Penguatan Arbitrase Syariah Melalui Etika Bisnis

hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase syariah atau yang tidak berlawanan dengan prinsip syariah bersifat imperatif yang mutlak dilakukan. 919 Kewenangan arbitrase dalam hukum Islam arbitrability according to Islamic Law, adalah yang tidak berkaitan dengan hak Allah rights of God dengan wilayah yang luas meliputi hukum pidana dalam bidang hudud dan takzir. Ruang lingkup kewenangan arbitrase syariah meliputi hak perorangan rights of personal yang berkaitan dengan harta benda dan keluarga. Putusan arbitrase dan penegakannya the arbitral award and its enforcement dapat dilaksanakan seperti putusan hakim pada pengadilan. Menurut syariah putusan arbitrase bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan tanpa memerlukan persetujuan dari para pihak yang bersengketa. Ini merupakan konsekuensi logis dari kebebasan para pihak yang memberi kepercayaan terhadap hakam atau arbiter yang mereka angkat, sehingga harus mengakui dan mematuhi putusan arbiter. Putusan arbiter mengikat bagi para pihak dan sah untuk dilaksanakan.

G. Penguatan Arbitrase Syariah Melalui Etika Bisnis

Agar aktivitas arbitrase syariah dapat berjalan dengan sebaiknya, perlu didukung dengan penegakan etika bisnis. Penunjukan arbitrase syariah pada prinsipnya merupakan pilihan berdasarkan kebebasan para pihak dalam menyelesaikan sengketa jika terjadi antara para pihak. Dengan pilihan ini, penyelesaian sengketa yang terjadi antara bank dengan nasabah dalam transaksi yang berlangsung di lingkungan perbankan syariah menjadi yurisdiksi arbitrase syariah, 919 Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian .... Op. Cit., hlm. 160. Universitas Sumatera Utara dan tidak lagi merupakan kewenangan institusi peradilan agama. Dalam konteks ini, dituntut adanya komitmen dan kesadaran para pihak unt uk mematuhi pilihan forum choice of forum yang disepakati dalam akad. Pilihan forum ini akan efektif apabila para pihak yang bersengketa memiliki integritas moral yang baik dan terpuji, sehingga tidak mudah untuk mencederai kesepakatan yang memilih arbitrase syariah sebagai forum resolusi sengketa. Mereka harus komitmen dengan penuh keikhlasan menerima proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah hingga putusan dapat dilaksanakan dengan kesadaran yang didasarkan pentingnya menjaga nama baik dan kepercayaan mitra bisnis maupun masyarakat pebisnis umumnya. Disinilah perlunya bingkai etika bisnis menjadi penguat keberadaan arbitrase syariah sebagai forum penyelesaian sengketa bisnis syariah, termasuk perbankan syariah. 920 Kehidupan bisnis dewasa ini sangat memberikan perhatian pada aspek etika. Rafik Issa Beekum mendefinisikan etika sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan baik dan buruk suatu tindakan. Etika merupakan ilmu yang bersifat normatif, karena berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh seseorang. 921 920 Para pebisnis perlu disadarkan akan pentingnya ‘nama baik’, citra image, memegang teguh komitmen yang telah disepakati dan menyadarkan mereka bahwa ‘kepercayaan’ trust dari masyarakat maupun kalangan bisnis mempunyai nilai goodwill yang sangat tinggi sebagai modal membangun kerajaan bisnis. Nilai-nilai tersebut baru bisa menjadi budaya dalam masyarakat bisnis bila terdapat etika bisnis yang dijadikan patokan perilaku masyarakat bisnis. Adi Sulistiyono, Op. Cit., hlm. 391. Dimensi etika dilingkungan bisnis menjadi perhatian 921 Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 3. Perkataan etika dalam Kamus Basar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral akhlak. Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., hlm. 271. K. Bertens mengemukakan makna etika dalam tiga arti, yaitu: Pertama, sebagai nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya; Kedua, sebagai kumpulan asas atau nilai moral atau yang disebut kode etik; Ketiga, ilmu tentang yang baik atau buruk. K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, hlm. 6. Universitas Sumatera Utara besar bagi pelaku dan organisasi bisnis didasarkan pada dua faktor utama. Pertama, terjadinya kerusakan moral pada kegiatan bisnis yang dilakukan pelaku bisnis. Perilaku yang mengabaikan moral mengakibatkan timbul reputasi negatif pada perusahaan serta dapat berimplikasi pada kegagalan yang membawa kerugian bagi perusahaan. Kedua, kuatnya pemberdayaan moral pada lingkungan bisnis dapat membawa nama baik perusahaan. Perusahaan yang menjalankan prioritas moral membawa implikasi pada bertambahnya keuntungan dan produktivitas yang pesat bagi perusahaan. 922 Pada tataran global ditemukan dua deklarasi yang menjadi bukti tentang perlunya etika dalam kegiatan bisnis, yaitu Deklarasi Antariman, Kode Etik Bisnis Internasional untuk Kristen, Muslim, dan Yahudi An Interfaith Declaration, A Code of Ethics on Interantional Business for Christians, Muslims and Jews dan Prinsip- prinsip Bisnis Meja Bundar Caux Caux Round Table, Principles For Business. 923 Kedua deklarasi ini sama sekali tidak melihat tugas bisnis hanya untuk mencari keuntungan bagi pemegang saham shareholders, melainkan memiliki tanggungjawab pada pemangku kepentingan stakeholders. 924 922 Dari studi yang dilakukan Larry Axlineg di Amerika, ternyata perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan tunduk kepada responsibilitas sosial yang memberi perhatian dan menjalankan etika bisnis berhasil meningkatkan keuntungan bagi perusahaan. Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam, Jakarta: Visi Insani Publishing, 2009, hlm. 23. Deklarasi Antariman menyinggung beberapa nilai dasar yang memiliki arti penting dalam agama Kristen, 923 Hans Kung, Etika Ekonomi-Politik Global, Yogyakarta: Qalam2002, hlm. 428. Deklarasi Antariman disusun di bawah perlindungan Pangeran Philip, Duke of Edinburg, Hasan bin Talal, Putra Mahkota Kerajaan Yordania, dan Sir Evelyn de Rothschild, pada tahun 1988 di Windsor dan tahun 1993 di Amman. Sementara Deklarasi Caux didirikan oleh Frederick Philips mantan Presiden Philips Electronics dan Olivier Giscard d’Estaing Wakil Presiden INSEAD di tahun 1986. Kemudian ditingkatkan lebih lanjut oleh Ryuzaburo Kaku Ketua Canon Inc., dan diakhiri dengan keterlibatan luar biasa dari perwakilan bisnis terkemuka dari Eropah, Jepang, dan AS. 924 Ibid., hlm. 429. Universitas Sumatera Utara Muslim dan Yahudi, yaitu keadilan, saling menghormati, pelayanan, dan kejujuran. Deklarasi Caux juga menekankan, selain memperhitungkan penghormatan terhadap hukum nasional dan internasional, juga menekankan orang harus memperhatikan di luar isi hukum menuju ke semangat kepercayaan, yaitu kejujuran, keberanian, kebenaran, memegang janji dan transparansi. Semua itu membantu tidak hanya kredibilitas dan stabilitas sebuah bisnis tetapi juga efisiensi yang lancar dari transaksi bisnis. 925 Penguatan etika bisnis berkaitan dengan komitmen agar pelaku bisnis tidak melupakan prinsip-prinsip moral dalam berbisnis. Kegiatan bisnis senantiasa harus dilaksanakan secara etis, sehingga pelaksanaan transaksi bisnis dapat terlaksana dengan baik. Begitu pentingnya etika dalam aktivitas bisnis, sehingga dikatakan, etika yang baik adalah bisnis yang baik good ethics is good business. 926 Yusuf Qardhawi mengemukakan, Islam tidak pernah memisahkan ekonomi bisnis dengan etika, sebagaimana aspek kehidupan lainnya yang tidak terpisahkan dengan akhlak. Islam diturunkan Allah melalui Rasul-Nya Muhammad semata adalah untuk membenahi akhlak manusia, 927 Nabi Muhammad sendiri ketika berusia 12 tahun telah memperlihatkan minat berdagang yang baik, saat beliau dibawa pamannya Abu Thalib untuk berdagang ke tanpa kecuali dalam aktivitas bisnis atau perdagangan. 925 Ibid., hlm. 431. Ada tujuh prinsip yang dikemukakan pada Deklarasi Caux, yaitu: 1 Prinsip tanggungjawab bisnis: dari pemegang saham stockholders ke pihak yang berkepentingan stakeholders. 2 Dampak ekonomi dan sosial bisnis: inovasi, keadilan dan masyarakat dunia. 3 Perilaku bisnis: dari legalitas ke semangat saling percaya. 4 Menghargai peraturan. 5 Mendukung perdagangan multilateral. 6 Menghormati lingkungan. 7 Menghindari praktik yang haram. Ketut Rindjin, Etika Bisnis dan Implementasinya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, hlm. 75-77. 926 Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op. Cit., hlm. 24. 927 Yusuf Qardhawi, Norma Dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hlm. 51. Universitas Sumatera Utara Syam Syria. 928 Ketika berusia 20 tahun Nabi Muhammad telah melaksanakan perdagangan, baik dengan cara berkongsi dengan sahabatnya as-Syaaib, atau menggunakan modal orang lain, seperti Siti Khadijah atau secara pribadi. Perdagangan yang beliau jalankan senantiasa membawa keuntungan, karena dilandaskan pada akhlak yang baik dengan bersikap jujur, sabar, dan amanah. 929 Sebagai seorang pedagang, Nabi Muhammad telah mewariskan dan meletakkan prinsip-prinsip berdagang yang etis, dengan melakukan perdagangan secara adil dan jujur. Kejujuran dan keadilan serta konsistensi dalam transaksi perdagangan yang di pegang teguh telah menjadi teladan abadi sekaligus reputasi Nabi sebagai pedagang jujur dan terpercaya. Dalam hubungan dagang yang diadakan, Nabi selalu memperlihatkan rasa tanggungjawab dan integritas yang tinggi dalam berurusan dengan mitra bisnis. 930 Disamping sikap adil dan jujur, Nabi juga memberi petunjuk agar menjaga hubungan baik dan ramah dalam berniaga. Prinisp-prinsip yang dicontohkan dalam berdagang ini merupakan rahasia keberhasilan perdagangan yang dilakukan Nabi. 931 Etika bisnis memuat pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. 932 928 Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., hlm. 56. Menurut sumber lain Nabi Muhammad diajak berdagang oleh Abu Thalib ketika berusia 9 tahun. Martin Lings, Op. Cit., hlm. 43. Etika bisnis berkaitan dengan perilaku ideal dalam lingkungan bisnis 929 Zamakhsyari Hasballah, Panduan Bisnis Muslim, Medan: Pesantren Al-Manar, 2011, hlm. 6. 930 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1995, hlm. 19. Buku Afzalurrahman ini dapat dipandang sebagai pengulasan komprehensif untuk memahami praktik perdagangan yang dilakukan Nabi Muhammad sejak usia muda. 931 Ibid., hlm. 27. 932 Faisal Badroen, et.al., Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 70. Moralitas dari perspektif Islam tidak sekedar memuat nilai tentang baik dan buruk, benar dan salah, terpuji dan tercela, melainkan ditambah pula dengan halal dan haram sebagai nilai dasar dalam bisnis syariah. Universitas Sumatera Utara yang memperhatikan dan berkonsentrasi pada standar moral yang berlaku dan ditetapkan secara jelas, serta memerinci petunjuk moral tertentu sesuai dengan isu bisnis yang sebenarnya. 933 Etika sebagai ilmu yang berhubungan dengan aplikasi standar moral, baik dalam kehidupan perorangan maupun masyarakat, 934 yang dikaitkan dalam lingkungan bisnis memiliki lima sifat utama. Pertama, standar moral berhubungan dengan persoalan yang merugikan atau menguntungkan manusia. Standar ini berkaitan dengan kesejahteraan umat manusia dan lingkungannya. Kedua, standar moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan otoritatif tertentu , dan validitasnya terletak pada dukungan nalar yang digunakan untuk membenarkannya. Ketiga, standar moral lebih diutamakan dari kepentingan pribadi atau nilai non-moral lainnya. Keempat, standar moral didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak atau adil. Kelima, standar moral berhubungan dengan perasaan-perasaan khusus, sehingga bila seseorang bertindak bertentangan dengan standar moral, timbul perasaan bersalah, menyesal dan malu. 935 Etika bisnis juga dapat digerakkan dan dimunculkan dalam relevansinya dengan profesionalisme bisnis. Pelaku bisnis yang profesional harus memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga mampu bertindak dalam koridor etis dan beradab. 936 933 Peter Pratley, Etika Bisnis, Yogyakarta: Andi, 1997, hlm. 35. Veithzal Rivai, Amiur Nuruddin, dan Faisar Ananda Arfa, Islamic Business and Economic Ethics, Jakarta: Bumi Aksara, 2012, hlm. 4. Pemerlakuan etika bisnis harus diterima dan diikuti guna memelihara dan menjaga kelangsungan bisnis mereka. Dalam perspektif Islam, pelaku bisnis dituntut 934 Manuel G. Velasquez, Etika Bisnis, Konsep dan Kasus, Yogyakarta: Andi, 2005, hlm. 10. 935 Ibid., hlm. 9. 936 Selain memiliki integritas moral yang tingga, pelaku bisnis profesional juga harus memiliki kemampuan atau keahlian manajerial, konseptual, dan teknikal. Budi Untung, Hukum dan Etika Bisnis, Yogyakarta: Andi, 2012, hlm. 65. Universitas Sumatera Utara untuk lebih relijius dan profesional. 937 Sifat profesionalitas pelaku bisnis senantiasa dikaitkan dengan sifat relijius yang didasarkan pada nilai-nilai fundamental berwatak transedental. 938 Secara umum etika bisnis menjadi acuan pelaku bisnis dalam melaksanakan aktivitas bisnis yang digeluti. Orientasi perusahaan atau pelaku bisnis dalam mencapai tujuan untuk memperoleh keuntungan, senantiasa harus memperhatikan etika sehingga tidak menghalalkan segala cara, seperti adanya ketidak jujuran, tipu menipu, curang dalam kegiatan bisnis yang dapat menimbulkan kerugian bagi mitra bisnis dan merusak image masyarakat bagi dunia bisnis. Etika memiliki relevansinya dengan kehidupan bisnis dengan tiga sasaran dan ruang lingkup. Pertama, etika bisnis bertujuan menghimbau para pelaku bisnis untuk melaksanakan bisnisnya secara baik dan etis. Kedua, etika bisnis berfungsi menggugah masyarakat untuk bertindak menuntut pelaku bisnis agar berbisnis secara baik demi terjaminnya hak dan kepentingan masyarakat luas. Ketiga, etika bisnis menekankan pentingnya kerangka legal-politis bagi praktik bisnis yang baik serta peran pemerintah yang efektif untuk menjamin keberlakuan aturan bisnis secara konsekuen. 939 937 Husain Syahatah dan siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Op. Cit., hlm. 31. Etika bisnis juga menuntut agar palaku bisnis dalam hubungan dengan aktivitas bisnis senantiasa menghormati dan berpegang teguh pada substansi perjanjian yang telah disepakati. Perjanjian yang 938 Relijiusitas merupakan karakter bisnis dalam Islam yang membedakannya dengan bisnis konvensional atau non islami. Bisnis islami dikendalikan oleh syariat, seperti halal dan haram, baik cara memperoleh maupun pemanfataan harta. Sedang bisnis konvensional berlandaskan sekularisme yang bersendikan pada nilai-nilai material, tanpa memperhatikan halal dan haram dalam pencapaian tujuan bisnis. Nur Ahmad Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2001, hlm. 62. 939 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan Dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, hlm. 69-70. Universitas Sumatera Utara didasarkan pada kesepakatan itu pada prinsipnya mengandung nilai etis yang harus ditaati para pihak, termasuk cara penyelesaian sengketa yang akan ditempuh bila terjadi perselisihan. Konsep etika dalam berbisnis perlu ditanamkan pada diri pelaku bisnis di setiap aktivitas bisnis yang dilakukan. Etika bisnis memuat beberapa prinsip umum yang menjadi pedoman dalam pergaulan bisnis, seperti dikemukakan Sonny Keraf yang mencakup prinsip otonomi, kejujuran, keadilan, saling menguntungkan, integritas moral. 940 Tentu prinsip-prinsip ini masih dapat dipenuhi dan dibandingkan dengan prinsip lain. 941 Sebagai pembanding dikemukakan prinsip-prinsip etika bisnis islami yang disampaikan Rafik Issa Bekum, yakni prinsip jujur dan berkata benar, menepati janji, mencintai Allah lebih dari mencintai perniagaan, berbisnis dengan muslim sebelum dengan non muslim, rendah hati, menjalankan musyawarah dalam semua masalah, tidak curang, tidak menyuap, dan berbisnis secara adil. 942 Menurut Mustaq Ahmad, Alquran telah menawarkan prinsip mendasar dan petunjuk pada orang-orang beriman untuk kebaikan dan perilaku etis di dalam bisnis, yaitu kebebasan, keadilan, akhlak yang baik, dan bentuk-bentuk transaksi. 943 940 Ibid, hlm. 74-79. Bila dicermati, prinsip etika bisnis yang dikemukakan bersifat melengkapi dan mengisi. Selain ada titik kesamaan terdapat perbedaan, karena perspektif yang mendasari berbeda. Etika bisnis islami didasarkan pada aturan-aturan syariah yang bersumber pada Alquran dan Sunnah, sementara etika bisnis konvensional berlandaskan 941 Budi Untung mengemukakan lima prinsip etika bisnis yang sedikit berbeda, yakni prinsip otonomi, kejujuran, tidak berniat jahat, keadilan, dan prinsip hormat pada diri sendiri. Budi Untung, Op. Cit., hlm. 66-70. 942 Rafik Issa Beekum, Op. Cit., hlm. 105-109. 943 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Al-Kautsar, 2001, hlm. 93. Universitas Sumatera Utara sekularisme yang menafikan nilai-nilai transedental tanpa mempertimbangkan aturan halal-haram yang terlepas dari pahala-dosa. 944 Penegakan prinsip etika bisnis dalam hubungan perdagangan akan dapat meningkatkan dan melanggengkan kerjasama tanpa merugikan hak dan kepentingan orang lain. Islam membolehkan semua transaksi yang dilakukan secara jujur, adil, dan dapat mewujudkan kemaslahatan manusia, sebaliknya melarang transaksi yang mengandung penipuan, kezaliman, merusak dan merugikan. 945 Pelaku bisnis yang peduli terhadap etika, bisa diduga ia akan berlaku jujur, amanah, adil, dan selalu melihat kepentingan orang lain sebagai mitra bisnis yang saling membutuhkan. Sebaliknya, pelaku bisnis yang tidak memberi kepedulian pada etika akan menampakkan sikap kontra produktif dalam mengendalikan bisnisnya. 946 Ketidaktaatan pada etika bisnis mungkin tidak menimbulkan kerugian seketika bagi pihak yang melakukan, namun sedikit banyak akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Karena itu, Islam sangat menganjurkan, agar nilai etika dijunjung tinggi dalam kehidupan, terutama dalam kegiatan perdagangan. 947 Menarik pandangan Nejatullah Siddiqi, yang menempatkan kebajikan sebagai nilai penting untuk melengkapi nilai keadilan yang dapat menimbulkan semangat 944 Nur Ahmad Fadhil Lubis dan Azhari Akmal Tarigan, Loc. Cit. 945 Ma’ruf Amin, Prospek Cerah Perbankan Islam, Jakarta: LeKAS, 2007, hlm. 146. 946 Muhammad Djakfar, Etika Bisnis: Menangkap Spirit Ajaran Langit Dan Pesan Moral Ajaran Bumi, Jakarta: Penebar Plus, 2012, hlm. 29. Pada bagian lain, Djakfar mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnisdalam Islam yang menjadi prasyarat untuk meraih keberkahan atas nilai transenden pelaku bisnis. Prinsip etika bisnis dimaksud antara lain: 1 jujur, 2 menjual barang berkualitas, 3 dilarang bersumpah, 4 ramah dan bermurah hati, 5 membangun hubungan yang baik dengan siapa saja, 6 tertib administrasi, dan 7 menetapkan harga yang transparan. Ibid., hlm. 34-40. 947 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, hlm. 57. Nejatullah Siddiqi seterusnya mengemukakan dan membahas beberapa nilai etika yang penting dalam kegiatan perdagangan, yaitu, 1 kejujuran dan kebenaran, 2 sistem jual beli yang mencurigakan dan meragukan, 3 perdagangan yang berbentuk perjudian, 4 perdagangan yang bersifat riba, 5 kebijaksanaan yang menggunakan system paksaan. Ibid., hlm. 57-66. Universitas Sumatera Utara keislaman dalam kegiatan bisnis. Kebajikan melebihi keadilan dan kepentingannya dalam kehidupan masyarakat melebihi dari yang dilakukan keadilan. Kebajikan dapat menyebabkan kehidupan manusia lebih indah dan mesra, sehingga terwujud kehidupan masyarakat yang baik. 948 Keterkaitan keadilan dengan kebajikan ihsan dinukilkan Allah dalam Q.S. An-Nahl 16: 90, yang bermakna: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Menurut Wahbah Az-Zuhali, ayat ini paling komprehensif dalam mengungkap tentang kebaikan dan keburukan. Ayat ini memuat tiga hal yang diperintahkan Allah, yaitu berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kerabat, dan melarang tiga hal lainnya yaitu perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Az-Zuhaili menyatakan, ketentuan Alquran didasarkan pada kaedah keadilan disertai pembangunan kehidupan dengan kaedah kebaikan dan kebajikan, sekaligus mengadakan peringatan dan perlawanan terhadap kemungkaran dan kesewenang-wenangan, berlaku adil dan berbuat baik harus dihormati untuk menepati janji, larangan berkhianat dan mengingkari janji dan mencegah pelanggaran sumpah dan kesepakatan. 949 Penegakan etika dalam aktivitas bisnis terkait dengan tanggungjawab dalam berhubungan dengan mitra bisnis. Pelaku bisnis dengan keotonomian yang dimiliki dengan bebas dapat bertindak dan mengambil keputusan atas kesadaran sendiri dalam 948 Ibid., hlm. 68. Nejatullah Siddiqi menyatakan, kebajikan merupakan tingkah laku yang baik, jujur, simpatik, bekerjasama, pendekatan yang berperikemanusiaan dan ikhlas, mementingkan dan menjaga hak orang lain, member kepada orang lain meskipun melebihi dari yang sepatutnya diterima orang tersebut dan berpuas hati dengan sesuatu meskipun nilainya kurang dari yang sepatutnya. 949 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Wasith 2 Yunus – An-Naml, Jakarta: Gema Insani Press, 2013, hlm. 327. Universitas Sumatera Utara melakukan yang terbaik untuk aktivitas bisnisnya. Agar kebebasan terkendali tanpa mengakibatkan pelanggaran hak dan kewajiban yang menimbulkan kerugian bagi orang lain atau bertindak secara tidak etis, harus diikuti dengan unsur tanggungjawab. 950 Tanpa tanggungjawab prinsip etika lainnya menjadi tidak relevan. Kesediaan bertanggung jawab tidak hanya merupakan titik pangkal moral, melainkan sekaligus sebagai konsekuensi dari sikap moral. Lebih tegas, kesediaan bertanggung jawab adalah karakter dari makhluk bermoral. Orang yang bermoral adalah yang selalu bersedia untuk bertanggung jawab atas tindakannya. 951 Konsep tanggungjawab dalam skema etika Islam diselaraskan dengan penegakan hubungan manusia secara simultan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain atau masyarakat. Berdasar skema ini manusia memiliki tanggung jawab terhadap Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. 952 Tanggungjawab menyatu dengan status kekhalifahan manusia, sehingga tanggungjawab kepada Tuhan menjadi keniscayaan. Tanggungjawab kepada diri sendiri dituntut sebagai akibat pelaksanaan kehendak bebas yang tidak bisa dimintakan pertanggung jawabannya kepada pihak lain. Fakta manusia merupakan bagian integral masyarakat mengandung tanggungjawab individu atas tindakannya kepada masyarakat. 953 950 Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 46. 951 A. Sonny Keraf, Op. Cit., hlm. 75. 952 Syed Nawab Haider Naqvi, Op. Cit., hlm. 48. 953 Sebagai pembanding perlu dikemukakan tanggungjawab moral dalam lingkungan bisnis yang dikemukakan Peter Pratley. Disebutkan, pada aras terendah perusahaan berjanji pada diri sendiri untuk tiga tanggungjawab perusahaan, yaitu: 1 Perhatian pada konsumen, dinyatakan dengan memuaskan kebutuhan akan kemudahan penggunaan dan keselamatan produk. 2 Perhatian terhadap lingkungan, dan 3 Perhatian terhadap kondisi-kondisi kerja minimum. Peter Pratley, Op. Cit., hlm. 111-112. Dapat diperhatikan, ketiga tanggunjawab yang dikemukakan terpisah dan tidak dikaitkan dengan tanggungjawab yang bersifat transedental atau vertikal kepada Tuhan. Tanggungjawab yang Universitas Sumatera Utara Guna mewujudkan kemaslahatan, Islam sangat memperhatikan aspek etika dalam kegiatan bisnis, tidak saja pada pelaksanaan perjanjian secara normal, tetapi juga termasuk dalam menyelesaikan sengketa yang mungkin terjadi antara para pihak pada pelaksanaan perjanjian. Etika bisnis dengan prinsip yang melekat relevan untuk menanamkan sikap altruistik yang bercirikan kemurahan hati, 954 Etika bisnis harus menjadi komitmen para pihak yang bersengketa agar kesepakatan yang mereka beri berdasarkan kesadaran sendiri memilih arbitrase syariah menjadi efektif. Etika bisnis dapat menggugah para pihak agar bersedia dengan segala kemurahan hati memenuhi janjinya untuk menyerahkan sengketa yang terjadi kepada forum arbitrase syariah guna diselesaikan sekaligus melaksanakan putusannya dengan penuh tanggungjawab, tidak terkecuali pada sengketa yang terjadi di lingkungan perbankan syariah. Pemahaman dan kemauan para pihak menerapkan prinsip etika bisnis menjadi kunci keberhasilan arbitrase syariah untuk menyelesaikan dalam membantu menyelesaikan sengketa bisnis yang terjadi melalui arbitrase syariah. Etika bisnis menjadi faktor yang mengesankan untuk menyelesaikan sengketa melalui kerjasama yang positif berlandaskan pada prinsip kejujuran, keadilan, saling membutuhkan, menepati janji serta tanggungjawab menuju kepentingan bersama yang harmonis. Bila para pihak yang bersengketa tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap prinsip etika bisnis, menjadi kendala yang cukup berarti untuk menyelesaikan konflik yang telah terwujud, sehingga sulit untuk merajut kembali silaturrahim yang sempat goyah karena adanya konflik tadi. dikemukakan hanya terkait dengan tanggungjawab horizontal sesame manusia dan lingkungan saja. Inilah perbedaan hakiki tanggungjawab bisnis dalam etika Islam. 954 Muhammad Nejatullah Siddiqi, Op. Cit., hlm. 72. Universitas Sumatera Utara sengketa mereka secara damai sulh. Etika bisnis memberi petunjuk melalui penerapan prinsipnya untuk menepati janji yang tertuang dalam klausul arbitrase syariah. Pencantuman klausul itu harus dipedomani serta dilaksanakan secara jujur dan konsisten, sehingga pengadilan tidak lagi berkompeten untuk mengadili. Bila etika telah melekat menjadi bagian dari budaya bisnis, sengketa akan dapat diakhiri secara baik, sehingga penyelesaian sengketa berjalan efisien dan efektif. Selain itu, hubungan silaturrahim tetap terjalin secara harmonis, dan giliran berikut hubungan bisnis antara para pihak dapat tetap berlangsung secara produktif. Bagaimanapun jua perselisihan tak diinginkan terjadi dalam setiap hubungan hukum yaang terjadi di lingkungan perbankan syariah atau bisnis syariah lainnya, Namun bila tidak terhindarkan, perselisihan harus dapat diselesaikan secara baik tanpa meninggalkan dendam dan kezaliman terhadap pihak lain. Masing-masing pihak harus memenuhi amanah yang diwajibkan dan jujur dalam menjalankan putusan yang diberi arbiter hakam. Pelaksanaan putusan yang diberi arbiter menginginkan sifat-sifat mulia sebagaimana yang dituntut dalam etika bisnis islami. Lebih jauh, karena etika berhubungan dengan tauhid, 955 955 Zamakhsyari Hasballah, Op. Cit., hlm. 178. pelaksanaan putusan arbitrase syariah terkait pada pengawasan yang dilakukan Allah. Hanya dengan menyadari setiap perbuatan selalu diawasi Allah seseorang dapat merasakan pentingnya melakukan yang terbaik. Disinilah relevansi etika bisnis islami dengan prinsip-prinsipnya menjadi penguat bagi arbitrase syariah, sehingga masing-masing pihak berkomitmen menyelesaikan perselisihan secara bersama untuk mewujudkan perdamaian dengan mematuhi secara sukarela ikhlas putusan arbiterase. Satu pihak Universitas Sumatera Utara sangat mungkin menghancurkan dan merugikan pihak lainnya jika etika yang berhubungan dengan tauhid itu tidak mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah yang telah disepakati sejak semula.

H. Keutamaan Arbitrase Syariah