contractors or companies and their Saudi sponsor Sengketa antara kontraktor asing atau perusahaan dan sponsor mereka di Saudi.
797
Sementara Yaman di bawah Arbitration Act No. 221992, arbitrase tidak mungkin dilaksanakan dalam beberapa persoalan berikut: 1 penal sanction; 2
termination of marriage contracts; 3 challenge of judges; 4 dispute relating to enforcement; 5 any question which may not be subject to conciliation; 6 matters
relating to public policy.
798
Sementara perselisihan perkawinan yang disebut dalam Alquran tidak merupakan kewenangan arbitrase, karena lebih merupakan konsiliasi
yang tujuannya untuk mendamaikan pasangan yang berselisih.
799
D. Keberadaan Arbitrase Syariah Dalam Hukum Positif Indonesia.
Relevan dan layak dikemukakan uraian mengenai keberlakuan hukum Islam sesuai politik hukum Indonesia. Pembahasan ini menjadi pintu masuk untuk melihat
keberadaan dan pengakuan arbitrase syariah dan tempatnya dalam sistem hukum nasional. Secara faktual, hukum Islam di Indonesia merupakan salah satu tradisi
hukum yang berlaku dan hidup di tengah kehidupan masyarakat. Di tengah kehidupan masyarakat, berlaku tiga tradisi hukum yang hidup secara berdampingan. Ketiga
tradisi hukum itu adalah hukum Adat, hukum Islam, dan hukum kodifikasi peninggalan Belanda. Ketiga tradisi hukum tersebut berlaku dan hidup bersamaan
secara nyata dalam masyarakat meskipun dengan sejarah dan karakter yang
797
Ibid., hlm. 634.
798
Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 839
799
Ibid., hlm.840.
Universitas Sumatera Utara
berbeda.
800
Kedatangan Islam telah membawa nilai baru berwawasan syariah yang memengaruhi sistem nilai yang berlaku berupa adat yang berlaku bagi masyarakat
setempat. Hukum Islam sekaligus menjadi bagian dari kesadaran atau hukum yang hidup dalam masyarakat mendahului hukum Barat yang diperkenalkan kolonial
Belanda kemudian.
801
Kedatangan kolonial yang berkuasa di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia, telah menggeser posisi hukum Islam dengan hukum kolonial. Dalam
rentang masa penjajahan, pihak kolonial berhasil menanamkan kesan, bahwa hukum Islam yang didasarkan pada wahyu adalah hukum masa lalu, dan yang relevan
hanyalah hukum warisan kolonial. Selain itu, hukum Islam dikesankan tidak manusiawi dan tidak relevan lagi untuk masyarakat modern yang berperadaban.
802
800
Studi secara komprehensif terhadap ketiga tradisi hukum yang berlaku di Indonesia dapat di baca dalam Ratno Lukito, Tradisi Hukum Indonesia, Yogyakarta: Teras, 2008.
Anggapan yang keliru atas hukum Islam tentu akan memberi kesan negatif dan perlu diluruskan bagi pemberlakuan hukum Islam secara keseluruhan. Agama Islam dengan
mengedepankan aspek hukumnya menjadi rahmatan lil alamin. Seruan-seruan Islam untuk menegakkan keadilan, persaudaraan, mengakkan amar makruf-nahi munkar
merupakan tema dan misi yang tetap relevan dalam kehidupan kontemporer saat ini. Begitu pula pelarangan riba, manipulasi, penipuan, dan pemerataan telah menjadi
pendorong utama bagi sistem ekonomi Islam sebagai solusi dari ekonomi
801
Menurut Bustanul Arifin, kedatangan kolonial Belanda yang membawa hukum Barat ke Indonesia, menimbulkan konflik di antara ketiga sistem hukum yang ada, yaitu Hukum Adat, Hukum
Islam, dan Hukum Sipil Barat. Konflik antara ketiga sistem hukum itu berawal sejak masuknya penjajahan Belanda ke Indonesia yang berlanjut hingga sekarang. Konflik tersebut bukanlah konflik
yang terjadi secara alami, melainkan konflik yang sengaja ditimbulkan oleh sistem kolonialisme waktu itu. Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan Dan
Prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 34.
802
Daud Rasyid, Islam Dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hlm. 161.
Universitas Sumatera Utara
konvensional. Pakar-pakar ekonomi dari luar kalangan Islam telah banyak berbicara soal bahaya perdagangan dengan sistem interest dengan mengakui sistem bagi hasil
mudharabah sebagai solusi dalam perdagangan nasional maupun internasional.
803
Sistem hukum di negara-negara Islam setelah merdeka dari penjajahan Barat secara garis besar bisa dimasukkan menjadi tiga kategori, yaitu: Pertama, negara
yang masih mengakui dan menerapkan hukum Islam sepenuhnya. Kedua, negara yang meninggalkan hukum Islam dan menggantikannya dengan hukum sekuler.
Ketiga, negara yang mengkompromikan hukum Islam dengan hukum modern sekuler peninggalam penjajahan Barat.
804
Arab Saudi merupakan negara yang mempertahankan syariah sebagai hukum fundamental dan berupaya menerapkannya
dalam segala segi hubungan kemanusiaan. Sementara Turki tampil sangat berbeda dengan Arab Saudi, yakni hukum Islam sudah dinyatakan tidak berlaku lagi, dan
menggantikannya dengan hukum Barat yang sekuler. Beberapa negara Arab lain, seperti Mesir, Syria, Jordania dan Tunisia, mengambil jalan tengah dengan
memberlakukan hukum Barat dan hukum Islam secara berdampingan.
805
Indonesia, bersama Brunei Darussalam dan Malaysia termasuk negara di Asia Tenggara yang
termasuk dalam kategori ini.
806
803
Ibid., hlm. 165.
Sebagaimana telah dikemukakan, di Indonesia hukum Islam hidup berdampingan, tidak saja dengan hukum Barat peninggalan Belanda,
tetapi juga dengan hukum Adat. Dalam praktik, tidak tertutup kemungkinan terjadi persinggungan dan perbenturan atau konflik di antara ketiga sistem hukum
804
J.N.D. Anderson, Op. Cit., hlm. 91.
805
Ibid, hlm. 91-98.
806
Eddy Asnawi, Op. Cit., hlm. 137.
Universitas Sumatera Utara
tersebut.
807
Hukum Islam memberi ruang yang cukup bagi keberlakuan hukum buatan manusia dalam memenuhi kebutuhan modern. Karena itu, hukum Islam bersifat
toleran terhadap hukum setempat sepanjang tidak berbenturan dengan keyakinan agama.
808
Hukum Islam di Indonesia dalam lintasan sejarah terus mengalami perkembangan yang cukup menarik untuk dikaji dan dicermati secara ilmiah-
akademis.
809
Ketiga tradisi hukum yang hidup berdampingan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, telah dilengkapi dengan hasil legislasi nasional sebagai produk
peraturan perundang-undangan setelah kemerdekaan. Substansi produk legislasi nasional berorientasi untuk mengikuti perkembangan kekinian, terutama aspek global
dengan mengadakan perubahan terhadap produk kodifikasi masa lalu. Dalam proses legislasi nasional, hukum Islam menjadi salah satu sumber bahan baku dalam
pembentukan hukum nasional, karena itu, hukum Islam memiliki peluang besar menjadi bagian hukum nasional Indonesia.
810
807
Menurut Bustanul Arifin konflik antara ketiga sistem hukum itu berawal dari masuknya kolonial Belanda ke Indonesia yang sengaja ditimbulkan oleh sistem kolonialisme masa itu. Konflik
sengaja diciptakan untuk menjaga kepentingan kolonial. Karena itu, sudah sewajarnya setelah merdeka, Indonesia segera mengakhiri konflik tersebut dengan membenahi sistem hukum nasional
yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945. Bustanul Arifin, Op. Cit., hlm. 33.
Hukum Islam di Indonesia memiliki
808
Dengan mengembangkan teori Receptio a contrario, Sajuti Thalib mengemukakan hukum adatlah sekarang yang diukur dengan hukum Islam. Hukum Adat atau upacara adat baru berlaku kalau
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 60.
809
Perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dicermati dari perkembangan teori berlakunya hukum Islam yang menunjukkan hukum Islam merupakan hukum yang hidup dan diyakini
sebagai bagian ajaran yang mesti dipatuhi setiap muslim sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Teori dimaksud adalah 1 Ajaran Islam tentang pentaatan hukum. 2 Teori penerimaan otoritas hukum. 3
Teori recepti in compexu. 4 Teori receptie. 5 Teori receptie exit. 6 Teori receptio a contrario. 7 Teori eksistensi. Perhatikan Ichtijanto, Hukum Islam Dan Hukum Nasional, Jakarta: Ind-Hill Co,
1990 hlm. 23.
810
Rifyal Ka’bah, Hukum Islam .... Op. Cit., hlm. 82.
Universitas Sumatera Utara
peran dan berkonstribusi penting dalam pembentukan atau legislasi hukum nasional.
811
Eksistensi hukum Islam sangat erat kaitannya dengan penerimaan agama Islam itu sendiri oleh pemeluknya. Gibb mengemukakan, mereka yang menerima
Islam sebagai agamanya, secara prinsipil juga mengakui otoritas hukum Islam.
812
Atas dasar pemikiran ini, beralasan bila dikatakan hukum Islam telah ada sejak masuknya
Islam di kepulauan nusantara.
813
Untuk mempertahankan eksitensinya, hukum Islam saat ini bergerak dalam proses transformasi untuk memainkan peranan yang turut
menentukan dalam pembentukan hukum nasional. Dalam konteks teori eksistensi, hukum Islam memperteguh keberadaannya, baik dalam hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis dalam berbagai lapangan kehidupan dan praktik hukum.
814
811
Keberadaan hukum Islam tidak saja eksis di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, melainkan juga di negara minoritas Muslim. Di negara mayoritas Muslim, hukumnya juga akan
banyak dipengaruhi hukum Islam, sementara bagi Muslim minoritas hanya diperlakukan bidang hukum tertentu terutama urusan-urusan yang berkaitan dengan hubungan kekeluargaan. Michael
Bogdan, Op. Cit., hlm 299.
Keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia dapat dibedakan dalam
812
H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen Dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1991, hlm. 146.
813
Seminar Masuknya Islam Ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan, tahun 1963 dan kemudian dikukuhkan kembali pada Seminar Sejarah Islam di Banda Aceh, tahun 1978,
menyimpulkan, agama Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah abad ketujuhkedelapan Masehi, langsung dari tanah Arab. Lihat A. Hasymi, Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam Di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif, 1993, hlm. 7. Thomas W. Arnold juga berpendapat, kedatangan Islam di Indonesia berlangsung sejak abad pertama Hijriah dan
disebarluaskan atas usaha para pedagang dari Arab dan India. Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam, Bandung: Widjaja, 1985, hlm. 317-318. Sementara itu, Azyumardi Azra memaparkan
kedatangan Islam di nusantara dengan menemukan empat tema pokok: 1 Islam dibawa langsung dari Arab. 2 Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar “profesional”, yaitu mereka yang secara
khusus bermaksud menyebarkan Islam, 3 Para penguasa adalah yang mula-mula masuk Islam. 4 Kebanyakan penyebar Islam “profesional” itu datang ke nusantara pada abad keduabelas dan
ketigabelas. Terhadap tema pokok yang keempat diberi penjelasan lebih lanjut, bahwa mungkin Islam telah diperkenalkan dan ada di nusantara ini pada abad pertama hijriyah, namun baru setelah abad
keduabelas pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu , proses islamisasi nampaknya mengalami akselarasi antara abad keduabelas dan keenambelas. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994, hlm. 31-32.
814
Ichtijanto, Op. Cit., hlm. 22
Universitas Sumatera Utara
empat bentuk, yaitu: Pertama, sebagai bagian integral dari hukum nasional; kedua, diakui kemandirian, kekuatan, dan wibawanya oleh hukum nasional dan diberi status
sebagai hukum nasional; ketiga, berfungsi sebagai penyaring bagi materi hukum nasional; dan keempat, menjadi bahan dan unsur utama bagi pembentukan hukum
nasional.
815
Gambaran di muka meneguhkan keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional, sehingga hukum Islam memiliki peranan yang mampu memberi kontribusi
bagi pembentukan hukum nasional Indonesia. Hukum Islam telah menjadi bagian dari kesadaran masyarakat yang berkembang bersamaan dengan masuk dan tersiarnya
agama Islam di nusantara. Dalam kedudukannya sebagai bahan baku atau sumber hukum nasional, sejatinya hukum Islam mewujud dalam semua materi hukum
maupun penegakan hukumnya, terlebih ketika yang ditekankan adalah nilai dan etika dan makna yang terkandung di dalam hukum Islam itu. Dengan cara ini, hukum Islam
dapat menjadi sumber hukum bukan saja buat materi hukum yang kental dengan nilai ibadah atau keagamaan, melainkan juga mencakup semua hukum termasuk untuk
kepentingan publik.
816
Dalam konteks pelaksanaan hukum Islam di tanah air, Daud Ali memberi catatan terhadap beberapa masalah yang perlu diperhatikan, yaitu masih terdapatnya
pengaruh teori receptie dalam khazanah pemikiran hukum Islam di Indonesia.
817
815
Ibid., hlm. 86. Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 71.
816
A. Qodri Azizy, Hukum Nasional: Eklektisisme Hukum Islam Hukum Umum, Jakarta: Teraju, 2004, hlm. 161.
817
Menurut teori receptie yang lahir dari pemikiran Snouck Hurgronje, hukum yang berlaku bagi masyarakat Indonesia adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Kalaupun hukum Islam ada,
hanyalah sebagian kecil saja sebagai pengecualian atau penyimpangan. Hukum Islam baru diakui
Universitas Sumatera Utara
Kemudian masih terdapatnya sebagian anggota masyarakat yang tidak menyetujui hukum Islam berlaku di Indonesia dan tidak menginginkan transformasi norma
hukum Islam ke dalam hukum nasional.
818
Tantangan pemberlakuan hukum Islam, tidak saja datang dari kalangan non-muslim, tetapi juga dari kalangan muslim sendiri,
sebagaimana terlihat pada saat pembahasan terhadap undang-undang peradilan agama
819
Kekeliruan pemahaman atas pemberlakuan hukum Islam tidak semata didasarkan pada sentimen ideologi agama, melainkan juga karena pemahaman
sebagian orang terhadap Islam dan hukum Islam masih bersifat parsial, terpenggal- penggal dan kontroversial.
820
Pemahaman terhadap Islam dan aspek hukumnya perlu dipahami secara komprehensif kaffah, sehingga keberadaannya semakin kokoh dan
berperan dalam mewujudkan sistem hukum nasional tanpa kecurigaan yang dikaitkan dengan pluralisme keberagamaan. Kemajemukan bangsa merupakan salah satu
masalah yang harus dihadapi oleh gagasan legislasi hukum Islam di Indonesia.
821
Islam yang semula hanya berada di sekitar jazirah Arab, kini telah meluas sehingga memasuki seantero penjuru dunia. Perkembangan Islam ini juga membawa
pengaruh terhadap hukum Islam. Rasjidi mengatakan, meski Islam sebagai agama
sebagai hukum jika telah diterima menjadi bagian dari hukum Adat dan menjadilah ia sebagai hukum Adat, bukan sebagai hukum Islam. Dalam teori receptie, hukum Adat ditempatkan pada posisi utama
dan dijadikan alas bagi berlakunya hukum Islam bagi masyarakat Indonesia. Perhatikan Mahadi, Hukum Adat Dan Hukum Islam Di Indonesia Setelah Perang Dunia II Dalam Bidang Perdata,
Proyek BPHN bekerjasama dengan FH-USU, 1978, hlm. 4.
818
Mohammad Daud Ali, “Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk., Hukum Islam Di Indonesia: Pemikiran Dan Praktek, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991, hlm. 85.
819
Berbagai pandangan seputar pembahasan atas undang peradilan agama, baik yang pro maupun kontra terhadap keberadaan peradilan agama dapat dilihat pada Abdul Ghofur Anshori dan
Nawari Ismail, Peradilan Agama Di Antara Wawasan Nusantara Dan Kebhinnekaan, Yogyakarta: yayasan Bumi Nusantara, 1989.
820
Tahir Azhary, Hukum Islam Dalam Era Pasca Modernisme, Pidato Pengukuhan pada Fakultas Hukum UI, 23 Juli 1994, hlm. 2
821
Jazuni, Legislasi Hukum Islam Di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 85.
Universitas Sumatera Utara
adalah absolut, tetapi hukum Islam dalam pelaksanaannya tidak luput dari hukum perubahan zaman dan interplay dengan situasi.
822
Dengan demikian, hukum Islam Indonesia tidak lain adalah sebagai hasil usaha memasukkan ajaran hukum Islam ke
dalam situasi Indonesia yang sangat berbeda dari situasi dan kondisi tempat asal hukum Islam itu dilahirkan.
823
Oleh karena itu, segala usaha yang berhubungan dengan hukum Islam di Indonesia harus mengandalkan ijtihad untuk memasukkan
hukum Islam ke dalam tradisi dan budaya lokal.
824
Para reformis hukum Islam Indonesia setuju bahwa perumusan hukum Islam Indonesia tidak akan pernah selesai
tanpa usaha memahami budaya dan tradisi pribumi dan mempertimbangkannya dalam proses pembuatan hukum. dalam hal ini, penerapan hukum Islam tidak dilihat sebagai
bagian yang terpisah dari tradisi hukum Indonesia, tetapi sebagai bagian yang menyatu dengannya. Budaya hukum yang diberikan oleh hukum agama bekerja
bergandengan dengan budaya hukum lokal adat untuk menciptakan tradisi hukum yang khas.
825
822
M. Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm. 32.
823
Ratno Lukito, Op. Cit., hlm. 135.
824
Ibid., hlm. 136.
825
Ibid., hlm. 140. Islamisasi yang membawa hukum Islam ke nusantara telah memberi pengaruh terhadap budaya hukum lokal yang diidentifikasi kemudian sebagai hukum Adat. Meski
demikian, hubungan keduanya tetap terpelihara, karena kemampuan hukum Islam menyerap unsur- unsur lokal setempat. Kemampuan beradaptasi ini kiranya bisa dikaitkan dengan kaedah hukum Islam
Al-adatu muhakkamah, artinya Adat dapat dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan hukum. adat urf yang dapat ditetapkan menjadi hukum dalam Islam adalah adat yang baik urf shahih yaitu tidak
bertentangan dengan syariat. Adat yang tidak baik urf fasid harus ditinggalkan, karena berlawanan dengan syariat dan membawa kemudaratan bagi manusia. Lihat Mukhtar Yahya dan Fatchrurrahman,
Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Maarif, 1986, hlm. 109-111. Sobhi Mahmassani mengemukakan lima syarat yang harus dipenuhi agar adat dapat ditetapkan menjadi
hukum Islam, yaitu: 1 Telah diterima akal sehat serta diakui oleh pendapat umum. 2 Sudah terjadi secara berkesinambungan atau terus menerus serta sudah berlaku umum di kalangan masyarakat yang
bersangkutan. 3 Sudah ada ketika perbuatan atau transaksi dilakukan. 4 Tidak ada persetujuan tegas antara para pihak yang memuat syarat berlawanan dengan adat bersangkutan. 5 Tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum Islam. Lihat Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum .... Op. Cit., hlm. 195-196.
Universitas Sumatera Utara
Dinamika hukum Islam tidak semata berdimensi kultural sebagai bagian tuntutan ajaran agama dan keimanan yang menjadi kewajiban masing-masing
individu muslim untuk mentaatinya, melainkan juga berdimensi struktural sebagai bagian politik hukum nasional. Upaya melaksanakan hukum Islam diakomodir dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang dikelola negara dalam pelaksanaannya, dan dijadikan sebagai landasan penetapan kebijakan pemerintah. Selain didorong oleh
meningkatnya kesadaran beragama dari umat Islam, peningkatan keinginan melaksanakan hukum Islam turut didorong atas ketidakpuasan terhadap institusi
konvensional dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi umat. Misalnya, gagasan mendirikan bank Islam muncul dari rasa tidak puas terhadap pelaksanaan
konsep ekonomi konvensional yang dianggap tidak berhasil mewujudkan pemerataan dan keadilan ekonomi. Aturan hukum Islam di bidang ekonomi, secara ideal
bermaksud untuk mewujudkan keadilan ekonomi, pemerataan, dan tidak adanya kesenjangan ekonomi dan hilangnya eksploitasi lapisan bermodal terhadap lapisan tak
bermodal.
826
Memperhatikan isu-isu hukum yang berkembang dalam hukum Islam dewasa ini, termasuk bidang ekonomi syariah, setidaknya terdapat dua kecenderungan yang
menonjol. Pertama, hukum Islam telah bergeser dari orientasi yang menekankan pada persoalan ibadah hablum minallah di masa lalu menjadi persoalan muamalah
hablum minannas saat ini. Kedua, perkembangan kontemporer hukum Islam memperlihatkan, perdebatan hukum tidak lagi hanya mengacu kepada mazhab yang
826
Sudirman Tebba, “Perkembangan Kontemporer Hukum Islam Di Asia Tenggara: Sebuah Pengantar”, dalam Sudirman Tebba Ed., Perkembangan Mutakhir Hukum Islam Di Asia Tenggara:
Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
dipegang selama ini, yaitu mazhab Syafii. Mazhab lain, seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah juga dijadikan rujukan dalam membahas masalah hukum. Bahkan
pikiran-pikiran di luar mazhab di lingkungan Ahlussunnah juga diterima bila dipandang relevan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
827
Selain dukungan masyarakat yang mayoritas muslim, keinginan untuk mewujudkan eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional, mendapatkan dukungan
melalui ideologi Pancasila dan UUD NRI 1945. Perubahan orientasi ini mencerminkan perubahan sikap dan kesadaran keagamaan
umat Islam dari kegiatan ritual-individual selama ini kepada kegiatan keagamaan yang bersifat sosial-kolektif.
828
827
Ibid., hlm. 16-17.
Secara konstitusional keberadaan hukum Islam mendapat pengakuan berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945.
Disebutkan, ”1 Negara Berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa. 2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945 pada dasarnya merupakan jabaran normatif dari sila pertama
Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi penduduk yang beragama Islam, secara normatif ketentuan ini memberi kebebasan bagi mereka untuk memeluk dan
beribadat sesuai keyakinannya. Sebagai bagian dari agama Islam, aspek hukum menjadi sesuatu yang esensial dalam kehidupan orang Islam. Dalam konteks ini,
negara harus memperhatikan keberlakuan hukum Islam bagi pemeluknya, dengan
828
UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan, yaitu sejak tahun 1999 hingga 2002. Pasal 29 merupakan pasal asli yang tidak mengalami perubahan sampai terjadinya perubahan keempat
UUD 1945 2002. Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 71.
Universitas Sumatera Utara
berupaya untuk mentransformasikan kaedah-kaedah agama ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Negara harus memberi ruang bagi pemeluk agama
Islam untuk menjalankan ajaran atau syariat agamanya. Hazairin mengatakan, negara wajib menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, dan tidak boleh terjadi atau
berlaku sesuatu yang bertentangan dengan prinsip syariah bagi umat Islam.
829
Secara umum, ketentuan yang menyebut ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” pada dasarnya mengandung tiga muatan makna, yang menjadi
kewajiban negara. Pertama, negara tidak boleh membuat peraturan perundang- undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi
pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari pemeluk agama yang memerlukan. Ketiga, negara berkewajiban membuat peraturan
perundang-undangan yang melarang melakukan pelecehan terhadap ajaran agama.
830
Ismail Sunny membagi dua priode kedudukan hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu, priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber
persuasif persuasive source dan priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber autoritatif authoritative source.
831
829
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hlm. 33-34.
Sumber persuasif dalam hukum konstitusi merupakan sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya. Sejak tanggal
22 Juni 1945 waktu ditandatangani Piagam Jakarta sebagai gentlement agreement
830
Hartono Mardjono, Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 28.
831
Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk., Hukum Islam Di Indonesia: Perkembangan Dan Pembentukan, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
yang merupakan hasil sidang BPUPKI sampai sebelum Dekrit Presiden diundangkan, 5 Juli 1959, kedudukan ketentuan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” merupakan priode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif. Sejak terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyebut Piagam Jakarta
menjiwai UUD 1945, hukum Islam baru menjadi sumber autoritatif yang mempunyai kekuatan hukum. Kata “menjiwai” yang terdapat dalam konsiderans Dekrit Presiden
secara negatif berarti, tidak boleh dibuat aturan hukum dalam negara Republik Indonesia yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Secara
positif, kata itu berarti pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam, dan untuk itu harus dibuat undang-undang yang akan memberlakukan hukum
Islam dalam hukum nasional.
832
Keberlakuan dan validitas hukum Islam di Indonesia selain didasarkan pada unsur konstitusional yang memberi kesempatan bagi pemeluk Islam untuk
melaksanakan hukum Islam, didukung pula secara faktual, bahwa penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam yang memiliki sentimen kepatuhan menerapkan
hukum Islam dalam kehidupan mereka. Begitu juga dukungan politik hukum yang menempatkan hukum Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional menjadi
faktor penting lain dari keberlakuan hukum Islam di bumi nusantara. Meuwissen mengemukakan tiga bentuk keberlakuan hukum, yaitu keberlakuan sosial,
keberlakuan yuridik, dan keberlakuan moral.
833
832
Ibid., hlm. 76.
Keberlakuan sosial ditandai oleh
833
Meuwissen, Op. Cit., hlm. 46-47. Pandangan lain dikemukakan Bruggink dengan mengemukakan tiga bentuk keberlakuan kaedah hukum, yaitu 1 Keberlakuan faktual atau empiris. 2
Keberlakuan normatif atau formal. 3 Keberlakuan evaluatif. JJ. H. Bruggink, Refleksi Tentang
Universitas Sumatera Utara
efektivitas norma hukum dalam kenyataan empiris kehidupan masyarakat. Secara faktual kaedah hukum nyata dipatuhi yang secara eventual dipaksakan dengan
bantuan sanksi. Keberlakuan yuridik berkenaan dengan pembentukan kaedah hukum yang sesuai dengan prosedur yang berlaku oleh badan yang berwenang serta secara
substansial tidak bertentangan dengan norma hukum lain, terutama yang lebih tinggi derajatnya. Keberlakuan moral menghendaki kaedah hukum secara etika ditetapkan
atas dasar-dasar yang masuk akal dapat dibenarkan. Ketiga bentuk keberlakuan hukum ini saling berjalin, sehingga menjadi unsur konstitutif. Bila salah satu atau
lebih dari tiga bentuk keberlakuan hukum itu tidak ada, mengakibatkan hilangnya keberlakuan dari hukum itu.
834
Untuk melaksanakan hukum Islam sebagai bagian dari agama Islam dan norma yang hidup dalam pergaulan masyarakat, sebagian memerlukan kekuasaan
negara di samping ada yang tidak memerlukannya. Menyangkut bidang hukum muamalah atau keperdataan yang mengatur hubungan antarmanusia, seperti
perdagangan dan perbankan diperlukan bantuan kekuasaan negara untuk melaksanakannya. Terhadap bidang ibadah yang mengandung hubungan manusia
dengan Tuhan secara vertikal, seperti sholat, dan puasa tidak diperlukan bantuan negara dalam menjalankannya. Selain kedua bidang itu, dengan melihat
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, pelaksanaan syariat Islam dapat
Hukum: Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 149-152.
834
Ibid., hlm. 48.
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan atau tanpa memerlukan kekuasaan negara, seperti pengelolaan zakat dan penyelenggaraan haji.
835
Khusus menyangkut bidang hukum muamalah, ketentuan syariat Islam dapat dilakukan secara utuh dengan jalan ditransformasikan dalam hukum positif nasional.
Melalui jalur ini, ketentuan hukum Islam yang memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya mendapat jaminan konstitusional.
836
Bahkan menurut Hartono
Mardjono, syariat Islam di bidang muamalah terbuka lebar untuk dilaksanakan oleh
siapapun yang berkeinginan melaksanakannya melalui asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH.
Perdata.
837
Uraian di depan menjadi dasar untuk mengatakan keberadaan arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah memperoleh legitimasi, baik
secara konstitusional maupun dari penerapan asas kebebasan berkontrak sebagai bagian hukum positif nasional. Arbitrase syariah menjadi institusi yang memiliki
validitas untuk melaksanakan hukum Islam sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Terbitnya UUPS 2008 memperkuat validitas arbitrase syariah
sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa perbankan syariah di luar lembaga peradilan. Arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilakukan sesuai ketentuan hukum Islam. Mekanisme penyelesaian sengketa melalui Asas kebebasan berkontrak yang berlaku dalam sistem hukum perdata
Indonesia menjadi pintu masuk bagi penunjukan arbitrase syariah untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang termasuk bidang muamalah.
835
Rifyal Ka’bah, Op. Cit., hlm. 56; Hazairin, Op. Cit., hlm. 75.
836
Ibid., hlm. 85.
837
Hartono Mardjono, Op. Cit., hlm. 31.
Universitas Sumatera Utara
arbitrase syariah senantiasa berada dalam koridor yang dibolehkan atau tidak bertentangan dengan hukum Islam dan diakui keberadaannya dalam sistem hukum
Indonesia. Perselisihan yang terjadi dalam hubungan bisnis dan perbankan syariah dalam
kehidupan masyarakat tidak selamanya dikehendaki para pihak untuk diselesaikan melalui sistem pengadilan in court system. Bukan pengadilan semata yang dapat
menyelesaikan perkara atau sengketa bisnis dan perbankan syariah, karena disampingnya terdapat arbitrase syariah sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa
di luar mekanisme peradilan out court system. Pebisnis umumnya tidak menghendaki terjadi sengketa dari hubungan hukum dengan mitra bisnis masing-
masing. Sekiranya sengketa terjadi, pelaku bisnis menginginkan penyelesaian sengketa yang efisien, tidak terpublikasi secara luas, ditangani secara profesional oleh
ahlinya dan tidak mengganggu produktivitas hubungan kontraktual yang disepakati. Tegasnya, hubungan silaturrahim di antara mereka yang bersengketa tetap berjalan
secara baik tanpa mengganggu produktivitas usaha. Keinginan ini sukar terpenuhi oleh pengadilan, karena persidangan yang bersifat terbuka, terlalu birokratis dengan
menjalani tahapan yang panjang, sehingga para pihak tidak dapat mengendalikan kapan perkara mereka dapat diselesaikan, dan terkadang kurang responsif terhadap
perkembangan masyarakat.
838
838
Hikmahanto Juwana, “Urgensi.... Op. Cit., hlm. 62-63.
Karakter penyelesaian sengketa yang diinginkan pelaku bisnis itu bisa dicapai melalui forum arbitrase yang bersifat volunter, sebagai
peradilan swasta yang disepakati para pihak. Dengan karakter utama pada aspek- aspek kerahasiaan dalam proses, keahlian arbiter serta terpeliharanya silaturrahim,
Universitas Sumatera Utara
keberadaan arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa menjadi sesuatu yang diperlukan adanya. Apalagi eksistensi arbitrase telah diakui dan dipraktikkan
oleh Nabi dan diteruskan para sahabat dan sesudahnya, meski dengan bentuk dan corak yang masih sederhana dan bersifat ad hoc. Sejatinya arbitrase berkarakter
syariah tetap diperlukan dalam menyelesaikan sengketa muamalah, terutama yang terjadi dalam masyarakat Muslim. Jika terjadi perselisihan menyangkut muamalah
akan diselesaikan dengan menggunakan instrumen hukum Islam melalui prosedur arbitrase syariah.
Di Indonesia, penyelesaian perselisihan melalui tahkim arbitrase telah dilakukan sebelum institusi peradilan agama terbentuk. Bila diperhatikan secara
seksama, tahkim merupakan tahapan atau priode awal dari pembentukan badan peradilan agama.
839
839
M. Hasballah Thaib, Hukum Islam Di Indonesia, Medan: Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 1. Sejarah pembentukan peradilan agama di Indonesia
menurut para ahli dibagi dalam tiga priode, yakni priode tahkim, ahl al-halli wa al-aqdi, dan priode tauliyah. Pada tahap tahkim, penyelesaian sengketa diajukan para pihak kepada ahli agama atau ulama
yang ditunjuk dan dipercaya mereka dan putusannya akan dilaksanakan para pihak. Setelah kelompok masyarakat Islam semakin tertata, pelaksanaan penyelesaian perselisihan dilakukan ahl al-halli wa
al-aqdi, yaitu perselisihan diselesaikan pemuka masyarakat yang bijaksana. Selanjutnya, bentuk peradilan dilaksanakan dengan sistem tauliyah berdasar pelimpahan wewenang dari imam atau kepala
negara wal al- amri. Kepala negara atau sulthan selaku wali al- amri memiliki wewenang mengangkat seseorang menjadi hakim di wilayah kekuasaannya. Peradilan di Indonesia saat ini
merupakan bentuk tauliyah ini, sebagai pelimpahan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dari Kepala Negara kepada hakim di lembaga-lembaga peradilan, seperti peradilan agama. Lihat juga Alaiddin
Koto, et.al., Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 191 dst.
Bertahkim kepada ahli agama setempat merupakan cara penyelesaian perselisihan yang dilakukan pada masa permulaan Islam masuk ke bumi
nusantara. Sebelum ada institusi peradilan agama, penyelesaian sengketa yang terjadi dilakukan melalui pengangkatan seseorang yang telah mereka sepakati untuk
bertindak sebagai wasit atau juru damai yang putusannya akan diterima kedua belah pihak. Pada priode tahkim belum terdapat legalitas peradilan, karena lembaga itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri belum tersusun secara sempurna, dan tata kehidupan masyarakat masih diatur oleh norma-norma tradisional.
840
Kelembagaan dan rincian substansi hukum arbitrase di Indonesia terwujud dengan terbentuknya UUAAPS 1999 yang kelahirannya didasarkan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketetntuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UUKK 1970 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 1999 UUKK 1999. Penjelasan Pasal 3 UUKK 1970 menjelaskan, ”penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui wasit
arbitrase, tetap diperbolehkan.” Selain itu Pasal 14 ayat 2 UUKK 1970 menyatakan, ”ketentuan dalam ayat 1 tidak menutup kemungkinan untuk usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.”
841
840
Ibid., hlm. 2.
Ketentuan yang mengatur kekuasaan kehakiman telah memperkenankan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang dirumuskan secara formal dalam UUAAPS 1999. Dari ketentuan yang tertulis dalam UUKK 1970 sebagaimana diubah dengan UUKK 1999, lembaga
yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa atas dasar perdamaian melalui forum arbitrase telah mendapat legitimasi. Berikutnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman UUKK 2004 sebagai pengganti UUKK 1970 sebagaimana diubah dengan UUKK 1999 juga mengakui penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan. Penjelasan atas Pasal 3 ayat 1 UUKK 2004 secara tegas mengukuhkan mekanisme penyelesaian sengketa perdata melalui badan arbitrase.
841
Dari konsiderans Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bagian Mengingat angka 2, dapat dilihat bahwa dasar pembentukannya secara yuridis didasarkan pada Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UUKK 2009 sebagai ketentuan yang mengatur kekuasaan kehakiman dewasa ini,
pengaturan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk arbitrase diatur secara lebih rinci bila dibandingkan dengan aturan kekuasaan kehakiman
sebelumnya.
842
Ditegaskan, penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
843
UUAAPS 1999 tidak dimaksud memberi pengaturan secara khusus terhadap arbitrase syariah, melainkan hanya mengatur kelembagaan dan proses beracara secara
umum atas penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase. UUAAPS 1999 merupakan peraturan payung umbrella act bagi keberadaan arbitrase, termasuk
yang berkarakter syariah. Sebagai peraturan payung bagi arbitrase di Indonesia, UUAAPS 1999 akan menjadi rujukan atau pedoman bagi forum arbitrase
institusional maupun ad hoc. Bagi arbitrase institusional yang berstatus permanen, seperti BASYARNAS akan diimplementasi ke dalam Peraturan Prosedur untuk
diterapkan dalam kegiatan praktis dengan memperhatikan karakter kekhususan yang melekat pada arbitrase berdasarkan Islam. Bagi arbitrase ad hoc yang bersifat
kasuistis, UUAAPS 1999 menjadi rujukan utama prosedural untuk menangani sengketa. Bila para pihak telah menyetujui, ketentuan yang terdapat dalam UUAAPS
842
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui arbitrase dan APS diatur pada Bab XII, Pasal 58-61 UUKK 2009
843
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 38 1 Selain Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta Mahkamah Konstitusi, terdapat badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. 2 Fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. penyelidikan dan penyidikan; b.
penuntutan; c. pelaksanaan putusan; d. Pemberian jasa hukum; dan e. penyelesaian sengketa di luar pengadilan. 3 Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
1999 berlaku bagi penyelesaian sengketa mereka. Selain itu, aturan prosedur arbitrase ad hoc dapat disusun para pihak sendiri atau majelis arbiter atau kombinasi
keduanya.
844
Arbitrase syariah merupakan evolusi tahkim yang telah lama dikenal dalam Islam, dan dilembagakan sesuai dengan perkembangan saat ini. Dilihat dari
kewenangan di bidang syariah, arbitrase syariah merupakan arbitrase khusus yang hanya menangani dan menyelesaikan sengketa di bidang perdata muamalah tertentu
yang dilakukan berdasarkan syariah. Arbitrase syariah tidak menangani dan menyelesaikan sengketa yang tidak didasarkan pada penegakan syariah. Pengakuan
terhadap hukum Islam di Indonesia, tentu sekaligus sebagai pengakuan terhadap arbitrase syariah yang berfungsi sebagai pilihan penyelesaian sengketa dari peradilan,
khususnya bidang hukum Islam. Meski bersifat khusus, arbitrase syariah di Indonesia sekaligus menjadi bagian dari arbitrase nasional yang diakui eksistensinya dalam
menyelesaikan sengketa berbasis syariah di bidang muamalah.
844
Gatot Soemartono, Op. Cit., hlm. 27. Gatot Soemartono berpendapat, undang-undang arbitrase nasional Indonesia, yaitu UUAAPS 1999, hanya berfungsi jika para pihak tidak menunjuk
sebuah lembaga arbitrase tertentu. UUAAPS 1999 tidak akan digunakan bila para pihak telah menentukan salah satu arbitrase institusional bagi penyelesaian sengketa, sebab masing-masing
institusi arbitrase akan menangani sengketa sesuai dengan peraturan dan ketentuan acaranya. Ibid., hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 4: Jenis-Jenis Arbitrase
845
Arbitrase
Arbitrase Nasional Arbitrase Khusus Arbitrase Internasional
Arbitrase Arbitrase
Arbitrase Arbitrase
Arbitrase Hubungan
Olahraga Syariah
Maritim Pasar Modal
Industrial Arbitrase Arbitrase Arbitrase Arbitrase
Perdagangan
Hak Lingkungan Jasa
Berjangka Kekayaan Hidup Konstruksi
Komoditi Intelektual
Meskipun perjalanan sejarah arbitrase telah begitu panjang, namun dalam perkembangan berikut terdapat berbagai pandangan mengenai kedudukannya,
terlebih bila dikaitkan dengan lahirnya gerakan Alternative Dispute Resolution ADR.
846
845
Wirawan, Op. Cit, dengan penambahan.
Terdapat dua pandangan berbeda mengenai konsep ADR yang dikaitkan
846
Suatu pandangan melihat, ADR merupakan siklus gelombang ketiga yang memiliki wewenang melaksanakan penegakan hukum. Litigasi melalui peradilan yang disemangati ajaran Trias
Politika sebagai gelombang pertama. Karena sistem litigasi mengarah semakin formal, teknis dan biaya mahal yang membuat masyarakat dan dunia bisnis merasakan kepahitan, menjadikan citra
peradilan semakin merosot. Keadaan semacam ini memalingkan masyarakat dan dunia bisnis mencari pilihan lain untuk menyelesaikan suatu sengketa secara sederhana, cepat dan tepat. Lahirlah arbitrase
sebagai gelombang kedua yang mengakomodir kelemahan proses litigasi atau peradilan. Perkembangan arbitrase ditandai dengan lahirnya Jay Treaty tahun 1794 yang merupakan perjanjian
antara Amerika dan Inggris yang menyepakati untuk membentuk institusi yang berbentuk mixed commissions yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa dagang secara yuridis. Mixed commissions
berkembang menjadi cikal bakal arbitrase nasional dan internasional, dimana masing-masing negara mengakuinya sebagai extra judicial, penyelesaian dilakukan berdasat aturan rule yang disepakati,
Universitas Sumatera Utara
dengan tempat arbitrase didalamnya. Pandangan pertama memandang ADR sebagai konsep yang mencakup semua bentuk penyelesaian sengketa di luar proses peradilan
atau litigasi. alternative to litigation. Konsekwensi pandangan ini adalah arbitrase termasuk bagian ADR bersama negosiasi, mediasi dan pencari fakta. Pandangan
kedua menyatakan, bahwa yang termasuk ADR hanya penyelesaian sengketa yang didasarkan pada pendekatan konsensus atau mufakat para pihak, sedang yang bersifat
memutus tidak termasuk kedalamnya. Menurut pandangan kedua ini, arbitrase tidak termasuk bentuk ADR, karena termasuk proses penyelesaian sengketa dengan cara
memutus alternative to adjudication oleh arbiter sebagaimana hakim dalam proses peradilan.
847
Tidak sedikit penulis memasukkan arbitrase sebagai bentuk ADR. Misalnya
Kelly, Holmes dan Hayward, yang mengatakan, ”the fisrt and oldest of these
alternative procedures is arbitration. This is the procedure whereby parties in dispute refer the issue to a third party for resolution, rather than taking the case to the
putusan final and binding, putusan dapat dipaksakan eksekusinya oleh pengadilan, dan jurisdiksinya terbatas penyelesaian sengketa. Dalam perkembangannya kontraksi atau kebekuan yang terjadi pad
proses litigasi, ternyata terjadi pula pada arbitrase dengan meniru pola litigasi yang fomalistik. Masyarakat bisnis kemudian mengambil inisistif untuk memperkenalkan dan mengembangkan ADR
yang dianggap tepat untuk menggeser peran litigasi dan arbitrase.. maka sejak tahun 1980 mulai berkembang ADR sebagai gelombang ketiga. M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai
Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 223-228.
847
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 11.Dari kedua pandangan tersebut, Takdir Rahmadi sendiri termasuk yang mengikuti pandangan yang umum, yaitu ADR mencakup semua bentuk penyelesaian
sengketa selain dari litigasi, berarti arbitrase yang dilakukan di luar proses peradilan termasuk ADR. Lihat juga Suyud Margono, Penyelesaian Sengketa Bisnis ADR: Teknik Strategi dalam Negosiasi,
Mediasi Arbitrase, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 30. Kajian yang tidak memasukkan arbitrase sebagai bentuk ADR adalah studi yang dilakukan Hadimulyo, karena arbitrase didasarkan
pada pendekatan adversarial atau pertikaian, serupa dengan proses peradilan. Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR: Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan, Jakarta:
ELSAM, 1997, hlm. vi.
Universitas Sumatera Utara
ordinary law courts.”
848
Arbitrase merupakan bentuk ADR yang utama dan tertua dalam menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan.
Arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara yang difasilitasi pihak ketiga netral
yang diberi kewenangan memberi putusan .
Tan Ngoh Tiong dan Lee-Partridge Joo Eng mengemukakan pandangan senada, “Alternative dispute resolution uses a joint
problem solving approach which is facilitated by a third party. As a peace effort and a co-operative process, the three key forums for ADR, namely arbitration,
conciliation and mediation.”
849
Arbitrase seperti dikatakan Priyatna Abdurrasyid pada awalnya merupakan
prosedur yang berdiri sendiri, namun dewasa ini dipandang sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa APS, meskipun hampir sama dengan litigasi dalam
pendekatannya melalui simplikasi prosedur. Sebagai bagian dari penyelesaian sengketa di luar proses litigasi, pemahaman dan pelaksanaan forum arbitrase dalam
menyelesaikan sengketa telah memengaruhi perkembangan proses yang dipakai dalam APS.
Arbitrase dengan demikian merupakan salah satu bentuk ADR yang difasilitasi pihak ketiga sebagai usaha damai dengan proses yang
kooperatif, bersama mediasi dan konsiliasi.
850
848
David Kelly, Ann Holmes, Ruth Hayward, Business Law, London: Cavendish Publishing Limited, 2002, hlm. 70.
Forum arbitrase melibatkan partisipasi semua pihak, sehingga prosedur penyelesaiannya tidak berada dalam kerangkan hukum formal tetapi dapat
dilakukan berdasarkan prinsip kepatutan dan keadilan ex aequo et bono.
849
Tan Ngoh Tiong dan Lee-Partridge Joo Eng, ”Conflict Theory and Forms of Dispute Resolution” dalam Tan Ngoh Tiong dan Lee-Partridge Joo Eng, eds. Alternative Dispute Resolutio,:
In Business, Family and Community: Multidiciplinary Perspectives, Singapore: Pagesetters Service Pte. Ltd, 2000, hlm. 11.
850
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase... Op. Cit., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
Arbitrase secara faktual merupakan salah satu bentuk ADR yang memiliki
karakter, tehnik dan metode sendiri. Dikatakan Peter Mahmud Marzuki, meskipun
rumit, namun arbitrase sebagai salah satu tipe ADR, disamping mediasi dan konsiliasi, banyak dipilih sebagai bentuk penyelesaian sengketa From the three
forms of alternative dispute settlement, despite complicated one, arbitration is mostly chosen as a form of dispute settlement.
851
Gerakan ADR dimulai pada tahun 1976 ketika Hakim Agung Warren Burger memelopori ide ini pada konferensi di Saint Paul Minnesota Amerika Serikat. Ide ini
disambut hangat oleh berbagai kalangan, baik kaum akademisi, praktisi maupun masyarakat. American Bar Association ABA kemudian merealisasikan ide itu
dengan menambahkan Komite ADR pada organisasi mereka diikuti dengan masuknya kurikulum ADR pada sekolah hukum di Amerika dan juga pada sekolah
ekonomi.
852
Gerakan ADR muncul bukan semata mengatasi terjadinya penumpukan perkara di pengadilan court congestion, tetapi karena keperluan perdagangan
moderen yang menghendaki penyelesaian sengketa secara cepat dan tidak menghambat iklim perniagaan.
853
Berlawanan dengan pandangan bahwa ADR muncul dan berasal dari Barat sejak beberapa dekade terakhir, sesungguhnya hukum Islam telah mengakuinya lebih
dulu dalam waktu yang lama. Dikatakan oleh Syed Khalid Rashid,
851
Peter Mahmud Marzuki, An Introduction to Indonesian Law, Malang: Setara Press, 2011, hlm. 267.
852
Susanti Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 2.
853
Komar Kantaatmadja, “Beberapa Masalah Dalam Penerapan ADR Di Indonesia”, dalam Hendarmin Djarab, eds., Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase Di Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2001, hlm. 38.
Universitas Sumatera Utara
“It is a popular belief that ADR has emerged and originated in the West during the last few decades. But contrary to this belief, such ADR processes
like Negotiation, Mediation, Arbitration, Expert Determination, Ombudsman and Med-Arab are as old as Islamic law itself, that is, 1400 years old. All of
these have been not only mentioned in the Quran but were practiced since the times of the Prophet, who was a great supporter of the idea of. amicable
settlement of disputes. Many historic evidences are available in support of this statement.”
854
Dengan begitu, ADR sebagai mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan termasuk didalamnya arbitrase, dimaksudkan untuk menyelesaikan
masalah atau perselisihan secara damai amicable. Perdamaian diupayakan terwujud berdasarkan kesepakatan yang ditengahi arbiter di antara para pihak yang
bersengketa. Syariat Islam telah memerintahkan untuk mengikuti arbitrase sebagai cara damai untuk menyelesaikan perselisihan antara individu, golongan dan negara,
jauh sebelum apa yang dilakukan oleh negara-negara modern.
855
Di Indonesia istilah ADR diterjemahkan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa APS seperti ditemukan dalam UUAAPS 1999. Memperhatikan ketentuan
yang terdapat dalam undang-undang ini, bisa ditemukan dua penafsiran terhadap arbitrase apakah sebagai bagian dari APS atau tidak. Dari judul undang-undang,
dikesankan arbitrase tidak termasuk bagian dari APSADR, karena arbitrase disebut terpisah disamping APS. Penafsiran ini diperkuat dengan perkataan undang-undang
Syariat Islam menetapkan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa secara damai.
854
Syed Khalid Rashid, “Peculiarities Religious Underlining Of ADR In Islamic Law”,
http:www.pdfchaser.comPECULIARITIES--RELIGIOUS-UNDERLINING-OF- ADR-INISLAMIC-LAW.html
, diakses 11 Nopember 2010
855
Samir Aliyah, Op. Cit., hlm. 245-246.
Universitas Sumatera Utara
yang hanya menyebut konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli, sebagai pengertian APS, tanpa menyebut arbitrase didalamnya.
856
Akan tetapi, bila dilihat dari rumusan yang menyebut APS sebagai forum penyelesaian sengketa atau beda pendapat di luar pengadilan, seharusnya arbitrase
termasuk bagian APS, karena arbitrase juga merupakan forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
857
Pemahaman ini diperkuat dengan ketentuan yang menyebut, sengketa atau beda pendapat dapat diselesaikan oleh para pihak melalui APS dengan
mengesampingkan proses litigasi di pengadilan,
858
856
Ketentuan dimaksud dapat di baca dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berbunyi, “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
tentunya termasuk arbitrase yang juga menyelesaikan sengketa di luar lembaga pengadilan. Secara umum dikatakan,
arbitrase merupakan forum penyelesaian sengketa yang telah dikenal di manca negara. Masing-masing negara memiliki lembaga arbitrase yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Dewasa ini institusi arbitrase merupakan realitas yang dibutuhkan dalam menyelesaikan sengketa perdagangan, baik nasional maupun
internasional. Dalam konteks Indonesia, tercatat dalam sejarah peradilan, bahwa pada zaman Mataram di daerah Priangan didapati semacam badan arbitrase yang disebut
Cilaga. Pengadilan Cilaga adalah semacam pengadilan wasit khusus untuk perkara
857
Batasan tersebut dirumuskan pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang menyebut, ”Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”
858
Ketentuan dimaksud dapat di lihat dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebut, ”sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui APS
yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.”
Universitas Sumatera Utara
perniagaan. Penyelesaian sengketa niaga melalui Cilaga dilakukan oleh badan yang terdiri dari beberapa utusan kaum berniaga.
859
Pengaturan hukum arbitrase dalam perundang-undangan bisa dilakukan dengan mengikuti salah satu dari tiga metode, yaitu a pengaturan terperinci, b
pengaturan ringkas, atau c jalan tengah.
860
UUAAPS 1999 nampak mencerminkan ketentuan yang bersifat jalan tengah dengan mengadopsi prinsip yang sesuai dengan
aturan arbitrase dalam UNCITRAL Model Law.
861
859
R. Tresna, Peradilan di Indonesia Dari Abad Ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, 1978, hlm. 21. Tercatat dalam sejarah peradilan Indonesia, pada zaman Mataram masih berkuasa selain
Pengadilan Cilaga, di daerah Priangan juga terdapat Pengadilan Agama dan Pengadilan Drigama. Pengadilan Agama mengadili perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati,
perkawinan, dan waris atas dasar hukum Islam dan berpedoman kepada rukun-rukun yang ditetapkan para penghulu. Sementara pengadilan drigama mengadili segala perkara yang tidak termasuk
kewenangan pengadilan agama yang bekerja dengan memakai pedoman menurut hukum Jawa Kuno, yang disesuaikan dengan hukum adat setempat.
Penyelesaian sengketa melalui forum arbitrase telah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB dengan membentuk
badan khusus yaitu United Nations Commission on International Trade Law UNCITRAL. Badan khusus ini telah mengeluarkan tiga instrumen penting dibidang
arbitrase, yaitu: 1 United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958; 2 UNCITRAL Arbitration Rules 1976 Revisi 2010;
dan 3 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration 1985,
860
Ajarotni Nasution, Mugiyati, dan Theodrik Simorangkir ed., Pengkajian Hukum Tentang Arbitrase Negara-Negara ASEAN, Jakarta: BPHN Dephukham, 2009, hlm. 23. Metode pengaturan
terperinci mensyaratkan pengaturan masalah arbitrase ke dalam peraturan perundang-undangan secara terperinci. Metode ini dilakukan di negara-negara Eropah Barat, seperti Belanda dengan hukum
arbitrase yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata setelah direvisi. Metode pengaturan ringkas hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja, sementara detailnya diberikan kebebasan
untuk diatur sendiri oleh para pihak sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak. Metode ini dipakai negara Perancis atau Swiss dalam mengatur arbitrase internasional. Metode jalan tengah mengatur
pengaturan arbitrase secara tidak terlalu ringkas, tetapi juga tidak terlalu terperinci. Contoh pengaturan ini adalah UNCITRAL Model Law yang telah diadopsi ke dalam beberapa arbitrase nasional maupun
internasional di beberapa negara, termasuk yang dilakukan negara Jerman.
861
Ibid., hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
Revisi 2006.
862
Sebagai salah satu instrumen internasional terpenting dalam arbitrase komersial internasional, UNCITRAL Model Law direkomendasikan untuk
menjadi contoh bagi pembentukan arbitrase nasional di semua negara. Rekomendasi ini diberikan mengingat kuatnya keinginan akan keseragaman prosedur hukum
arbitrase dalam menyelesaikan sengketa komersial internasional.
863
Selain itu, Arbitrase Asing Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral
Awards of 1958 sebagaimana telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981.
864
Indonesia juga menjadi anggota Konvensi Washington 1965 tentang Penyelesaian Perselisihan Perselisihan Investasi antara Negara dan Warganegara dari
Negara Lain Convention on the Settlement of Investment Disputes between State and Nationals of Othes States of 1965 yang diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1968.
865
Validitas dan yurisdiksi arbitrase di Indonesia yang dirujuk kepada UUAAPS 1999, telah memberi legitimasi atas keberadaan institusi arbitrase, tidak hanya
memuat regulasi hukum formil secara utuh mengenai arbitrase domestik atau nasional
862
Huala Adolf, ”Filsafat Hukum Arbitrase” dalam Idris, Rachminawati dan Imam Mulyana, Op. Cit., hlm. 198.
863
Maqdir Ismail, Op. Cit., hlm. 12.
864
Konvensi New York 1958 mengatur pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang dibuat oleh berbagai badan arbitrase asing, baik domestik maupun internasional. Konvensi ini berfungsi untuk
mendorong kerjasama antara negara-negara pembuat kontrak dan menyeragamkan kebiasaan negara tersebut untuk melaksanakan putusan arbitrase asing. Konvensi ini dipandang sebagai traktat
internasional yang paling penting sehubungan dengan arbitrase komersial internsional, karena menawarkan kepastian dan efisiensi dalam pelaksanaan putusan-putusan arbitrase internasional.
Maqdir Ismail, Op. Cit., hlm. 18.
865
Konveni Washington 1965 dirumuskan oleh Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan Bank Dunia yang diterima oleh negara-negara anggota Bank Dunia pada tanggal 18
Maret 1965 dan mulai berlaku pada 14 Oktober 1966. Konvensi Washington dirancang untuk menangani masalah yang timbul dalam perselisihan investasi antara satu negara berdaulat dengan
penanam modal asing yang menanamkan modal di negara tersebut. Konvensi ini dimaksudkan untuk menyediakan jalan keluar yang efektif bagi penanam modal perseorangan terhadap putusan atau
aktivitas komersial satu negara berdaulat dalam bidang investasi asing. Konvensi Washington melahirkan Lembaga Internasional untuk Penyelesaian Perselisihan Investasi yang dikenal sebagai
Konvensi ICSID International Centre for Settlement of Invesment Dispute. Maqdir Ismail, ibid., hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
saja, tetapi juga disatukan dengan pelaksanaan tugas arbitrase internasional. Dijumpai 2 dua karakteristik yang melekat dalam UUAAPS 1999, yaitu: a mengatur
berbagai aturan yang dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional dalam satu paket,
866
dan b mengandung ketentuan mengenai arbitrase dan APS dalam satu paket, meskipun terhadap APS hanya dijumpai dalam
satu pasal saja.
867
Tidak dijumpai adanya larangan pengaturan dalam satu paket terhadap arbitrase nasional dan internasional. Dalam praktik regulasi berbagai negara,
dijumpai aturan arbitrase domestik tersendiri yang berbeda dengan arbitrase internasional. Dapat disebut Singapore misalnya yang memiliki arbitration act untuk
keperluan domestik dan menerima UNCITRAL Model Law untuk keperluan arbitrase internasional.
868
Ada juga negara yang mengadopsi ketentuan Model Law menjadi aturan arbitrase internasional maupun domestik, seperti dilakukan oleh negara
Bulgaria, Mexico, dan Mesir. Pengangkatan Model Law sebagai instrumen arbitrase komersial internasional menjadi aturan arbitrase domestik, akan mewujudkan
keseragaman pengaturan arbitrase di suatu negara. Kebijakan regulasi ini menghindarkan terjadinya perbedaan dalam peraturan perundang-undangan terhadap
arbitrase dari negara bersangkutan, sehingga dapat dihindari kesulitan dalam menjawab teks yang berlaku dalam suatu peristiwa konkrit.
869
866
Pelaksanaan putusan arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, tercantum pada Bab VI, Pasal 59-64 untuk arbitrase nasional dan Pasal 65-69 untuk arbitrase
internasional.
867
Ajarotni Nasution, Mugiyati, dan Theodrik Simorangkir ed., Loc. Cit. Satu pasal yang mengatur mengenai APS dimaksud adalah Pasal 6 UUAAPS 1999.
868
Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia Yang Baru., Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 5.
869
Ibid., hlm. 8.
Universitas Sumatera Utara
Materi UUAAPS 1999 di dominasi aturan arbitrase dan kurang rinci terhadap bentuk APS negosiasi, konsiliasi, maupun mediasi, sehingga lebih tepat disebut
sebagai Undang-Undang tentang Arbitrase.
870
UUAAPS 1999 hanya memberi pengakuan terhadap eksistensi dan kelembagaan APS, namun tidak merinci prosedur
dan mekanisme APS lainnya, kecuali terhadap arbitrase.
871
Pernyataan untuk menetapkan ketidakberlakuan peraturan mengenai arbitrase yang berasal dari masa penjajahan itu didasarkan pada landasan yang melatar
belakangi pembentukan UUAAPS 1999, yaitu: a. Berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke
pengadilan umum, juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan Berlakunya UUAAPS
1999 mengakibatkan ketentuan mengenai arbitrase yang ada sebelumnya sebagaimana terdapat dalam Pasal 615 Reglement Acara Perdata Reglement of the
Rechtsvodering, Staatsblad 1847:52 dan Pasal 377 Reglement Indonesia yang Diperbaharui Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941: 44 dan Pasal
705 Reglement Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927: 227 dinyatakan tidak barlaku lagi. Hal ini disebut
dalam Pasal 81 sebagai Ketentuan Penutup UUAAPS 1999.
870
Sebagai payung yuridis eksistensi arbitrase di Indonesia UUAAPS 1999 telah mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan arbitrase yang memuat, Syarat Arbitrase, Pengangkatan Arbiter,
dan Hak Ingkar Pasal 7-26; Hukum Acara Arbitrase Pasal 27-51; Pendapat dan Putusan Arbitrase Pasal 52-58; Pelaksanaan Putusan Arbitrase Pasal 59-72; dan Berakhirnya Tugas Arbiter Pasal 73-
77. Secara normatif dan faktual undang-undang ini masih perlu diuji dengan nilai-nilai syariah sebagai landasan fundamental keberadaan arbitrase syariah. Sebagai aturan pokok, tidak dipungkiri,
bahwa ketentuan yang terdapat dalam UUAAPS 1999 masih sesuai dengan ketentuan syariah. Karakter syariah secara rinci masih dapat diatur dalam peraturan prosedur masing-masing badan arbitrase
syariah, seperti pada BASYARNAS.
871
Bandingkan Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase, Jakarta: Gramedia, 2001, hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
alternatif penyelesaian sengketa. b. Peraturan perundang-undangan lama untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dunia usaha dan hukum pada umumnya. Pertimbangan melalui kedua alasan itulah, sebagaimana dapat di lihat pada konsiderans UUAAPS 1999 yang menunjukkan
perlunya pembentukan undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Di samping pengakuan terhadap keberadaan arbitrase sebagai lembaga
penyelesaian sengketa di samping peradilan umum, juga karena peraturan perundang- undangan lama mengenai arbitrase, yang berasal dari masa penjajahan, sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum. Ketentuan arbitrase yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata, tidak ada mengatur dan karenanya belum
meliputi pengaturan dagang yang bersifat internasional. Padahal perdagangan internasional dewasa ini merupakan kebutuhan conditio sine qua non, yang tak dapat
dihindari. Ketentuan yang melarang wanita sebagai arbiter sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan iklim kemerdekaan yang mengakui sepenuhnya
persamaan hak wanita dengan hak pria.
872
Dibandingkan dengan ketentuan arbitrase dalam Reglemen Acara Perdata Rv, UUAAPS 1999 telah membawa perubahan mendasar sesuai dengan
perkembangan perdagangan menuju kepada peraturan arbitrase modern. Beberapa kemajuan yang terdapat dalam UUAAPS 1999, seperti diungkapkan Husseyn Umar
tercermin dalam hal:
873
872
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
873
M. Hussyn Umar, BANI dan Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Fikahati Aneska, 2013, hlm. 32.
Universitas Sumatera Utara
a. diaturnya secara pokok-pokok beberapa hal mengenai alternatif penyelesaian sengketa terutama tentang mediasi. b. mempertegas mekanisme
atau batas-batas keterlibatan dan kewenangan pengadilan vis-a-vis arbitraseputusan arbitrase konsep kempetensi absolut. c. syarat-syarat
pengangkatan arbiter yang jelas dan rinci. d. mempertegas pengaturan tentang penggunaan hak ingkar. e. memungkinkan adanya putusan provisionil
mengenai sita jaminan, penitipan barang kepada pihak ketiga atau menjual barang yang mudah rusak. f. diakuinya secara tegas eksistensi lembaga
arbitrase baik nasional maupun internasional. g. diakuinya pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase. h. ditetapkannya prinsip pokok bahwa
putusan arbitrase bersifat final dan mengikat final and binding. i. adanya pengakuan dan ketentuanprosedur pelaksanaan putusan arbitrase
internasional. j. penyederhanaan faktor-faktor yang dapat membuat batalnya putusan arbitrase.
Meskipun telah memiliki UUAAPS 1999 yang mengatur mengenai arbitrase
secara modern, namun Indonesia belum memiliki lembaga arbitrase yang terfokus pada arbitrase internasional, seperti yang telah dimiliki negara Malaysia, Singapura,
maupun Australia.
874
874
Maqdir Ismail, Op. Cit., hlm. 155.
Pembentukan badan arbitrase internasional di Indonesia diperlukan mengingat intensitas perdagangan internasional semakin terbuka dan
kompleks yang memerlukan penanganan spesifik menurut praktik arbitrase komersial internasional. Apalagi ketentuan Pasal 34 UUAAPS 1999 telah memberi sinyal,
bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
Walau demikian tidak berarti sengketa komersial internasional tidak dapat diselesaikan di Indonesia. Terlepas dari namanya yang menunjukkan BANI sebagai
institusi penting di Indonesia berurusan dengan perselisihan antara swasta nasional,
Universitas Sumatera Utara
namun juga berwenang menyelesaikan sengketa perdata yang timbul di bidang perdagangan, industri, dan keuangan yang bersifat internasional.
875
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan forum yang lazim dipilih dalam hubungan perdagangan internasional maupun nasional. Bila arbitrase non
syariah telah berkembang dengan terbitnya berbagai instrumen dan lembaga arbitrase internasional, seperti UNCITRAL Model Law, dan International Centre for
Settlement of Investment Dispute ICSID, maka arbitrase syariah baru menampakkan bentuk secara nasional domestik, seperti BASYARNAS bagi negara Indonesia.
Belum terdapat instrumen maupun lembaga arbitrase syariah internasional yang memuat mekanisme penyelesaian sengketa secara syariah. Kehadiran arbitrase
syariah di Indonesia dapat menjadi inspirasi bagi lahirnya arbitrase syariah yang bersifat internasional. Kemungkinan ini dapat terjadi mengingat telah terbentuknya
institusi keuangan dan perbankan Islam dalam skala internasional, seperti Islamic Development Bank IDB.
876
Kegiatan IDB dalam bentuk pembiayaan antarperdagangan antara negara Islam,
877
875
M. Husseyn Umar, Op. Cit,, hlm. 4. Sudargo Gautama, Essays In Indonesian Law, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 377. Sudargo Gautama menjelaskan singkat makna
internasional adalah yang mempunyai elemen asing atau kosmopolitan, International is used here in the sense of having a foreign element, cosmopolitan.
tidak menutup kemungkinan timbulnya sengketa yang harus diselesaikan secara islami, dan dalam konteks internasional yang
paling memungkinkan adalah melalui arbitrase berbasis syariah. Arbitrase di dunia
876
IDB adalah institusi keuangan syariah bersifat internasional yang didirkan sesuai dengan The Declaration of Intent yang diterbitkan oleh Conference of Finance Minister of Muslim Countries yang
diadakan di Jeddah pada tahun 1973. Pendirian IDB bertujuan untuk mempromosikan perkembangan ekonomi dan sosial dari komunitas muslim, baik negara anggota maupun non anggota yang sejalan
dengan syariah Islam. Tujuan terpenting dari pendirian IDB adalah membantu mendorong perdagangan antara negara muslim. Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking ..... Op. Cit.,
hlm. 927.
877
Ibid., hlm. 928.
Universitas Sumatera Utara
modern menjadi salah satu forum penting untuk menyelesaikan sengketa komersil, di bidang perdagangan maupun investasi.
BASYARNAS sebagai lembaga arbitrase berbasis syariah masih perlu mempersiapkan kearah lebih kuat untuk menjadi arbitrase yang berwenang
menyelesaikan sengketa transaksi syariah secara nasional maupun internasional. Diperlukan sumber daya insani profesional yang memahami dinamika transaksi
syariah dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai dengan tuntutan masyarakat internasional dengan segala perangkat yang cukup maju dan modern. Seberapa jauh
keinginan itu dapat terpenuhi masih memerlukan waktu untuk melihat kenyataan pelaksanaan dan perkembangannya. Tidak seperti Indonesia yang membentuk
lembaga arbitrase syariah di samping arbitrase non syariah umum. Tidak semua negara secara domestik memiliki dan membentuk lembaga arbitrase berbasis syariah
di samping arbitrase non syariah, seperti terdapat di Indonesia. Di negara Malaysia, Singapore dan Australia tidak ditemukan arbitrase syariah.
878
Di negara lain, seperti negara-negara Arab tidak terdapat penamaan arbitrase syariah secara khusus.
Beberapa negara Arab seperti Mesir, Oman, Yordania, Suriah, dan belakangan Uni Emirat Arab serta Yaman telah mengadopsi UNCITRAL Model law ke dalam
peraturan arbitrase di negara masing-masing.
879
878
Maqdir Ismail, Op. Cit., hlm. 154.
879
Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
E. BASYARNAS sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Di Luar Peradilan