ketentuan hukum yang terdapat dalam hukum peninggalan kolonial Belanda, yang semula dibuat bukan untuk menegakkan dan memelihara hukum Islam, tidak harus
dibuang begitu saja. Ketentuan hukum peninggalan kolonial Belanda, baik ketentuan materil dan formilnya, masih dapat dipakai tanpa salahnya dengan mengubah dan
menyesuaikannya dengan syariah.
1260
H. Putusan Bersifat Final dan Mengikat
Putusan arbitrase syariah merupakan produk hukum tertulis yang disusun berdasarkan pemeriksaan penyelesaian sengketa melalui arbiter dengan sistem
tertutup yang merupakan putusan tingkat terakhir serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak final and binding.
1261
1260
Abdoerraoef, Op. Cit., hlm. 50.
Prinsip final dan mengikat dari putusan arbitrase syariah, selain terbatas pada putusan yang dilaksanakan secara
sukarela oleh pihak yang bersengketa, juga terbatas pada pengertian putusan yang tidak mempunyai upaya hukum banding dan kasasi sebagaimana putusan lembaga
peradilan. Putusan berisi ketegasan penyelesaian sengketa yang diajukan kepada arbitrase syariah untuk dipatuhi dan diktum yang tercantum dalam putusan harus
dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Apabila terjadi kelalaian atau putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, maka pihak yang berhak dapat meminta bantuan
agar putusan dilaksanakan dengan kekuasaan yang memiliki otoritas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
1261
Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 163.
Universitas Sumatera Utara
Arbitrase syariah merupakan bentuk arbitrase yang dilakukan sesuai ketentuan hukum Islam. Dikalangan ahli hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat terhadap
putusan arbitrase apakah bersifat mengikat dan final final and binding. Sebagaian berpendapat putusan arbitrase mempunyai kekuatan mengikat binding force tanpa
memerlukan persetujuan dari pihak yang bersengketa untuk pelaksanaannya. Putusan arbiter mempunyai kekuatan hukum dan langsung mengikat merupakan konsekwensi
kerelaan atau kesepakatan para pihak atas pilihan mereka terhadap arbitrase. Masing- masing pihak terikat dengan janji mereka, sehingga harus ditepati dan berkomitmen
untuk melaksanakan putusan yang diberikan yang diikuti itikad baik. Dengan dasar itikad baik dan kesadaran sendiri, pihak yang bersengketa harus rela menerima
putusan arbitrase tahkim yang mereka pilih secara sukarela. Putusan arbitrase bersifat independen dari kehendak para pihak dan bersifat mengikat begitu diberikan
arbiter. Pendapat lain mengatakan, putusan arbitrase tidak mengikat kecuali jika telah
ada persetujuan dari pihak yang bersengketa. Menurut pendapat ini, kesepakatan dalam menunjuk arbiter tidak berarti sudah menyetujui putusan yang diberikan.
Untuk menjadikan putusan itu mengikat, perlu lebih dulu disetujui para pihak agar dapat dilaksanakan. Apabila putusan dianggap mengikat tanpa persetujuan para pihak
lebih dahulu, pelaksanaannya bisa jadi tidak berdasarkan kerelaan hati dan akan meninggalkan sakit hati dendam atau karat dalam hati. Sedang tujuan berarbitrase
tahkim adalah untuk menghindarkan karat di hati mereka yang berselisih.
1262
1262
Pendapat yang disebut pertama yang melihat putusan hakam langsung mengikat tanpa memerlukan persetujuan para pihak yang bersengketa didukung ahli hukum Islam dari kalangan
Universitas Sumatera Utara
Perdebatan terjadi disebabkan adanya perbedaan konsep arbitrase antara arbitration in equity dan arbitration in law. Dalam konsep arbitration in equity,
penyelesaian sengketa lebih dekat kepada konsiliasi, sehingga putusan tidak mengikat, sedang dalam arbitration in law putusan mempunyai kekuatan mengikat.
Selain itu, perbedaan didasarkan pada karakter arbitrase, antara berkarakter jurisdiksi dan kontraktual jurisdictional or contractual character.
1263
pengikut Abu Hanifah, Ibnu Hambal, Imam Malik, serta mayoritas pengikut Imam Syafii. Sedang pendapat yang disebut terakhir, yang berpendapat putusan hakam tidak mengikat kecuali atas
persetujuan pihak bersengketa secara tegas dianut Al-Musanni dari kalangan pengikut Imam Syafii. Perhatikan Satria Effendi M. Zein, Op. Cit., hlm. 25.
Pandangan yang melihat putusan arbitrase berkarakter kontraktual contractual character mengatakan
kekuatan mengikat putusan arbitrase berdasarkan pada kesepakatan para pihak, dan sebab itu putusan arbitrase memerlukan persetujuan mereka untuk dilaksanakan the
binding force of an arbitral award finds its basis in the agreement of the parties. Pandangan ini lebih dekat dengan konsep yang melihat arbitrase sebagai bentuk
konsiliasi daripada peradilan. Disepakati secara bulat putusan arbitrase bersifat final terhadap kasus yang di perselisihkan, baik yang melihat arbitrase berkarakter
jurisdiksi maupun kontraktual. Dengan karakter jurisdiksi, putusan memiliki sifat final dan memiliki semua efek dari putusan under which awards have a
jurisdictional nature, they are held to be final and have all the effects of a judgement, dan bagi berkarakter kontraktual, putusan bersifat final yang didasarkan
pada kekuatan mengikat kontrak. Putusan arbiter harus dianggap benar res judicata sepanjang berhubungan dengan pokok persoalan yang diputus dan hanya mengikat
1263
Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 48.
Universitas Sumatera Utara
pihak bersangkutan under which awards have a contractual nature, they are also held to be final. This is based on the binding force of the contract.
1264
Analisis pendukung yang melihat putusan arbitrase berkarakter jurisdiksi jurisdictional character adalah negara meletakkan kewenangan jurisdiksinya
kepada arbiter agar keputusannya dihormati dan berwibawa, dan arbiter memiliki kualitas dan kapasitas yang sama dengan hakim. Dengan demikian, putusan arbitrase
adalah seperti keputusan pengadilan the arbitral awards is like a judgement of a state court. El-Ahdab memberi catatan, meski putusan arbitrase memiliki karakter
jurisdiksi untuk dapat dilaksanakan, tetapi berbeda dengan putusan pengadilan. Arbiter tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri, melainkan membutuhkan
bantuan dari pengadilan. Pelaksanaan putusan arbitrase yang diberi arbiter hanya
dapat dijalankan dengan intervensi pengadilan.
1265
Hukum arbitrase Indonesia di bawah UUAAPS 1999 membedakan pelaksanaan putusan arbitrase antara putusan arbitrase nasional domestik dan
arbitrase internasional. Baik putusan arbitrase nasional maupun internasional memerlukan peran Pengadilan Negeri. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional
menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
1266
1264
Ibid., hlm. 48
sedang putusan arbitrase nasional diserahkan dan didaftar pada Pengadilan Negeri yang menjadi wilayah
hukum arbitrase berada. Arbitrase syariah termasuk arbitrase nasional yang khusus menangani dan menyelesaikan sengketa berbasis syariah di bidang muamalah
1265
Ibid., hlm 49 El-Ahdab mengatakan, “Most schoolars hold that arbitral awards are
enforceable in themselves. However, the arbitrators has no authority with respect to enforcement of the award and thus the intervention of the judge is necessary.”
1266
Pasal 65 UUAAPS 1999.
Universitas Sumatera Utara
tertentu, karena itu tunduk pada ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase nasional atau domestik. Putusan arbitrase syariah diakui bersifat final serta mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi kedua belah pihak yang bersengketa.
1267
Meski putusan arbitrase syariah diberi berdasarkan hasil pemeriksaan arbiter melalui proses persidangan seperti layaknya persidangan pada pengadilan dengan
melahirkan putusan yang bersifat final dan mengikat, namun belum dapat dilaksanakan, dan masih memerlukan prosedur berikutnya, yakni menyerahkan dan
mendaftarkan putusan ke Pengadilan Negeri. Tindakan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase syariah ke Pengadilan Negeri merupakan kewajiban, karena bila
tidak dilakukan berakibat putusan tidak dapat dieksekusi.
1268
1267
Berdasarkan Pasal 60 UUAAPS 1999, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Begitu pula putusan BASYARNAS yang sudah
ditandatangani, sesuai ketentuan Pasal 25 ayat 1 Peraturan Prosedur BASYARNAS, bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa, dan wajib ditaati serta dilaksanakan secara sukarela.
Sebagai implementasi prinsip syariah, putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat final and binding sebagaimana ditetapkan Peraturan Prosedur BASYARNAS harus mencantumkan kalimat
’basmalah’ yang berbunyi: Bismillahirrohmanirrohim di atas kepala putusan. Kalimat ini yang membedakan putusan arbitrase syariah dengan non syariah, yang kemudian diikuti dengan
pencantuman irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang memberi nilai eksekutorial bagi putusan arbitrase syariah. Lengkapnya isi putusan arbitrase syariah berdasarkan Pasal
24 ayat 1 Pedoman Peraturan BASYARNAS harus memuat: a. Kalimat basmalah yang berbunyi: Bismillahirrohmanirrohim di atas kepala putusan. b. Kepala putusan berbunyi: “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. c. Nama lengkap dan alamat para pihak. d. Uraian singkat sengketa. e.Pendirian para pihak. f. Nama lengkap arbiter. g. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter
tunggal atau arbiter majelis mengenai keseluruhan sengketa. h. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbiter. i. Amar putusan. j. Tempat dan tanggal putusan. k.
Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter. Isi putusan arbitrase secara umum di atur pada Pasal 54 ayat 1 UUAAPS 1999.
Dengan demikian, kewenangan untuk melaksanakan putusan arbitrase syariah berada dalam kekuasaan
Pengadilan Negeri, kecuali para pihak melaksanakan sendiri secara sukarela karena
1268
UUAAPS 1999, Pasal 59 ayat 1 dan 4. Cicut Sutiarso berpendapat agar pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri hanyalah bersifat administratif, sehingga berakibat jika
pendaftaran lalai dilakukan arbiter atau kuasanya bukan langsung putusan menjadi tidak dapat dieksekusi, melainkan ada alasan pembetulan dengan memerintahkan segera melakukan pendaftaran
untuk kepentingan pelaksanaan putusan. Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 199.
Universitas Sumatera Utara
menerima putusan arbiter dengan baik.
1269
Secara kelembagaan arbitrase syariah tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan putusannya sendiri, karena tidak
dilengkapi dengan struktur yang bersifat yudisial sebagaimana dimiliki lembaga peradilan. Agar putusan arbitrase syariah yang bersifat final dan mengikat dapat
dilaksanakan secara paksa, harus melalui tahap pendaftaran putusan dan tahap permohonan pelaksanaan putusan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Dalam memberikan perintah pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, Ketua Pengadilan
Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
1270
Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu
memeriksa dasar kewenangan arbitrase dan bidang sengketa yang menjadi kewenangannya.
Ketua Pengadilan Negeri menolak memberi perintah pelaksanaan eksekusi bila tidak ada persetujuan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase Arbitration agreement, dan sengketa bukan kewenangan arbitrase, serta putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Atas
penolakan Ketua Pengadilan Negeri tidak terbuka upaya hukum apapun.
1271
Perlakukan berbeda dalam mengakui putusan yang bersifat final dan mengikat antara arbitrase dan peradilan dipandang membawa konsekwensi terhadap persoalan
kepastian hukum serta derajat kepercayaan pencari keadilan atas arbitrase sebagai Alasan
penolakan oleh hakim bersifat limitatif, karena hanya alasan-alasan tersebut yang dapat dijadikan dasar penolakan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
1269
Pasal 61 UUAAPS 1999 menetapkan, bila putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan salah
satu pihak yang bersengketa. Putusan BASYARNAS yang tidak dilaksanakan secara sukarela, menurut ketentuan Pasal 25 ayat 6 bisa dijalankan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri.
1270
UUAAPS 1999, Pasal 62 ayat 4.
1271
UUAAPS 1999, Pasal 62 ayat 3 jis. Pasal 4 dan Pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
forum penyelesaian sengketa.
1272
Seharusnya, menurut Erman Suparman, perlakuan ambivalen terhadap putusan arbitrase tidak terjadi, bila substansi Pasal 54 ayat 1
UUAAPS 1999 dipahami secara cermat. Tidak ada alasan membedakan antara putusan arbitrase dan putusan pengadilan, disebabkan: Pertama, kesamaan unsur
substansi dan sistematika putusan arbitrase dan pengadilan, dan kedua, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat serta mempunyai kekuatan hukum tetap.
1273
Karena instansi arbitrase tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri, meski telah diakui secara normatif bersifat final dan mengikat final and binding, maka
putusannya bersifat semu.
1274
Putusan arbitrase digantungkan pelaksanaannya kepada Pengadilan Negeri, sehingga berarti belum memiliki kekuatan eksekutorial, meski
telah memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan. Dikatakan Erman Suparman
idealnya, putusan arbitrase yang dikatakan bersifat final dan mengikat itu, sekaligus juga mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga putusan benar-benar mandiri dan
tidak dikondisikan tergantung pada kewenangan Pengadilan Negeri.
1275
Arbitrase yang telah diakui keberadaannya sebagai forum penyelesaian sengketa di luar
peradilan, tidak hanya diakui sebagai forum pemutus perkara, melainkan lebih dari itu, juga berwenang penuh untuk mengeksekusi putusan yang dibuatnya.
1276
1272
Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 194..
1273
Ibid., hlm. 193.
1274
Cicut Sutiarso, Op.Cit., hlm. 170.
1275
Erman Suparman, Op. Cit., hlm. 234.
1276
Ibid., hlm. 181. Erman Suparman mengatakan lebih lanjut, apabila arbitrase hanya diberi kewenangan secara limitatif sebagai pemutus sengketa tanpa memiliki kompetensi melakukan eksekusi
terhadap putusan yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka dapat dipastikan forum arbitrase bernasib sama dengan Peradilan Agama sebelum lahirnya Undang-Undang
tentang Peradilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan arbitrase syariah tetap merupakan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Negeri sesuai ketentuan yang diatur dalam
UUAAPS 1999.
1277
Arbitrase syariah tidak memiliki kewenangan yang bersifat yudisial, sehingga meski putusannya telah final dan mengikat dalam arti mempunyai
kekuatan hukum tetap, namun tidak dapat dilaksanakan atas kekuasaan sendiri, selain melalui Pengadilan Negeri. Sifat final dan mengikat final and binding hanya
berarti putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali.
1278
Putusan arbitrase di Saudi Arabia, harus didaftar pada otoritas yang memiliki jurusdiksi atas sengketa the authority originally having jurisdiction over the dispute
dan diberitahu kepada para pihak. Terhadap putusan, para pihak masih diberi hak mengajukan keberatan, dan putusan bersifat final setelah lewat masa pengajuan
Agar sifat final dan mengikat efektif, putusan arbitrase syariah harus diikuti dengan prinsip kepatuhan complience, yaitu putusan yang telah dicapai harus
dipatuhi dan dilaksanan secara sukarela oleh pihak yang bersengketa.
1277
Perlu dikemukakan, sehubungan dengan telah diberinya peradilan agama kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perekonomian syariah, seyogianya kata ‘peradilan umum’ ataupun
‘pengadilan negeri’ yang disebut dalam UUAAPS 1999 dibaca dengan menggandeng ‘peradilan agama’.Aapalagi setelah peradilan agama diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi
syariah. Sesuai ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Atas dasar dan kewenangan ini, Ketua Pengadilan Agama seharusnya yang berwenang memerintahkan
eksekusi putusan BASYARNAS
.
Sejatinya perintah melaksanakan eksekusi putusan arbitrase syariah menjadi kewenangan peradilan agama. Senyatanya tidak demikian, sebab UUAAPS 1999 menetapkan
kewenangan itu tetap pada pengadilan negeri. Apalagi Pasal 59 ayat 3 UUKK 2009 telah menutup kemungkinan dengan memperteguh kewenangan pelaksanaan eksekusi arbitrase, termasuk arbitrase
syariah berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri. Sebelumnya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No. 8 Tahun 2008 pelaksanaan putusan BASYARNAS diberikan atas perintah
peradilan agama. SEMA No. 8 tahun 2008 seterusnya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh SEMA No. 8 Tahun 2010 yang dikeluarkan setelah berlakunya UUKK 2009. SEMA No. 8 Tahun 2010 menegaskan
sejak berlakunya UUKK 2009, maka SEMA No. 8 Tahun 2008 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Artinya perintah pelaksanaan eksekusi BASYARNAS tetap berada pada pengadilan negeri. Dengan
semakin baiknya eksistensi peradilan agama sudah seharusnya pelaksanaan putusan arbitrase syariah
1278
I Made Widnyana, Op. Cit., hlm. 210.
Universitas Sumatera Utara
banding appeal, dan dapat dilaksanakan melalui pemberian penetapan pengabulan untuk dilaksanakan decision granting leave to enforce.
1279
Selain telah melewati masa pengajuan banding, instansi otoritas yang memiliki jurisdiksi sengketa akan
mengeluarkan penetapan pengabulan setelah meyakini putusan tidak berisi: 1 invalidity of the arbitration agreement; 2 The existence of a reason for challenge; 3
the arbitrator’s nonobervance of his mission; 4 nonobservance of the rules of constitution of the arbitral tribunal and violation of the principle of due process; 5
omission of any of the statutory requirements for the award. Penetapan pengabulan putusan akan ditolak bila dijumpai alasan-alasan dasar penolakan ini.
1280
Pada aturan baru arbitrase di Mesir, putusan arbitrase di daftar pada sekretariat pengadilan yang memiliki jurisdiksi untuk dilaksanakan. Selanjutnya,
putusan arbitrase yang diberikan di Mesir maupun luar negeri sepanjang menggunakan hukum Mesir, diberi titel eksekuatur oleh Presiden Pengadilan
President of the Court dimana putusan didaftarkan. Presiden Pengadilan harus memastikan putusan memenuhi kondisi-kondisi: 1 it dose not contradict a judgement
previously rendered by the Egyptian courts on the subject-matter of the dispute; 2 it does not violate the public policy of the Arab Republic of Egypt; 3 it was properly
notified to the parties agsinst whom it was rendered.
1281
1279
In domestic arbitration, depending on the subject-matter of the dispute, such authority may be one of the following: a the Sharia Court; b the Board for the Settlement of Commercial Dispute;
c the Securities Commission; d the Labor Courts; e the Diwan Al-Mazalem Board of Grievances. El-Ahdab. Ibid., hlm. 613
.
1280
Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 665, 668.
1281
Ibid., hlm. 202-203.
Universitas Sumatera Utara
Keikutsertaan hakim diperlukan dalam pelaksanaan putusan, karena arbiter tidak mempunyai otoritas terhadap pelaksanaan putusan arbitrase. Hakim tidak
dibenarkan untuk mengingkari penegakan hanya dikarenakan putusan arbiter tidak sesuai dengan pendapatnya. Selain itu, hakim tidak berwenang untuk memeriksa
kembali manfaat sengketa atau dasar pertimbangan yang diberikan arbiter judge when enforcing an arbitral award is not authorized to review the merits of the
disputes or the arbitrator’s reasoning. Hakim hanya bisa memeriksa kondisi formal seperti sahnya perjanjian arbitrase, pengambilan putusan oleh arbitor, dan apakah
putusan sesuai dengan subjek sengketa. he can only examine such formal conditions as the existence of a valid agreement to arbitrate, whether the award has been made
by all the arbitrators, and whether it deals with the subject of the dispute. Hakim dapat menolak melaksanakan putusan arbitrase bila mengandung kesalahan atau
ketidakadilan yang mencolok a flagrant error or injustice atau bertentangan dengan ketertiban umum public order, yaitu semangat syariah yang bersumber dari
Alquran dan Sunnah.
1282
Perlunya dukungan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi putusan hakam arbiter merupakan karakter positivisasi putusan yang secara de facto
dan de jure hanya dimiliki oleh pengadilan resmi negara terlepas dari setuju tidaknya pengadilan terhadap putusan arbiter tersebut.
1283
Terhadap putusan arbitrase asing atau yang bersifat internasional, UUAAPS 1999 memberi rumusan sebagai putusan yang bersifat kewilayahan atau teritorial.
1284
1282
Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 49.
1283
Hasbi Hasan, Op. Cit., hlm. 133.
1284
Pasal 1 angka 9 UUAAPS 1999, ”Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik
Universitas Sumatera Utara
Putusan arbitrase dikatakan asing atau internasional jika dilakukan di luar wilayah hukum negara Indonesia, tanpa mempersoalkan kewarganegaraan dan sistem hukum
para pihak.
1285
Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase.” Kecuali putusan arbitrase
internasional, pengertian putusan arbitrase nasional tidak diberi dalam UUAAPS 1999. Prinsip kewilayahan yang berlaku dalam putusan arbitrase internasional, dipandang berlaku pula bagi putusan
arbitrase nasional, sehingga setiap putusan yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesia merupakan putusan arbitrase nasional. Pemahaman ini didasarkan pada penafsiran argumentum a
contrario. Gatot Soemantono mengatakan, Konvensi New York 1958 menganut prinsip teritorial, sehingga termasuk putusan arbitrase internasional atau asing bila diputuskan di luar wilayah dari
negara yang diminta pengakuan dan pelaksanaan putusan, dengan tanpa melihat perbedaan status kewarganegaraan para pihak maupun hukum yang digunakan. Gatot Soemartono, Op. Cit., hlm. 69.
Hukum arbitrase Yaman menetapkan kreteria antara arbitrase nasional dan internasional berikut: Domestic arbitrations are arbitration where all parties are nationals of the Republic Yemen.
International arbitration is an arbitration where the parties have different nationalities or their domicile or main establishment are located abroad, or an arbitration taking place within an
international arbitration centre. El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 835.
Putusan arbitrase asing di Indonesia dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip resiproritas, yaitu didasarkan pada keterikatan perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Artinya, antara negara yang menjatuhkan putusan dengan negara
Indonesia memiliki hubungan timbal balik tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Selain itu, putusan arbitrase internasional bisa
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada lingkup hukum perdagangan, yang meliputi bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak
1285
Sudargo Gautama berpendapat penekanan sifat internasional diletakkan pada adanya unsur luar negeri atau unsur asing foreign element. Kemungkinan adanya unsur asing dapat terjadi pada
setiap peristiwa hukum, seperti peristiwa hukum yang terjadi antara dua pihak yang salah satu berkewarganegaraan asing, atau salah satu pihak berdomisili asing, a tau hubungan hukum yang terjadi
di antara para pihak dengan objek berada di negara asing, dan seterusnya. Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid 1, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 36. Selain itu, Priyatna Abdurrasyid
dengan merujuk pada pendapat Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan ciri internasional yang dikaitkan dengan arbitrase, yaitu: a Internasional menurut organisasinya, seperti Konvensi ICSID. b
Internasional menurut struktur atau prosedurnya, seperti badan arbitrase di bawah the International Chamber of Commerce Paris. c Internasional menurut faktanya, yaitu arbitrase yang ada hubungan
dan kaitannya dengan unsur jurisdiksi negara lain unsur asing. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase.... Op. Cit., hlm. 153.
Universitas Sumatera Utara
kekayaan intelektual, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
1286
Putusan arbitrase asing atau internasional dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur
dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika tersangkut Negara Republik Indonesia, putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan setelah memperoleh
eksekuatur dari Mahkamah Agung dan seterusnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
1287
Sikap syariah atas penegakan putusan arbitrase syariah adalah tergantung pada perjanjian atau konvensi bilateral dan internasional dari negara para pihak yang
berkomitmen. Apalagi beberapa negara muslim mengadop dan menjadi pihak dalam
Konvensi New York, seperti Saudi Arabia, Mesir, dan Yaman.
1288
yang memberi ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing.
1286
Tidak ada kesatuan pendapat mengenai ketertiban umum public policy dikalangan para pakar hukum, kecuali pendirian untuk mengatakan bahwa ketertiban umum memegang peranan
penting dalam arti setiap sistem hukum negara memerlukan public policy sebagai rem darurat untuk melindunginya. Sebagai rem darurat, ketertiban umum memiliki fngsi negatif dan fungsi positif.
Dengan fungsi negatif, ketertiban umum diperlukan agar pemberlakuan hukum asing jangan sampai melanggar sendi-sendi asasi dari hukum nasinal sendiri. Sedang fungsi positif ketertiban umum adalah
ia menjamin berlakunya ketentuan hukum tertentu, tanpa memperhatikan hukum yang seharusnya berlaku, karena telah dipilih para pihak. Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas Ketertiban Umum
Konvensi New York 1958, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 98.
Suatu putusan arbitrase dalam hukum Islam berpegang pada prinsip tidak bertentangan dengan ketertiban
umum dalam Islam Islamic public policy. Putusan arbitrase asing harus memperhitungkan larangan dan otoritas dalam hukum Islam. Hakim muslim masih
dapat menyisihkan putusan arbitrase asing atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase jika melanggar semangat atau ketertiban umum public policy yang
1287
Pasal 66 UUAAPS 1999.
1288
El_Ahdab, Op. Cit., hlm. 627. 159, dan 835
Universitas Sumatera Utara
bersumber syariah yaitu Alquran dan Sunnah.
1289
If arbitration is deemed to be foreign, a Muslim judge can only set aside the award or refuse to enforce it on grounds relating to the Islamic public policy
and taking into account to the prohibitions and authorizations contained in Islamic Law. He can only do so if the foreign arbitral award contains a
flugrant injustice or is contrary to Islamic good morals. Abdel Hamid El-Ahdab
mengatakan:
1290
Putusan arbitrase yang telah disetujui pihak yang bertahkim mengakibatkan mereka terikat dengan putusan tersebut. Kalangan Hanafi berpendapat, apabila ada
pihak yang mengadukan ke pengadilan, dan hakim pengadilan sependapat dengan putusan yang diberi arbiter, maka hakim tidak boleh membatalkan putusan tersebut.
Namun, bila hakim pengadilan tidak sependapat, maka ia berhak membatalkan putusan arbiter hakam. Berbeda dengan kalangan Maliki dan Hambali yang
berpendapat putusan hakam dalam proses tahkim yang sah karena telah sesuai dengan syariat, tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah, tidak bisa dibatalkan
sekalipun hakim pengadilan tidak sependapat dengan putusan hakam arbiter.
1291
1289
Zeyad Alqurashi, Op. Cit., hlm. 9.
Kalangan Hanafiyah membolehkan putusan hakam dibatalkan oleh hakim pengadilan
1290
El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 50. El-Ahdab mengemukakan beberapa pandangan mengenai arbitrase asing dengan segala konsekwensi ke dalam beberapa kategori berikut. Pertama, bila arbitrase
berlangsung dalam suatu negara Islam within Islamic country, dianggap asing bila dilakukan oleh subjek atau para pihak non-Muslim, baik oleh orang asing maupun penduduk yang non-Muslim, dan
kegiatan ini tunduk pada hukum yang berhubungan dengan agama mereka. Namun pandangan ini tidak bulat diterima, karena sebagian meyakini bila arbitrase berlangsung di negara Islam, hukum Islam
harus berlaku untuk semua pihak, terlepas dari kebangsaan dan agama mereka. Kedua, bila arbitrase berlangsung di luar negara Islam outside in Islamic country di dapat beberapa pandangan yang
berbeda: a Arbitrase yang dilakukan di luar masyarakat Muslim selalu dikategorikan sebagai asing dan hukum Islam tidak dilaksanakan terhadap putusan; b Dikategorikan asing bila dilakukan di antara
orang asing atau Muslim yang bertempat tinggal di luar wilayah Islam, dan hanya bagi kasus pidana untuk menghindari sanksi ganda. Arbitrase antara sesama orang Muslim yang diadakan di luar negeri
di bidang perdata dan komersial, tidak termasuk kategori asing. c Arbitrase yang berlangsung di luar negeri, hanya dikategorikan asing bila dilakukan di antara orang-orang non-Muslim. Bila para pihak
meliputi orang Muslim, kategori asing berhenti, terlepas dari sifatnya perdata, komersial atau kriminal.
1291
Abdul Aziz Dahlan et.al, ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Op. Cit., hlm. 1752.
Universitas Sumatera Utara
didasarkan pada keberadaan tahkim yang harus berada di bawah pengawasan pengadilan yang didirikan penguasa. Berarti, keputusan hakam belum mempunyai
kekuatan mengikat, kecuali setelah ada persetujuan dari peradilan. Pendapat ini, sebagaimana dikemukakan Satria Effendi, baru layak diterapkan bila hukum material
yang dipakai di pengadilan sama dengan yang dipakai dalam proses tahkim.
1292
Mayoritas ahli hukum Islam membolehkan kemungkinan pembatalan keputusan tahkim oleh pihak yang bersengketa berdasarkan tahapan proses yang
dilalui. Pertama, sebelum memasuki proses tahkim, pembatalan dapat dibenarkan berdasarkan kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak. Kedua, bila telah
memasuki proses tahkim, satu pendapat membenarkan pembatalan, karena proses dan keputusan belum sempurna. Pendapat lain tidak membenarkan, sebab akan
mengganggu pelaksanaan tahkim, sehingga maksud dan tujuan pengadaan lembaga tahkim tidak akan dapat dicapai. Ketiga, pembatalan tidak dapat dibenarkan bila
putusan telah dikeluarkan, karena proses tahkim telah sempurna dan sah dengan menghasilkan perdamaian sulh, sehingga tidak dibenarkan seseorang membatalkan
perdamaian yang telah ditetapkan.
1293
Sebagian kalangan Syafiiyah membolehkan pembatalan tahkim pada tahapan proses manapun. Dasar tahkim adalah kerelaan
masing-masing pihak yang berselisih, sehingga tanpa kerelaan tahkim tidak dapat dilakukan dan jika tetap dilakukan akan menghasilkan putusan yang sia-sia yang
tidak mengikat.
1294
1292
Satria Effendi M. Zein, Op. Cit., hlm. 26.
1293
Abdul Aziz Dahlan et.al, ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Loc. Cit.
1294
Ibid., hlm. 1752
Universitas Sumatera Utara
Bisa pula terjadi putusan arbitrase dimintakan pembatalannya kepada badan peradilan. Pembatalan putusan arbitrase memang ada ketentuan yang
membolehkannya, tetapi dengan alasan yang bersifat limitatif, seperti diatur pada Pasal 70 UUAAPS 1999, yaitu: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan, atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
1295
Tanpa alasan yang spesifik dan limitatif tersebut, pembatalan keputusan arbitrase tidak mungkin
dipenuhi. Sekedar tidak puas saja terhadap keputusan arbitrase dari salah satu pihak tidak mungkin diajukan pembatalan. Permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya
dapat diajukan terhadap putusan yang telah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dengan putusan
pengadilan. Putusan pengadilan ini dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan pembatalan, dan terhadap putusan
tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
1296
1295
Terdapat perbedaan makna antara substansi Pasal 70 UUAAPS yang bersifat terbatas atau limitatif dengan Penjelasan Umum yang dinilai bersifat enumeratif, yaitu yang memungkinkan adanya
alasan lain di luar yang disebut dalam UUAAPS sebagai alasan untuk meminta pembatalan putusan arbitrase. Ditafsirkan demikian karena Penjelasan Umum menyebut dengan memakai anak kalimat
“antara lain” yang menunjukkan sifat enumeratif, sedang batang tubuh Pasal 70 UUAAPS tidak mencantumkan anak kalimat tersebut, yang menunjukkan sifat limitatif.
1296
UUAAPS Pasal 72 jis. Penjelasan Pasal 70 dan bagian Penjelasan Umum.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai konsekwensi putusan arbitrase yang bersifat final and binding, permohonan pembatalan tidak menunda eksekusi putusan arbitrase.
1297
Apabila pembatalan terjadi, Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk mengatur akibat
dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter
yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa sengketa tidak mungkin lagi diselesaikan melalui arbitrase.
1298
Bila undang-undang arbitrase dalam suatu yurisdiksi memberikan kewenangan pada pengadilan untuk mengawasi, campur tangan, meneliti dan
memberikan keputusan sebaliknya, dan bukan mempermudah, maka arbitrase akan kehilangan manfaatnya, karena adanya proses ajudikasi pengadilan yang
berlebihan.
1299
Agar arbitrase tidak kehilangan manfaat, seharusnya tidak banyak tergantung kepada kekuasaan peradilan yang diberikan oleh undang-undang.
Sebaiknya, undang-undang memberi kemudahan kepada arbitrase untuk melaksanakan kewenangannya, tanpa banyak keikutsertaan atau pengawasan dari
pengadilan. Keunggulan proses arbitrase dibandingkan pengadilan dengan mekanisme cepat, biaya ringan, dan bersifat rahasia serta putusan bersifat final and
binding harus dapat dilaksanakan sesuai dengan dasar kelahiran arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dari pengadilan.
1297
Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 214.
1298
UUAAPS Penjelasan Pasal 72.
1299
Gary Goodfaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, Op. Cit., hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
I. Arbiter Merupakan Pedamai Yang Netral dan Beragama Islam
Arbiter memegang peran penting dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank syariah dalam sengketa perbankan syariah. Arbiter
berada pada pusat perhatian para pihak untuk dapat menyelesaikan sengketa mereka secara damai, karena itu arbiter menjadi pedamai atau juru damai dalam menengahi
sengketa yang akan diselesaikan. Sesuai dengan anjuran agama untuk mendamaikan setiap perselisihan, arbiter
harus mengupayakan dengan menasihati pihak-pihak yang bersengketa untuk bersedia melakukan perdamaian. Agar musyawarah berjalan dan menghasilan
putusan yang baik, seyogianyalah arbiter memiliki keahlian, tidak saja dalam bidang pokok sengketa tetapi juga keterampilan dalam menghentikan pertikaian secara
damai. Putusan yang diberikan arbiter melalui musyawarah akan dilaksanakan secara ikhlas tanpa paksaan dan kekerasan, karena itu seorang hakam arbiter sesuai
pandangan Jafar Shadiq harus memenuhi syarat akal yang cerdas, lapang dada, berpengalaman, memiliki perhatian atau kepedulian, dan taqwa.
1300
Seorang hakam menurut Ali bin Abu Bakr al-Marginani, seorang ulama Hanafiyah harus memenuhi
syarat yang sama seperti hakim kadi. Tidak dibenarkan mengangkat orang kafir, hamba, orang yang terhukum hudud karena qazf, orang fasik, dan anak-anak untuk
menjadi hakam arbiter, karena dilihat dari keabsahannya sebagai saksi mereka tidak termasuk orang yang berkompeten mengadili.
1301
1300
M. Hasballah Thaib, “Perdamaian Adalah Panglima Dari Semua Hukum”, dalam Pendastaren Tarigan dan Arif eds. Spirit Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 23.
1301
Abdul Azis Dahlan, et.al, Jilid 5, Op. Cit., hlm. 1751. Para fuqaha telah memberikan syarat-syarat dalam mengangkat hakim, meski terdapat perbedaan terhadap syarat-syarat tersebut,
Universitas Sumatera Utara
Terkait kapasitas arbiter, BASYARNAS telah menetapkan syarat, yaitu beragama Islam, ahli dalam ilmu, memiliki integritas, kredibilitas serta nama baik di
masyarakat, menyetujui dan menerima berbagai ketentuan yang berlaku, dan mengisi dan menandatangani formulir yang tersedia.
1302
Meskipun tidak dicantumkan, arbiter harus sudah dewasa dan cakap melakukan tindakan hukum, serta tidak memiliki
hubungan keluarga maupun kepentingan finansial dengan pihak bersengketa. Perlu diketahui, hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk
atau diangkat sebagai arbiter.
1303
yaitu: 1 laki-laki merdeka; 2 berakal; 3 beragama Islam; 4 berlaku adil; 5 berilmu, dan 6 tidak cacat. Lihat A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012, hlm. 24. Oyo Sunaryo
Mukhlas, Op. Cit., hlm 7.
BASYARNAS mengenal arbiter tetap dan tidak tetap. Arbiter tetap bersifat permanen yang diakui dalam daftar yang disediakan
BASYARNAS, sementara arbiter tidak tetap bersifat ad hoc untuk menangani perkara yang bersifat sangat khusus yang keanggotaannya berakhir pada saat
diucapkan putusan atas perkara yang ditangani. Setelah memenuhi persyaratan dengan melampirkan perjanjian yang memuat klausul atau perjanjian arbitrase, Ketua
BASYARNAS segera menunjuk dan menetapkan arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketa. arbiter yang ditunjuk oleh Ketua BASYARNAS dipilih dari
anggota dewan arbiter yang terdaftar pada BASYARNAS. Apabila pemeriksaan
1302
Achmad Djauhari, Op. Cit., hlm. 57. Sebagai bandingan, BANI telah menetapkan syarat arbiter selain mengacu pada ketentuan Pasal 12 UUAAPS 1999, menetapkan kriteria arbiter memiliki
sertifikat ADRArbitrase yang diakui oleh BANI.
1303
UUAAPS 1999, Pasal 12, menetapkan syarat arbiter yang meliputi : a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan c. memiliki pengalaman serta
menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun.
Universitas Sumatera Utara
memerlukan suatu keahlian khusus, Ketua BASYARNAS berhak menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter.
1304
Hukum arbitrase Saudi Arabia menentukan, daftar arbiter ditetapkan oleh kesepakatan antara Menteri Kehakiman, Menteri Perdagangan dan Presiden Dewan
Al-Madzalim Diwan al Mazalem. Daftar arbiter ini diberitahukan kepada Pengadilan dan yang berwenang di bidang judisial serta Kamar Dagang dan
Industri.
1305
Arbiter harus mengetahui pokok permasalahan sengketa experienced, berkelakuan baik good conduct and behavior dan memiliki kapasitas di bidang
hukum having full legal capacity. Selain itu arbiter tidak memiliki kepentingan terhadap kasus yang ditangani must not have any interest in the case, dan beragama
Islam muslim. Arbiter mesti dipilih dari warganegara Saudi Arabia dan orang asing dapat dipilih asalkan beragama Islam the arbitrator must be choosen amongst Saudi
nationals or Muslim foreigners. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi arbiter mengingat qiyas reasoning by analogy dengan ketentuan kesaksian dalam
Alquran, yaitu satu orang laki-laki seimbang equivalent dengan dua orang perempuan.
1306
1304
Pasal 7 ayat 1 dan 7 Peraturan Prosedur BASYARNAS
Namun, ini mungkin bertentangan dengan interpretasi yang mengadakan arbitrase setara dengan pernyataan saksi. Syariah menyatakan bahwa
keterangan saksi berguna dalam membuat kebenaran muncul. Jika pernyataan dua
1305
Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 641.
1306
Q.S. Al-Baqarah 2: 282, “.......... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang- orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Universitas Sumatera Utara
perempuan adalah setara dengan satu orang laki-laki, bagaimana mungkin seorang wanita dalam berarbitrase untuk membuat kebenaran muncul.
1307
Bila para pihak telah menyetujui penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase, mereka harus sepakat terhadap pengangkatan arbiter hakam. Tidak ada
ketentuan berapa jumlah arbiter, sepenuhnya diserahkan kepada para pihak dalam perjanjian arbitrase. Bila masing-masing pihak mengangkat seorang arbiter, dan
kedua arbiter berwenang untuk menunjuk arbiter ketiga, aturan mayoritas dapat diterapkan bila para pihak memberi persetujuan untuk itu. Saudi Arabia, Mesir, dan
Yaman, menetapkan jumlah arbiter harus ganjil that the number of arbitrator must be odd.
1308
Bila petunjuk Alquran yang menjadi dasar bagi arbitrase, sebagaimana tertera dalam Q.S. An-Nisa 4: 35 mengenai persengketaan suami isteri, dan Q.S. Al-
Maidah 5; 95 tentang pemastian bentuk denda bagi yang membunuh binatang buruan ketika sedang berihram, jumlah arbiter hakam sebanyak dua orang, artinya
berjumlah genap atau tidak mesti ganjil. Perselisihan dalam pernikahan lebih diarahkan kepada pencapaian penyelesaian secara kekeluargaan, karena itu
penyelesaian perselisihan suami-isteri dilakukan dua orang hakam yang berasal dari dalam keluarga masing-masing. Begitu pula peristiwa arbitrase tahkim antara Ali
dengan Muawiyah pada penyelesaian perang Shifin, ditunjuk dua arbiter, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah. Ketentuan
mengenai arbiter saat ini dapat tunggal atau majelis, dan jika majelis cenderung
1307
Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 644.
1308
El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 639, 178, dan 843.
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan berjumlah ganjil. Penetapan arbiter berjumlah ganjil lebih diperlukan kepada pengambilan keputusan berdasarkan suara jika musyawarah-mufakat tidak
tercapai. Dalam melaksanakan peran sebagai pedamai, arbiter akan memberi putusan
secara jujur dan adil. Arbiter harus memperlakukan kedua pihak yang berselisih secara adil dengan berpegang pada prinsip memberi kesempatan yang sama untuk
memberi pendapat atau di dengar dalam proses arbitrase audi et alteram partem.
1309
1309
Asas audi et alteram partem merupakan bahasa Latin yang berarti “dengarlah juga pihak lainnya.” S. Adiwinata, Istilah Hukum:Latin-Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1977, hlm. 18.
Arbiter harus mendudukkan kedua pihak yang berselisih secara sama, tanpa memihak yang dapat menjadi bias dalam pengambilan putusan. Umar bin Khattab ketika
menjadi Khalifah Caliph pernah berselisih dengan Abi bin Kaab, dari kalangan rakyat biasa ordinary man, dan sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka
melalui arbitrase. Mereka menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai arbiter, dan pergi untuk menemuinya. Ketika bertemu Zaid selaku arbiter sangat terkejut, mengapa Khalifah
yang mendatangi rumahnya, mengapa tidak beliau saja yang di panggil ke rumah Khalifah. Umar bin Khattab menjawab, merupakan keharusan bagi mereka untuk
mendatangi arbiter guna meminta pertimbangan kepadanya. Arbiter menyuruh mereka untuk memasuki rumah, dan memberikan bantal lunak cushion kepada
Khalifah. Namun, dengan seketika Khalifah menolak dengan mengatakan, bahwa perbuatan itu dapat menimbulkan bias bagi arbiter that this was the first act of bias
on the part of arbitrator. Begitulah sikap Khalifah yang memberi gambaran agar
Universitas Sumatera Utara
arbiter berlaku adil dengan memberi kedudukan yang sama dan berimbang bagi mereka yang meminta diselesaikan perselisihannya.
Apakah arbiter dapat ditarik kembali atau dicabut oleh para pihak yang telah mengangkatnya, terdapat perbedaan. Syafii dan Hanafi mengizinkan pencabutan
arbiter setiap saat sebelum memberikan putusan. Sementara Maliki berpendapat, penunjukan arbiter tidak dapat ditarik kembali setelah dimulainya prosedur arbitrase,
kecuali dengan persetujuan bersama dari pihak yang bersengketa. Pendapat terakhir ini di pandang lebih tepat, karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat internasional.
J. Prinsip Kerahasiaan