53
dimaksudkan untuk meniadakan kastanisasi atau sifat eksklusif sekolah-sekolah pemerintah saat itu. Sebagai akibatnya, saat itu banyak sekolah-sekolah pemerintah
dan sekolah-sekolah partikelir yang ditutup dan tidak diakui lagi keberadaannya. Pendidikan dalam konsep baru ini kemudian diperkenalkan sebagai bagian dari
propaganda Jepang, bahwa pendidikan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan yang sebelumnya eksklusif dan diperuntukkan hanya untuk
kalan
gan tertentu saja, kemudian dibuka secara umum, dan dinyatakan terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pada era pendudukan Jepang, pendidikan
sekolah bukan meupakan prioritas utama meskipun tetap menjadi hal yang cukup penting. Prioritas utama pemerintah militer Jepang di Indonesia adalah
dalam sektor pemerintahan, propaganda, dan pendidikan sosial.
B. KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Pada awal pendudukan Jepang, sekolah-sekolah ditutup, dan apda akhir April 1942 sekolah-sekolah dibuka kembali dengan sistem baru. Bekas sekolah
desa volk school, vervlog school sekolah lanjutan, volledige tweede klas school sekolah pribumi lengkap, dan meisjes vervolg school sekolah lanjutan putri
dibuka kembali dengan dasar Undang-Undang No. 12. Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah militer Jepang di Indonesia,
sangat berbeda dengan pendidikan yang diselenggarakan pada masa Belanda, karena semua lapisan masyarakat pribumi diberikan hak untuk dapat
mengaksesnya. Dengan
menyederhanakan sistem
pendidikan dan
menghilangkan dualisme pendidikan pemerintah Jepang memperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, mereka tidak perlu meneruskan sistem
pendidikan masa kolonial Belanda yang rumit dan memerlukan kontrol yang ketat dari pemerintah, karena penyelenggaraan pendidikan yang berlapis-lapis.
Keuntungan kedua, dihapuskannya dualisme pendidikan mendukung propaganda Jepang dalam rangka mengambil simpati masyarakat pribumi saat itu, bahwa
54
tidak adanya pelapisan masyarakat dalam mengakses pendidikan membuat semua warga Indonesia menjadi mengerti akan pentingnya pendidikan.
Apabila ditelusuri dari riwayat kedatangannya, setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan akhirnya
memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas
terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: 1 dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar
pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; 2 adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial
dualisme pendidikan di era penjajahan Belanda. Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang tersebut adalah sebagai
berikut: 1 Pendidikan Dasar Kokumin Gakko Sekolah Rakyat, lama studi 6 tahun. Termasuk SR Sekolah Rakjat adalah Sekolah Pertama yang merupakan
konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda; 2 Pendidikan Lanjutan, yang terdiri dari Shoto Chu Gakko Sekolah
Menengah Pertama dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko Sekolah Menengah Tinggi juga dengan lama studi 3 tahun; 3 Pendidikan Kejuruan,
mencakup sekolah lanjutan yang bersifat vokasional antara lain di bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian; 4 Pendidikan Tinggi.
Dalam menerapkan kebijakan pendidikannya, guna memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan menawarkan konsep Putera Pusat
Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Sukarno, M. Hatta, Ki Hadjar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep ini dirumuskan setelah kegagalan the
Triple Movement yang sudah dibentuk sebelumnya tetapi tidak menyertakan wakil tokoh pribumi. Namun demikian Putera akhirnya mengalami nasib serupa
setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hadjar Dewantara sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang mengambil tenaga
pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan sistem pendidikan mereka di
55
Manchuria dan China yang menerapkan sistem Nipponize Jepangisasi. Karena itulah,
di Indonesia
mereka mencobakan
format pendidikan
yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal. Sekalipun patut dicatat bahwa
pada menjelang akhir masa pendudukannya, ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali, yakni dengan dikerahkannya Sendenbu
propagator Jepang untuk menanamkan ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Jepang juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi
pokok dalam latihan tersebut antara lain: 1 Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu; 2 Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; 3 Bahasa,
sejarah dan adat-istiadat Jepang; 4 Ilmu bumi dengan perspektif geopolitis; serta 5 Olahraga dan nyanyian Jepang. Sementara untuk pembinaan kesiswaan,
Jepang mewajibkan bagi setiap murid sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: 1 Menyanyikan lagi kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap
pagi; 2 Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno Heika setiap pagi; 3 setiap pagi mereka juga harus melakukan
Dai Toa, bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; 4 Setiap pagi mereka juga diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; 5 Melakukan latihan-latihan fisik
dan militer; 7 Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib diajarkan di sekolah.
Setelah menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan
bahasa-bahasa Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS Hoolands Chinese School, sehingga memaksa peranakan China kembali ke
sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses resinification penyadaran dan penegasan
identitas sebagai keturunan bangsa China.
56
Kondisi tersebut akhirnya memaksa para guru untuk mentranslasikan buku- buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk kepentingan proses
pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang juga melarang pihak swasta
mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang untuk dapat beroperasi kembali. Taman
Siswa misalnya terpaksa harus mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman Madya tetap tutup. Kebijakan ini
menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: 1 Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa
Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam
se diri, yak i K.H. Hasyi Asy ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka; 2 Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
3 Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; 4
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; 4 Diizinkannya ulama dan
pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air PETA yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan; dan 5 Diizinkannya
Majelis Isla A la I do esia MIAI terus eroperasi, sekalipu ke udia dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi
yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu,
nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Kebijakan untuk menyederhanakan sistem persekolahan oleh pemerintah Jepang menimbulkan banyak sekali dampak setelahnya. Pendidikan yang
57
sebelumnya berlapis-lapis dan sangat eksklusif menjadi lebih sederhana dan dinyatakan terbuka untuk seluruh lapisan masyarakat. Namun demikian, rupanya
kebijakan tersebut kurang membawa dampak positif di masyarakat. Dampak pertama yang terlihat dari penerapan kebijakan tersebut adalah kebijakan peleburan
mengakibatkan banyak sekolah yang kemudian ditutup dan tidak beroperasi lagi. Banyak gedung-gedung sekolah yang kemudian berubah fungsi menjadi barak-barak
militer dan gudang penyimpanan amunisi dan bahan makanan persediaan perang milik militer Jepang. Filosofi pendidikan untuk semua ternyata hanya propaganda
belaka, karena pasca pemberlakuan kebijakan tersebut justru mengakibatkan semakin turunnya jumlah siswa yang bersekolah dan jumlah sekolah juga berkurang
dengan sangat drastis. Selain menghapus dualisme pendidikan dan menggantinya dengan kebijakan
sekolah umum serta memberi kesempatan kepada seluruh lapisan untuk dapat mengakses pendidikan, pemerintah militer Jepang di Indonesia juga berusaha
menghapuskan pengaruh Barat dalam dunia pendidikan di Indonesia, yaitu dengan cara menghapus Bahasa Belanda sebagai Bahasa pengantar di sekolah. Bahasa yang
diperbolehkan saat itu adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Selain itu, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang juga lebih ditekankan
pada physical training, bukan mental disiplin. Pendidikan militer ditekankan dalam
rangka tercapainya target Jepang untuk memenangkan perang melawan sekutu.
C. SISTEM PENDIDIKAN