Buku Peta Jalan Pendidikan 12 Tahun

(1)

PETA JALAN

PENDIDIKAN

12 TAHUN

DI INDONESIA

Penulis: Achmad Ikrom Achmad Tauik A. Febri Hendri AA

Hadi Prayitno Ridwan Darmawan,

Rohidin Sudarno, Supangat Rohani,

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Network for Education Watch Indonesia

2015


(2)

(3)

POLIcy BRIEF &

REcOmmENDATIONS

Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 12 Tahun

m

embentuk manusia Indonesia yang cerdas dan mampu

berparisipasi secara akif dalam tataran dunia global merupakan amanat dari Konsitusi. Amanat ini diejawantahkan dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (2) dan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan di bawahnya yang menjamin hak dasar memperoleh pendidikan bermutu bagi seiap warga Indonesia dan Pemerintah membiayainya. UU Sisdiknas hanya memberikan batasan kewenangan pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar sampai ingkat SMP. Padahal, untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang cerdas, dan selaras dengan janji Nawacita Presiden Jokowidodo, kita membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan, terutama meningkatkan akses pendidikan warga negara pada jenjang SMA. Sayangnya, dasar hukum untuk pendidikan dasar yang wajib dan dibiayai Negara ini belum ada.

Usaha masyarakat sipil untuk mengadakan Judicial Review ke

Mahkamah Konsitusi agar membatalkan pembatasan usia

pendidikan dasar yang dibiayai pemerintah hanya sampai jenjang

SMP sudah kandas dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konsitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014. Keputusan MK ini


(4)

menyatakan bahwa tentang kriteria usia pendidikan dasar yang

dibiayai Pemerintah merupakan sebuah persoalan hukum yang sifatnya terbuka dan tergantung dari para pembuat hukum, yaitu terutama Legislaif dan Pemerintah. Karena itu, pelaku utama yang mampu mewujudkan kebijakan pendidikan dasar 12 tahun sekarang berada di tangan anggota Parlemen dan Pemerintah.

Pemerintah dan Parlemen perlu segera membangun kesepakatan bersama agar pendidikan dasar sampai ingkat SMU yang menjadi hak seiap warga dapat terwujud dan Negara membiayainya dengan mengesahkan sebuah Undang-Undang untuk melaksanakan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Program seperi Pendidikan Menengah Universal, Kartu Indonesia Pintar dan alokasi dana BOS

untuk membantu meningkatkan akses siswa Indonesia pada jenjang

pendidikan menengah, meskipun baik, bukanlah sebuah kebijakan yang dapat berlangsung terus menerus. Karena itu, pemerintah perlu bekerjasama dengan Parlemen dan anggota legislaif yang lainnya untuk merevisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sehingga kriteria pendidikan dasar bisa diubah dari jenjang SMP ke SMA. Dalam jangka pendek, untuk mendesak pemerintah daerah (Gubernur, walikota, bupai) mendukung program Wajib Belajar 12 Tahun, pemerintah bisa bekerjasama dengan Pemda untuk merealisasikan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar sehingga masing-masing daerah dapat melaksanakan program Wajib Belajar 12 tahun dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam waktu yang sama, Pemerintah memfasilitasi inisiaif publik dari masyarakat sipil yang ingin terlibat dalam memberikan kesempatan pendidikan bermutu bagi seiap warga negara sesuai dengan cakupan bidang dan tugasnya sehingga pendidikan menengah universal bisa dinikmai oleh semua warga negara tanpa kecuali.


(5)

RINgKASAN DAN

REKOmENDASI

P

rogram wajib belajar memiliki dasar legal dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Mukadimah UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan keteriban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “seiap warga negara wajib mengikui pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Untuk merealisasikan ini, pemerintah mengesahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan bahwa, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Agar efekif dapat dilaksanakan sampai ingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pemerintah juga telah memperkuat dasar hukum pelaksaan Wajib Belajar 12 tahun melalui PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. Dalam PP ini ditegaskan bahwa Wajib Belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikui oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 7 Ayat 4 dalam PP Wajar


(6)

untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah”. Kata “dapat” dalam pasal tersebut, di satu sisi dapat memberi ruang bagi Pemerintah Daerah untuk memilih melaksanakan penetapan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Namun di lain pihak, idak ada kewajiban dari Pemerintah Daerah untuk

mengusahakan akses dan pembiayaan pendidikan dasar sampai

jenjang menengah.

Tidak kuatnya jaminan hukum bagi pelaksanaan Wajar 12 sebagai

hak pendidikan warganegara membuat beberapa warga negara

berusaha mengajukan Judicial Review atas UU Sisdiknas yang membatasi jenjang usia pendidikan dasar hanya sampai 12 tahun atau wajib belajar 9 tahun.

Pada 05 September 2014 warga mengajukan Permohonan Judicial Review UU Sidiknas ke Mahkamah Konsitusi. Gugatan ini pada ininya mempersoalkan dasar konsitusional pemberlakuan Program Wajib Belajar 12 Tahun. Para pemohon memandang bahwa program Wajib Belajar 9 Tahun yang kini dijalankan pemerintah telah usang dan keinggalan zaman. Para Pemohon mempersoalkan konsitusionalitas Pasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang idak diubah ketentuan batas usia wajib belajar dari “tujuh tahun sampai dengan 15 tahun” menjadi “tujuh tahun sampai dengan 18 Tahun”.

Mahkamah Konsitusi dalam amar putusannya “menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Mahkamah Konsitusi berpandangan bahwa terhadap permohonan para Pemohonan yang mendalilkan dan memohon di dalam peitumnya untuk memaknai “yang berusia tujuh sampai dengan delapan belas tahun wajib mengikui pendidikan dasar dan menengah” berari meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah, Mahkamah berpendirian bahwa program pendidikan minimal yang harus diikui warga Negara Indonesia merupakan


(7)

RINgKASAN DAN REKOmENDASI

 vii

tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) bagi pemerintah

dan pemerintah daerah”. (Paragraf (3.10.9), hal.52 Putusan Mahkamah Konsitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014).

Pendirian Mahkamah tersebut didasarkan pada pendapat Mahkamah yang menyatakan bahwa “Pasal 34 UU No.20/2003 yang

menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin

terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan

dasar tanpa memungut biaya sebagai bagian dari kebijakan

pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk

semua (educaion for all). Frase “menjamin” arinya pemerintah dan pemerintah daerah harus merencanakan, menyiapkan untuk membiayai dan memfasilitasi terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar. Untuk terlaksananya jaminan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajar yang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang.

Menurut Mahkamah Konsitusi, bahwa “Ketentuan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Pengaturan lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar sampai pendidikan menengah tersebut diatur melalui peraturan daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

Keputusan MK sesungguhnya menegaskan siapa pelaku utama yang dapat merealisasikan Kebijakan Pendidikan Dasar 12, yaitu Pemerintah Pusat (Presiden, Menteri) dan Pemerintah Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupai). Sinergi antara pelaku utama ini diperlukan agar pendidikan dasar 12 tahun dapat memperoleh


(8)

dasar hukum yang kuat dan kepasian bahwa anak-anak Indonesia sampai usia 21 tahun memperoleh pendidikan dasar yang baik dan berkualitas.

Beberapa program untuk mengawali pendidikan dasar 12 tahun sudah dilakukan oleh Pemerintah, misalnya melalui program Pendidikan Menengah Universal (PMU) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2013. PMU disebut sebagai program rinisan wajib belajar 12 tahun. Program rinisan ini muncul untuk meningkatkan kemampuan daya saing bangsa dan menyambut bonus demograi. Selain PMU pemerintah juga memberikan skema pembiayaan lain agar akses siswa dari keluarga miskin tetap dapat mengakses pendidikan melalui Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (PIP) dan Bantuan Operasional Siswa (BOS), dan Bantuan Operasional Siswa Daerah (Bosda).

Pendekatan ini tentu saja sudah dapat membantu percepatan

akses pendidikan dasar 12 tahun bagi keluarga miskin. Namun program ini kurang dapat bersifat masif karena idak didukung secara langsung dengan penganggaran dari Pemerintah Pusat dan Daerah agar ada jaminan tentang akses seiap warga negara dalam mengenyap pendidikan yang bermutu. Penganggaran akan bersifat masif dan dengan demikian siswa miskin yang idak dapat memperoleh akses pendidikan 12 tahun dapat dibiayai sehingga mereka dapat memperoleh hak-hak pendidikan yang dijamin oleh Konsitusi. Dengan pendekatan ini, kita idak dapat melihat secara kuat dampak-dampak nyata dari kinerja pemerintah pusat dan daerah dalam mencerdaskan putra-putri bangsa. Selain itu, adanya inisiaif masyarakat sipil, melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan inisiaif lain belum mampu merengkuh seluruh siswa Indonesia berusia sampai dengan 21 tahun untuk mengenyam pendidikan dasar yang berkualitas.

Terlepas dari apakah belum adanya dasar hukum yang menyertai, Pemerintah Pusat tetap memiliki kewajiban untuk bekerjasama


(9)

RINgKASAN DAN REKOmENDASI

 ix

dengan Parlemen dalam rangka memberikan dasar hukum yang kokoh tentang pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun melalui revisi Undang-Undang terkait. Adanya dasar hukum yang kokoh akan semakin mempercepat proses pencerdasan bangsa, sehingga jalan-jalan ini harusnya menjadi perhaian dan konsentrasi utama Pemerintah Pusat. Sementara itu, agar idak semakin banyak anak-anak Indonesia menjadi korban karena iadanya perlindungan hukum yang menjaga hak asasi warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas, Pemerintah perlu bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan Kebijakan Wajib Belajar 12 tahun melalui payung hukum Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008. Agar PP ini efekif, Pemerintah perlu merevisi PP ini pada klausul yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pembiayaan pendidikan dasar sampai pada jenjang pendidikan menengah dengan merevisinya menjadi Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pembiayaan pendidikan dasar sampai jenjang menengah untuk melindungi hak-hak warga negara dalam memperoleh pendidikan yang setara dan berkualitas.

Buir-Buir Rekomendasi

Kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun memiliki implikasi dari berbagai macam sisi, seperi tatanan regulasi, tata kelola sekolah, kebutuhan tenaga pengajar, penganggaran, revitalisasi peranan pendidikan non formal, dan pendekatan pendidikan inklusif. Untuk itu NEW

Indonesia memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan

bidang-bidang tersebut:

1. Penataan Regulasi

a. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat segera melakukan revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem


(10)

Pendidikan Nasional karena sudah idak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan global, khususnya terkait dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat perihal peningnya Negara utamanya Pemerintah meningkatkan program wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun.

b. Bagi Pemerintah (Pusat), sebagai bentuk respon cepat atas putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2004, yang memandatkan bahwa kebijakan program wajib belajar 12 tahun adalah kebijakan hukum terbuka bagi Pemerintah, perlu segera melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Beberapa di antaranya atau utamanya revisi tersebut dilakukan terhadap:

• Pasal 1 Ayat (2). “Pendidikan dasar adalah jenjang

pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang

sederajat”, diubah menjadi “Pendidikan dasar adalah

jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan yang lebih inggi, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan

Madrasah Ibidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA) atau bentuk lain yang sederajat”.

• Pemerintah juga perlu menambahkan satu ayat lagi di

dalam Pasal 1 tersebut, yakni di antara ayat 6 dan 7

dengan menambahkan, “Sekolah Menengah Atas yang

selanjutnya disebut SMA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan


(11)

RINgKASAN DAN REKOmENDASI

 xi

pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI, SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP, MTS. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI,SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS. Madrasah Aliyah selanjutnya disebut MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan Agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SMP,MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS.

• Pasal 3 ayat (2). “Penyelenggaraan wajib belajar

pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang melipui SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat”. Diubah menjadi, “Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang melipui SD, MI, SMP, MTs,SMA,SMK,MA dan bentuk lain yang sederajat”.

• Pasal 7 ayat 4 “Pemerintah daerah dapat menetapkan

kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib

belajar sampai pendidikan menengah”. Diubah menjadi

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib belajar yang mencakup pendidikan menengah


(12)

2. Tata Kelola Sekolah

a. Mencabut atau memperbaiki Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Hal ini sangat krusial karena akan membawa efek perhaian bagi seluruh pemangku kepeningan pendidikan khususnya sekolah. Pemerintah daerah bisa membantu dalam rangka proses pengawasan dan mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik.

b. Perlunya kebijakan lokal sebagai pendukung pelaksanaan akuntabilitas sekolah. Meskipun diingkat nasional sudah ada aturan yang mendukung, namun di daerah perlu ada payung hukum tambahan untuk memasikan bahwa pungutan yang terjadi di sekolah merupakan kejahatan dan ada sangsi hukumnya. Di level tertentu bahkan bisa masuk ke ranah hukum. Kebijakan lokal dimaksud bisa berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah (Perkada), Keputusan Kepala SKPD (SK Kepala Dinas), sampai keputusan kesepakatan di ingkat Sekolah (Berita acara kesepakatan atau Surat Kepala Sekolah).

c. Mendorong parisipasi dan praktek transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Sebagai upaya mengurangi praktek pungutan di sekolah, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat perlu mendorong kembali upaya transparansi pengelolaan keuangan sekolah dengn membuat pedolan tentang transparansi dan larangan praktek pungutan di sekolah. Bentuknya adalah adanya pedoman tentang transparansi dan larangan praktek-praktek pungutan sekolah. Pedoman ini berisi sangsi hukum bagi yang melanggar.

d. Penguatan kapasitas sekolah SD dalam mengelola sekolah, berupa penguatan kapasitas pengelola keuangan. Isu


(13)

RINgKASAN DAN REKOmENDASI

 xiii

transparansi masih menjadi tantangan bagi pihak sekolah terutama di SD. Salah satu penyebabnya adalah kapasitas pengelola keuangan. Berbeda dengan ingkat SMP dan SMA yang telah mempunyai tata usaha (TU) atau staf administrasi yang bisa dipekerjakan, situasi di SD belum mendukung. Salah satu alternaifnya adalah melakukan penguatan kapasitas pengelolaan keuangan ingkat SD khususnya untuk bendahara sekolah atau guru yang ditunjuk menjadi pengelola keuangan. Bentuk penguatan dimaksud di antaranya adalah pelaihan administrasi keuangan, workshop khusus, kunjungan belajar, assistensi keuangan, dst. Stakeholder yang ada di sekolah perlu menyadari bahwa sekolah adalah badan publik, sehingga pengelolaan keuangan sekolah juga perlu menganut prinsip-prinsip keterbukaan. Sekolah idak perlu merasa risih, jika pengelolaan keuangan sudah dilakukan dengan baik. Penyadaran bersama tentang peningnya transparansi pengelolaan keuangan di sekolah harus terus dilakukan. Transparansi dimaksud diantaranya mendorong pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) berbasis Parisipasi Masyarakat. Melaporkan penggunaan dana yang bisa diakses orang tua dan peserta didik (misalnya melalui papan pengumuman, majalah dinding, atau surat kepada orang tua murid tentang pertanggungjawaban penggunaan dana).

e. Guna menguatkan kualitas layanan pendidikan, pemerintah perlu mengefekikan kembali peran pengawas dan komite Sekolah. Peran pengawas sekolah sangat relevan untuk melakukan pengawasan sekaligus peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Sehingga pengawas, seidaknya memiliki jadwal ruin untuk melakukan kunjungan ke sekolah (minimal per semester). Selain kunjungan ruin, pengawas sekolah bisa menjadi mitra untuk peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Agenda kunjungan pengawas sekolah harus jelas dan diketahui bersama (jika perlu gunakan berita


(14)

acara pengawasan) sehingga sekolah juga mendapatkan feedback dan langkah perbaikan, idak sekedar informal pertemuan di sekolah, rumah makan dan tempat ngopi). Sekecil apapun pungutan akan sangat mempengaruhi performance dari sekolah. Sehingga pengawas dapat memberikan feedback yang mendorong akuntabilitas sekolah karena akan berpengaruh pada performance sekolah yang bersangkutan. Sedangkan komite sekolah, dapat melakukan perannya sebagai perwakilan orang tua murid untuk menampung keluhan dan aspirasi perbaikan (meskipun bisa juga langsung ke sekolah), menyalurkan keluhan dan menjadi mitra sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan sekolah. Komite sekolah bukan stempel kebijakan kepala sekolah, tetapi menjadi perwakilan akif orang tua

murid dan peserta didik yang mendorong peningkatan

kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah.

3. Pemenuhan Kebutuhan Guru

a. Pemerintah pusat dan daerah harus mengopimalkan pendataan guru di seluruh satuan pendidikan pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah

b. Opimalisasi penggunaan data guru ditujukan untuk menata

dan meredistribusi guru sehingga manajemen guru menjadi

lebih eisien.

c. Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menyediakan guru sesuai standar dimasing-masing sekolah. Dan secara bertahap mengurangi keberadaan GTT di sekolah dengan melakukan pemerataan dan rekrutmen guru.

d. Dibutuhkan regulasi yang mengatur insenif dan insenif terkait dengan kehadiran guru disekolah. Keidakhadiran dan


(15)

RINgKASAN DAN REKOmENDASI

 xv

kehadiran guru diyakini berpengaruh terhadap kehadiran

siswa kesekolah. Pada gilirannya akan mempengaruhi parisipasi pendidikan dan pencapaian target wajib belajar 12 tahun.

4. Peran Pendidikan Non-Formal

a. Pemerintah mendukung keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari sebuah sistem pendidikan yang berperan dalam menyelenggarakan jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).

b. Pemerintah perlu memberikan dorongan untuk

memaksimalkan keterlibatan masyarakat dengan

memberikan simulus 50 juta seiap PKBM untuk mengembangkan 17.035 unit PKBM sesuai prediksi perkembangan.

c. Diperlukan pendekatan budaya dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam rangka menganisipasi kemungkinan adanya siswa putus sekolah. Pendidikan berbasis masyarakat sangat dimungkinkan di daerah-daerah yang menjadikan

masyarakat secara adat atau budaya dapat berkontribusi

terhadap pelaksanaan pendidikan di daerahnya masing-masing. Jadi Pemerintah perlu merencanakan pendidikan yang berbasis kearifan lokal khususnya dalam hal pendidikan bagi anak yang putus sekolah.

d. Pemberian dukungan beasiswa secara proporsional pada siswa laki-laki dan perempuan yang sedang belajar di jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).

e. Penciptaan suasana sekolah yang nyaman bagi siswa

sehingga siswa merasa betah berada di jenjang pendidikan

PKBM paket C (SLTA).

f. Peningkatan kompetensi profesional para guru/fasilitator PKBM paket C yang dapat menciptakan suasana


(16)

pembelajaran yang akif, kreaif dan menyenangkan dan non diskriminaif.

g. Penyadaran terhadap berbagai lapisan masyarakat terutama para orang tua peningnya melanjutkan pendidikan khususnya jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).

h. Penyediaan sarana dan prasarana pada jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA) hingga terwujudnya mimpi PKBM sejumlah 17.035 pada tahun 2030.

i. Memfasilitasi anak putus sekolah dengan Mendirikan sekolah alternaif. Misalnya seperi pengembangan sekolah alam, Sekolah MATER di Depok, Sekolah SBM di Yogya serta SMASH (Sekolah berbasisi Masjid) Dompet Dhuafa dan Insitut kemandiriran Dompet Dhuafa.

j. Perlunya pendampingan pemerintah untuk mutu tata kelola dengan memperimbangkan: Pertama, penataan konsep yang tepat tentang program-program Pendidikan Non Formal. Kedua, perencanaan program PNF berbasis kebutuhan nyata warga sasaran. Keiga, penyelenggaraan dan pengelolaan PNF secara tekun dan berkelanjutan dengan prinsip-prinsip manajemen yang tepat guna disertai proses akreditasi yang baik.

5. Penganggaran

a. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia seyogyanya melakukan penyempurnaan

Rencana Strategis; Revisi tersebut harus dilakukan sebelum berakhirnya tahun 2015 dengan memasukkan secara tegas pendidikan dasar 12 tahun sebagai target prioritas, supaya konsisten dengan amanat Perpres No.2 tentang RPJMN 2015-2019.


(17)

RINgKASAN DAN REKOmENDASI

 xvii

penerimaan Negara yang bersumber dari pajak dan penerimaan Negara bukan pajak agar kebutuhan anggaran pendidikan dasar 12 tahun dapat dipenuhi seluruhnya; Potret ketersediaan anggaran dalam APBN sampai tahun 2015 diprediksikan idak akan mampu memenuhi esimasi kebutuhan pembiayaan pendidikan seiap tahun. Oleh karena itu Presiden melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia harus meningkatkan penerimaan Negara melalui penetapan rasio pajak minimal 14 persen dari PDB, dan memasikan perusahaan pengelola industri berbasis sumberdaya alam taat untuk membayar PNBP yang sampai hari ini baru terealisasi 30 persen dari potensi sesungguhnya.

c. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melakukan

ear-marking penerimaan dari PNBP SDA dengan proporsi yang lebih memadai untuk membiayai pemenuhan layanan

pendidikan

d. Isu pening lainnya adalah memperjelas sumber pembiayaan

pendidikan melalui penambahan ear-marking PNBP Migas

dan PNBP Pertambangan untuk diredistribusikan kepada

belanja pendidikan dasar 12 tahun. Ear-marking ini juga

berlaku bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sebagai penerima dua skema DBH tersebut sebagai upaya untuk akselerasi pencapaian target nasional.

e. Kelompok Masyarakat Sipil secara pro-akif mengawal proses revisi Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019, serta melakukan pengawasan secara berjenjang terhadap realisasi kebijakan anggaran pendidikan, khususnya terkait pemenuhan pendidikan dasar 12 tahun.


(18)

6. Pendidikan Inklusif

a. Pemerintah harus memiliki komitmen mewujudkan semua sekolah Inklusif di Indonesia selambat-lambatnya pada tahun 2030 untuk menyongsong masa satu abad kemerdekaan. Ini dapat dilakukan dengan mempercepat proses pengesahan RUU Penyandang Disabilitas untuk mengganikan UU Penyandang Cacat 1997 yang sudah idak mampu mengakomodasi perkembangan zaman.

b. Pemerintah harus membentuk im penelii dan evaluasi (monitoring) pengembangan pendidikan inklusif yang berkualitas, mulai soal kurikulum, methodologi pengajaran, dan menyiapkan payung hukum yang lebih akomodaif. c. Pemerintah harus terus mensosialisasikan dan menambah

sekolah percontohan inklusif iap tahunnya hingga tahun 2030 sehingga semua sekolah melaksanakan semangat inklusif.

d. Penanganan sekolah inklusif bisa dilakukan dengan

membangun kerjasama dengan masyarakat di

sekitar sekolah sehingga idak hanya guru kelas yang bertanggungjawab, melainkan masyarakatpun bisa ikut terlibat dalam mendorong pendidikan inklusif di ingkungan di mana mereka inggal.

e. LSM dan masyarakat harus terus ikut memantau dan turut memberi usulan untuk menyempurnakan sistem pendidikan inklusif.


(19)

DAFTAR ISI

POLICY BRIEF & RECOMMENDATIONS— III

RINGKASAN DAN REKOMENDASI—v

PENGANTAR MENUJU WAJIB BELAJAR 12 TAHUN — 1

PeTa ReGulaSI KeBIjaKaN PeNdIdIKaN

uNTuK PRoGRam WajIB BelajaR 12 TahuN — 7

A. Pemetaan Regulasi —8

B. Judicial Review dan Putusan Mahkamah Konsitusi —12

C. Kesimpulan —20

D. Rekomendasi —21

meNdoRoNG TaTa Kelola SeKolah BeBaS PuNGuTaN dalam RaNGKa PeNcaPaIaN WajaR 12 TahuN — 25

A. Latar Belakang Ekonomi —26

B. Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan —34

C. Dampak dan Modus Pungutan —40

D. Kesimpulan dan Rekomendasi —44

PemeNuhaN KeBuTuhaN GuRu dalam

PeNcaPaIaN TaRGeT WajIB BelajaR 12 TahuN — 49

A. Kebutuhan Guru —50

B. Perhitungan Dan Proyeksi Kebutuhan Guru —51

C. Faktor yang menentukan pemenuhan kebutuhan guru

Pendidikan Dasar —63


(20)

PeRaN PeNdIdIKaN NoN FoRmal

dalam PemeNuhaN WajIB BelajaR 12 TahuN — 71

A. Dasar Regulasi —72

B. Model Pendidikan Non Formal —75

C. Faktor Penyebab Pemenuhan Wajar 12 Tahun —81

D. Harapan pada Pendidikan Non Formal —83

E. Strategi Wajib Belajar 12 Tahun Hingga 2030 —90

F. Contoh Sekolah Non Formal Alternaif —92

G. Rekomendasi —94

PeNdIdIKaN INKluSIF uNTuK INdoNeSIa TaNPa dISKRImINaSI — 97

A. Pengantar —97

B. Pengerian Inklusif dan Pendidikan Inklusif —101

C. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif —102

D. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Inklusif —104

E. Konsekuensi pendidikan inklusif —111

F. Penerapan pendidikan inklusif di lapangan —117

G. Penutup/ringkasan —119

RevITalISaSI KeBIjaKaN aNGGaRaN PeNdIdIKaN daSaR 12 TahuN — 123

A. Pengantar —123

B. Realitas Anggaran Pendidikan —125

C. Kerangka Kebijakan Pembiayaan Pendidikan —134

D. Langkah-Langkah Strategis —141

E. Rekomendasi: —144

daFTaR ISI — 147


(21)

PENgANTAR

menuju Wajib Belajar 12 Tahun

K

ualitas pendidikan sebuah bangsa akan menentukan

ketahanan bangsa tersebut di masa depan dalam menghadapi berbagai macam tantangan zaman. Karena itu, para pendiri bangsa ini, melalui Undang-Undang Dasar 1945 telah memasikan bahwa arah ke depan bangsa ini pasca kemerdekaan adalah untuk mendidik manusia Indonesia agar cerdas, adil, cinta damai, dan mampu terlibat dalam percaturan dunia.

Tantangan global, seperi pendidikan untuk semua, telah mewajibkan bangsa Indonesia sebagai bagian dari keluarga bangsa-bangsa untuk memasikan pendidikan yang terbuka dan dapat diakes oleh semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan tugas luhur ini dalam sebuah Undang-Undang yang mengelola sistem pendidikan nasional. Jaminan negara atas akses dan hak pendidikan terwujud dalam UU Sisdiknas 2003 yang

menyatakan bahwa Pemerintah menjamin pendidikan dasar bagi

seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan dasar dimaknai sebagai wajib belajar 9 tahun, atau sampai anak bersekolah di SMP.

Sampai saat ini, jaminan wajib belajar 12 tahun belum memiliki dasar hukum yang kuat. Mandat UU Sisdiknas hanya menjamin


(22)

pendidikan dasar sampai usia 15 tahun. Padahal, tantangan dan kemajuan zaman menuntut kita untuk meningkatkan kualitas pendidikan minimal warga negara menjadi minimal Sekolah Menengah Atas sudah merupakan kemendesakan. Hampir seluruh komposisi tenaga kerja di Indonesia berisi para lulusan Sekolah Dasar.

Menurut data BPS 2013, penduduk usia kerja di atas 15 tahun memiliki latar belakang pendidikan dasar (SD/SMP) sebesar 65,70 persen, lulusan pendidikan menengah 24,51% d a n sebesar 9,79 persen lulusan pendidikan inggi. Data tersebut idak banyak berubah. Badan Pusat Staisik (BPS) mencatat, penyerapaan tenaga kerja hingga Februari 2015 masih didominasi penduduk bekerja berpendidikan rendah, yaitu sekolah dasar (SD) ke bawah yakni 54,6 juta orang atau 45,29 persen dan sekolah menengah pertama (SMP) 21,5 juta jiwa atau 17,77 persen. Sedangkan penduduk yang berpendidikan inggi hanya 13,1 juta orang mencakup 3,1 juta jiwa (2,60 persen) berpendidikan diploma, dan 10 juta orang (8,29 persen) berpendidikan universitas.

Tantangan global di bidang ekonomi juga perlu menjadi perhaian

kita. ASEAN akan menerapkan ASEAN economic community atau

komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Kawasan ASEAN akan menjadi pasar terbuka yang berbasis produksi, sehingga aliran barang, jasa, dan investasi akan bergerak bebas, sesuai dengan kesepakatan ASEAN. Kualitas pendidikan warga negara akan menentukan daya saing kita di ingkat ASEAN dan global.

Tantangan global mengharuskan bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas ingkat pendidikan warga negara, dari Wajib Belajar 9 tahun menjadi Wajib belajar 12 tahun. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan layanan, perluasan, dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan sampai dengan jenjang pendidikan menengah yang bermutu bagi seiap warga Negara Indonesia usia sampai dengan usia 18 tahun.


(23)

PENgANTAR

 3

Kebijakan menuju Wajib Belajar (Wajar) 12 Tahun idak berari menghilangkan atau mengabaikan tantangan yang masih tersisa dari program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang belum terselesaikan di mana masih ada anak-anak usia pendidikan dasar dan menengah yang belum mendapat pelayanan pendidikan, masih ada anak-anak yang mengalami putus sekolah.

UNESCO telah menetapkan bahwa pendidikan dasar yang grais (free) dan wajib (compulsory) menjadi pokok perhaian bangsa-bangsa yang mengikatkan diri pada komunitas pendidikan global tersebut. Indonesia merupakan salahs atu negara yang menjadi anggota dari UNESCO. Karena itu, Indonesia memiliki tanggungjawab untuk menyukseskan program wajib belajar untuk semua, terutama memberikan perhaian pada pendidikan menengah yang inklusif, setara dan mempromosikan semangat pembelajar sepanjang hayat. Pemerintah telah mencoba menanggapi persoalan ini dengan mengembangkan program Pendidikan Menengah Universal dan

membuat Peraturan Pemerintah yang memungkinkan Pemerintah

Daerah mengembangkan kebijakan pendidikan wajib belajar 12 tahun. Kebijakan ini patut diapresiasi karena Pemerintah telah memberikan perhaian pada pengembangan pendidikan dasar 12 tahun dan mendorong pemerintah daerah untuk mendorong hal serupa.

Namun, dorongan dan kebijakan Pendidikan Menengah Universal (PMU) memiliki kekurangan daya dorong, karena kebijakan Wajib Belajar 12 tahun belum menjadi sesuatu yang wajib, seperi diharapkan oleh bangsa-bangsa yang tergabung dalam UNESCO. Bila negara mewajibkan, negara memiliki tanggungjawab dalam memberikan pembiayaan melalui anggaran pendidikan. Kewajiban negara mengembangkan pendidikan nasional adalah mandat dalam UUD 1945. Karena itu, beberapa masyarakat sipil menuntut adanya perubahan dan revisi dari UU Sisdiknas 2003 yang hanya


(24)

sampai 15 tahun. Selain deinisi usia ini bertentangan dengan deinisi tentang usia anak dalan UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, kewajiban negara dalam memberikan layanan pendidikan bermutu

bagi warga negara hanya diberikan pada mereka yang berusia

sampai 15 tahun. Sedangkan mereka yang berada di pendidikan menengah, meskipun sudah memperoleh perhaian, namun tetap

kurang mampu mendesakkan tanggungjawab pendidikan yang

menjadi kewajiban Pemerintah.

Keputusan Mahkamah Konsitusi yang menolak Judicial Review warga negara untuk membatalkan pasal 6 ayat 1 UU Sisdiknas 2003

yang hanya memberikan jaminan pendidikan pada siswa Indonesia

sampai usia 15 tahun semakin membebaskan Negara dan peran pemerintah dalam memberikan dan menyediakan pendidikan grais dan wajib pada warga Indonesia. Dampak dari keputusan MK adalah bahwa pendidikan menengah hanya akan berfungsi efekif dengan mengandalkan kebaikan dan kemurahan hai Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan cara ini, pemerataan akses dan kualitas pendidikan juga berada dalam situasi yang idak menentu. Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 12 tahun merupakan sebuah kemendesakan. Pasca keputusan MK, pemerintah, pemerintah daerah dan parlemen perlu segera duduk bersama untuk membahas masa depan pendidikan bangsa ini dengan lebih baik. Dari sisi regulasi, UU Sisdiknas 2003 perlu direvisi sehingga mandat Konsitusi tetap dapat relevan di tengah kemajuan dan tantagan global. Selain itu, seluruh kebijakan yang sudah ada, yang mendukung kebijakan pendidikan wajib belajar 12 tahun perlu tetap dipertahankan dan dikembangkan dengan lebih baik sehingga masing-masing Pemerintahan Daerah dapat semakin memiliki satu visi sama yaitu memberikan perhaian dan prioritas pada program Wajib Belajar 12 tahun yang tercermin dalam alokasi anggaran dan program kebijakan pendidikan yang seluruhnya mengarah pada pendidikan dasar 12 tahun bagi iap warga negara.


(25)

PENgANTAR

 5

Selain mempergunakan tatanan hukum yang sudah ada untuk mengembangkan pendidikan dasar 12 tahun, pemerintah juga perlu belajar dari Pemerintah Daerah yang sudah melaksanakan pendidikan dasar 12 dan belajar dari mereka. Ada banyak prakik baik yang bisa dicontoh dan dikembangkan, sehingga masing-masing pemerintah daerah dapat semakin ikut serta dalam pengembangan pendidikan dasar sampai 12 tahun.

Pengembangan pendidikan dasar 12 tahun juga memerlukan berbagai macam kajian, seperi pengelolaan tenaga guru, akses pendidikan seperi ketersediaan ruang-ruang kelas dan sekolah yang dekat dengan siswa, serta postur penganggaran yang realisis dengan postur anggaran pemerintah pusat dan daerah.

Parisipasi masyarakat dalam keberhasilan program pendidikan 12 tahun sangat besar. Karena itu, berbagai macam bentuk perisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan formal, non formal, dan informal perlu dikelola sedemikian rupa sehingga parisipasi

masyarakat ini semakin mendukung capaian program pendidikan


(26)

(27)

PETA REgULASI

KEBIJAKAN PENDIDIKAN

untuk Program Wajib Belajar 12 Tahun

P

rogram Wajib Belajar 12 Tahun belum memiliki dasar

hukum yang kuat dalam tatanan regulasi yang mengatur kebijakan pendidikan. Pemetaan regulasi menuju Wajib Belajar 12 Tahun diperlukan agar impian pendidikan dasar 12 tahun segera terwujud.

Program wajib belajar memiliki dasar legal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mukadimah UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan keteriban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Mencerdaskan kehidupan bangsa diwujudkan dengan memberikan jaminan pada seiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1 menegaskan bahwa Negara menjamin hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan di mana seiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar,


(28)

berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.

a. Pemetaan Regulasi

Implementasi tugas menyelenggarakan pendidikan dieksplisitkan dalam pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 di mana ditegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan mandat tersebut, para pembuat Undang-Undang, yakni pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Undang-Undang Sisdiknas mengatur dengan tegas ketentuan tentang kewajiban pendidikan dasar bagi warga negara, yaitu mereka yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikui pendidikan dasar (Pasal 6 ayat 1). Ini berari anak-anak Indonesia wajib menjalani pendidikan dasar dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bentuk pendidikan dasar berupa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibidaiyah (MI), sekolah lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madarasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat.

Kriteria penentuan usia wajib belajar dan jenjang pendidikan

yang masuk kategori pendidikan dasar sebagaimana

dimandatkan oleh UUD 1945 merupakan kelanjutan dari program wajib belajar 9 Tahun yang telah digariskan oleh Pemerintahan Orde Baru sejak Tahun 1994. Orde Baru melalui Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) 1993 mengharuskan


(29)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 9

pemerintah untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan professional, melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Perluasan kesempatan pendidikan ini diwujudkan dengan meningkatkan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menjamin dan membiayai pendidikan dasar sejalan dan sebangun dengan spirit Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Untuk menjamin Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya hak atas pendidikan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). UU HAM hanya menegaskan pengakuan Negara atas pengakuan tentang hak atas pendidikan untuk semua. UU HAM idak menjelaskan lebih detail tentang kriteria pendidikan dasar sebagaimana diatur dalam DUHAM.

Pada 2005 Indonesia meraiikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagai turunan DUHAM melalui UU No.11 Tahun 2005. UU ini mengadopsi langsung sekaligus menjabarkan lebih deil tentang kewajiban dan komitmen Negara pihak untuk merealisakan secara progresif pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas pendidikan. Jenjang pendidikan sebagaimana ditegaskan di dalam DUHAM, dikuip kembali dalam ketentuan Pasal 13 Ayat (2) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ada perbedaan antara UUD 1945 dan Piagam DUHAM. Piagam DUHAM menyebutkan iga jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar, pendidikan teknikal dan professional, serta pendidikan inggi. Pendidikan dasar dalam DUHAM dimaknai sebagai usia wajib belajar yang dimulai dari usia tujuh tahun sampai dengan delapan belas tahun. Deklarasi DUHAM menganut faham pendidikan dasar 12 tahun. Sebaliknya, UUD 1945 hanya


(30)

menegaskan bahwa pemerintah perlu menyelenggarakan pendidikan dasar dan Negara wajib membiayainya. Sampai berapa usia wajib belajar idak ditulis secara eksplisit dalam UUD 1945.

Eksplisitasi kriteria usia wajib belajar diatur melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 6 Ayat (1) menjelaskan usia wajib belajar untuk pendidikan dasar adalah usia 7 (tujuh) tahun sampai dengan usia 15 (lima belas) tahun. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 yang membagi 3 jenjang pendidikan formal, di mana usia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah usia masa sekolah di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama atau sederajat.

Harapan terwujudnya wajib belajar 12 semakin kecil keika pasal 34 UU Sisdiknas menegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ini semakin meneguhkan bahwa UU Sisdiknas secara paradigmaik memang hanya mengakomodasi program wajib belajar 9 Tahun.

Pada 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Di sini ada iik harapan tentang wajib belajar 12 tahun. Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Pusat, memberikan kebebasan kepada Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun atau perluasan dari program wajib belajar 12 tahun sebagaimana yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat melalui kebijakan yang terkandung di dalam UU Sisdiknas. Pasal 7 Ayat 4 menyatakan “Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah”. Kata “dapat” dalam pasal tersebut memberi ruang bagi Pemerintah Daerah untuk memilih melaksanakan penetapan kebijakan untuk meningkatkan


(31)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 11

jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah atau idak melakukannya. Jadi idak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan peningkatan program wajib belajar ke jenjang pendidikan menengah.

PP Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar tersebut telah

mendorong beberapa daerah untuk meningkatkan program

wajib belajar 9 tahun menjadi program wajib belajar 12 tahun, yakni ke jenjang pendidikan menengah. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat, misalnya melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009 menetapkan Program Wajib Belajar 12 (dua Belas) Tahun.

Sepuluh tahun sesudah disahkannya UU Sisdiknas, pemerintah meluncurkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2013. PMU disebut sebagai program rinisan wajib belajar 12 tahun. Program rinisan ini muncul untuk meningkatkan kemampuan daya saing bangsa. Dalam konsideran buir a Peraturan Menteri dinyatakan “bahwa dalam rangka menjaga kesinambungan pendidikan warga negara Republik Indonesia dan memperkuat daya saing bangsa, Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk melaksanakan Pendidikan Menengah Universal; program Pendidikan Menengah Universal dimaksudkan sebagai program rinisan wajib belajar 12 tahun. Alasan bonus demograis dan APK pendidikan menengah juga menjadi alasan diluncurkannya PMU. Dasar pokok perimbangannya adalah rendahnya APK pendidikan menengah yang hanya sebesar 78,7%, selain itu, kebijakan ini untuk

menganisipasi booming anak muda produkif (bonus demograi)

pada tahun 2035. Meskipun menjadi program rinisan Wajar 12 Tahun, Program PMU idak mencerminkan konsep pendidikan grais (free) dan wajib (compulsory). Program ini terbatas pada konsep universalitas yang bertujuan memberikan akses


(32)

seluas-luasnya bagi warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang lebih inggi seingkat SMA/SMK/MA dan sederajat. Karena itu, idak ada kewajiban pemerintah dalam rangka pembiayaan pendidikan menengah grais atau cuma-cuma sebagaimana program wajib belajar pendidikan dasar.

B. judicial Review dan Putusan mahkamah Konsitusi

Tidak kuatnya jaminan hukum bagi pelaksanaan Wajar 12

sebagai hak pendidikan warganegara membuat beberapa

warga negara berusaha mengajukan Judicial Review atas UU Sisdiknas yang membatasi jenjang usia pendidikan dasar hanya sampai 12 tahun atau wajib belajar 9 tahun. Tuntutan warga negara diwakili oleh Tim Advokasi Wajar 12 Tahun, terdiri dari 10 Lembaga Swadaya Masyarakat (NEW Indonesia atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia/JPPI, Indonesian Human Rights Commitee for Social Jusice/IHCS, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat/P3M, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil/ASPPUK, Yayasan Aulia, Yayasan Insan Sembada, Yayasan Pembinaan Anak dan Remaja Indonesia/ YAPARI, Yayasan LAKPESDAM, Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita, Perhimpuanan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, dan Yayasan Cerdas Bangsa serta 5 orang Pemohon Perseorangan Warga Negara Indonesia). Mereka semua, baik pemohon lembaga maupun perseorangan adalah lembaga dan orang-orang yang memiliki perhaian besar pada isu-isu pendidikan dan hak atas pendidikan.

Pada 05 September 2014 warga mengajukan Permohonan Judicial Review UU Sidiknas di Mahkamah Konsitusi. Gugatan ini pada ininya mempersoalkan dasar konsitusional pemberlakuan Program Wajib Belajar 12 Tahun. Para pemohon memandang bahwa program Wajib Belajar 9 Tahun yang kini


(33)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 13

dijalankan pemerintah telah usang dan keinggalan zaman. Para Pemohon mempersoalkan konsitusionalitas Pasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang idak diubah ketentuan batas usia wajib belajar dari “tujuh tahun sampai dengan 15 tahun” menjadi “tujuh tahun sampai dengan 18 Tahun”.

Mahkamah Konsitusi telah menanggapi permohonan JR ini dan Majelis Hakim Panel telah menggelar sidang pendahuluan sebanyak dua kali, yakni sidang pendahuluan pertama pada tanggal 07 Oktober 2014 dan sidang perbaikan permohonan pada tanggal 21 Oktober 2014.

Sejak saat itu, Mahkamah Konsitusi belum pernah lagi memanggil para pihak atau pihak Pemohon dalam perkara Uji Materi UU Sisdiknas tersebut. Namun, pada 05 Oktober 2015, Pihak Kepaniteraan MK telah mengabarkan kepada Tim Advokasi Wajar 12 Tahun bahwa Mahkamah Konsitusi akan segera menyidangkan kembali Perkara Uji Materi UU Sisdiknas yakni pada 07 Oktober 2015 dengan agenda mendengarkan Putusan. Mahkamah Konsitusi dalam amar putusannya “menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Pada pokoknya Mahkamah Konsitusi berpandangan bahwa terhadap permohonan para Pemohonan yang mendalilkan dan memohon di dalam peitumnya untuk memaknai “yang berusia tujuh sampai dengan delapan belas tahun wajib mengikui pendidikan dasar dan menengah” berari meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah, Mahkamah berpendirian bahwa program pendidikan minimal yang harus diikui warga Negara Indonesia merupakan tanggung

jawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) bagi pemerintah

dan pemerintah daerah”. (Paragraf (3.10.9), hal.52 Putusan Mahkamah Konsitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014).


(34)

Pendirian Mahkamah tersebut didasarkan pada pendapat Mahkamah yang menyatakan bahwa “Pasal 34 UU No.20/2003

yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah

menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang

pendidikan dasar tanpa memungut biaya sebagai bagian dari

kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan

untuk semua (educaion for all). Frasa “menjamin” arinya pemerintah dan pemerintah daerah harus merencanakan,

menyiapkan untuk membiayai dan memfasilitasi

terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar. Untuk terlaksananya jaminan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajar yang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Demikian pula bagi pemerintah daerah, penyelenggaraan program wajib belajar dimaksud ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. Terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Pemerintah telah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019”. (Paragraf (3.10.7) hal. 51 Putusan MK Perkara No. 92/PUU-XII/2014).

Menurut Mahkamah Konsituis, bahwa “Ketentuan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat

menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan


(35)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 15

lanjut pelaksanaan program wajib belajar sampai pendidikan menengah tersebut diatur melalui peraturan daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Pembentuk Peraturan Daerah di Provinsi Sumatera Selatan misalnya telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sekolah Grais di Sumatera Selatan. Dalam peraturan Daerah tersebut dimuat ketentuan bahwa seiap SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTS, SMA/SMALB/ MA, SMK, baik negeri maupun swasta mendapatkan biaya operasional sekolah dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Demikian pula misalnya di ingkat kabupaten, pembentuk Peraturan Daerah di Kabupaten Muaro Jambi telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2013 tentang SIstem Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Peraturan Daerah

tersebut dimuat ketentuan yang menjamin tersedianya dana

guna terselengaranya pendidikan bagi masyarakat yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun”. (Paragraf (3.10.8) Putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2014).

Atas dasar perimbangan ini, MK menyatakan bahwa permohonan para Pemohon idak beralasan menurut hukum. Karena itu, di dalam amar putusannya MK menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

Tim Wajar 12 tahun menganggap bahwa putusan ML mengandung kecerobohan, terburu-buru dan idak cermat dalam dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan oleh Tim Wajar 12 Tahun. Alasan Tim Wajar 12 tahun adalah sebagai berikut:

Pertama, meski Mahkamah di dalam putusannya telah menegaskan alasan serta dasar hukum tentang indakan Mahkamah Konsitusi yang memutus perkara permohonan pengujian UU Sisdiknas tanpa melalui persidangan pleno


(36)

(persidangan mendengarkan keterangan dan/atau risalah MPR, DPR, DPD dan Presiden serta Ahli dan Saksi) sebagaimana praktek hukum acara yang berlaku di MK, seperi terlihat pada Point 3 (iga) Perimbangan Hukum, Paragraf (3.8) di dalam perimbangan atas pokok permohonan, menguip Pasal 54 UU MK yang menyatakan “Mahkamah Konsitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan penguajian atas suatu undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau idak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung urgensi dan relevansinya. Oleh

karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup

jelas, Mahkamah memutus perkara a quo tanpa mendengar

keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. Akan tetapi, indakan ataupun pendirian Mahkamah bahwa Mahkamah telah memandang cukup jelas terhadap permasalahan hukum dan permohonan tersebut, justru menimbulkan banyak pertanyaan, karena ternyata Putusan yang telah dibacakan tersebut idak konprehensif serta menyeluruh, bahkan sangat dangkal memahami isu pendidikan khususnya terkait wajib belajar.

Sejak awal seperi tertera di dalam permohonan para pemohon, pemohon sudah menyadari bahwa memang dalam perkembangannya pemerintah dan pemerintah

daerah di beberapa daerah pada prakteknya sudah berupaya

meningkatkan program wajib belajar ke jenjang pendidikan menengah. Pemohon sudah mengelaborasi bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan telah meluncurkan program


(37)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 17

Pendidikan Menengah Universal sebagai program rinisan wajib belajar 12 Tahun. Di beberapa daerah sudah ada Peraturan Daerah yang memungkinkan diselenggarakannya program wajib belajar 12 Tahun. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa kondisi tersebut belum mencerminkan prinsip pendidikan dasar wajib belajar yang berlandaskan kepada Konsitusi serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta pendirian beberapa organisasi internasional di bawah ailiasi PBB tentang

pendidikan yang mengakui bahwa pendidikan dasar harus

bersifat wajib dan bebas biaya serta didasarkan pada sifat ani diskriminasi, sehingga perlu adanya tafsir ulang atas konsitusi bahwa Pasal 6 ayat 1 UU 20/2003 yang idak sejalan dengan prinsip wajib dan bebas biaya tersebut.

Kedua, keputusan tersebut ceroboh dan idak cermat dalam memutuskan hal pening yang bersifat inal dan mengikat, Mahkamah Konsitusi telah salah menguip Peraturan Perundangundangan terutama bahwa yang dikuip tersebut adalah UU yang diujikan yakni UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam salah satu amar putusannya

dikatakan bahwa “Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU 20/2003 menegaskan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi pendidikan menengah. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang sederajat”. (Halaman, 51, paragraf 3.10.6). Padahal jika kita melihat kepada UU 20/2003 dimaksud, Pasal yang dikuip oleh Mahkamah tersebut jelas sekali adalah ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), sementara ketentuan Pasal 4 adalah ketentuan mengenai Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, selengkapnya Pasal 4 Ayat (1) dan (2) UU No. 20/2003 berbunyi :


(38)

Pasal 4

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokrais dan berkeadilan serta idak diskriminaif dengan menjunjung inggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

2. Pendidikan diselenggarakan dengan satu kesatuan secara sistemik dengan sistem terbuka dan muli makna.

Keiga, konsistensi Mahkamah Konsitusi dipertanyakan. Mahkamah Konsitusi di dalam Putusan tersebut telah menguip tentang perlunya sistem pendidikan nasional yang harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan eisiensi manajemen

pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan

tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Mahkamah juga mengaskan bahwa UU 20/2003 telah menentukan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan , yakni pendidikan diselenggarakan secara demokrais dan berkeadilan serta idak diskriminaif dengan menjunjung inggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan secara sistemik dengan system terbuka dan muli

makna (Lihat, hal. 48 Putusan MK, paragraf 3.10.3). Namun dalam Putusan MK No.92/PUU-XII/2014, MK membiarkan dan bahkan melegiimasi penyelenggaraan pendidikan yang membiarkan anak-anak berusia sampai 18 tahun idak memperoleh jaminan pendidikan yang bebas dari Negara. Perilaku diskriminaif dan idak adil ini melanggar HAM, terutama hak-hak anak dalam memperoleh pendidikan berkualitas seperi dijamin dalam Konsitusi kita.


(39)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 19

Ketentuan Pasal 6 ayat 1 UU 20/2003 diskriminaif bagi anak usia 16 tahun sampai 18 tahun karena mereka sebagai kategori anak idak mendapatkan hak untuk mengikui pendidikan dasar dan Negara membiayainya sebagaimana ketentuan bagi anak berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun. Ketentuan larangan perbuatan diskriminaif terhadap anak termaktub dengan jelas di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Seiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Keempat, Putusan tersebut juga janggal. Mahkamah Konsitusi setelah menyatakan bahwa program pendidikan minimal yang harus diikui oleh warga Negara Indonesia merupakan

tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) bagi pemerintah

dan pemerintah daerah, Mahkamah kemudian melanjutkan

dengan; “Hal pening dalam kebijakan (legal policy) tersebut

sesuai dengan asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yaitu asas dapat dilaksanakan (vide, Pasal 5 Huruf d

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). MK menyatakan bahwa ssas ini merupakan iik tolak dan tolok ukur untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan. Pemerintah, Pemerintah

daerah dan masyarakat mengharapakan jaminan tercapainya

hasil atau akibat yang diimbulkan oleh suatu peraturan undangan, karena suatu peraturan perundang-undangan yang idak dapat dilaksanakan baik karena sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran yang belum disiapkan secara baik, selain akan menggerogoi marwah lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan juga akan menimbulkan kekecewaan pada harapan masyarakat.

Perimbangan terakhir tersebut idak jelas mengacu pada siapa, apakah MK bermaksud memberikan catatan atau pesan bagi para pembuat UU atau PP serta Perda dalam membuat


(40)

kebijakan terkait wajib belajar 12 tahun sebagaimana digariskan oleh MK sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pemerintah dan pemerintah daerah, atau sebagai bentuk penegasan Mahkamah Konsitusi terhadap penolakan permohonan para Pemohon bahwa MK idak bisa menentukan bahwa kebijakan wajib belajar 12 tahun yang diinginkan pemohon apakah konsitusional atau idak, karena MK takut jika putusannya mengabulkan permohonan pemohon, Pemerintah akan terbebani dengan sarana, prasarana, sumber daya dan anggaran yang harus disiapkan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib belajar 12 tahun. Padahal, jika saja MK menggelar persidangan yang menghadirkan Presiden, DPR, DPD dan para stakeholder yang bergerak di bidang pendidikan, seyogyanya persoalan tersebut bisa digali dan dielaborasi lebih jauh, apakah pemerintah telah memenuhi syarat untuk menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman,

serta kebutuhan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan

tututan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Terakhir, Mahkamah Konsitus juga telah melakukan seidaknya membiarkan keidakpasian hukum bagi para Pemohon, karena memperlambat pembacaan putusan yang sejainya sebenarnya putusan tersebut telah dihasilkan rumusannya sejak satu hari pasca persidangan pendahuluan kedua, (perbaikan permohonan), yakni berdasarkan sidang Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tertanggal 22 Oktober 2014 yang lalu, dan masih dipimpin oleh Hakim Ketua Hamdan Zoelfa. Ini sesuai dengan kalimat penutup dalam putusan tersebut.

c. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:


(41)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 21

1. Pendidikan pada hakikatnya merupakan hak asasi seiap warga Negara yang telah dijamin oleh konsitusi dan sumber hukum internasional seperi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Pada saat yang sama, seiap warga Negara berkewajiban untuk mengikui pendidikan dasar dan Negara wajib untuk membiayainya.

2. Pendidikan dasar merupakan pendidikan fundamental bagi

seiap warga Negara yang seharusnya bersifat grais (free),

wajib (compulsory), dan universal.

3. Program wajib belajar 12 Tahun (Usia 7-18 tahun) merupakan kebutuhan obyekif bangsa untuk meningkatkan kualitas

manusia Indonesia dewasa ini dan masa mendatang

dalam mewujudkan tujuan bernegara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Peraturan perundang-undangan yang mendorong

program wajib belajar 12 tahun, belum memadai untuk penyelenggaraan pendidikan yang universal dan bermutu serta dalam kerangka menjawab tantangan kehidupan sesuai perkembangan zaman.

d. Rekomendasi

1. Kepada para Pembuat Undang-undang, yakni Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, untuk segera melakukan revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, karena sudah idak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan global, khususnya terkait dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat perihal peningnya Negara utamanya Pemerintah meningkatkan program wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun. Hal ini perlu segera dilakukan, mengingat peningnya persoalan pendidikan ini serta keiadaan payung


(42)

hukum bagi pemerintah sebagai eksekutor atau pelaksana Undang-undang dalam menjalankan program wajib belajar 12 tahun.

2. Bagi Pemerintah (Pusat), sebagai bentuk respon cepat atas putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2004, yang memandatkan bahwa kebijakan program wajib belajar 12 tahun adalah kebijakan hukum terbuka bagi Pemerintah, perlu segera melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Beberapa di antaranya atau utamanya revisi tersebut dilakukan terhadap:

a. Pasal 1 Ayat (2). “Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang

sederajat”, diubah menjadi “Pendidikan dasar adalah

jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan

yang lebih inggi, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan

Madrasah Ibidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA) atau bentuk lain yang sederajat”.

b. Pemerintah juga perlu menambahkan satu ayat lagi di dalam Pasal 1 tersebut, yakni di antara ayat 6 dan 7

dengan menambahkan, “Sekolah Menengah Atas yang

selanjutnya disebut SMA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI, SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari


(43)

PETA REgULASI KEbIJAKAN PENDIDIKAN

 23

hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP, MTS. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI,SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS. Madrasah Aliyah selanjutnya disebut MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan Agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SMP,MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS.

c. Pasal 3 ayat (2). “Penyelenggaraan wajib belajar

pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang melipui SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat”. Diubah menjadi, “Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang melipui SD, MI, SMP, MTs,SMA,SMK,MA dan bentuk lain yang sederajat”.

d. Pasal 7 ayat 4 “Pemerintah daerah dapat menetapkan

kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib

belajar sampai pendidikan menengah”. Diubah menjadi

“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib belajar yang mencakup pendidikan menengah


(44)

(45)

mENDORONg TATA KELOLA

Sekolah Bebas Pungutan dalam Rangka

Pencapaian Wajar 12 Tahun

m

emperoleh pendidikan bermutu dan grais adalah hak

seiap warga negara. Program Wajar 9 tahun merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah dalam memberikan hak-hak dan jaminan pendidikan warga negara. Meski sudah hampir berhasil melaksanakan Wajar 9 tahun, semangat untuk menuju Wajar 12 tahun belum mendapat dukungan opimal dari pemerintah sampai tahun 2013. Hambatan terpenuhinya hak pendidikan warga negara melalui kebijakan Wajar 12 tahun terjadi karena persoalan ekonomi, akuntabilitas sekolah, dan maraknya pungutan liar yang semakin membebani masyarakat. Revitalisasi tata kelola sekolah bisa menjadi kebijakan yang mendorong terwujudnya wajib belajar 12 tahun.

Data tentang pemerataan pembangunan pendidikan di daerah menunjukkan bahwa sebanyak 146 kabupaten/kota (29,4%) masih memiliki APM SD di bawah 95%, dan 169 kabupaten/kota (34%) masih memiliki APK SMP dibawah 95%. Dari sisi ekonomi angka parisipasi penduduk usia 13-15 tahun masih inggi (untuk kuanil 1; 81,0%, kuanil 2;88,8%, kuanil 3;92,3%, kuanil 4;93,9% dan kuanil 5;94,9%).


(46)

a. latar Belakang ekonomi

Faktor ekonomi menjadi persoalan serius dalam menyukseskan Wajar baik 9 tahun maupun Wajar 12 tahun. Sekolah menjadi barang mahal yang idak bisa terjangkau oleh sebagian warga negara. Mengatasi persoalan ekonomi dan pembiayaan inggi atas penyelenggaraan pendidikan merupakan faktor pening bagi perbaikan pendidikan. Kebijakan pembiayaan pendidikan seharusnya menjadi perhaian tersendiri dalam rangka menghapus secara sistemais beban-beban pendidikan yang sering diterima peserta didik. Beban-beban pendidikan untuk kelompok masyarakat rentan akan menyebabkan kesenjangan baru, bahkan menjadikan mereka terjerembab pada kemiskinan baru, bila pemerintah idak segera mengatasinya.

Beberapa faktor ekonomi penyebab terheninya pendidikan bagi warga negara di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Angka Putus Sekolah

Berdasarkan data kemiskinan terbaru per tanggal 15 September 2015 yang dirilis oleh Badan Pusat Staisik (BPS) jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 28,59 juta orang atau (11,22%) atau bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 sebesar 27,73 juta orang (10,96%). Kemiskinan menjadi salah satu ancaman terbesar atas keberlanjutan pendidikan dasar bagi anak-anak usia belajar terutama kelompok sosial miskin dan marjinal. Tingkat pendapatan yang sangat rendah akan membuat Rumah Tangga Miskin (RTM) akan

lebih mengalokasikan belanja out of pocket ke pemenuhan

pangan, daripada pendidikan anak-anak dari rumah tangga tersebut.


(47)

mENDORONg TATA KELOLA

 27

Berbagai upaya seperi program-program bantuan sekolah, BOS, BOM, tunjangan profesi, seriikasi, beasiswa pendidikan, DAK dan DBH Pendidikan, DAU Pendidikan serta Dana Otonomi Khusus Pendidikan sudah dilakukan. Namun, permasalahan kemiskinan tetap menjadi salah satu alasan klasik yang menyebabkan masih ingginya angka putus sekolah.

Berdasarkan data BPS tahun 2011/ 2012 dengan proyeksi jumlah penduduk tercatat angka putus sekolah adalah sebagai berikut; 0.90 untuk anak SD, 1.57 untuk anak SMP dan 2.20 untuk anak SMA. Nampak seiring dengan Angka Parisikasi Kasar (APK) untuk 3 tahun sebelumnya yakni ;

Tahun SD/MI/ Paket A SMP/Mts/ Paket B SM/SMK/MA/ Paket C 2011 102.57 89.83 64.90 2012 104.33 89.49 68.80 2013 107.71 85.96 66.61 2014* *(Belum keluar)

Sumber: BPS-RI, Susenas 2003-2013

Ada implikasi yang masih berlanjut dari angka putus sekolah tersebut. Presentase idak melanjutkan ke jenjang berikutnya menjadi inggi yakni sebagai berikut; SD ke SMP (18,34%), SMP ke SMA (6,83%) dan SMA ke jenjang Perguruan Tinggi (51.59%). Jika menghitung target Wajar 12 tahun dari jenjang SD ke SMP dan jenjang SMP ke SMA, maka angka (18,34%) dan (6,83%) adalah angka yang sangat besar untuk mengejar terpenuhinya Wajar 12 tahun. Jika dihitung dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama 2012 untuk anak-anak yang idak/belum bersekolah pada semua usia dari 3-23 tahun, jumlah itu adalah 30.639.393 orang. Ini merupakan jumlah yang mengkhawairkan bagi


(48)

keberlanjutan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Terlepas dari jumlah anak yang masih bisa melanjutkan sekolah, permasalahan angka putus sekolah perlu dimaknai sebagai permasalahan krusial yang seiap tahun perlu dicarikan solusi kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan tersebut. Ada sesuatu yang belum berjalan baik terkait proses pembiayaan pendidikan di Indonesia.

2. Pembiayaan Pendidikan Mahal

Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 sudah mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN atau APBD di luar pendidikan kedinasan, namun mandat ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Amanat 20 persen alokasi APBD untuk pendidikan di daerah belum terwujud. Tidak semua daerah mampu secara konsisten mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD, terutama dalam rangka menggraiskan biaya pendidikan Wajar 9 tahun, apalagi Wajar 12 tahun.

Pemerintah telah mengeluarkan dana untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang angkanya selalu mengalami kenaikan untuk pembiayaan per siswa (SD & SMP) per tahun. Tahun 2015 dana yang dialokasikan untuk BOS Siswa SD mencapai Rp 800.000,- Per siswa/tahun, sedangkan untuk siswa SMP mencapai Rp 1.000.000,- Per siswa/tahun. Meskipun idak menutupi 100 persen biaya operasional siswa, namun angka ini cukup signiikan membiayai lebih dari 70 persen kebutuhan operasional sekolah. BOS lebih banyak dipergunakan untuk membiayai kebutuhan operasional non personalia.


(49)

mENDORONg TATA KELOLA

 29

3                             ‐                                                                                                                                     ‐                                                                                                                               

235,000 254,500 400,000 400,000

570,000 580,000 800,000 324,000 354,000 575,000 575,000

710,000 710,000 1,000,000

2005 & 2006

2007&2008 2009& 2010

2011 2012 2013 & 2014

2015

Perkembangan Dana BOS

Tahun 2005-2015

SD/M SMP/SMPLB/SMPT/Satap

Sumber: Juknis BOS Kemendikbud (Diolah)

Sejak 2013, Pemerintah bahkan mulai menggulirkan BOS untuk SMA dan sederajat. Besaranya adalah BOS sebesar Rp 1.000.000,-. Adanya BOS seidaknya mengurangi beban pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik.

Permasalahan di hulu terkait dengan pembiayaan pendidikan adalah Standar Satuan Biaya pendidikan. Meskipun sudah ada aturan melalui Permendiknas No. 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Non Personalia Tahun 2009 untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibidaiyah (SD/ MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), namun peraturan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam rangka menerapkan kebijakan pendidikan dasar


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Baidowi, Ahmad, dkk., (2015), Potret Pendidikan Kita, PT. Pustaka

Alvabet, Jakarta

Budiwai, Nei,.(tanpa tahun)

Bahan Kuliah Pembiayaan Pendidikan.

Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.

Farhan, Yuna., dkk,.(2012). Laporan Analisis Anggaran Daerah

2008-2011: Temuan-Temuan Hasil Studi Pengelolaan

Anggaran di 20 Kabupaten/ Kota Parisipan Program

KINERJA. The Asia Foundaion – Seknas FITRA. Jakarta.

Hasbullah. (2015). Kebijakan Pendidikan, Jakarta; Raja Graindo.

http://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anak-berkebutuhan-khusus-belum-nikmai-pendidikan

http://www.budhii.web.id/2015/05/pengertian-pendidikan-inklusi.html

https://fuadinotkamal.wordpress.com/2011/04/12/pendidikan-inklusif/

http://www.pokjainklusifbojonegoro.com/about-us/apa-itu-pendidikan-inklusif


(2)

PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

 148

NEW Indonesia, Bina Swadaya Konsultan, LP3ES. (2014). Hasil Studi

Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun di Indonesia. Jakarta.

NEW Indonesia (2015),

Bahan Presentasi Pendidikan 12 tahun di

Komisi 10 tentang Pendidikan, idak diterbitkan.

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis

Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun

2015-2019.

Prayitno, Hadi,. (2015).

“Polemik Kebijakan Ujian Nasional dan

Kurikulum 2013”; dipresentasikan dalam Diskusi Temaik

tentang Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional, yang

diselenggarakan oleh Yayasan Pembinaan Anak dan

Remaja Indonesia (YAPARI) dan NEW Indonesia pada 26

Februari 2015

Prayitno, Hadi,. (2015). Analisis Anggaran Pendidikan 16 Kabupaten

dan 4 Kota tahun 2010 – 2014 (Tidak Dipublikasikan). Mei,

2015

P3M (2014), Laporan Workshop Pendidikan Inklusi, idak diterbitkan.

Republik Indonesia, Sekretariat Kabinet. (2015). Peraturan Presiden

Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015). Jakarta,

Januari.

Republik Indonesia, Sekretariat Kabinet. (2015).

Peraturan

Presiden Nomor 36 tahun 2015 tentang Rincian Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56 Tahun

2015). Jakarta, Maret.


(3)

Republik Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

(2015).

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Nomor 22 tahun 2015 tentang Rencana Strategis

2015-2019 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 923 tahun

2015). Jakarta, Juni.

Rusdiana (2015). Kebijakan pendidikan dari ilosois ke Implemetasi,

Bandung; Pustaka Seia.

Sunaryo. (2009), Makalah Manajemen Pendidikan Inklusif

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak

Zamroni, Prof., Ph.D., dkk. (2010). Laporan Hasil Studi Esimasi

Anggaran Pendidikan Dasar melalui Penghitungan

Unit

Cost Guna Mewujudkan Pendidikan Terjangkau di Daerah

Isimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Negeri

Yogyakarta.


(4)

PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA


(5)

achmad Ikrom adalah sarjana Hauzah Ilmiyah Qum Iran (2005-2007) dan sedang menyelesaikan Pasca Sarjana Jurusan Komunikasi Dakwah Universitas Syai’iah (UIA) Jakarta. Saat ini menjadi Dosen di STAINU Jakarta dan menjadi pengajar di beberapa pesantren. Selain itu, juga sebagai akivis dialog antar agama dan sering mengisi seminar-seminar tentang pendidikan dan anak. Ia juga akif di Organiasi keagamaan sebagai Kaib Syuriah PCNU Kab Bogor (2015-2019). Penulis dapat dihubungi melalui email: mullah.ahmad@gmail.com

achmad Tauik, mulai mengelui dunia anggaran sejak masih duduk di bangku kuliah di semester akhir. Sejak 2009 hingga Oktober 2015, akif di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Penulis selalu terlibat dalam analisis anggaran, baik level APBN maupun APBD dalam kajian dan peneliian anggaran yang dilakukan oleh FITRA, baik sebagai penelii maupun sebagai analis data. Sektor anggaran yang digelui adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur (pekerjaan umum), kemiskinan, pemberdayaan perempuan, dan terakhir anggaran yang berkaitan dengan perubahan iklim dan keterbukaan informasi. Penulis dapat dihubungi melalui email: opikcumin@gmail.com

doni Koesoema a. Adalah pemerhai pendidikan, penulis buku dan pengembang pendidikan karakter utuh dan menyeluruh dalam konteks keindonesiaan, alumnus Boston College Lynch School of Educaion Boston, USA, dengan spesialisasi Curriculum and Instrucion. Ia mendalami pedagogi pengembangan profesional dan spiritualitas di Universitas Gregoriana dan Salesiana, Roma, Italia. Ia banyak menulis arikel pendidikan di harian nasional Kompas, Media Indonesia dan Sinar Harapan. Buku yang telah diterbitkan antara lain, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, edisi revisi (Grasindo, 2015), Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter, Edisi Revolusi Mental (Grasindo, 2015), Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, edisi revisi (Kanisius, 2015), Strategi Pendidikan Karakter dalam Lembaga Pendidikan (Kanisius, 2015). Ia menjadi pendiri dan direktur Pendidikan Karakter Educaion Consuling (www.pendidikankarakter.org). Doni dapat dihubungi di email: pendidikankarakter@gmail.com

Febri hendri aa adalah akivis anikorupsi yang tergabung dalam ICW (Indonesia Corrupion Watch). Saat ini, dia bergabung dalam divisi Invesigasi. Sebelumnya, pada tahun 2010 Febri Hendri berada pada divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW yang fokus pada permasalahan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Pengalaman menangani masalah dan kebijakan pendidikan menjadikannya memahami seluk beluk pendidikan mulai dari kebijakan diingkat nasional sampai pada masalah pendidikan diingkat provinsi, kabupaten/kota, sekolah bahkan guru dan orang tua murid. Saat ini, Febri Hendri bergabung dengan KMSTP (Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan) yang berisikan CSO (Civil Society Organizaion) yang peduli dengan isu pendidikan. Penulis dapat dihubungi melalui email: febri_ hendri@anikorupsi.org


(6)

PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA

 152

hadi Prayitno, Lahir di Tuban, 21 Februari 1982. Merupakan alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Pernah bekerja di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) tahun 2009-2015. Mengikui program-program di ingkat internaional yaitu: (1) Internaional Workshop and Exchange Programme on Social Audit. SSAAT – Department of Rural Development, Government of Andhra Pradesh, India 2011; (2) Strategic Management and Leadership yang diselenggarakan oleh Harvard Kennedy School of Execuive Educaion di University of Navara, Madrid – Spain tahun 2012; (3) Asian Regional Conference on Social Accountability in Municipal Governance. Held by PRIA India, SILAKA Cambodia and PRIP Trust Bangladesh, Phnom Penh, Cambodia, 2013; (4) Budget Advocacy and Monitoring Workshop for CSOs in Southeast Asia Countries. Held by Internaional Budget Partnership and The Ford Foundaion, Jakarta, Indonesia, 2013; (5) Regional Technical Workshop on Climate Responsive Budgeing. Held by UNDP – IBP – Sweden Embassy and UKAid in Bangkok, Thailand on 2014; dan (6) Internaional Workshop on The Role of Think Tank in Policy Making. Held by Shanghai Academy of Social Sciences (SASS) and School of Public Policy and Management (SPPM), Tsinghua University – KSI Indonesia, Shanghai and Beijing on May 2015

Ridwan darmawan, sejak Mahasiswa akif di organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, PMII, Keluarga Mahasiswa UIN Jakarta, Forum Kota, Sanggar Altar, Forum Studi Academia Ciputat. Akif menulis di Media internal UIN “Fajar Baru Indonesia” (FBI). Selepas kuliah, ia melanjutkan akivitas di PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) 2004 - 2007, lalu mendirikan organisasi IHCS (Indonesian Human Rights Commitee for Social Jusice) 2007. Saat ini (2014-2017) menjadi Ketua Eksekuif IHCS. Sebagai anggota PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), ia juga akif sebagai Ketua Bidang Pengkajian dan Peneliian Hukum pada Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) 2014-2019. Dan hingga kini akif membela hak-hak Konsitusional warna negara di Mahkamah Konsitusi (MK) dan di ranah advokasi lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui email: bogsdarmawan97@gmail.com

Rohidin Sudarno, saat ini akif di PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) sebagai

Senior Adviser. Berpengalaman lebih dari 15 tahun di lembaga swadaya masyarakat dalam berbagai isu, seperi kemiskinan, kebijakan dan pelayanan public, dan anggaran daerah dan nasional. Memiliki pengalaman dalam desain riset, manajemen keuangan dan mengorganisir komunitas. Penulis juga banyak terlibat dalam beberapa pelaihan di ingkat internasional, di antaranya: Training A Regional Forum on Procurement Monitoring as a Social Accountability Tool Advancing Ciizens’ Engagement with Government, Ailiated Network for Social Accountability in East Asia and the Paciic (Hong Kong, 2009), Training of Social Audit (India, 2011), Workshop and Working Meeing Integrity and Accountability Method (Washington DC and New York, USA, 2012). Penulis dapat dihubungi melalui email: roi@pairo.org

Supangat Rohani, lebih dari 15 tahun berdedikasi di dunia pendidikan, mulai mengajar dari Guru kursus bahasa inggris di Yogyakarta hingga Direktur Perguruan Islam Al Syukro Universal Dompet Dhuafa Jakarta, dengan latar pendidikan formal S1 & S2 di (UIN) Sunan Kalijaga dan S2 lagi di UGM Yogyakarta dan S3 di UPI Bandung, pengalaman lainnya seperi short course pendidikan di McGill University, Canada & Sydney University, Australia, serta pendampingan siswa di event internasional seperi Turkey, Malaysia, Singapura dan Thailand. Penulis dapat dihubungi melalui email: faatugm@yahoo.com