61
proses belajar Dai Nippon yang melakukan penekanan-penekanan terhadap umat Islam Indonesia pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
D. MODEL PEMBELAJARAN
Pendidikan yang diberlakukan pada era pendudukan Jepang di Indonesia adalah adalah
pendidikan semi milter dengan menerapkan latihan fisik, kemiliteran, dan indoktrinasi ketat.
Meskipun demikian, rakyat Indonesia banyak memperoleh
kesempatan dalam
bidang pendidikan.
Selain itu, bahasa pengantar yang digunakan di sekolah-sekolah adalah bahasa Indonesia dan
bahasa daerah, juga bahasa Jepang, sedangkan penggunaan bahasa Belanda untuk keperluan resmi dihapuskan oleh pemerintah pendudukan Jepang R.E.
Elson, 2008: 152. Ada dampak positif terkait hal tersebut, yaitu bahasa Indonesia bisa lebih
dikenal oleh masyarakat. Namun, ada pula dampak negatifnya, yaitu pendidikan di perguruan tinggi hampir tidak mungkin karena buku-buku dalam bahasa
Belanda atau Inggris juga dilarang M.C Ricklefs, 2008: 410. Jepang menerapkan aturan untuk menghormat ke arah matahari terbit
karena bangsa Jepang mengaku sebagai keturunan Dewa Matahari. Selain itu, Jepang juga menerapkan etos keprajuritan kepada anak-anak sekolah dengan
mengadakan olahraga senam taiso dan mengikuti latihan baris-berbaris atau perang-perangan serta menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo.
62
Taiso, Senam Khas Jepang
Jepang juga menggunakan lagu sebagai salah satu sarana propaganda untuk menyebarkan gagasan serta meningkatkan nilai moral dan semangat.
Lagu-lagu militer dan kepahlawanan Jepang berulang-ulang diajarkan di sekolah- sekolah. Jepang menyebarkan buku-buku yang berisi tentang lagu-lagu Jepang
dengan alasan untuk meningkatkan moral dan semangat sebagai sesama bangsa Asia. Namun, sebenarnya hal ini dilakukan Jepang untuk meningkatkan
semangat rakyat yang hidup dalam situasi sosial ekonomi yang menyedihkan dan sebagai pengganti atau saluran pesan politik Aiko Kurasawa, 1993: 253-254.
E. PESERTA DIDIK
Semenjak Jepang menguasai Indonesia, sekolah-sekolah yang sebelumnya sudah ada pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang. Segala upaya
ditujukan untuk kepentingan memenangkan perang. Murid-murid hanya mendapat pengetahuan yang sangat sedikit, kegiatan persekolahan banyak diisi
dengan kegiatan pelatihan perang atau bekerja untuk kepentingan militer Jepang.
Secara kongkrit tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cuma-Cuma romusha dan tenaga militer untuk membantu peperangan bagi
63
kepentingan Jepang. Oleh karena itu, pelajar-pelajar diharuskan mengikuti pelatihan fisik, pelatihan kemiliteran dan indoktrinasi ketat. Pada akhir zaman
Jepang tampak tanda-tanda tujuan menjepangkan anak-anak Indonesia. Dikerahkan barisan propaganda Jepang yang terkenal dengan nama Sendenbu,
untuk menanamkan ideologi baru, untuk menghancurkan ideologi Indonesia Raya.
Banyak perubahan yang terjadi menyusul diterapkannya berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan di Indonesia oleh pemerintah Jepang, di antaranya
adalah dengan dihapuskannya dualisme pengajaran. Dampak dari kebijakan ini adalah selesainya riwayat susunan pengajaran Belanda dualistis, yang
membedakan dua jenis pengajaran yakni pengajaran Barat dan pengajaran Bumiputra. Selain itu, dampak terbesar dari kebijakan ini adalah pada sistem
perekrutan murid di sekolah. Sekolah yang tadinya dikotak-kotakkan oleh perbedaan suku, ras dan agama kemudian disatukan dalam satu jenis sekolah.
Semua kalangan diberi kesempatan untuk masuk ke lembaga sekolah. Pada masa ini hampir semua rakyat Indonesia dapat memperoleh dan
berkesempatan utuk menempuh pendidikan. Hal ini dikarenakan pada masa Jepang sistem sosial menurut bangsa maupun status sosial yang diterapkan masa
Hindia Belanda dihapuskan. Siswa Cina peranakan dan Cina totok pada masa Jepang juga tidak dibeda-bedakan Rochiati Wiriaatadja, 2002: 207.
Terbukanya kesempatan belajar pada masa Jepang menjadi salah satu penyebab naiknya jumlah siswa sekolah, terutama sekolah dasar. Rata-rata
jumlah murid tiap sekolah sebanyak 113 orang pada tahun 1940, meningkat menjadi 178 orang pada tahun 1944, ini berarti meningkat 60. Apabila
dibandikan pada masa kolonial Hindia Belanda, jumlah siswa sekolah naik menjadi 78 dan jumlah sekolah meningkat menjadi 32. Jika pada masa
Belanda jumlah siswa per kelas ada 25 murid, pada masa Jepang meningkat menjadi 35 hingga 40 murid.
64
Data yang dikemukakan Aiko Kurasawa menunjukkan bahwa jumlah siswa sekolah pertama tahun 1944 adalah 1.806. 233 orang, Sekolah Rakyat adalah
552.102 orang, dan Sekolah Rakyat swasta adalah 267 625 orang. Banyaknya jumlah siswa pada masa tersebut juga dikarenakan dorongan pemerintah
pendudukan Jepang yang mewajibkan orang harus bisa membaca dan menulis untuk dapat menduduki jabatan-jabatan di pemerintahan desa maupun jabatan
administrasi lainnya sehingga orang-orang desa terotivasi untuk belajar dan bersekolah Aiko Kurasawa, 1993: 362.
F. KURIKULUM PENDIDIKAN