F. Doktrin dan Karakteristik Arbitrase Serta Relevansinya Bagi Arbitrase Syariah
Priyatna Abdurrasyid mengemukakan lima doktrin yang melekat pada mekanisme penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yakni internasionalisasi,
universalitas, globalitas, trans nasionalitas, dan doktrin kewenangan.
897
Pertama, doktrin internasionalitas memperlihatkan bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase telah diakui dan merupakan ciri yang melekat pada kegiatan pedagangan internasional. Selain itu, doktrin internasionalitas memperlihatkan ketentuan arbitrase
dimanapun juga memiliki falsafah untuk mendamaikan peaceful settlement of dispute. Kedua, doktrin universalitas yakni arbitrase dapat menyelesaikan berbagai
sengketa secara universal, baik yang bersifat perdata maupun publik.
898
897
Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit., hlm 47; Bandingkan Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 99.
Ketiga, doktrin globalitas, bahwa setiap orang dapat dipilih sebagai arbiter oleh siapapun,
tentunya sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Keempat, doktrin trans-nasionalitas, yaitu sesuai kesepakatan para pihak, tempat bersidang dapat
dilakukan dimanapun yang dikehendaki. Kelima, doktrin kewenangan yaitu memberi kewenangan mutlak bagi arbiter atau majelis arbiter untuk menyelesaikan sengketa
dalam bentuk putusan.
898
Sengketa yang bersifat public bisa diselesaikan melalui arbitrase dapat diteliti pada Pasal 33 ayat 1 Piagam PBB. Disebutkan, ”pihak-pihak yang tersangkut dalam suatu sengketya yang terus
menerus yang mungkin membahayakan terpeliharanya perdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian melalui negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan,
konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilih sendiri.” Dalam konteks sengketa publik internasional, menurut
sejarahnya, arbitrase adalah yang pertama-tama mengembangkan dan memberi inspirasi untuk pembentukan lembaga yudisial permanen pada Mahkamah Dunia. J.G. Merrills, Op. Cit., hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
Lima doktrin arbitrase yang dikemukakan terdahulu, dapat dilengkapi dengan doktrin keenam yakni doktrin harmonisasi.
899
Sejalan dengan deklarasi UNCITRAL yang menjadi dasar bagi terwujudnya harmonisasi hukum perdagangan
internasional,
900
keinginan menciptakan persamaan prosedur atau tata cara pelaksanaan hukum arbitrase di bidang komersial internasional, seperti rekomendasi
UNCITRAL Model Law juga mengilhami semangat doktrin harmonisasi dalam arbitrase internasional. Upaya harmonisasi yang diinginkan UNCITRAL ini
merupakan keberhasilan penting untuk melahirkan keseragaman aturan di bidang arbitrase.di samping Konvensi New York 1958 mengenai Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.
901
Tujuan utama harmonisasi ini hanya berupaya mencari keseragaman atau titik temu dari prinsip-prinsip yang bersifat fundamental dari berbagai sistem hukum yang
akan diharmoniskan.
902
Untuk mewujudkan tujuan ini, UNCITRAL Model Law memberi keleluasaan kepada negara yang hendak menerapkan ke dalam hukum
nasionalnya, apakah akan menerapkan secara penuh substantif Model Law atau menerapkannya dengan melakukan revisi atau menerapkan beberapa pengecualian
terhadap aturan-aturan didalamnya.
903
899
Goesnadhie menyebut, harmonisasi adalah ”upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya dan
proses untuk merealisasi keselarasan, , kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan di antara norma-norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu
kesatuan kerangka sistem hukum nasional.” Kusnu Goesnadhie S., Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan Lex Specialis Suatu Masalah, Surabaya: JP Books, 2006, hlm. 71.
Perlu dicatat salah satu temuan survey
900
Huala Adolf, Hukum Perdagangan.... Op. Cit., hlm. 44; Kusnu Goesniadhie S., Op. Cit., hlm. 66.
901
Huala Adolf, “Filsafat Hukum Arbitrase”, dalam Idris, Rachminawati dan Imam Mulyana, Penemuan Hukum Nasional Dan Internasional, Jakarta: Fikahati Aneska, 2012, hlm. 198.
902
Huala Adolf, Hukum Perdagangan.... Op. Cit., hlm. 31.
903
Ibid., hlm. 33.
Universitas Sumatera Utara
UNCITRAL terhadap peraturan arbitrase di dunia yang menyatakan, bahwa aturan- aturan arbitrase yang berbeda tidak kondusif terhadap kebutuhan dunia bisnis
internasional.
904
Perkembangan informasi teknologi technology information turut melahirkan doktrin arbitrase ketujuh, yakni doktrin internetisasi. Doktrin internetisasi
mengajarkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase bisa dilakukan secara online lewat jaringan internet interconnected networking. Perkembangan teknologi
informasi ternyata telah mempengaruhi sistem perdagangan internasional. Dewasa ini perdagangan internasional dilakukan secara online melalui internet. Perdagangan
secara online juga berpotensi menimbulkan sengketa, dan diharapkan bila terjadi sengketa diselesaikan secara online melalui internet juga. Penyelesaian sengketa
secara online ini dikenal dengan Online Dispute Resolution yang dilakukan melalui media internet, dan bila diperlukan pertemuan tatap muka face to face dapat
dilakukan secara audiovisual melalui video confrencing. Perbedaan hukum arbitrase dari masing-masing negara menimbulkan
masalah, karena tidak dipahaminya aturan beracara arbitrase nasional negara lainnya.
905
Dengan merujuk pada tulisan Jakubowski oleh Huala Adolf dikemukakan sembilan prinsip fundamental yang menjadi refleksi atau filsafat arbitrase, yakni: 1
Universalitas Arbitrase, bahwa keberadaan arbitrase sudah ada sejak dahulu sebelum Perkembangan
penyelesaian sengketa melalui media internet ini merupakan penyelesaian sengketa modern yang melahirkan doktrin internetisasi.
904
Huala Adolf, Pengkajian Hukum Tentang Arbitrase Negara-Negara ASEAN, Jakarta: BPHN, 2009, hlm. 2.
905
Moch. Basarah, Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase Tradisional Dan Modern Online, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011, hlm. 91. Paustinus Siburian, Arbitrase Online
Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdagangan Secara Elektronik, Jakarta: Djambatan, 2004, hlm. 94.
Universitas Sumatera Utara
lahirnya pengadilan nasional, dan tercantum dalam kitab suci agama Islam dan Kristen. Selain itu, arbitrase lahir dari prinsip hukum yang dikenal dalam berbagai
sistem hukum di dunia, yaitu prinsip pacta sunt servanda. 2 Arbitrase dan Hukum, bahwa arbitrase adalah lembaga hukum yang juga diakui sebagai bagian dari hukum
perdagangan internasional, yaitu bagian dari hukum para pedagang lex mercatoria. Sebagai lembaga hukum, arbitrase memiliki seperangkat peraturan arbitrase. 3
Arbitrase dan Para Pihak, bahwa para pihak memegang peranan menentukan dalam arbitrase. Kehendak para pihak adalah dasar hukum bagi arbitrase, tanpa kesepakatan
ini, arbitrase tidak ada. 4 Otoritas bukan Kekuasaan, bahwa otoritas arbitrase bukan dari kekuasaan negara. Otoritas ini adalah kewenangan arbitrase yang lahir karena
adanya penerimaan, kepercayaan, dan apresiasi para pihak terhadap arbitrase. Otoritas ini tampak dalam kesepakatan para pihak memilih lembaga arbitrase untuk
menyelesaikan sengketanya. 5 Arbitrase dan Pihak Ketiga, bahwa pemeriksaan arbitrase memiliki sifat kerahasiaan prinsip confidentiality yang dihormati oleh
semua sistem hukum di dunia. 6 Arbiter bukan sekedar Hakim, bahwa arbiter bukan sekedar hakim, melainkan juga berfungsi sebagai pendamai. Arbiter berfungsi
sebagai penengah yang berupaya mendamaikan para pihak yang bersengketa, dengan tetap terikat dan memperhatikan kode etik profesinya sebagai arbiter. 7 General
Justice dan Case Justice, bahwa arbiter bertugas menyelesaikan sengketa para pihak di bidang perdagangan melalui upaya damai atau putusannya dapat diterima oleh
kedua belah pihak yang bersengketa. Tugas yang lebih penting dari arbiter adalah mempertimbangkan dampak atau implikasi putusannya terhadap dunia perdagangan.
Tugas inilah yang di sebut dengan istilah general justice. 8 Arbitrase Komersial
Universitas Sumatera Utara
Internasional sebagai Suatu Sistem, bahwa terdapat sistem kerjasama di antara lembaga-lembaga arbiterase di dunia, baik lembaga arbitrase yang sifatnya nasional,
regional atau internasional. 9 Arbitrase dan Hukum Perdagangan Internasional, bahwa ada hubungan yang erat antara arbitrase dengan hukum perdagangan
internasional.
906
’Menjauh dari profesionalisasi hukum’ merupakan refleksi lain yang terkandung dalam arbitrase. Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan melalui
pemberdayaan kemampuan individu dalam usaha menyelesaikan sengketa secara damai, dan dengan cara menghubungkan masyarakat dengan kebijakan dan hati
nurani serta perasaan. Begitu juga prinsip ’pemecahan masalah dengan bekerjasama’ merupakan filsafat arbitrase penting lainnya.
907
Doktrin dan filsafat arbitrase di atas hendaknya menginspirasi bagi pertumbuhan arbitrase syariah, tidak saja domestik melainkan juga ke arah
perkembangan yang bersifat global. Arbitrase syariah dewasa ini baru merupakan arbitrase khusus yang bersifat domestik, dan tidak setiap negara memiliki lembaga
arbitrase syariah yang memfokuskan pada penyelesaian sengketa atas transaksi yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sebagaimana pernah disinggung, baru Indonesia
yang memiliki badan arbitrase syariah yang fokus pada transaksi hukum Islam, termasuk transaksi perbankan dan keuangan syariah. Sementara pada negara lain,
seperti Malaysia dan Singapore lembaga arbitrase syariah tidak ditemukan. Indonesia dengan demikian merupakan negara yang memiliki institusi arbitrase umum atau non
906
Huala Adolf, ”Filsafat Hukum Arbitrase” dalam Idris, Rachminawati dan Imam Mulyana, Op. Cit., hlm. 195-203.
907
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase..., Op. Cit., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
syariah dan arbitrase syariah sekaligus dengan karakteristik masing-masing. Meskipun keberadaannya telah mendapat pengakuan dan telah riel ada, namun masih
memerlukan peningkatan apresiasi yang dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang arbitrase syariah serta diterapkan dalam praktik.
Kelahiran lembaga keuangan syariah, baik secara domestik maupun internasional dapat menjadi pendorong utama bagi lahirnya badan arbitrase berbasis
syariah untuk penyelesaian sengketa yang terjadi. Dorongan lahirnya arbitrase berlabel Islam perlu mendapat dukungan, terutama dari negara-negara berpenduduk
Muslim dalam menerapkan hukum Islam, sebagai alternatif dari pengadilan. Pembentukan arbitrase syariah bukan bermaksud bersaing dengan arbitrase non
syariah, dan bukan pula untuk membantah doktrin dan filsafat arbitrase yang telah dikemukakan di muka. Justeru doktrin dan filsafat arbitrase itu menjadi pendorong
bagi pembentukan arbitrase syariah yang relevan dengan karakter hukum Islam. Pembentukan lebih di dorong oleh karakteristik syariah yang berbeda dengan
arbitrase non syariah. Sekalipun terdapat titik kesamaan, terutama menyangkut fitur arbitrase, namun fitur itu harus ditempatkan dengan memperhatikan ketentuan hukum
Islam. Arbitrase berbasis syariah berada dalam bangunan hukum Islam, dan karena
itu relevan mengkaitkannya dengan karakter atau ciri khas hukum Islam, yaitu: a Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah SWT, yang terdapat dalam Alquran dan
dijelaskan oleh Sunnah Rasul-Nya; b Hukum Islam di bangun berdasarkan prinsip akidah iman dan tauhid dan akhlak moral; c Hukum Islam bersifat universal
alami, dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia rahmatan lil
Universitas Sumatera Utara
alamin; d Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat kelak; e Hukum Islam mengarah kepada jamaiyah kebersamaan yang seimbang antara
kepentingan individu dan masyarakat; f Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat; g Hukum Islam bertujuan
menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
908
Sesuai dengan karakter yang melekat dalam hukum Islam, setiap aktivitas kehidupan manusia, termasuk untuk kegiatan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase diletakkan di atas kaidah ilahiyah atau ketuhanan. Baik kegiatan atau proses dan sumber maupun tujuan penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus berwatak
ketuhanan. Dengan demikian, sistem arbitrase berbasis syariah berbeda dengan sistem arbitrase non syariah yang berorientasi pada konsep atau hukum yang di buat
manusia. Dalam Islam, manusia diciptakan semata dalam rangka mengabdi kepada Allah,
909
Dalam pandangan Islam, Tuhan adalah pembuat hukum yang paling utama al-syari’. Hukum Tuhan merupakan aturan yang harus dilaksanakan untuk
mengatur perilaku manusia dalam segala aspek kehidupannya, dan akan menggiring manusia pada keselamatan dan kebahagiaan yang berdimensi duniawi dan ukhrowi.
artinya berbagai perbuatan dan aktivitas manusia adalah untuk melaksanakan kehendak sekaligus bertanggungjawab kepada-Nya, sehingga berbagai
karakter lain yang melekat dalam hukum Islam lahir sebagai implikasi dari kaidah ketuhanan.
908
Suparman Usman, Op. Cit., hlm. 64; Ahmad Azhar Basyir, Op. Cit., hlm. 57; Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hlm. 52.
909
Q.S. Adz-Dzariyat 51: 56: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Universitas Sumatera Utara
Hukum buatan manusia, dengan demikian harus senantiasa merupakan manifestasi dari pelaksanaan kehendak Tuhan. Hukum Tuhanlah yang harus dilaksanakan untuk
mengatur segala perilaku kehidupan masyarakat dan bukan masyarakat yang menentukan apa yang harus menjadi hukum terlepas dari konteks kehendak Tuhan.
Dalam konteks inilah, syariah bermakna sebagai perwujudan konkret kehendak Tuhan yang berlaku tidak saja bagi manusia, tetapi mencakup seluruh makhluk.
910
Hukum buatan manusia yang keluar dari kehendak Tuhan melahirkan hukum sekuler yang bersumber dari pemikiran manusia. Seluruh institusi buatan manusia hanya
mengutamakan penampilan lahiriah hukum, berlainan dengan Islam yang berhubungan sekaligus dengan spritual atau batiniah hukum. Eksistensi lahiriah
hukum dikaitkan dengan kepatuhan yang didasarkan pada keimanan yang berakar kuat dalam diri seorang muslim.
911
Penting dikemukakan, selain yang didasarkan pada sumber hukum Islam, yang disebut sebagai hukum ilahiyah, hukum positif buatan manusia dapat dijadikan
sandaran memutus sengketa berbasis syariah. Hukum positif buatan manusia qanun dan hukum adat urf yang tidak berasal dari hukum ilahiyah syari’ dapat
dimasukkan ke dalam sistem hukum Islam sepanjang tidak menentang ketetapan syariah
.
912
910
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 138-140.
Makna prinsip syariah bukan hanya mengacu pada hukum ilahiyah melainkan mencakup juga ketentuan hukum berdasarkan pemahaman ahli hukum
Islam fuqaha yang terdapat dalam kitab fiqih dan hukum positif buatan manusia
911
Mujtaba Musawi Lari, Islam Spirit Sepanjang Zaman, Jakarta: al-Huda, 2010, hlm. 130;
912
Seyyed Hossein Nasr, Op. Cit., hlm 145.
Universitas Sumatera Utara
qanun yang tidak berlawanan dengan norma-norma ilahiyah.
913
Hukum ilahiah dalam arti syariah bersifat permanen, tetapi prinsip dan tujuan perintah yang
terkandung didalamnya dapat diterapkan pada situasi dan kondisi masanya.
914
Dengan demikian, hukum Islam dalam praktik yang berlaku bisa berbeda dari satu tempat dengan tempat lain. Apalagi hukum Islam pada realitasnya telah menyatu
dengan budaya hukum bangsa Indonesia, bahkan antara hukum Islam dan hukum adat merupakan kesatuan yang integral.
915
Unsur syariah yang melekat pada arbitrase dalam Islam menjadi prinsip fundamental, sehingga pola dasar pelaksanaannya senantiasa harus sesuai serta tidak
boleh bertentangan dengan prinsip hukum Islam yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah. Menyikapi berbagai doktrin dan filsafat arbitrase,
berbagai aturan dan instrumen arbitrase domestik maupun internasional yang ada dapat dijadikan sumber
untuk diberlakukan bagi arbitrase berbasis syariah, setelah disesuaikan atau sepanjang tidak bertentangan dengan syariah.
Peletakan prinsip syariah sebagai landasan arbitrase dalam Islam membawa implikasi bagi kinerja arbitrase syariah. Untuk
memahami konsep arbitrase dalam Islam Zayed Alqurashi mengemukakan lima fitur utama yang perlu dipertimbangkan, yaitu perjanjian arbitrase the arbitration
Meskipun begitu, hukum Islam yang merupakan bagian integral dari agama yang satu, yaitu agama Islam tetap berasal dari
sumber yang sama, yaitu syariah yang terdapat dalam nash Al-Quran dan Hadis.
913
Abdul Ghofur Anshori memberi pengertian prinsip syariah bukan hanya segala yang tertuang dalam sumber-sumber hukum Islam, termasuk didalamnya ketentuan ketentuan hukum yang
tertuang dalam kitab-kitab fiqih. Lebih dari itu, prinsip syariah meliputi seluruh ketentuan hukum positif yang dibuat oleh penguasa negara, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, juga
bermakna telah sesuai dengan prinsip syariah. Abdul Ghofur Anshori, Penyelesaian .... Op. Cit., hlm. 117.
914
Seyyed Hossein Nasr, Loc. Cit.
915
Rifyal Ka’bah, Op. Cit., hlm. 76.
Universitas Sumatera Utara
agreement, arbiter arbitrators, hukum terapan atau hukum yang berlaku the applicable law, kewenangan arbitrase dalam hukum Islam arbitrability according to
Islamic Law, dan putusan arbitrase dan penegakannya the arbitral award and its enforcement.
916
Kelima fitur arbitrase yang dikemukakan tidak saja melekat secara khusus bagi arbitrase Islam, tetapi juga terdapat dalam arbitrase non syariah. Seperti berulang
dikemukakan, perbedaan terletak pada prinsip syariah yang mendasari. Pada perjanjian arbitrase arbitration agreement misalnya, para pihak bebas
mencantumkan klausul arbitrase asalkan tidak bertentangan dengan perintah Allah, seperti menggabungkannya dengan klausul riba atau memuat klausul yang haram.
Pengangkatan arbiter arbitrators harus memenuhi syarat-syarat seperti pengangkatan hakim qadhi, tidak dibenarkan mengangkat orang non muslim untuk
menjadi arbiter.
917
Selain itu, arbiter juga harus memiliki kemampuan dan keahlian ekstra, sehingga perkara yang dihadapinya dapat diselesaikan secara damai.
918
916
Zeyad Alqurashi, “Arbitration Under the Islamic Sharia”,
Arbiter yang di pilih para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui proses arbitrase harus arbiter yang beragama Islam yang memiliki keahlian dan memahami
ketentuan hukum Islam. Hukum terapan the applicable law yang diberlakukan dalam menyelesaikan sengketa oleh arbitrase syariah adalah hukum Islam. Pemakaian
http:www.transnational-dispute- management.comsamplesfreearticlestv1-1-article_63.htm, diakses tgl 28 September 2010.
917
Abdul Azis Dahlan, et.al., Op. Cit., hlm. 1751.
918
Oyo Sunaryo Mukhlas, Op. Cit., hlm. 18. Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit., hlm. 71.
Universitas Sumatera Utara
hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase syariah atau yang tidak berlawanan dengan prinsip syariah bersifat imperatif yang mutlak dilakukan.
919
Kewenangan arbitrase dalam hukum Islam arbitrability according to Islamic Law, adalah yang tidak berkaitan dengan hak Allah rights of God dengan wilayah
yang luas meliputi hukum pidana dalam bidang hudud dan takzir. Ruang lingkup kewenangan arbitrase syariah meliputi hak perorangan rights of personal yang
berkaitan dengan harta benda dan keluarga. Putusan arbitrase dan penegakannya the arbitral award and its enforcement dapat dilaksanakan seperti putusan hakim pada
pengadilan. Menurut syariah putusan arbitrase bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan tanpa memerlukan persetujuan dari para pihak yang bersengketa. Ini
merupakan konsekuensi logis dari kebebasan para pihak yang memberi kepercayaan terhadap hakam atau arbiter yang mereka angkat, sehingga harus mengakui dan
mematuhi putusan arbiter. Putusan arbiter mengikat bagi para pihak dan sah untuk dilaksanakan.
G. Penguatan Arbitrase Syariah Melalui Etika Bisnis