Konsep Arbitrase Dalam Hukum Islam

BAB III VALIDITAS DAN YURISDIKSI ARBITRASE

DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA

A. Konsep Arbitrase Dalam Hukum Islam

Terdapat perdebatan di kalangan ahli hukum Islam klasik mengenai konsep arbitrase. Satu pandangan menampilkan konsep arbitrase sebagai bentuk dari konsiliasi untuk mewujudkan perdamaian arbitration is a form of conciliation, close to ‘amicable composition’ yang tidak mengikat, kecuali jika diterima para pihak. Pandangan lain melihat arbitrase dalam hukum Islam memiliki makna yang sama sebagaimana dipahami dewasa ini, yaitu putusan bersifat mengikat bagi para pihak yang bersengketa. 622 El-Ahdab mengatakan, “Another discussion also took place amongst the diffrent schools of Islamic doctrine as to the meaning to be given to arbitration: should arbitration be considerd as a simple attempt to conciliation i.e. close to equity arbitration or amiable composition or should arbitrators be empowered to decide upon disputes that is arbitration as it is understood in the Western world today.” 623 Pandangan pertama berdalih berdasarkan Q.S. An-Nisa 4; 35, mengenai penyelesaian perselisihan suami-isteri akibat isteri tidak lagi memenuhi kewajibannya terhadap suami syiqaq melalui hakam dari masing-masing pihak. Penyelesaian ini dipandang sebagai upaya mendamaikan reconciliation suami-isteri secara 622 Zeyad Alqurashi, “Arbitration Under the Islamic Sharia”, http:www.transnational- dispute-management.comsamplesfreearticlestv1-1-article_63.htm , diakses tgl 28 September 2010. Perhatikan juga Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Arbitration with the Arab Countries, Netherlands: Kluwer Law International, 2011, hlm. 11. 623 Abdel Hamid El-Ahdab and Jalal El-Ahdab, Ibid., hlm. 8. Universitas Sumatera Utara kekeluargaan. Selain itu, arbitrase tidak memiliki sifat yudisial, sehingga bila putusannya mengikat, tentu akan menimbulkan tantangan bagi pengadilan yang bersifat yudisial. Juga didalihkan, setiap Muslim tanpa kecuali hanya terikat dengan putusan Nabi Allah, dan tidak pada lainnya, seperti disebut dalam Q.S. An-Nisa 4: 65 yang artinya, “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Sebagai bentuk konsiliasi, proses arbitrase dilakukan secara menyenangkan lagi ramah amiable composition dalam konsep yang disebut arbitration in equity. Pandangan kedua menekankan, arb itrase berwenang untuk melahirkan penilaian dengan karakter mengikat. Arbitrase dimaksudkan untuk menyelesaikan perselisihan dan dengan demikian putusannya harus mengikat para pihak. Konsep arbitration in law ini didasarkan pada Q.S. An-Nisa 4: 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha melihat.” Ayat ini secara terang memberi perintah agar memberi putusan hukum secara adil untuk menyelesaikan perkara yang terjadi di antara umat manusia. Perintah ini disampaikan kepada penerima amanat, termasuk arbiter dalam melakukan proses arbitrase, agar memberi putusan secara adil untuk menyelesaikan sengketa yang diamanatkan kepadanya. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana dikemukakan Abdel Hamid El-Ahdab, sebagian penulis berpandangan, secara syariah arbitration in equity amiable composition merupakan ketentuan, sedang arbitration in law merupakan pengecualian. Selama ekspresi para pihak tidak jelas, maka mungkin akan terjadi perbedaan penilaian, dimana satu pihak akan memandang arbitrase sebagai konsep arbitration in equity dan pihak lain memandang sebagai arbitration in law. 624 Empat pemikiran yang dikenal dalam fiqih Islam Sunni Hanafi, Hanbali, Syafii, dan Maliki masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda, namun setiap pendapat tetap terkait dengan kedua konsep yang disebut di atas. Fiqih Hanafi menyatakan secara hukum, arbitrase cukup dekat dengan konsiliasi. 625 Perbedaan pandangan tadi terjadi karena kerancuan dalam memahami makna hakam yang diberi makna berbeda. Kata hakam digunakan dalam arti yang luas lagi umum dengan mencakup orang yang berwenang untuk menyelesaikan perbedaan- perbedaan antara pihak-pihak yang berselisih disputants dengan menyarankan atau membantu untuk mencapai penyelesaian konflik, atau dengan mengeluarkan keputusan yang mengikat untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Akibat pemaknaan yang luas ini menimbulkan perbedaan atas konsep arbitrase, yakni 624 Ibid., hlm. 13. arbitrase yang mengarah pada keputusan yang mengikat, dan arbitrase yang mengarah pada keputusan tidak mengikat yang disebut konsiliasi. Dalam pengertian yang luas dan umum, terminologi hakam tidak saja diberi makna sebagai arbiter, dan konsiliator, tetapi dapat juga berarti mediator dalam penyelesaian konflik melalui 625 Ibid., hlm. 14. Universitas Sumatera Utara mediasi. 626 Arbitrase dalam studi hukum Islam fiqh di kenal dengan sebutan tahkim. Secara literal, tahkim berarti mengangkat sebagai wasit atau juru damai. Dalam konteks kajian ini, hakam dipadankan dengan arbiter dalam konsep arbitrase modern dewasa ini yang berwenang menyelesaikan sengketa para pihak dengan memberi keputusan bersifat akhir dan mengikat final and binding decision. 627 626 Muhammad Saifullah, Mediasi Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, Semarang: Walisongo Press, 2009, hlm. 3. Baik mediasi maupun konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa dengan menggunakan pihak ketiga yang netral mediator atau konsiliator sebagai penengah. Berbeda dengan arbitrase yang memiliki kekuasaan untuk memutus yang mengikat, mediasi dan konsiliasi tidak, karena hanya untuk membantu dan memberi saran atau memfasilitasi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka. Meski mediator dalam proses mediasi dan konsiliator dalam proses konsiliasi membantu pihak-pihak bersengketa dengan tidak memberikan putusan mengikat, namun bila para pihak menyepakati bantuan dan usulan, maka kesepakatan para pihak menjadi putusan untuk menyelesaikan sengketa mereka. Karena mediator dan konsiliaator tidak berwenang memberi putusan yang mengikat, keduanya sering dirancukan mempunyai arti yang sama, sehingga keduanya dapat dipertukarkan Lihat Gatot Soemartono, Op. Cit., hlm. 35, footnote 11. Dalam Black’s Law Dictionary, konsiliasi conciliation diberi makna A settlement of a dispute in an agreeable manner; A process in which a neutral person meets with the parties to a dispute often labor and explores how the dispute might be resolved. Sementara mediasi mediation adalah A method of nonbinding dispute resolution involving a neutral third party who tries to help the disputing parties reach a mutually agreeable solution. Bryan A. Garner, Ed. Black’s Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul Minn: West Group, 1999., hlm. 284 dan 996. Pihak ketiga netral pada konsiliasi berfungsi membantu menyelesaikan dengan mendalami atau menyelidiki explores bagaimana sengketa akan dipecahkan resolved dan pihak ketiga netral pada mediasi membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian yang dapat disetujui secara bersama dengan saling menguntungkan reach a mutually agreeable solution. Secara teks rumusan berbeda, namun substansi yang tertangkap tidak menampakkan perbedaan yang cukup berarti. Bambang Sutiyoso mengemukakan, mediator aktif memberi bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian, sedang konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian yang selanjutnya diajukan dan ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Yogyakarta: Gama Media, 2008, hlm. 31-31. Tahkim berasal dari bahasa Arab yang terambil dari kata hakkama, yuhakkimu, tahkiman, berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Juhaja S. Pradja mengemukakan, istilah tahkim berarti pengangkatan juru tengah atau wasit oleh kedua belah pihak yang bersengketa, dengan tujuan mendamaikan persengketaan 627 Mardani, Hukum Ekonomi Syariah Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm. 98. Universitas Sumatera Utara yang dialami oleh kedua belah pihak yang mengangkatnya. 628 Hasbi Ash Shiddieqy menyebut, dalam pengertian bahasa Arab, tahkim berarti “menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu”. Tahkim sebagai pengertian istilah adalah “dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang di antara mereka untuk diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka.” 629 Fathurrahman Djamil memberi arti tahkim sebagai pengangkatan seorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang mereka perselisihkan secara damai. 630 Dengan demikian, tahkim dalam kajian hukum Islam merupakan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh hakam yang dipilih atau ditunjuk secara sukarela oleh dua orang yang bersengketa untuk mengakhiri sengketa mereka, dan dua belah pihak akan mentaati penyelesaian oleh hakam atau majelis hakam yang mereka tunjuk. 631 Tahkim yang dikenal dalam hukum Islam tidak memiliki pengertian yang berbeda dari arbitrase yang dikenal dewasa ini, yaitu sebagai cara penyelesaian sengketa di luar peradilan dengan mengangkat hakam arbiter sebagai penengah atas perselisihan yang terjadi di antara para pihak yang bersengketa disputant. Karena Subjek atau pihak ketiga yang diangkat sebagai penengah atau wasit untuk menyelesaikan sengketa disputant disebut hakam yang sama dengan arbiter atau arbitrator dalam konsep arbitrase modern saat ini. 628 Juhaja S. Pradja, Ekonomi Syariah .... Op. Cit., hlm. 224. 629 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, ttp.: PT. Alma’arif, tt., hlm. 69. 630 Fathurrahman Djamil, “Arbitrase Dalam Perspektif Sejarah Islam” dalam Satria Effendi M. Zein, et.al., Arbitrase Islam Di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hlm. 31. 631 Satria Effendi M. Zein, “Arbitrase Dalam Syariat Islam” dalam Satria Effendi M. Zein et.al., Arbitrase Islam Di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hlm. 8. Universitas Sumatera Utara itu, tahkim dalam hukum Islam dipadankan dengan arbitrase. 632 Subekti mengemukakan, perkataan arbitrase berasal dari bahasa latin arbitrare yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. 633 Dijelaskan lebih lanjut, pengkaitan arbitrase dengan kebijaksanaan tidak berarti dalam menyelesaikan sengketa, arbiter tidak mengindahkan norma hukum lagi dan menyandarkan keputusannya hanya pada kebijaksanaan saja. Kesan demikian keliru, karena arbiter juga menetapkan hukum seperti yang dilakukan hakim di pengadilan. 634 Dalam hukum Islam, kebijaksanaan arbiter diperlukan dalam mewujudkan perdamaian sebagai tujuan utama penyelesaian sengketa dalam praktik arbitrase, dengan bersandar pada petunjuk-petunjuk agama. Arbiter dalam menjalankan kebijaksanaan untuk menyelesaikan sengketa secara damai tidak boleh melanggar prinsip syariah yang ditetapkan Allah. 635 Penunjukan tahkim arbitrase didasarkan pada kesepakatan bersama para pihak yang bersengketa untuk mengangkat langsung dan menyerahkan kepada hakam arbiter yang diberi kepercayaan dan otoritas untuk menyelesaikan perselisihan mereka secara damai. Arbitrase bukan pengadilan resmi yang di bentuk negara, melainkan yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa secara suka sama suka. 632 Black’s Law Dictionary memberi pengertian, ”Arbitration, A process of dispute resolution in which a neutral third party arbitrator renders a decision after a hearing at which both parties have an opportunity to be heard. Where arbitration is voluntary, the disputing parties select the arbitrator who has the power to render a binding decision.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, hlm. 70. Tidak berbeda dengan rumusan yang terdapat dalam Kamus Hukum Ekonomi, yang menyebut arbitrase atau perwasitan adalah, “metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan memakai jasa wasit atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum mengikat.” A.F. Elly Erawaty dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta: Proyek ELIPS, 1996, hlm. 5. 633 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung: Binacipta, 1981, hlm. 1 634 Ibid., hlm. 1 635 Satria Effendi M. Zein, Op. Cit., hlm. 17. Universitas Sumatera Utara Ditemukan beberapa unsur arbitrase dalam hukum Islam tahkim. Pertama, cara penyelesaian atau mengakhiri sengketa melalui hakam arbiter di luar hakim negara qadha; Kedua, penunjukan hakam dilakukan secara sukarela oleh atau atas persetujuan dan pilihan kedua belah pihak; Ketiga, para pihak akan menaati putusan penyelesaian oleh hakam; Keempat, penyelesaian sengketa dilakukan dengan penerapan hukum syara’; Kelima, tujuan penyelesaian sengketa dilakukan secara damai; dan Keenam, putusan yang diberikan hakam bersifat final dan mengikat final and binding. 636 Samir Aliyah mengatakan, tahkim bukanlah bentuk peradilan, karena ia terbatas kepada orang yang ridha dan khusus dalam masalah perdata, sedang peradilan berimplikasi kepada orang lain meskipun tanpa ridhanya, dan mencakup pula dalam masalah-masalah pidana. 637 Ibnu Farhum mengatakan wilayah tahkim merupakan bagian dari al-qadha pengadilan yang didapatkan dari perseorangan dan yang berhubungan dengan harta benda, bukan dengan hudud dan qishas. Demikian pula Ibnu Nuja’im mengatakan tahkim adalah bagian dari qadha. 638 Proses pemeriksaan arbitrase oleh hakam arbiter berbeda dengan peradilan oleh hakim. Pemeriksaan peradilan lebih formal dengan memakai dan terikat pada 636 Bandingkan dengan Suleman Batubara dan Orinton Purba yang mengemukakan pengertian arbitrase ke dalam lima unsur, yaitu: 1 Salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan non-litigation. 2 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dibuat secara tertulis, baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa. 3 Dalam proses penyelesaiannya, para pihak dibantu oleh seorang pihak ketiga yang netral yang disebut dengan istilah arbiter. 4 Arbiter atau wasit dapat dipilih langsung oleh para pihak dapat juga ditunjuk oleh pengadilan negeri atau suatu lembaga arbitrase. 5 Keputusan yang diberikan oleh arbiter atau wasitnya bersifat final dan binding. Suleman Batubara dan Orinton Purba, Arbitrase Internasional, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2013, hlm. 9-10. 637 Samir Aliyah, Pemerintahan, Peradilan Adat Dalam Islam, Jakarta: Khalifa, 2004, hlm. 329. 638 Said Agil Husin Almunawar, “Pelaksanaan Arbitrase Di Dunia Islam”, dalam Satria Effendi M. Zein, et.al., Arbitrase Islam Di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hlm. 51. Universitas Sumatera Utara ketentuan hukum acara yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa. Prosedur pemeriksaan arbitrase dapat ditentukan berdasar kerjasama pihak-pihak yang bersengketa berdasar itikad baik, sehingga tidak terikat secara formal dengan ketentuan hukum acara. Pemeriksaan melalui pengadilan bersifat bertingkat dengan mengenal upaya hukum banding dan kasasi, sedang arbitrase tidak mengenal sistem berjenjang dan putusannya bersifat final dan mengikat final and binding. Tabel 7: Perbandingan Proses Pemeriksaan Pengadilan dan Arbitrase 639 Pengadilan Arbitrase 1. Mencari fakta kebenaran berdasarkan aturan hukum acara 1. Fakta dilupakan berdasarkan itikad baik 2. Berdasa rkan fakta hukum dengan memeriksa alat-alat bukti 2. Menyederhan akan hukum dengan bekerjasama memecahkan masalah 3. Memutu s perkara berdasarkan fakta hukum dan argumentasi 3. Bagaimana memecahkan masalah dengan cara mencari perdamaian Perbedaan antara pengadilan dengan arbitrase tersebut, selaras dengan perbedaan kedudukan antara hakim pada qadha pengadilan dengan hakam pada tahkim arbitrase, sebagai berikut: Pertama, hakim harus memeriksa dan meneliti secara seksama perkara yang diajukan kepadanya dan dilengkapi dengan bukti, sedang hakam tidak harus demikian. Kedua, wilayah dan wewenang hakim ditentukan oleh akad pengangkatannya dan tidak tergantung kepada kerelaan dan persetujuan pihak-pihak yang diadili, sedang hakam mempunyai wewenang yang terbatas pada kerelaan dan persetujuan pihak-pihak yang mengangkat dirinya sebagai hakam. Ketiga, tergugat harus dihadirkan di hadapan hakim, sedang dalam tahkim 639 Cicut Sutiarso, Op. Cit., hlm. 100. Universitas Sumatera Utara masing-masing pihak tidak dapat memaksa lawan perkaranya untuk hadir pada majelis tahkim, kedatangan masing-masing pihak tersebut berdasarkan kemauan sendiri. Keempat, putusan hakim mengikat dan dapat dipaksakan kepada kedua belah pihak yang berperkara, sedang putusan hakam akan dilaksanakan berdasarkan kerelaan masing-masing pihak yang berperkara. Kelima, di dalam tahkim ada beberapa masalah yang tidak boleh diselesaikan, sedang di dalam peradilan negara semua persoalan dapat diperiksa dan diselesaikan diputus. 640 Arbitrase dalam hukum Islam merupakan perjanjian yang disepakati para pihak untuk menyelesaikan perselisihan dalam sengketa yang terjadi di luar badan peradilan. Dalam konteks arbitrase, perjanjian dibuat guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa atau beda pendapat maupun yang sedang terjadi melalui arbiter sebagai pihak ketiga netral yang diberi kewenangan memberi keputusan. Penyerahan penyelesaian sengketa kepada arbitrase, biasanya diberi setelah upaya internal melalui musyawarah tidak tercapai. Arbitrase dengan demikian merupakan penyelesaian sengketa secara privat yang diinginkan para pihak, dengan menyisihkan peradilan. 641 Arbitrase di bawah naungan syariah, merupakan prosedur dimana pihak yang bersengketa memberdayakan arbiter untuk menyelesaikan perselisihan mereka, dan prosedur tersebut didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak. Penunjukan arbiter untuk 640 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 1751. 641 Gary Goodpaster, Tinjauan Terhadap.....Op. Cit. Hlm. 7. Goodpaster mengemukakan, arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan. Dibandingkan dengan ajudikasi publik litigasi, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih arbiter yang mereka inginkan, berbeda dengan pengadilan yang telah menetapkan hakim yang akan berperan. Dengan demikian, arbitrase dapat menjamin baik kenetralan maupun keahlian yang dianggap perlu dalam sengketa para pihak. Universitas Sumatera Utara menyelesaikan sengketa merupakan ekspresi keinginan para pihak. Bila sengketa muncul mereka secara bersama sepakat menyerahkannya kepada arbiter untuk diselesaikan. Pengertian arbitrase yang diberikan tidak memperlihatkan ada perbedaan dengan yang dikemukakan aturan positif yang mengemukakan arbitrasi sebagai perjanjian para pihak untuk mengajukan sengketa mereka kepada seorang atau beberapa orang yang ditunjuk sebagai arbiter tanpa menyerahkan kepada pengadilan. 642

B. Arbitrase Dalam Bangunan Hukum Islam