xviii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ergonomi adalah suatu cabang ilmu yang memanfaatkan informasi- informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam rangka
membuat sistem kerja yang ENASE efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien. Ergonomi dan K3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Keduanya mengarah kepada tujuan yang sama yakni peningkatan kualitas kehidupan kerja quality of working life sehingga ada
ungkapan “without ergonomics, safety management is not enough”.
Keselamatan dan kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi naluri dari setiap makhluk hidup. Sejak manusia bermukim di muka bumi
ini, secara tidak sadar mereka berusaha melindungi diri dari segala bahaya yang ada di sekitar hidupnya. Manusia mempertahankan kehidupan dengan berbagai
macam cara. Zaman dahulu, manusia tinggal di pohon tinggi untuk melindungi diri dari serangan binatang buas. Seiring berjalannya waktu, tantangan dan potensi
bahaya semakin banyak dan beranekaragam, bahkan bahaya itu muncul akibat ulah manusia itu sendiri man made hazards.
Berbagai macam potensi bahaya tersebut bisa juga dijumpai dalam lingkungan tempat kerja. Penggunaan mesin, alat kerja, material kerja dan
xix
kegiatan produksi berpotensi mengancam keselamatan para pekerja. Di zaman modern seperti sekarang ini, keselamatan menjadi tuntutan dan kebutuhan umum
Soehatman, 2010. Kenyataannya, kecelakaan kerja masih terjadi di berbagai perusahaan yang secara administratif telah lulus comply audit sistem manajemen
K3. Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja yang menimbulkan
korban jiwa, kerusakan materi dan gangguan produksi. Tahun 2007, menurut Jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang
meninggal, 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera. Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota Jamsostek dengan
jumlah peserta sekitar 7 juta orang atau sekitar 10 dari seluruh pekerja Indonesia. Dengan demikian, angka kecelakaan mencapai 930 kejadian untuk
setiap 100.000 pekerja setiap tahun. Oleh karena itu, jumlah kecelakaan keseluruhannya diperkirakan jauh lebih besar. Bahkan menurut World Economic
Forum tahun 2006, angka kematian akibat kecelakaan kerja di Indonesia mencapai 17-18 untuk setiap 100.000 pekerja Soehatman, 2010.
Anas Zaini Z Iksan selaku Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja A2K4 mengatakan setiap tahun terjadi 96.000 kasus
kecelakaan kerja. Dari jumlah ini, sebagian besar kecelakaan kerja terjadi pada proyek jasa konstruksi dan sisanya terjadi di sektor industri manufaktur
Bataviase, 2010. Hasil penelitian yang diadakan ILO Organisasi Perburuhan Internasional mengenai standar kecelakaan kerja menyatakan
bahwa Indonesia menempati urutan ke-152 dari 153 negara yang ditelitinya.
xx
Ini berarti, begitu buruknya masalah kecelakaan kerja di Indonesia Portal Nasional Republik Indonesia, 2010.
Heinrich dalam Soehatman, 2010 menyebutkan 10 aksioma mengenai kecelakaan kerja, yaitu : 1 kecelakaan merupakan rangkaian
proses sebab dan akibat. Tidak ada kecelakaan yang hanya disebabkan oleh faktor tunggal, namun merupakan rangkaian sebab akibat yang saling
terkait; 2 sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh faktor manusia dengan tindakannya yang tidak aman yang menurut penyelidikan mencapai
85 dari seluruh kecelakaan; 3 kondisi tidak aman dapat membahayakan dan menimbulkan kecelakaan; 4 tindakan tidak aman dari seseorang
dipengaruhi oleh tingkah laku, kondisi fisik, pengetahuan dan keahlian serta kondisi lingkungan kerjanya; 5 upaya pencegahan kecelakaan harus
meliputi berbagai usaha; 6 keparahan suatu kecelakaan berbeda satu sama lain; 7 program pencegahan kecelakaan harus sejalan dengan program
lainnya dalam organisasi; 8 pencegahan kecelakaan atau program kesehatan dalam organisasi tidak akan berhasil tanpa dukungan dan peran
serta manajemen puncak dalam organisasi; 9 pengawasan merupakan unsur kunci dalam program K3; dan 10 usaha keselamatan menyangkut
aspek ekonomis.
H.W. Heinrich juga mengemukakan penyebab kecelakaan berdasarkan Teori Dominonya, yaitu a tindakan tidak aman dari manusia unsafe act,
misalnya tidak menggunakan alat keselamatan dalam bekerja, melepas alat pengaman atau bekerja sambil bergurau. Tindakan ini dapat membahayakan
xxi
dirinya maupun orang lain yang berujung pada kecelakaan; b kondisi tidak aman unsafe condition yaitu kondisi di lingkungan kerja baik alat, material, atau
linkungan tidak aman dan membahayakan. Misalnya tangga yang mudah patah, lantai yang licin dan kebisingan yang melampaui batas.
Menurut Jojo Bagyo, Kepala Pusat Penyelenggaraan Konstruksi BPKSDM Departemen Pekerja Umum, kecelakaan kerja terjadi paling banyak disebabkan
oleh kesalahan manusia human error, baik dari aspek kompetensi para pelaksana konstruksi maupun pemahaman arti pentingnya penyelenggaraan Keselamatan
dan Kesehatan Kerja BPKSDM, 2006. Hal senada juga dikemukakan oleh Suma’mur 1995 yang menyatakan bahwa 85 penyebab kecelakaan adalah
faktor manusia. BPKSDM 2006 menyimpulkan bahwa beberapa faktor penyebab terjadi
kecelakaan baik yang telah menimbulkan korban jiwa maupun luka-luka sebagai terjadinya kegagalan konstruksi yang antara lain disebabkan tidak dilibatkannya
ahli teknik konstruksi, penggunaan metode pelaksanaan yang kurang tepat, lemahnya pengawasan pelaksanaan konstruksi di lapangan, belum sepenuhnya
melaksanakan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang menyangkut K3 yang telah ada, lemahnya pengawasan penyelenggaraan K3, kurang memadainya
baik dalam kualitas dan kuantitas ketersediaan peralatan pelindung diri APD dan kurang disiplinnya para tenaga kerja di dalam mematuhi ketentuan mengenai K3
yang antara lain pemakaian alat pelindung diri kecelakaan kerja.
xxii
Tingginya angka kecelakaan pekerja mendorong berbagai kalangan berupaya meningkatkan perlindungan bagi pekerja. Salah satunya adalah
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Manusia bukan merupakan alat, tetapi adalah aset perusahaan yang sangat berharga yang harus dilindungi. Maka
dari itu, usaha-usaha keselamatan selain ditujukan kepada mekanik, juga harus memperhatikan secara khusus aspek manusiawi. Salah satu perlindungan kepada
karyawan adalah perlindungan secara fisik. Tenaga kerja harus memperoleh perlindungan dari berbagai hal di lingkungan sekitarnya yang dapat menimpa dan
mengganggu dirinya serta pelaksanaan pekerjaannya. Salah satu cara pencegahan kecelakaan yang terbaik adalah peniadakan bahaya seperti pengamanan mesin.
Namun hal itu tidak mungkin. Oleh karena itu karyawan perlu diberikan alat pelindung diri.
Perkembangan sejarah alat perlindungan diri sejalan dengan penggunaan pengamanan. Pada masa silam, ketika teknologi mulai berkembang, desain alat-
alat proteksi diri sama sekali tidak memadai atau tenaga kerja tidak memakainya sama sekali oleh karena mereka lebih senang tanpa perlindungan. Hal ini bisa
berakibat terjadinya kecelakaan pada kepala, mata, kaki dan sebagainya. Sekarang pun, alat-alat perlindungan diri masih dianggap oleh tenaga kerja sebagai
mengganggu pelaksanaan kerja Suma’mur, 1995. Kurang disiplinnya para tenaga kerja di dalam mematuhi ketentuan dalam
penggunaan atau pemakaian alat pelindung diri biasanya karena alasan sepele, misalnya pekerja tidak memakai kacamata saat mengelas, sehingga kerap terjadi
sesuatu yang merugikan dirinya sendiri. Rendahnya kesadaran pekerja dalam
xxiii
menggunakan APD karena dianggap mengurangi feminitas, terbatasnya faktor stimulan pimpinan, dan karena tidak enak dan kurang nyaman juga merupakan
alasan mengapa tidak disiplinnya karyawan dalam menggunakan APD. Hasil wawancara Safety News Alert dengan 290 orang Safety Officer mengenai alasan
pekerja yang tidak memakai APD saat bekerja menyatakan bahwa 30 karyawan tidak menggunakan APD karena merasa tidak nyaman dan tidak cocok, 10
karyawan mengatakan tidak tahu jika harus menggunakan APD, 18 mengatakan menggunakan APD hanya membuang-buang waktu saja, 8 mengatakan tidak
akan celaka jika tidak menggunakan APD dan 34 mengatakan lupa menggunakan APD. Ini menyimpulkan bahwa desain APD yang menimbulkan
ketidaknyamanan saat digunakan sangat mempengaruhi disiplin tidaknya karyawan dalam menggunakan APD.
Daniel M. Colyer 1991 menyatakan disiplin pada umumnya termasuk dalam aspek pengawasan yang sifatnya lebih keras dan tegas hard and coherent.
Dikatakan keras karena ada sanksi dan dikatakan tegas karena adanya tindakan sanksi yang harus dieksekusi bila terjadi pelanggaran. Disiplin juga dikaitkan
dengan sangsi atau hukuman. Contohnya: bagi karyawan yang tidak menggunakan APD apapun alasannya akan dikenakan sanksi. Pemberian reward,
punishment, pengawasan dan tindakan pendisiplinan dari perusahaan kepada karyawan untuk mendisiplinkan karyawan dalam menggunakan APD sangat
diperlukan. Hakim 2004 mengemukakan hasil penelitiannya yang berjudul “Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Penggunaan APD oleh Pekerja Radiasi
xxiv
pada Instansi Radiologi Rumah sakit di Wilayah Palembang” bahwa pola pengawasan terhadap karyawan mempengaruhi karyawan dalam menggunakan
APD. Fasilitas APD yang disediakan harus sesuai dengan standar, serta dilakukan sosialisasi masalah kebijakan tentang penggunaan APD dan meningkatkan pola
pengawasan sehingga pekerja termotivasi untuk menggunakan APD pada saat mereka bekerja. Oleh karenanya perlu dipikirkan keseimbangan antara pemberian
sanksi dengan penghargaan yang bersifat individu terhadap pekerja yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap pengunaan APD.
Disiplin pada dasarnya merupakan tindakan manajemen untuk mendorong agar para anggota organisasi dapat memenuhi berbagai ketentuan dan peraturan
yang berlaku dalam suatu organisasi, yang di dalamnya mencakup: 1 adanya tata tertib atau ketentuan-ketentuan; 2 adanya kepatuhan para pengikut; dan 3
adanya sanksi bagi pelanggar. Perusahaan harus mampu memotivasi bawahan agar dalam pelaksanaan kegiatan dapat sesuai dengan tujuan perusahaan yang
diinginkan. Kerjasama sangat diperlukan dalam perusahaan sebab dengan kerjasama yang baik segala persoalan dapat dipecahkan dengan mudah serta
membuat lebih betah dalam bekerja. Niat untuk mentaati peraturan merupakan suatu kesadaran yang disadari
unsur ketaatan untuk mencapai tujuan perusahaan. Hal itu berarti sikap dan perilaku didorong adanya kontrol diri yang kuat. Artinya, sikap dan perilaku
untuk mentaati peraturan perusahaan muncul dari dalam dirinya Suryohadiprojo, 1989. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, dan
kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan mempunyai
xxv
disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku, tetapi juga mempunyai kehendak niat untuk menyesuaikan diri dengan
peraturan-peraturan perusahaan. Disiplin dapat diartikan sebagai sikap menghargai, patuh, taat terhadap
peraturan dan tata tertib yang berlaku di tempat kerja yang dilakukan secara rela dengan penuh tanggung jawab dan siap untuk menerima sangsi jika melanggar
tugas dan wewenang Novitasari, 2008. Setiap perusahaan yang hendak hidup tertib dan teratur memerlukan sikap dan perilaku pada karyawannya dalam
berdisiplin. Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, 1990 mendefinisikan disiplin
sebagai suatu proses bekerja yang mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri. Jerry Wyckoff dan Barbara C. Unel, 1990 juga menyebutkan bahwa disiplin
kerja adalah kesadaran, kemauan dan kesediaan kerja orang lain agar dapat taat dan tunduk terhadap semua peraturan dan norma yang berlaku, kesadaaran kerja
adalah sikap sukarela dan merupakan panggilan akan tugas dan tanggung jawab bagi seorang karyawan. Karyawan akan mematuhi atau mengerjakan semua
tugasnya dengan baik dan bukan mematuhi tugasnya itu dengan paksaan. Menurut Hogdes, disiplin dalam arti yang positif sebagai sikap seseorang
atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah diterapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja adalah suatu sikap
dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan perusahaan dalam Yuspratiwi, 1990. Disiplin dapat diartikan sebagai suatu sikap
xxvi
menghargai, menghormati, patuh dan taat terhadap peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak
mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenangan yang diberikan kepadanya Sastrohadiwiryo, 2002. Dengan disiplin
yang baik akan memudahkan perusahaan dalam mewujudkan tujuannya. Setiap perusahaan berusaha untuk meminimalkan angka kecelakaan kerja, oleh karena
itu salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menyediakan alat pelindung diri bagi karyawannya.
PT PP Lonsum, Tbk bergerak di bidang perkebunan. Di Sumatera Utara, PT PP Lonsum, Tbk memiliki 17 area yang terdiri dari estate dan pabrik.
Perkebunan London-Sumatra, yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Lonsum”, memiliki hampir 100.000 hektar perkebunan kelapa sawit, karet, teh,
dan kakao yang tertanam di empat pulau terbesar di Indonesia. Pada awal berdirinya, perusahaan menggolongkan tanamannya menjadi tanaman karet, teh,
dan kakao. Di awal Indonesia merdeka, Lonsum lebih memfokuskan usahanya kepada tanaman karet, yang kemudian diubah menjadi kelapa sawit di tahun 1980.
Pada akhir dekade ini, kelapa sawit menggantikan karet sebagai komoditas utama Perseroan.
PT PP Lonsum Indonesia, Tbk merupakan salah satu perusahaan yang telah menjalankan program K3. Beberapa program K3 yang dilaksanakan di PT
PP Lonsum, Tbk adalah Hiperkes, Bencana Alam, Penanggulangan Kebakaran, P3K, Pemeriksaan Berkala, Pemeriksaan Berkala Khusus, Noise dan beberapa
xxvii
program K3 seperti pelatihan-pelatihan dan pengurusan izin, serta merupakan salah satu perusahaan yang menyediakan alat pelindung diri bagi pekerjanya. Hal
ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan kepada Head Health and Safety: “Di sini, program K3 udah kami jalankan. Pokoknya semua udah
memenuhi standar la.. Program K3 di sini ada 13 kalo gak salah. Ada Hiperkes, Bencana Alam, Penanggulang Kebakaran, P3K, Pemeriksaan
Berkala, Pemeriksaan Berkala Khusus, Noise, Pelatihan-pelatihan, misalnya untuk bagian alat angkut berat. Ada juga pengurusan izin-izin
misalnya untuk turbin, genset, boiler dan semacamnya. Kita juga sediakan APD. APD itu alat pelindung diri, contohnya kek sepatu, masker,
kacamata...” komunikasi personal, Oktober 2010.
PT PP Lonsum bergerak aktif dalam melakukan penyuluhan-penyuluhan program K3 kepada karyawannya, misalnya mengenai rambu-rambu yang ada di
kebun serta penggunaan alat pelindung diri. Karyawan dijelaskan apa tujuan dan manfaat menggunakan alat pelindung diri saat bekerja. Namun demikian,
menyadarkan karyawan untuk menggunakan alat pelindung diri tidak semudah membalikkan telapak tangan Adlin, komunikasi personal Oktober 2010. Bahkan
walaupun sudah diberikan penyuluhan-penyuluhan tetap saja ada kecelakaan yang terjadi akibat kelalaian karyawan dalam menggunakan alat pelindung diri. Hal ini
sesuai dengan hasil wawancara dengan Head Health and Safety: “...ada kejadian kerna gak pake APD. Telinganya pekak kerna dia gak pake
ear plug. Padahal kerjanya di bagian mesin. Ya pekak la... padahal udah disuruh pake” komunikasi personal, November 2010.
Hal senada juga dikatakan oleh Kepala Divisi kebun Lonsum di Sei Merah: “Kalo APD di sini lengkap. Semua ada. Mau apa? Ada di sini. Orang-orang
sini juga minta mereka ke sini APDnya. Biasanya tu iri-irian mereka. Kalo ada temannya dapat sepatu, terus dia gak dapat, protes dia ke sini... mau dia.. soal
pake gak pake jangan ditanya.. Urusan belakangan katanya... Pernah ada kejadian gara-gara gak dipasangnya sarung engrek, luka istrinya. Tersabit.. Itu la...”
komunikasi personal, Januari 2011.
xxviii
PT PP Lonsum juga memberikan sanksi atau hukuman kepada karyawan yang tidak menggunakan alat pelindung diri. Upaya penertiban karyawan yang
membandel selalu dilakukan mereka, mulai dari pemberikan peringatan, disuruh pulang untuk mengambil APD mereka, bahkan hingga diberi peringatan keras
seperti pemberhentian kerja. Hal ini sesuai dengan hasil wawacara kepada Kepala Divisi kebun Lonsum di Sei Merah:
“...di sini kita kasi juga pelatihan-pelatihan soal APD. Kita kasi perngertian ma mereka apa pentingnya APD, kita kasi contoh apa dampaknya kalo gak pake
APD dan kalo pake APD. Tapi ya gimana... tetap aja la ada yang bandel. Kalo kita jumpai ada yang gak pake APD, kita peringatin dia dulu.. kita suruh dia ambe
APDnya. Dah tu kalo tetap gk mau pake,kita ancam dia suruh gak usah kerja lagi... Daripada dia membahayakan diri sendiri, mending gak usah kerja. Kita kan
juga gak mau karyawan kita kenapa-napa...”
Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran disiplin karyawan dalam menggunakan alat pelindung diri.
B. RUMUSAN MASALAH