Putusan Bersifat Final dan Mengikat

ketentuan hukum yang terdapat dalam hukum peninggalan kolonial Belanda, yang semula dibuat bukan untuk menegakkan dan memelihara hukum Islam, tidak harus dibuang begitu saja. Ketentuan hukum peninggalan kolonial Belanda, baik ketentuan materil dan formilnya, masih dapat dipakai tanpa salahnya dengan mengubah dan menyesuaikannya dengan syariah. 1260

H. Putusan Bersifat Final dan Mengikat

Putusan arbitrase syariah merupakan produk hukum tertulis yang disusun berdasarkan pemeriksaan penyelesaian sengketa melalui arbiter dengan sistem tertutup yang merupakan putusan tingkat terakhir serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak final and binding. 1261 1260 Abdoerraoef, Op. Cit., hlm. 50. Prinsip final dan mengikat dari putusan arbitrase syariah, selain terbatas pada putusan yang dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersengketa, juga terbatas pada pengertian putusan yang tidak mempunyai upaya hukum banding dan kasasi sebagaimana putusan lembaga peradilan. Putusan berisi ketegasan penyelesaian sengketa yang diajukan kepada arbitrase syariah untuk dipatuhi dan diktum yang tercantum dalam putusan harus dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak. Apabila terjadi kelalaian atau putusan tidak dilaksanakan secara sukarela, maka pihak yang berhak dapat meminta bantuan agar putusan dilaksanakan dengan kekuasaan yang memiliki otoritas sesuai dengan peraturan yang berlaku. 1261 Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 163. Universitas Sumatera Utara Arbitrase syariah merupakan bentuk arbitrase yang dilakukan sesuai ketentuan hukum Islam. Dikalangan ahli hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat terhadap putusan arbitrase apakah bersifat mengikat dan final final and binding. Sebagaian berpendapat putusan arbitrase mempunyai kekuatan mengikat binding force tanpa memerlukan persetujuan dari pihak yang bersengketa untuk pelaksanaannya. Putusan arbiter mempunyai kekuatan hukum dan langsung mengikat merupakan konsekwensi kerelaan atau kesepakatan para pihak atas pilihan mereka terhadap arbitrase. Masing- masing pihak terikat dengan janji mereka, sehingga harus ditepati dan berkomitmen untuk melaksanakan putusan yang diberikan yang diikuti itikad baik. Dengan dasar itikad baik dan kesadaran sendiri, pihak yang bersengketa harus rela menerima putusan arbitrase tahkim yang mereka pilih secara sukarela. Putusan arbitrase bersifat independen dari kehendak para pihak dan bersifat mengikat begitu diberikan arbiter. Pendapat lain mengatakan, putusan arbitrase tidak mengikat kecuali jika telah ada persetujuan dari pihak yang bersengketa. Menurut pendapat ini, kesepakatan dalam menunjuk arbiter tidak berarti sudah menyetujui putusan yang diberikan. Untuk menjadikan putusan itu mengikat, perlu lebih dulu disetujui para pihak agar dapat dilaksanakan. Apabila putusan dianggap mengikat tanpa persetujuan para pihak lebih dahulu, pelaksanaannya bisa jadi tidak berdasarkan kerelaan hati dan akan meninggalkan sakit hati dendam atau karat dalam hati. Sedang tujuan berarbitrase tahkim adalah untuk menghindarkan karat di hati mereka yang berselisih. 1262 1262 Pendapat yang disebut pertama yang melihat putusan hakam langsung mengikat tanpa memerlukan persetujuan para pihak yang bersengketa didukung ahli hukum Islam dari kalangan Universitas Sumatera Utara Perdebatan terjadi disebabkan adanya perbedaan konsep arbitrase antara arbitration in equity dan arbitration in law. Dalam konsep arbitration in equity, penyelesaian sengketa lebih dekat kepada konsiliasi, sehingga putusan tidak mengikat, sedang dalam arbitration in law putusan mempunyai kekuatan mengikat. Selain itu, perbedaan didasarkan pada karakter arbitrase, antara berkarakter jurisdiksi dan kontraktual jurisdictional or contractual character. 1263 pengikut Abu Hanifah, Ibnu Hambal, Imam Malik, serta mayoritas pengikut Imam Syafii. Sedang pendapat yang disebut terakhir, yang berpendapat putusan hakam tidak mengikat kecuali atas persetujuan pihak bersengketa secara tegas dianut Al-Musanni dari kalangan pengikut Imam Syafii. Perhatikan Satria Effendi M. Zein, Op. Cit., hlm. 25. Pandangan yang melihat putusan arbitrase berkarakter kontraktual contractual character mengatakan kekuatan mengikat putusan arbitrase berdasarkan pada kesepakatan para pihak, dan sebab itu putusan arbitrase memerlukan persetujuan mereka untuk dilaksanakan the binding force of an arbitral award finds its basis in the agreement of the parties. Pandangan ini lebih dekat dengan konsep yang melihat arbitrase sebagai bentuk konsiliasi daripada peradilan. Disepakati secara bulat putusan arbitrase bersifat final terhadap kasus yang di perselisihkan, baik yang melihat arbitrase berkarakter jurisdiksi maupun kontraktual. Dengan karakter jurisdiksi, putusan memiliki sifat final dan memiliki semua efek dari putusan under which awards have a jurisdictional nature, they are held to be final and have all the effects of a judgement, dan bagi berkarakter kontraktual, putusan bersifat final yang didasarkan pada kekuatan mengikat kontrak. Putusan arbiter harus dianggap benar res judicata sepanjang berhubungan dengan pokok persoalan yang diputus dan hanya mengikat 1263 Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 48. Universitas Sumatera Utara pihak bersangkutan under which awards have a contractual nature, they are also held to be final. This is based on the binding force of the contract. 1264 Analisis pendukung yang melihat putusan arbitrase berkarakter jurisdiksi jurisdictional character adalah negara meletakkan kewenangan jurisdiksinya kepada arbiter agar keputusannya dihormati dan berwibawa, dan arbiter memiliki kualitas dan kapasitas yang sama dengan hakim. Dengan demikian, putusan arbitrase adalah seperti keputusan pengadilan the arbitral awards is like a judgement of a state court. El-Ahdab memberi catatan, meski putusan arbitrase memiliki karakter jurisdiksi untuk dapat dilaksanakan, tetapi berbeda dengan putusan pengadilan. Arbiter tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri, melainkan membutuhkan bantuan dari pengadilan. Pelaksanaan putusan arbitrase yang diberi arbiter hanya dapat dijalankan dengan intervensi pengadilan. 1265 Hukum arbitrase Indonesia di bawah UUAAPS 1999 membedakan pelaksanaan putusan arbitrase antara putusan arbitrase nasional domestik dan arbitrase internasional. Baik putusan arbitrase nasional maupun internasional memerlukan peran Pengadilan Negeri. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional menjadi kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 1266 1264 Ibid., hlm. 48 sedang putusan arbitrase nasional diserahkan dan didaftar pada Pengadilan Negeri yang menjadi wilayah hukum arbitrase berada. Arbitrase syariah termasuk arbitrase nasional yang khusus menangani dan menyelesaikan sengketa berbasis syariah di bidang muamalah 1265 Ibid., hlm 49 El-Ahdab mengatakan, “Most schoolars hold that arbitral awards are enforceable in themselves. However, the arbitrators has no authority with respect to enforcement of the award and thus the intervention of the judge is necessary.” 1266 Pasal 65 UUAAPS 1999. Universitas Sumatera Utara tertentu, karena itu tunduk pada ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase nasional atau domestik. Putusan arbitrase syariah diakui bersifat final serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi kedua belah pihak yang bersengketa. 1267 Meski putusan arbitrase syariah diberi berdasarkan hasil pemeriksaan arbiter melalui proses persidangan seperti layaknya persidangan pada pengadilan dengan melahirkan putusan yang bersifat final dan mengikat, namun belum dapat dilaksanakan, dan masih memerlukan prosedur berikutnya, yakni menyerahkan dan mendaftarkan putusan ke Pengadilan Negeri. Tindakan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase syariah ke Pengadilan Negeri merupakan kewajiban, karena bila tidak dilakukan berakibat putusan tidak dapat dieksekusi. 1268 1267 Berdasarkan Pasal 60 UUAAPS 1999, putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Begitu pula putusan BASYARNAS yang sudah ditandatangani, sesuai ketentuan Pasal 25 ayat 1 Peraturan Prosedur BASYARNAS, bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa, dan wajib ditaati serta dilaksanakan secara sukarela. Sebagai implementasi prinsip syariah, putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat final and binding sebagaimana ditetapkan Peraturan Prosedur BASYARNAS harus mencantumkan kalimat ’basmalah’ yang berbunyi: Bismillahirrohmanirrohim di atas kepala putusan. Kalimat ini yang membedakan putusan arbitrase syariah dengan non syariah, yang kemudian diikuti dengan pencantuman irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang memberi nilai eksekutorial bagi putusan arbitrase syariah. Lengkapnya isi putusan arbitrase syariah berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Pedoman Peraturan BASYARNAS harus memuat: a. Kalimat basmalah yang berbunyi: Bismillahirrohmanirrohim di atas kepala putusan. b. Kepala putusan berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. c. Nama lengkap dan alamat para pihak. d. Uraian singkat sengketa. e.Pendirian para pihak. f. Nama lengkap arbiter. g. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter tunggal atau arbiter majelis mengenai keseluruhan sengketa. h. Pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbiter. i. Amar putusan. j. Tempat dan tanggal putusan. k. Tanda tangan arbiter atau majelis arbiter. Isi putusan arbitrase secara umum di atur pada Pasal 54 ayat 1 UUAAPS 1999. Dengan demikian, kewenangan untuk melaksanakan putusan arbitrase syariah berada dalam kekuasaan Pengadilan Negeri, kecuali para pihak melaksanakan sendiri secara sukarela karena 1268 UUAAPS 1999, Pasal 59 ayat 1 dan 4. Cicut Sutiarso berpendapat agar pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri hanyalah bersifat administratif, sehingga berakibat jika pendaftaran lalai dilakukan arbiter atau kuasanya bukan langsung putusan menjadi tidak dapat dieksekusi, melainkan ada alasan pembetulan dengan memerintahkan segera melakukan pendaftaran untuk kepentingan pelaksanaan putusan. Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 199. Universitas Sumatera Utara menerima putusan arbiter dengan baik. 1269 Secara kelembagaan arbitrase syariah tidak memiliki kewenangan untuk menjalankan putusannya sendiri, karena tidak dilengkapi dengan struktur yang bersifat yudisial sebagaimana dimiliki lembaga peradilan. Agar putusan arbitrase syariah yang bersifat final dan mengikat dapat dilaksanakan secara paksa, harus melalui tahap pendaftaran putusan dan tahap permohonan pelaksanaan putusan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Dalam memberikan perintah pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. 1270 Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu memeriksa dasar kewenangan arbitrase dan bidang sengketa yang menjadi kewenangannya. Ketua Pengadilan Negeri menolak memberi perintah pelaksanaan eksekusi bila tidak ada persetujuan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase Arbitration agreement, dan sengketa bukan kewenangan arbitrase, serta putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Atas penolakan Ketua Pengadilan Negeri tidak terbuka upaya hukum apapun. 1271 Perlakukan berbeda dalam mengakui putusan yang bersifat final dan mengikat antara arbitrase dan peradilan dipandang membawa konsekwensi terhadap persoalan kepastian hukum serta derajat kepercayaan pencari keadilan atas arbitrase sebagai Alasan penolakan oleh hakim bersifat limitatif, karena hanya alasan-alasan tersebut yang dapat dijadikan dasar penolakan oleh Ketua Pengadilan Negeri. 1269 Pasal 61 UUAAPS 1999 menetapkan, bila putusan arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa. Putusan BASYARNAS yang tidak dilaksanakan secara sukarela, menurut ketentuan Pasal 25 ayat 6 bisa dijalankan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri. 1270 UUAAPS 1999, Pasal 62 ayat 4. 1271 UUAAPS 1999, Pasal 62 ayat 3 jis. Pasal 4 dan Pasal 5. Universitas Sumatera Utara forum penyelesaian sengketa. 1272 Seharusnya, menurut Erman Suparman, perlakuan ambivalen terhadap putusan arbitrase tidak terjadi, bila substansi Pasal 54 ayat 1 UUAAPS 1999 dipahami secara cermat. Tidak ada alasan membedakan antara putusan arbitrase dan putusan pengadilan, disebabkan: Pertama, kesamaan unsur substansi dan sistematika putusan arbitrase dan pengadilan, dan kedua, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat serta mempunyai kekuatan hukum tetap. 1273 Karena instansi arbitrase tidak dapat melaksanakan putusannya sendiri, meski telah diakui secara normatif bersifat final dan mengikat final and binding, maka putusannya bersifat semu. 1274 Putusan arbitrase digantungkan pelaksanaannya kepada Pengadilan Negeri, sehingga berarti belum memiliki kekuatan eksekutorial, meski telah memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan. Dikatakan Erman Suparman idealnya, putusan arbitrase yang dikatakan bersifat final dan mengikat itu, sekaligus juga mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga putusan benar-benar mandiri dan tidak dikondisikan tergantung pada kewenangan Pengadilan Negeri. 1275 Arbitrase yang telah diakui keberadaannya sebagai forum penyelesaian sengketa di luar peradilan, tidak hanya diakui sebagai forum pemutus perkara, melainkan lebih dari itu, juga berwenang penuh untuk mengeksekusi putusan yang dibuatnya. 1276 1272 Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 194.. 1273 Ibid., hlm. 193. 1274 Cicut Sutiarso, Op.Cit., hlm. 170. 1275 Erman Suparman, Op. Cit., hlm. 234. 1276 Ibid., hlm. 181. Erman Suparman mengatakan lebih lanjut, apabila arbitrase hanya diberi kewenangan secara limitatif sebagai pemutus sengketa tanpa memiliki kompetensi melakukan eksekusi terhadap putusan yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka dapat dipastikan forum arbitrase bernasib sama dengan Peradilan Agama sebelum lahirnya Undang-Undang tentang Peradilan Agama. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan arbitrase syariah tetap merupakan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Negeri sesuai ketentuan yang diatur dalam UUAAPS 1999. 1277 Arbitrase syariah tidak memiliki kewenangan yang bersifat yudisial, sehingga meski putusannya telah final dan mengikat dalam arti mempunyai kekuatan hukum tetap, namun tidak dapat dilaksanakan atas kekuasaan sendiri, selain melalui Pengadilan Negeri. Sifat final dan mengikat final and binding hanya berarti putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya banding, kasasi atau peninjauan kembali. 1278 Putusan arbitrase di Saudi Arabia, harus didaftar pada otoritas yang memiliki jurusdiksi atas sengketa the authority originally having jurisdiction over the dispute dan diberitahu kepada para pihak. Terhadap putusan, para pihak masih diberi hak mengajukan keberatan, dan putusan bersifat final setelah lewat masa pengajuan Agar sifat final dan mengikat efektif, putusan arbitrase syariah harus diikuti dengan prinsip kepatuhan complience, yaitu putusan yang telah dicapai harus dipatuhi dan dilaksanan secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. 1277 Perlu dikemukakan, sehubungan dengan telah diberinya peradilan agama kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perekonomian syariah, seyogianya kata ‘peradilan umum’ ataupun ‘pengadilan negeri’ yang disebut dalam UUAAPS 1999 dibaca dengan menggandeng ‘peradilan agama’.Aapalagi setelah peradilan agama diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sesuai ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama juga bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah. Atas dasar dan kewenangan ini, Ketua Pengadilan Agama seharusnya yang berwenang memerintahkan eksekusi putusan BASYARNAS . Sejatinya perintah melaksanakan eksekusi putusan arbitrase syariah menjadi kewenangan peradilan agama. Senyatanya tidak demikian, sebab UUAAPS 1999 menetapkan kewenangan itu tetap pada pengadilan negeri. Apalagi Pasal 59 ayat 3 UUKK 2009 telah menutup kemungkinan dengan memperteguh kewenangan pelaksanaan eksekusi arbitrase, termasuk arbitrase syariah berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri. Sebelumnya, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA No. 8 Tahun 2008 pelaksanaan putusan BASYARNAS diberikan atas perintah peradilan agama. SEMA No. 8 tahun 2008 seterusnya dinyatakan tidak berlaku lagi oleh SEMA No. 8 Tahun 2010 yang dikeluarkan setelah berlakunya UUKK 2009. SEMA No. 8 Tahun 2010 menegaskan sejak berlakunya UUKK 2009, maka SEMA No. 8 Tahun 2008 telah dinyatakan tidak berlaku lagi. Artinya perintah pelaksanaan eksekusi BASYARNAS tetap berada pada pengadilan negeri. Dengan semakin baiknya eksistensi peradilan agama sudah seharusnya pelaksanaan putusan arbitrase syariah 1278 I Made Widnyana, Op. Cit., hlm. 210. Universitas Sumatera Utara banding appeal, dan dapat dilaksanakan melalui pemberian penetapan pengabulan untuk dilaksanakan decision granting leave to enforce. 1279 Selain telah melewati masa pengajuan banding, instansi otoritas yang memiliki jurisdiksi sengketa akan mengeluarkan penetapan pengabulan setelah meyakini putusan tidak berisi: 1 invalidity of the arbitration agreement; 2 The existence of a reason for challenge; 3 the arbitrator’s nonobervance of his mission; 4 nonobservance of the rules of constitution of the arbitral tribunal and violation of the principle of due process; 5 omission of any of the statutory requirements for the award. Penetapan pengabulan putusan akan ditolak bila dijumpai alasan-alasan dasar penolakan ini. 1280 Pada aturan baru arbitrase di Mesir, putusan arbitrase di daftar pada sekretariat pengadilan yang memiliki jurisdiksi untuk dilaksanakan. Selanjutnya, putusan arbitrase yang diberikan di Mesir maupun luar negeri sepanjang menggunakan hukum Mesir, diberi titel eksekuatur oleh Presiden Pengadilan President of the Court dimana putusan didaftarkan. Presiden Pengadilan harus memastikan putusan memenuhi kondisi-kondisi: 1 it dose not contradict a judgement previously rendered by the Egyptian courts on the subject-matter of the dispute; 2 it does not violate the public policy of the Arab Republic of Egypt; 3 it was properly notified to the parties agsinst whom it was rendered. 1281 1279 In domestic arbitration, depending on the subject-matter of the dispute, such authority may be one of the following: a the Sharia Court; b the Board for the Settlement of Commercial Dispute; c the Securities Commission; d the Labor Courts; e the Diwan Al-Mazalem Board of Grievances. El-Ahdab. Ibid., hlm. 613 . 1280 Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 665, 668. 1281 Ibid., hlm. 202-203. Universitas Sumatera Utara Keikutsertaan hakim diperlukan dalam pelaksanaan putusan, karena arbiter tidak mempunyai otoritas terhadap pelaksanaan putusan arbitrase. Hakim tidak dibenarkan untuk mengingkari penegakan hanya dikarenakan putusan arbiter tidak sesuai dengan pendapatnya. Selain itu, hakim tidak berwenang untuk memeriksa kembali manfaat sengketa atau dasar pertimbangan yang diberikan arbiter judge when enforcing an arbitral award is not authorized to review the merits of the disputes or the arbitrator’s reasoning. Hakim hanya bisa memeriksa kondisi formal seperti sahnya perjanjian arbitrase, pengambilan putusan oleh arbitor, dan apakah putusan sesuai dengan subjek sengketa. he can only examine such formal conditions as the existence of a valid agreement to arbitrate, whether the award has been made by all the arbitrators, and whether it deals with the subject of the dispute. Hakim dapat menolak melaksanakan putusan arbitrase bila mengandung kesalahan atau ketidakadilan yang mencolok a flagrant error or injustice atau bertentangan dengan ketertiban umum public order, yaitu semangat syariah yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. 1282 Perlunya dukungan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi putusan hakam arbiter merupakan karakter positivisasi putusan yang secara de facto dan de jure hanya dimiliki oleh pengadilan resmi negara terlepas dari setuju tidaknya pengadilan terhadap putusan arbiter tersebut. 1283 Terhadap putusan arbitrase asing atau yang bersifat internasional, UUAAPS 1999 memberi rumusan sebagai putusan yang bersifat kewilayahan atau teritorial. 1284 1282 Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 49. 1283 Hasbi Hasan, Op. Cit., hlm. 133. 1284 Pasal 1 angka 9 UUAAPS 1999, ”Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Universitas Sumatera Utara Putusan arbitrase dikatakan asing atau internasional jika dilakukan di luar wilayah hukum negara Indonesia, tanpa mempersoalkan kewarganegaraan dan sistem hukum para pihak. 1285 Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase.” Kecuali putusan arbitrase internasional, pengertian putusan arbitrase nasional tidak diberi dalam UUAAPS 1999. Prinsip kewilayahan yang berlaku dalam putusan arbitrase internasional, dipandang berlaku pula bagi putusan arbitrase nasional, sehingga setiap putusan yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesia merupakan putusan arbitrase nasional. Pemahaman ini didasarkan pada penafsiran argumentum a contrario. Gatot Soemantono mengatakan, Konvensi New York 1958 menganut prinsip teritorial, sehingga termasuk putusan arbitrase internasional atau asing bila diputuskan di luar wilayah dari negara yang diminta pengakuan dan pelaksanaan putusan, dengan tanpa melihat perbedaan status kewarganegaraan para pihak maupun hukum yang digunakan. Gatot Soemartono, Op. Cit., hlm. 69. Hukum arbitrase Yaman menetapkan kreteria antara arbitrase nasional dan internasional berikut: Domestic arbitrations are arbitration where all parties are nationals of the Republic Yemen. International arbitration is an arbitration where the parties have different nationalities or their domicile or main establishment are located abroad, or an arbitration taking place within an international arbitration centre. El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 835. Putusan arbitrase asing di Indonesia dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip resiproritas, yaitu didasarkan pada keterikatan perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Artinya, antara negara yang menjatuhkan putusan dengan negara Indonesia memiliki hubungan timbal balik tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Selain itu, putusan arbitrase internasional bisa dilaksanakan di Indonesia terbatas pada lingkup hukum perdagangan, yang meliputi bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak 1285 Sudargo Gautama berpendapat penekanan sifat internasional diletakkan pada adanya unsur luar negeri atau unsur asing foreign element. Kemungkinan adanya unsur asing dapat terjadi pada setiap peristiwa hukum, seperti peristiwa hukum yang terjadi antara dua pihak yang salah satu berkewarganegaraan asing, atau salah satu pihak berdomisili asing, a tau hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak dengan objek berada di negara asing, dan seterusnya. Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional, Jilid 1, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 36. Selain itu, Priyatna Abdurrasyid dengan merujuk pada pendapat Mochtar Kusumaatmadja, mengemukakan ciri internasional yang dikaitkan dengan arbitrase, yaitu: a Internasional menurut organisasinya, seperti Konvensi ICSID. b Internasional menurut struktur atau prosedurnya, seperti badan arbitrase di bawah the International Chamber of Commerce Paris. c Internasional menurut faktanya, yaitu arbitrase yang ada hubungan dan kaitannya dengan unsur jurisdiksi negara lain unsur asing. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase.... Op. Cit., hlm. 153. Universitas Sumatera Utara kekayaan intelektual, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 1286 Putusan arbitrase asing atau internasional dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika tersangkut Negara Republik Indonesia, putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung dan seterusnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 1287 Sikap syariah atas penegakan putusan arbitrase syariah adalah tergantung pada perjanjian atau konvensi bilateral dan internasional dari negara para pihak yang berkomitmen. Apalagi beberapa negara muslim mengadop dan menjadi pihak dalam Konvensi New York, seperti Saudi Arabia, Mesir, dan Yaman. 1288 yang memberi ketentuan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing. 1286 Tidak ada kesatuan pendapat mengenai ketertiban umum public policy dikalangan para pakar hukum, kecuali pendirian untuk mengatakan bahwa ketertiban umum memegang peranan penting dalam arti setiap sistem hukum negara memerlukan public policy sebagai rem darurat untuk melindunginya. Sebagai rem darurat, ketertiban umum memiliki fngsi negatif dan fungsi positif. Dengan fungsi negatif, ketertiban umum diperlukan agar pemberlakuan hukum asing jangan sampai melanggar sendi-sendi asasi dari hukum nasinal sendiri. Sedang fungsi positif ketertiban umum adalah ia menjamin berlakunya ketentuan hukum tertentu, tanpa memperhatikan hukum yang seharusnya berlaku, karena telah dipilih para pihak. Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas Ketertiban Umum Konvensi New York 1958, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, hlm. 98. Suatu putusan arbitrase dalam hukum Islam berpegang pada prinsip tidak bertentangan dengan ketertiban umum dalam Islam Islamic public policy. Putusan arbitrase asing harus memperhitungkan larangan dan otoritas dalam hukum Islam. Hakim muslim masih dapat menyisihkan putusan arbitrase asing atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase jika melanggar semangat atau ketertiban umum public policy yang 1287 Pasal 66 UUAAPS 1999. 1288 El_Ahdab, Op. Cit., hlm. 627. 159, dan 835 Universitas Sumatera Utara bersumber syariah yaitu Alquran dan Sunnah. 1289 If arbitration is deemed to be foreign, a Muslim judge can only set aside the award or refuse to enforce it on grounds relating to the Islamic public policy and taking into account to the prohibitions and authorizations contained in Islamic Law. He can only do so if the foreign arbitral award contains a flugrant injustice or is contrary to Islamic good morals. Abdel Hamid El-Ahdab mengatakan: 1290 Putusan arbitrase yang telah disetujui pihak yang bertahkim mengakibatkan mereka terikat dengan putusan tersebut. Kalangan Hanafi berpendapat, apabila ada pihak yang mengadukan ke pengadilan, dan hakim pengadilan sependapat dengan putusan yang diberi arbiter, maka hakim tidak boleh membatalkan putusan tersebut. Namun, bila hakim pengadilan tidak sependapat, maka ia berhak membatalkan putusan arbiter hakam. Berbeda dengan kalangan Maliki dan Hambali yang berpendapat putusan hakam dalam proses tahkim yang sah karena telah sesuai dengan syariat, tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah, tidak bisa dibatalkan sekalipun hakim pengadilan tidak sependapat dengan putusan hakam arbiter. 1291 1289 Zeyad Alqurashi, Op. Cit., hlm. 9. Kalangan Hanafiyah membolehkan putusan hakam dibatalkan oleh hakim pengadilan 1290 El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 50. El-Ahdab mengemukakan beberapa pandangan mengenai arbitrase asing dengan segala konsekwensi ke dalam beberapa kategori berikut. Pertama, bila arbitrase berlangsung dalam suatu negara Islam within Islamic country, dianggap asing bila dilakukan oleh subjek atau para pihak non-Muslim, baik oleh orang asing maupun penduduk yang non-Muslim, dan kegiatan ini tunduk pada hukum yang berhubungan dengan agama mereka. Namun pandangan ini tidak bulat diterima, karena sebagian meyakini bila arbitrase berlangsung di negara Islam, hukum Islam harus berlaku untuk semua pihak, terlepas dari kebangsaan dan agama mereka. Kedua, bila arbitrase berlangsung di luar negara Islam outside in Islamic country di dapat beberapa pandangan yang berbeda: a Arbitrase yang dilakukan di luar masyarakat Muslim selalu dikategorikan sebagai asing dan hukum Islam tidak dilaksanakan terhadap putusan; b Dikategorikan asing bila dilakukan di antara orang asing atau Muslim yang bertempat tinggal di luar wilayah Islam, dan hanya bagi kasus pidana untuk menghindari sanksi ganda. Arbitrase antara sesama orang Muslim yang diadakan di luar negeri di bidang perdata dan komersial, tidak termasuk kategori asing. c Arbitrase yang berlangsung di luar negeri, hanya dikategorikan asing bila dilakukan di antara orang-orang non-Muslim. Bila para pihak meliputi orang Muslim, kategori asing berhenti, terlepas dari sifatnya perdata, komersial atau kriminal. 1291 Abdul Aziz Dahlan et.al, ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Op. Cit., hlm. 1752. Universitas Sumatera Utara didasarkan pada keberadaan tahkim yang harus berada di bawah pengawasan pengadilan yang didirikan penguasa. Berarti, keputusan hakam belum mempunyai kekuatan mengikat, kecuali setelah ada persetujuan dari peradilan. Pendapat ini, sebagaimana dikemukakan Satria Effendi, baru layak diterapkan bila hukum material yang dipakai di pengadilan sama dengan yang dipakai dalam proses tahkim. 1292 Mayoritas ahli hukum Islam membolehkan kemungkinan pembatalan keputusan tahkim oleh pihak yang bersengketa berdasarkan tahapan proses yang dilalui. Pertama, sebelum memasuki proses tahkim, pembatalan dapat dibenarkan berdasarkan kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak. Kedua, bila telah memasuki proses tahkim, satu pendapat membenarkan pembatalan, karena proses dan keputusan belum sempurna. Pendapat lain tidak membenarkan, sebab akan mengganggu pelaksanaan tahkim, sehingga maksud dan tujuan pengadaan lembaga tahkim tidak akan dapat dicapai. Ketiga, pembatalan tidak dapat dibenarkan bila putusan telah dikeluarkan, karena proses tahkim telah sempurna dan sah dengan menghasilkan perdamaian sulh, sehingga tidak dibenarkan seseorang membatalkan perdamaian yang telah ditetapkan. 1293 Sebagian kalangan Syafiiyah membolehkan pembatalan tahkim pada tahapan proses manapun. Dasar tahkim adalah kerelaan masing-masing pihak yang berselisih, sehingga tanpa kerelaan tahkim tidak dapat dilakukan dan jika tetap dilakukan akan menghasilkan putusan yang sia-sia yang tidak mengikat. 1294 1292 Satria Effendi M. Zein, Op. Cit., hlm. 26. 1293 Abdul Aziz Dahlan et.al, ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Loc. Cit. 1294 Ibid., hlm. 1752 Universitas Sumatera Utara Bisa pula terjadi putusan arbitrase dimintakan pembatalannya kepada badan peradilan. Pembatalan putusan arbitrase memang ada ketentuan yang membolehkannya, tetapi dengan alasan yang bersifat limitatif, seperti diatur pada Pasal 70 UUAAPS 1999, yaitu: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 1295 Tanpa alasan yang spesifik dan limitatif tersebut, pembatalan keputusan arbitrase tidak mungkin dipenuhi. Sekedar tidak puas saja terhadap keputusan arbitrase dari salah satu pihak tidak mungkin diajukan pembatalan. Permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan ini dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan pembatalan, dan terhadap putusan tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. 1296 1295 Terdapat perbedaan makna antara substansi Pasal 70 UUAAPS yang bersifat terbatas atau limitatif dengan Penjelasan Umum yang dinilai bersifat enumeratif, yaitu yang memungkinkan adanya alasan lain di luar yang disebut dalam UUAAPS sebagai alasan untuk meminta pembatalan putusan arbitrase. Ditafsirkan demikian karena Penjelasan Umum menyebut dengan memakai anak kalimat “antara lain” yang menunjukkan sifat enumeratif, sedang batang tubuh Pasal 70 UUAAPS tidak mencantumkan anak kalimat tersebut, yang menunjukkan sifat limitatif. 1296 UUAAPS Pasal 72 jis. Penjelasan Pasal 70 dan bagian Penjelasan Umum. Universitas Sumatera Utara Sebagai konsekwensi putusan arbitrase yang bersifat final and binding, permohonan pembatalan tidak menunda eksekusi putusan arbitrase. 1297 Apabila pembatalan terjadi, Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa sengketa tidak mungkin lagi diselesaikan melalui arbitrase. 1298 Bila undang-undang arbitrase dalam suatu yurisdiksi memberikan kewenangan pada pengadilan untuk mengawasi, campur tangan, meneliti dan memberikan keputusan sebaliknya, dan bukan mempermudah, maka arbitrase akan kehilangan manfaatnya, karena adanya proses ajudikasi pengadilan yang berlebihan. 1299 Agar arbitrase tidak kehilangan manfaat, seharusnya tidak banyak tergantung kepada kekuasaan peradilan yang diberikan oleh undang-undang. Sebaiknya, undang-undang memberi kemudahan kepada arbitrase untuk melaksanakan kewenangannya, tanpa banyak keikutsertaan atau pengawasan dari pengadilan. Keunggulan proses arbitrase dibandingkan pengadilan dengan mekanisme cepat, biaya ringan, dan bersifat rahasia serta putusan bersifat final and binding harus dapat dilaksanakan sesuai dengan dasar kelahiran arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa dari pengadilan. 1297 Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 214. 1298 UUAAPS Penjelasan Pasal 72. 1299 Gary Goodfaster, Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, Op. Cit., hlm. 24. Universitas Sumatera Utara

I. Arbiter Merupakan Pedamai Yang Netral dan Beragama Islam

Arbiter memegang peran penting dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi antara nasabah dengan bank syariah dalam sengketa perbankan syariah. Arbiter berada pada pusat perhatian para pihak untuk dapat menyelesaikan sengketa mereka secara damai, karena itu arbiter menjadi pedamai atau juru damai dalam menengahi sengketa yang akan diselesaikan. Sesuai dengan anjuran agama untuk mendamaikan setiap perselisihan, arbiter harus mengupayakan dengan menasihati pihak-pihak yang bersengketa untuk bersedia melakukan perdamaian. Agar musyawarah berjalan dan menghasilan putusan yang baik, seyogianyalah arbiter memiliki keahlian, tidak saja dalam bidang pokok sengketa tetapi juga keterampilan dalam menghentikan pertikaian secara damai. Putusan yang diberikan arbiter melalui musyawarah akan dilaksanakan secara ikhlas tanpa paksaan dan kekerasan, karena itu seorang hakam arbiter sesuai pandangan Jafar Shadiq harus memenuhi syarat akal yang cerdas, lapang dada, berpengalaman, memiliki perhatian atau kepedulian, dan taqwa. 1300 Seorang hakam menurut Ali bin Abu Bakr al-Marginani, seorang ulama Hanafiyah harus memenuhi syarat yang sama seperti hakim kadi. Tidak dibenarkan mengangkat orang kafir, hamba, orang yang terhukum hudud karena qazf, orang fasik, dan anak-anak untuk menjadi hakam arbiter, karena dilihat dari keabsahannya sebagai saksi mereka tidak termasuk orang yang berkompeten mengadili. 1301 1300 M. Hasballah Thaib, “Perdamaian Adalah Panglima Dari Semua Hukum”, dalam Pendastaren Tarigan dan Arif eds. Spirit Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 23. 1301 Abdul Azis Dahlan, et.al, Jilid 5, Op. Cit., hlm. 1751. Para fuqaha telah memberikan syarat-syarat dalam mengangkat hakim, meski terdapat perbedaan terhadap syarat-syarat tersebut, Universitas Sumatera Utara Terkait kapasitas arbiter, BASYARNAS telah menetapkan syarat, yaitu beragama Islam, ahli dalam ilmu, memiliki integritas, kredibilitas serta nama baik di masyarakat, menyetujui dan menerima berbagai ketentuan yang berlaku, dan mengisi dan menandatangani formulir yang tersedia. 1302 Meskipun tidak dicantumkan, arbiter harus sudah dewasa dan cakap melakukan tindakan hukum, serta tidak memiliki hubungan keluarga maupun kepentingan finansial dengan pihak bersengketa. Perlu diketahui, hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. 1303 yaitu: 1 laki-laki merdeka; 2 berakal; 3 beragama Islam; 4 berlaku adil; 5 berilmu, dan 6 tidak cacat. Lihat A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012, hlm. 24. Oyo Sunaryo Mukhlas, Op. Cit., hlm 7. BASYARNAS mengenal arbiter tetap dan tidak tetap. Arbiter tetap bersifat permanen yang diakui dalam daftar yang disediakan BASYARNAS, sementara arbiter tidak tetap bersifat ad hoc untuk menangani perkara yang bersifat sangat khusus yang keanggotaannya berakhir pada saat diucapkan putusan atas perkara yang ditangani. Setelah memenuhi persyaratan dengan melampirkan perjanjian yang memuat klausul atau perjanjian arbitrase, Ketua BASYARNAS segera menunjuk dan menetapkan arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketa. arbiter yang ditunjuk oleh Ketua BASYARNAS dipilih dari anggota dewan arbiter yang terdaftar pada BASYARNAS. Apabila pemeriksaan 1302 Achmad Djauhari, Op. Cit., hlm. 57. Sebagai bandingan, BANI telah menetapkan syarat arbiter selain mengacu pada ketentuan Pasal 12 UUAAPS 1999, menetapkan kriteria arbiter memiliki sertifikat ADRArbitrase yang diakui oleh BANI. 1303 UUAAPS 1999, Pasal 12, menetapkan syarat arbiter yang meliputi : a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan c. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun. Universitas Sumatera Utara memerlukan suatu keahlian khusus, Ketua BASYARNAS berhak menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter. 1304 Hukum arbitrase Saudi Arabia menentukan, daftar arbiter ditetapkan oleh kesepakatan antara Menteri Kehakiman, Menteri Perdagangan dan Presiden Dewan Al-Madzalim Diwan al Mazalem. Daftar arbiter ini diberitahukan kepada Pengadilan dan yang berwenang di bidang judisial serta Kamar Dagang dan Industri. 1305 Arbiter harus mengetahui pokok permasalahan sengketa experienced, berkelakuan baik good conduct and behavior dan memiliki kapasitas di bidang hukum having full legal capacity. Selain itu arbiter tidak memiliki kepentingan terhadap kasus yang ditangani must not have any interest in the case, dan beragama Islam muslim. Arbiter mesti dipilih dari warganegara Saudi Arabia dan orang asing dapat dipilih asalkan beragama Islam the arbitrator must be choosen amongst Saudi nationals or Muslim foreigners. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi arbiter mengingat qiyas reasoning by analogy dengan ketentuan kesaksian dalam Alquran, yaitu satu orang laki-laki seimbang equivalent dengan dua orang perempuan. 1306 1304 Pasal 7 ayat 1 dan 7 Peraturan Prosedur BASYARNAS Namun, ini mungkin bertentangan dengan interpretasi yang mengadakan arbitrase setara dengan pernyataan saksi. Syariah menyatakan bahwa keterangan saksi berguna dalam membuat kebenaran muncul. Jika pernyataan dua 1305 Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 641. 1306 Q.S. Al-Baqarah 2: 282, “.......... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang- orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” Universitas Sumatera Utara perempuan adalah setara dengan satu orang laki-laki, bagaimana mungkin seorang wanita dalam berarbitrase untuk membuat kebenaran muncul. 1307 Bila para pihak telah menyetujui penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase, mereka harus sepakat terhadap pengangkatan arbiter hakam. Tidak ada ketentuan berapa jumlah arbiter, sepenuhnya diserahkan kepada para pihak dalam perjanjian arbitrase. Bila masing-masing pihak mengangkat seorang arbiter, dan kedua arbiter berwenang untuk menunjuk arbiter ketiga, aturan mayoritas dapat diterapkan bila para pihak memberi persetujuan untuk itu. Saudi Arabia, Mesir, dan Yaman, menetapkan jumlah arbiter harus ganjil that the number of arbitrator must be odd. 1308 Bila petunjuk Alquran yang menjadi dasar bagi arbitrase, sebagaimana tertera dalam Q.S. An-Nisa 4: 35 mengenai persengketaan suami isteri, dan Q.S. Al- Maidah 5; 95 tentang pemastian bentuk denda bagi yang membunuh binatang buruan ketika sedang berihram, jumlah arbiter hakam sebanyak dua orang, artinya berjumlah genap atau tidak mesti ganjil. Perselisihan dalam pernikahan lebih diarahkan kepada pencapaian penyelesaian secara kekeluargaan, karena itu penyelesaian perselisihan suami-isteri dilakukan dua orang hakam yang berasal dari dalam keluarga masing-masing. Begitu pula peristiwa arbitrase tahkim antara Ali dengan Muawiyah pada penyelesaian perang Shifin, ditunjuk dua arbiter, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak Ali dan Amr bin Ash dari pihak Muawiyah. Ketentuan mengenai arbiter saat ini dapat tunggal atau majelis, dan jika majelis cenderung 1307 Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 644. 1308 El-Ahdab, Op. Cit., hlm. 639, 178, dan 843. Universitas Sumatera Utara ditetapkan berjumlah ganjil. Penetapan arbiter berjumlah ganjil lebih diperlukan kepada pengambilan keputusan berdasarkan suara jika musyawarah-mufakat tidak tercapai. Dalam melaksanakan peran sebagai pedamai, arbiter akan memberi putusan secara jujur dan adil. Arbiter harus memperlakukan kedua pihak yang berselisih secara adil dengan berpegang pada prinsip memberi kesempatan yang sama untuk memberi pendapat atau di dengar dalam proses arbitrase audi et alteram partem. 1309 1309 Asas audi et alteram partem merupakan bahasa Latin yang berarti “dengarlah juga pihak lainnya.” S. Adiwinata, Istilah Hukum:Latin-Indonesia, Jakarta: Intermasa, 1977, hlm. 18. Arbiter harus mendudukkan kedua pihak yang berselisih secara sama, tanpa memihak yang dapat menjadi bias dalam pengambilan putusan. Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah Caliph pernah berselisih dengan Abi bin Kaab, dari kalangan rakyat biasa ordinary man, dan sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase. Mereka menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai arbiter, dan pergi untuk menemuinya. Ketika bertemu Zaid selaku arbiter sangat terkejut, mengapa Khalifah yang mendatangi rumahnya, mengapa tidak beliau saja yang di panggil ke rumah Khalifah. Umar bin Khattab menjawab, merupakan keharusan bagi mereka untuk mendatangi arbiter guna meminta pertimbangan kepadanya. Arbiter menyuruh mereka untuk memasuki rumah, dan memberikan bantal lunak cushion kepada Khalifah. Namun, dengan seketika Khalifah menolak dengan mengatakan, bahwa perbuatan itu dapat menimbulkan bias bagi arbiter that this was the first act of bias on the part of arbitrator. Begitulah sikap Khalifah yang memberi gambaran agar Universitas Sumatera Utara arbiter berlaku adil dengan memberi kedudukan yang sama dan berimbang bagi mereka yang meminta diselesaikan perselisihannya. Apakah arbiter dapat ditarik kembali atau dicabut oleh para pihak yang telah mengangkatnya, terdapat perbedaan. Syafii dan Hanafi mengizinkan pencabutan arbiter setiap saat sebelum memberikan putusan. Sementara Maliki berpendapat, penunjukan arbiter tidak dapat ditarik kembali setelah dimulainya prosedur arbitrase, kecuali dengan persetujuan bersama dari pihak yang bersengketa. Pendapat terakhir ini di pandang lebih tepat, karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat internasional.

J. Prinsip Kerahasiaan