PESERTA DIDIK buku peta jalan pendidikan indonesia

118 ya g hakikat ya erji a iliter. YB Ma gu ijaya dala Yosef Dedy Pradipto, 2007: 61. Romo Mangun juga menilai bahwa apa yang terjadi dalam dunia pendidikan pada masa Orde Baru sudah menyimpang dari tujuan semula yang diharapkan, se agai a a ya g ditulis ya: Kurikulu terselu u g dari siste sekolah sekarang, dari TK sampai Perguruan Tinggi, adalah sistem militer, sistem komando, sistem taat, hafalan kepada yang memberi instruksi, sesuai buku pi tar ya g seri g odoh . YB Mangunwijaya, 1998: 27. Sistem pendidikan di era Orde Baru cenderung bersifat terpusat atau sentralisasi karena ukuran yang dipakai untuk menentukan relevansi pendidikan pada masa itu adalah suatu ukuran abstrak yang ditentukan oleh pemerintah pusat dan seragam. Hal ini terlihat pada penyelenggaraan EBTANAS, UMPTN, dan sejenisnya, yang digunakan untuk menyeleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Artinya, pendidikan pada era Orde Baru lebih mementingkan target daripada memperhatikan proses dan kualitas pengajaran serta hasil didikan dari sistem yang telah diterapkan. Padahal, menurut Isjoni Ishaq 2006, relevansi pendidikan ditentukan oleh kebutuhan daerah yang konkret dan tidak dapat ditentukan secara sepihak oleh pemerintah pusat. Kenyataan kehidupan masyarakat Indonesia yang berbhinneka dan tersebar dalam suatu wilayah yang sangat luas dan beragam, tentunya tidak realistis untuk menentukan suatu standar relevansi dalam sistem pendidikan nasional Isjoni Ishaq, 2006: 13. Lebih tegas lagi, I Sandyawan Sumardi 2005 menilai bahwa pendidikan pada masa Orde Baru belum atau tidak mampu menyentuh kebutuhan harkat hidup dan hak-hak asasi sebagian besar anak-anak dan remaja di tanah air I Sandyawan Sumardi, 2005: 60.

D. PESERTA DIDIK

Setelah Soeharto turun dari kursi kepresidenan pada tahun 1998 dan Indonesia memasuki era reformasi, banyak sekali kritikan bahkan kecaman yang 119 ditujukan terhadap rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari 32 tahun, termasuk dalam bidang pendidikan. Meskipun tentu saja terdapat nilai- nilai positif dalam pelaksanaan pendidikan di era Orde Baru, namun tetap saja rezim pemerintahan Soeharto dinilai gagal mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, penyelenggaraan pendidikan pada era Orde Baru diposisikan untuk menyokong pembangunan ekonomi. Inilah yang membuat banyak kalangan berpendapat bahwa peserta didik dalam pendidikan masa Orde Baru dibentuk untuk menjadi calon pekerja yang diharapkan dapat turut menggerakkan roda perekonomian negara setelah lulus sekolah nanti dan kelak akan berperan sebagai alat penguasa dalam menentukan arah kebijakan negara. Hal ini juga ditegaskan oleh Ignas Kleden 2004 yang menilai bahwa orientasi pendidikan Orde Baru bukanlah terutama pada pengembangan pribadi dan kematangan setiap peserta didik, tetapi justru pada pasar tenaga kerja yang akan menampung siswa yang telah selesai dengan pendidikan formalnya. Dengan demikian, apa yang diajarkan dalam kelas dan sekolah harus berhubungan dengan apa yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja sehingga sekolah dan pasar menjadi pasangan yang saling mengimbangi satu sama lain Ignas Kleden, 2004: 145. Para peserta didik dalam pendidikan di era Orde Baru bukan dididik untuk menjadi seorang pemikir, kreator, atau orang yang pada nantinya mampu menciptakan inovasi yang akan berguna bagi bangsa dan negaranya kelak. Bahkan, tidak jarang siswa dididik untuk menjadi kader politik mengingat hegemoni pemerintah yang sangat kuat pada saat itu YB Mangunwijaya, 1999: 27. Nuansa militerisme yang kental dalam sistem pendidikan Orde Baru juga membuat peserta didik menjadi manusia-manusia yang lemah mental, tidak berdaya kritis, dan selalu mematuhi perintah atasan. Guru selalu menjadi subyek 120 dan pusat kebenaran, sedangkan siswa hanya diposisikan sebagai obyek yang harus selalu mem atuhi da e giyaka ke e ara ya g dikataka oleh para guru. Belum lagi dengan berbagai upaya indoktrinasi yang dilakukan dengan berbagai cara oleh pemerintah Orde Baru di ranah pendidikan. Yosef Dedy Pradipto 2007 mengungkapkan bahwa pada umumnya, dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, guru hanya berperan sebagai pawang yang menjejali anak didiknya dengan seabrek materi ajar. Proses belajar yang terjadi hanya berjalan searah tanpa dialog dan kesempatan bagi siswa untuk bertanya, apalagi menjawab dengan perspektif lain, apa yang dikatakan oleh guru. Siswa hanya mendengarkan guru berbicara seperti birokrat; guru menjadi komandan yang menyuruh anak buahnya di kelas; guru mengajar seperti pawang yang menjinakkan hewan yang dilatihnya Yosef Dedy Pradipto, 2007: 62. Guru bagai dikejar target untuk memberi hafalan dengan cara-cara indoktrinasi. Sedangkan siswa dipacu untuk menghafal semua materi yang diberikan yang justru bisa memunculkan persaingan di dalam kelas. Anak hanya beljara untuk mendapatkan ranking demi nama baik orang tua, terlebih kelak mereka akan memasuki dunia kerja. Kepentingan anak atau siswa menjadi semakin terabaikan karena mereka hanya belajar hanya untuk menyenangkan orangtua dan guru dengan memperoleh nilai baik, dan juga untuk memenuhi kebutuhan industri Yosef Dedy Pradipto, 2007: 62. Mengenai hal ini, YB Mangunwijaya 1999 melihat fungsi dan peran guru telah teredusir hanya sekadar sebagai penatar, instruktur, birokrat, komandan, atau pawang. Anak atau peserta didik tidak lagi dilihat lagi sebagai anak, melainkan sebagai kader mini politik atau sumber daya YB Mangunwijaya, 1999: 27. Sekolah pun telah kehilangan arti sejatinya karena hanya menjadi kelas-kelas penataran. Sekolah menjadi ajang kompetensi, lomba ranking dan target prestasi seperti yang diinginkan oleh dunia bisnis pembelajaran yang tidak adil Francis X. Wahono, 2001 121

E. KURIKULUM PENDIDIKAN