memiliki eksistensi dan prospek signifikan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Kedua, arbitrase syariah menjadi pilar penting bagi perbankan syariah sebagai forum resolusi sengketa yang terjadi antara bank syariah dengan nasabah. Prinsip
syariah yang melekat pada arbitrase syariah memberi warna terhadap validitas dan karakteristik yang membedakannya dengan arbitrase non syariah. Tujuan utama dari
validitas arbitrase syariah sebagai sarana penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah upaya mewujudkan perdamaian. Yurisdiksi arbitrase syariah menampakkan
bentuk dalam konteks modern yang meliputi bidang ekonomi syariah, antara lain termasuk perbankan syariah. Fitur arbitrase syariah yang juga melekat pada arbitrase
non syariah harus disesuaikan sehingga tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum Islam.
Ketiga, pengkajian terhadap prinsip arbitrase syariah perlu dilakukan sebagi upaya memperkuat keberadaan forum arbitrase, terutama setelah UUPS 2008
menetapkan sebagai pilihan penyelesaian sengketa perbankan syariah yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak dalam akad. Prinsip arbitrase syariah perlu di
elaborasi untuk mengetahui landasan kerja penyelesaian sengketa muamalah di bidang perbankan syariah.
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalis implikasi pengaturan UUPS 2008 bagi arbitrase syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah serta mengkaji prospek
Universitas Sumatera Utara
penguatan arbitrase syariah sebagai forum resolusi sengketa muamalah di bidang perbankan syariah.
2. Menganalisis validitas dan yurisdiksi arbitrase syariah dalam hukum Islam
dan hukum positif Indonesia. 3.
Menggali, menemukan, mengelaborasi dan menganalisis prinsip-prinsip yang menjadi dasar arbitrase syariah untuk dapat menyelesaikan sengketa
perbankan syariah.
E. Manfaat Penelitian
Atas dasar tujuan yang telah dikemukakan di depan, penelitian ini akan memberikan manfaat:
1. Secara teoritis bermanfaat untuk memperkaya khasanah teori ilmu hukum yang berhubungan dengan mekanisme penyelesaian sengketa perbankan
syariah di luar pengadilan agama yang dilakukan melalui mekanisme arbitrase berbasis syariah. Hasil kajian akan berguna bagi kegiatan
pengembangan hukum ekonomi Islam terutama sebagai referensi kegiatan penelitian lebh lanjut.
2. Secara praktis bermanfaat bagi semua pihak berkepentingan, baik
masyarakat pelaku bisnis, perbankan maupun perumus kebijakan dan pelaksana penegakan hukum, untuk menjadi informasi maupun
argumentasi hukum yang diperlukan terhadap urgensi arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Universitas Sumatera Utara
F. Keaslian Penelitian
Sesuai tema pokok tulisan yang berkaitan dengan prinsip arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa di bidang perbankan syariah, akan diuraikan
hasil pelacakan yang diperoleh dari hasil penelitian terdahulu. Gambaran terhadap hasil penelitian terdahulu perlu dikemukakan untuk mengetahui orisinalitas kajian
yang akan dilakukan. Berkaitan dengan tema penyelesaian sengketa, Adi Sulistiyono menerbitkan
naskah yang berasal dari disertasi dengan judul “Mengembangkan Paradigma Non- Litigasi di Indonesia.” Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini berkaitan
dengan: 1 Penyebab krisis yang terjadi dalam lembaga peradilan, sehingga sampai menyebabkan paradigma litigasi kehilangan kewibawaan dan kredibilitasnya
dihadapan masyarakat. 2 Meskipun paradigma non litigasi untuk menyelesaikan sengketa mempunyai banyak keuntungan, dan masyarakat Indonesia mempunyai
budaya musyawarah, namun paradigma ini kurang berkembang untuk menyelesaikan sengketa bisnis. Langkah apa yang harus diambil agar paradigma non litigasi bisa
menjadi salah satu pilihan pendekatan yang dipercaya masyarakat untuk menyelesaikan sengketa bidang bisnis.
55
55
Adi Sulistiyono, Op. Cit., hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
Dari permasalahan yang diajukan, diperoleh kesimpulan, baik menyangkut paradigma litigasi PLg maupun paradigma non litigasi PnLg.
56
Dalam paradigma litigasi antara lain disimpulkan, bahwa kepercayaan masyarakat untuk menyelesaikan
sengketa pada pengadilan dihadapkan pada keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya sarana prasarana untuk mendukung efektivitas dan efisiensi kinerja
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan menjadi birokratis, formalistis, mahal, lama, memihak pada pihak yang kuat dan putusannya sulit diprediksi. Lebih
dari itu, penyelesaian yang terjadi di pengadilan telah menjauhkan pihak-pihak yang bersengketa dari nilai kemanusiaan dan keadilan. Pengadilan tidak lagi sebagai
tempat mencari keadilan, tetapi telah menjadi tempat untuk mencari kemenangan hukum dengan cara yang bertentangan dengan hukum.
57
Sementara untuk paradigma non litigasi diantaranya disimpulkan, bahwa tidak berkembangnya paradigma ini, di samping belum terkomunikasikan keberadaannya
di masyarakat, juga karena budaya gugat menggugat dan kekerasan telah menghinggapi dan menjadi bagian perilaku masyarakat Indonesia. Kondisi ini
disebabkan karena nilai-nilai musyawarah dan konsensus tidak dikembangkan melalui sistem pendidikan, atau teladan dari pemimpin formal atau non formal. Untuk
56
Ibid., hlm. 11. Dalam penelitian yang dilakukan, Adi Sulistiyono menggunakan istilah Paradigma Non Litigasi PnLg bukan Alternative Dispute Resolution. Dalam pemahaman yang
dikemukakan, arbitrase tidak masuk dalam lingkup paradigma non litigasi, karena arbiter dalam memberikan putusan masih menggunakan pendekatan adversarial pertentangan dengan hasil win-
lose solution. Paradigma Non Litigasi PnLg diartikan kesatuan asumsi-asumsi, konsep, nilai-nilai dasar yang diyakini dan digunakan masyarakat secara terus menerus untuk menentukan cara dalam
menyelesaikan sengketa dengan tidak menggunakan nilai-nilai yang melekat pada paradigma litigasi atau nilai-nilai adversarial yang menghasilkan penyelesaian sengketa win-lose solution, tapi
mendasarkan pada konsensus atau musyawarah demi mencapai kepentingan bersama atau win-win solution.
57
Ibid., hlm. 434-435.
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan sengketa hukum, nilai musyawarah mengalami kesulitan menemukan ruang yang mampu mewadahinya, diakibatkan adanya kebijakan unifikasi lembaga
peradilan pada masa orde lama yang menghapus peradilan desa dan peradilan adat.
58
Penelitian lain yang berhubungan dengan forum arbitrase dilakukan Eman Suparman bertajuk “Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa Komersial Untuk
Penegakan Keadilan.” Studi yang di angkat dari disertasi ini dilakukan pada proyeksi masalah utama, yaitu mungkinkah forum arbitrase di masa depan dapat
dikembangkan sebagai salah satu forum khusus untuk menyelesaikan sengketa- sengketa komersial di luar pengadilan negeri yang memiliki kewenangan publik
untuk mengeksekusi putusannya, sehingga putusan arbitrase lebih mencerminkan penegakan keadilan substansial yang bermartabat.
59
Hasil yang diperoleh adalah secara faktual putusan arbitrase senyatanya belum merupakan putusan final, tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, dan tidak mandiri.
Walaupun secara normatif eksplisit ditentukan bahwa putusan arbitrase bersifat tidak dapat dimohonkan upaya banding dan kasasi, namun bukan itu indikator penentunya.
Idealnya, putusan arbitrase yang dikatakan final dan mengikat itu sekaligus juga memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga putusan benar-benar mandiri dan tidak
dikondisikan dependen terhadap kewenangan pengadilan negeri.
60
58
Ibid., hlm. 439.
Penelitian yang dilakukan memfokuskan bahasan pada aspek pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
yang bersifat final dan mengikat, sehingga para pihak dapat lebih cepat memperoleh
59
Eman Suparman, Op. Cit., hlm. 17.
60
Ibid., hlm. 234.
Universitas Sumatera Utara
hak yang dituntutnya bila dibandingkan dengan menuntut hak melalui pengadilan yang masih dapat menggunakan upaya hukum biasa maupun luar biasa.
Cicut Sutiarso melakukan pengkajian dalam disertasi yang diterbitkan menjadi buku dengan judul “Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis”.
Kajian ini memfokuskan pelaksanaan putusan arbitrase yang mempunyai kekuatan final and binding yang dilaksanakan dengan mamakai prinsip pemeriksaan
persidangan melalui pengadilan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Penyajian dilakukan atas dasar bagaimana sebaiknya pengaturan lembaga arbitrase
dapat memberikan peranannya dalam penyelesian sengketa di luar pengadilan berdasarkan asas-asas peradilan yang baik. Mengapa terhadap putusan arbitrase yang
bersifat final and binding masih dimungkinkan untuk ditunda atau dinyatakan tidak dapat dilaksanakan atau dibatalkan sama sekali melalui permohonan pembatalan ke
pengadilan negeri.
61
Atas permasalahan yang disusun, dikemukakan pendapat bahwa berdasarkan asas peradilan yang baik, proses pemeriksanaan permohonan pembatalan putusan dan
proses pemeriksaan permohonan perlawanan eksekusi putusan arbitrase tidak menunda eksekusi putusan arbitrase. Dengan demikian, putusan arbitrase yang final
and binding bisa dilaksanakan melalui pengadilan negeri dalam waktu yang cepat menurut prosedur yang sesuai dengan penerapan asas peradilan yang baik.
62
Penelitian lain terdapat dalam disertasi Darwinsyah Minin yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Kesepakatan Di Propinsi
61
Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 32.
62
Ibid., hlm. 221.
Universitas Sumatera Utara
Nanggroe Aceh Darussalam.” Penelitian ini dilakukan dengan mengemukakan tiga masalah: a Bagaimana konsep hukum penyelesaian sengketa lingkungan yang
proporsional yang mampu memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat luas. b Apakah penyelesaian sengketa lingkungan yang berdasarkan
kesepakatan secara adat sinkron dan efisien dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c Mengapa penyelesaian sengketa lingkungan
berdasarkan kesepakatan melalui lembaga hukum adat belum secara optimal digunakan di Indonesia, khususnya di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
63
Setelah melalui pengkajian, ditemukan hasil yang dirumuskan dalam kesimpulan. 1 Konsep atau bentuk hukum penyelesaian sengketa lingkungan hidup
yang ideal dan proporsional memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat luas adalah kesepakatan damai hasil musyawarah yang dilakukan melalui
Lembaga Hukum Adat Plus LHA-Plus.
64
63
Darwinsyah Minin, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Berdasarkan Kesepakatan Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2002, hlm. 28.
2 Tidak ditemukan adanya pertentangan yang prinsipil, baik asas dan tujuan maupun fungsi dan peran dari pemangku
adatLHA-Plus dengan fungsi dan peran dari koordinator, konsiliator Pemerintah, mediator mediasi dan arbiter arbitrase di dalam menyelesaikan konflik lingkungan
hidup. 3 Belum optimalnya penggunaan jasa LHA-Plus dalam penyelesaian konflik lingkungan hidup inconcreto disebabkan oleh faktor kekeliruan dari pejabat
berwenang aparat penegak hukum di dalam menafsirkan arti hukum dan penegakan
64
Lembaga Hukum Adat Plus LHA-Plus adalah gabungan antara perangkat adat dan unsur atau komponen Pemerintah Daerah Pemda, para ahli atau ilmuwan bidang lingkungan hidup, baik
yang berasal dari universitas maupun dari organisasi kemasyarakatan non-politik LSM yang concern terhadap lingkungan. Ibid. hlm. 310.
Universitas Sumatera Utara
hukum.
65
Berkaitan dengan bidang perbankan syariah beberapa pengkajian telah pernah dilakukan. Muslimin H. Kara melakukan penelitian dengan tajuk “Bank Syariah Di
Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah.” Publikasi yang berasal dari disertasi ini mengemukakan masalah pokok yang menjadi
objek kajiannya, yaitu bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia tentang perbankan Islam.
Fokus penelitian ini terletak pada penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan menggunakan kesepakatan, berdasarkan hukum adat yang berlaku di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
66
Hasil yang diperoleh, bahwa persoalan perbankan dalam sistem ekonomi Islam merupakan salah satu agenda yang mendapat perhatian serius dari umat Islam,
baik di Indonesia maupun negara-negara Islam lainnya. Faktor ekonomi dan politik mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dikeluarkannya peraturan perundang-
undangan yang mengatur perbankan Islam. Kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan perbankan Islam dapat diklasifikasikan dalam dua priode, yaitu
priode 1992-1998 sebagai peletakan dasar sistem perbankan Islam, dan priode 1998- 1999 sebagai reformasi kebijakan perbankan Islam di Indonesia.
67
65
Ibid., hlm. 311-312.
Fokus penelitian ini terletak pada bidang politik hukum terhadap keberadaan bank syariah, dan tidak
memberikan pembahasan terhadap penyelesaian sengketa yang dapat terjadi dalam hubungan hukum antara bank syariah dengan nasabah.
66
Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 9.
67
Ibid., hlm. 231-235.
Universitas Sumatera Utara
Utary Maharany Barus telah melakukan penelitian untuk kepentingan
penulisan disertasi berjudul “Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH.
Perdata: Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syariah Dan Nasabahnya Di Indonesia” Empat permasalahan pokok yang menjadi dasar penelitian telah
dirumuskan, yaitu: 1 Mengapa dalam pelaksanaan akad yang dibuat oleh perbankan syariah dan nasabahnya berdasarkan sistem bagi hasil menurut hukum perjanjian
Islam, diperlakukan juga ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2 Bagaimana persamaan dan perbedaan antara hukum perjanjian Islam dan hukum
perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 3. Mengapa hukum perjanjian Islam berlaku bersama-sama Hukum Perdata Barat KUH. Perdata di
dalam akad perbankan syariah dapat berdampingan secara harmonis dalam pelaksanaannya. 4. Mengapa penyelesaian sengketa antara perbankan syariah dan
nasabahnya selain berdasarkan prinsip syariah Islam juga tunduk pada undang- undang nasional lainnya.
68
Dari empat permasalahan itu, diperoleh hasil, pertama, penerapan hukum perjanjian Islam bersama-sama dengan hukum perjanjian menurut KUH. Perdata
dikarenakan peraturan perundang-undangan yang mengatur perbankan syariah belum lengkap, sehingga pelaksanaan hukum perjanjian Islam memerlukan hukum lain.
Kedua, ada persamaan antara hukum perjanjian dari KUH. Perdata dengan hukum
68
Utary Maharany Barus, Penerapan Hukum Perjanjian Islam Bersama-Sama Dengan Hukum Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH. Perdata: Studi Mengenai Akad
Pembiayaan Antara Bank Syariah Dan Nasabahnya Di Indonesia, Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 28.
Universitas Sumatera Utara
perjanjian Islam, meskipun tetap ada perbedaannya. Ketentuan hukum perjanjian dalam KUH. Perdata yang dicantumkan dalam akad pembiayaan bank syariah tidak
bertentangan dengan Alquran dan As-Sunnah. Ketiga, karena adanya persamaan, maka hukum perjanjian dari kedua sistem hukum tersebut dapat berdampingan secara
harmonis dalam pelaksanaannya. Apabila kodifikasi hukum perjanjian Islam telah terealisasi, akad pembiayaan bank syariah tidak lagi memerlukan hukum perjanjian
menurut KUH. Perdata. Keempat, kebutuhan pemakaian hukum lain ternyata lagi terjadi dalam pelaksanaan keputusan lembaga arbitrase yang berdasarkan syariah
untuk menyelesaikan sengketa antara bank syariah dan nasabahnya.
69
Meskipun dalam penelitian terakhir ini ada menyinggung mengenai arbitrase berdasarkan syariah, namun tidak menukik pada pengkajian prinsip yang menjadi
fundamen kerja arbitrase syariah. Kajian lebih difokuskan pada penerapan hukum perjanjian Islam yang diharmoniskan dengan ketentuan perjanjian menurut KUH.
Perdata.
Pengkajian lain dilakukan Hirsanuddin dalam suatu disertasi yang diterbitkan dengan judul “Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia: Pembiayaan Bisnis Dengan
Prinsip Kemitraan.” Fokus bahasan diarahkan pada salah satu produk bank syariah di bidang pembiayaan dalam bentuk kemitraan mudharabah. Hasil kajian
menunjukkan, bahwa dalam praktik, pembiayaan mudharabah masih jauh dari harapan, karena bank syariah tidak terlalu berminat untuk menerapkannya. Hal ini
disebabkan karena pembiayaan mudharabah hanya cocok bila mudharib perbankan syariah memiliki karakter yang jujur dan bekerja keras.serta tidak berperilaku
69
Ibid, hlm. 290-292.
Universitas Sumatera Utara
negatif.
70
Pembiayaan dengan skim mudharabah, baik dalam tataran wacana namun sulit dalam tataran aplikasi. Bank-bank syariah, baik di negara-negara yang
menerapkan bank Islam secara penuh maupun di negara yang menerapkan sistem dual banking system seperti Indonesia masih sangat kurang dalam menyalurkan dana
dengan skim mudharabah.
71
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap beberapa penelitian tersebut, dapat ditegaskan bahwa kajian yang dikerjakan memiliki nilai keaslian atau
orisinalitas yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Perbedaan kajian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada rumusan permasalahan dan objek serta
fokus penelitian yang mengkaitkan arbitrase syariah dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Keutamaan kajian terletak pada manifestasi syariah yang
dijadikan paradigma dalam penyelesaian sengketa perbankan melalui mekanisme arbitrase syariah. Dengan demikian perspektif kajian ini berbeda bila dibandingkan
dengan penelitian terdahulu. Tegasnya, belum ada kajian yang dilakukan terhadap arbitrase berbasis syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dari
perspektif ini diharapkan hasil kajian dapat diakomodasi sebagai informasi dan sumber dalam pembentukan mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase
syariah yang diakui dalam peraturan formal. Penelitian ini memfokuskan kajian pada mudharabah
sebagai salah satu bentuk produk usaha perbankan syariah. Seperti penelitian sebelumnya, penelitian ini juga tidak memberikan bahasan terhadap mekanisme
penyelesaian sengketa yang dapat terjadi di bank syariah.
70
Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia: Pembiayaan Bisnis Dengan Prinsip Kemitraan, Yogyakarta: Genta Press, 2008, hlm. 188..
71
Ibid., hlm. 192.
Universitas Sumatera Utara
G. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori