap keluarga penderita gangguan jiwa terhadap tindakan pasung (studi kasus di rsj gondho hutomo semarang).


(5)

Minas, H., & Diatri, H. (2008). Pasung: physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. International Journal of Mental Health Systems, 2(8).

Moleong, J. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Newman, L. (2000). Social reasearch method : qualitative and quantitative approaches. Needham Heights: Allyn & Bacon.

Notoatmodjo, P. D. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nugroho, R. A. (2011). Studi kualitatif : faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan tuberkulosis paru.Jurnal Kesehatan Masyarakat, 90.

Poerwandari, K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia.

Republika (2000, 18 Maret). Pasien skizofrenia bisa sembuh. Diakses dari

http://www.republika.co.id/cetak/ read/172854. pada tanggal 10 Oktober 2016 Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 2. Yogyakarta: Kanisius.

Setiadi. (2006). Konsep dan proses keperawatan keluarga (1 ed.). Yogyakarta: Graha Ilmu. Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2012). Metode penelitian dalam

psikologi, Edisi 9. Jakarta: Salemba Empat.

Silalahi, K., & Meinarno, E. (2010). Keluarga indonesia: aspek dan dinamika zaman. Jakarta: Rajawali Pers.

Siswantoro, T. (2012). Analisis pengaruh predisposing, enabling dan reinforcing factors terhadap kepatuhan pengobatan tb paru di kabupaten bojonegoro. Jurnal administrasi

dan kebijakan kesehatan. 10(3).152-158.

Suharto, B. (2014). Budaya pasung dan dampak yuridis sosiologis (studi tentang upaya pelepasan pasung dan pencegahan tindakan pemasungan di kabupaten wonogiri).

Indonesian Journal on Medical Science, 1(2).8-9

Sulianti, A. (2014). Tinjauan psikologi kesehatan pada penderita penyakit kaki gajah kronis di kabupaten badung. Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 186-203.

Wardhani, R. S. (2013). Penerimaan keluarga pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap.

(Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 7-9.

World Health Organization. (1988). Schizophrenia information for families. Department of

Child and Adolescent Health and Development. Genava, Switzerland: WHO.

World Health Organization. (2002). The world health report. Reducing Risks, Promoting

Healthy Life. Genava, Switzerland:WHO.

Widiastutik, W., Winarni, I., & Lestari, R. (2016). Dinamika resilience keluarga penderita skizofrenia dengan kekambuhan. The Indonesian Journal of Health Science, 144.


(6)

Wuryaningsih, E. W., Yani, A., & Helena , N. (2013). Studi fenomenologi : pengalaman keluarga mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pasien pasca hospitalisasi rsj. Jurnal

Keperawatan Jiwa,182-184.

Zeithaml, V. A., Parasuraman, A., & Berr, L. L. (1990). Delivering quality service: balancing customer perceptions and expectations. New York: The Free Press, 24.