Membangun Kewaspadaan
E. Membangun Kewaspadaan
Strategi lainnya untuk menghadapi orang munafik menurut al-Qur`an adalah dengan senantiasa waspada terhadap mereka. Al-Qur`an memberikan peringatan kepada orang-orang mukmin untuk mengambil sikap ini dalam menghadapi mereka.
Firman Allah Swt:
145 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz VI, h. 234; Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid V, h. 2880
Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? (Qs. Al-Munâfiqûn/63: 4)
Peringatan Allah kepada orang-orang mukmin untuk mewaspadai orang-orang munafik pada ayat ini disampaikan setelah sebelumnya menjelaskan tentang hakekat yang sebenarnya dibalik kondisi lahiriah orang-orang munafik. Dimana jasad-jasad mereka memang terlihat sangat menakjubkan. Namun mereka bukanlah orang-orang yang dapat berinteraksi dengan baik. Jika mereka berbicara, lidah-lidah mereka pun fasih sehingga orangpun menaruh perhatian kepadanya karena gaya bahasanya yang sangat tinggi. Namun pembicaraan mereka kosong dari segala makna dan nilai, dari segala perasaan dan segala pikiran. Tidak ada manfaat yang dapat diambil. Secara batin, sebenarnya mereka berada di puncak kegelisahan, dan dalam kondisi kekhawatiran, kengerian, ketakutan, keterkejutan, dan keguncangan yang terus menerus. Kondisi ini digambarkan dalam ayat tersebut dengan perumpamaan seperti
kayu yang bersandar. 146 Allah menegaskan bahwa mereka adalah musuh sejati orang-orang mukmin.
Sehingga sikap yang harus ditunjukkan adalah senantiasa waspada terhadap mereka.
146 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz VIII, h. 81; Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid VI, h. 3574-3575
Al-Maraghi mengomentari ayat ”Maka waspadalah terhadap mereka” dengan jangan mempercayai mereka atas suatu rahasia, jangan terperdaya dengan bentuk lahiriah mereka, karena di hati mereka sesungguhnya tersembunyi penyakit dengki dan
kebencian. 147 Kewaspadaan terhadap orang-orang munafik yang harus dibangun oleh orang-
orang mukmin adalah beralasan pada bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh
orang-orang munafik. Sementara itu, bahaya orang-orang munafik dapat dilihat dari karakter-karakter buruk mereka sebagaimana telah di bahas pada bab-bab terdahulu.
Orang-orang mukmin harus membangun kewaspadaan tidak hanya terhadap sosok orang-orang munafik semata. Tetapi juga terhadap sifat kemunafikan itu sendiri. Apabila “virus” kemunafikan telah menjangkiti kaum mukmin, bagaimana mungkin mereka akan dapat menghadapi kaum munafik. Oleh karenanya mukmin senantiasa dituntut untuk melakukan introspeksi diri (muhâsabah al-nafs) terhadap setiap amal hati dan perbuatannya, apakah padanya ada unsur-unsur nifâq yang harus dijauhi.
Sebagai wujud kewaspadaan terhadap orang munafik, Rasulullah Muhammad saw. dalam satu riwayat telah menitipkan kepada Hudzaifah bin Yaman ra. nama- nama orang munafik karena Hudzaifah adalah pemegang rahasia Rasulullah saw. orang-orang munafik yang diberitahukan oleh Rasulullah saw. itu jumlahnya lebih dua belas orang, namun yang dua belas orang dianggap bahayanya lebih besar dan bahwa mereka tidak akan bertaubat atas kemunafikannya serta mereka akan berujung
147 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid X, h. 109 147 Al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Jilid X, h. 109
Itu sebabnya, para sahabat Rasulullah saw. selalu bertanya kepada Hudzaifah tentang apakah mereka termasuk dalam golongan munafik sebagaimana yang diberitahukan oleh Rasulullah saw. mereka sangat takut dan mewaspadai kemunafikan itu ada pada diri mereka. Di antaranya adalah ’Umar bin al-Khaththâb
ra. yang dikenal sebagai orang yang sangat besar kecintaannya kepada Rasulullah saw. pasca keislamannya, ia juga datang bertanya kepada Hudzaifah tentang daftar
orang-orang munafik, apakah ia termasuk salah satunya. 149 Dalam pergaulan sehari-hari orang-orang mukmin harus senantiasa waspada
dalam melakukan hubungan dengan sesamanya, karena kemunafikan itu bisa saja ada dan muncul pada setiap diri seseorang. Tidak jarang dalam pergaulan hidup di masyarakat ditemukan tipe seseorang yang kelihatannya sangat bersahaja pada kebaikan, ibadahnya tertib, perilakunya sangat sesuai dengan akhlak Islami, hingga tak ada alasan bagi orang untuk tidak mempercayainya. Namun sekali waktu seseorang itu tadi ternyata juga dapat melakukan hal-hal yang di luar persangkaan orang sebelumnya, ia berkhianat dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk lainnya. Atau sebaliknya, ada seseorang yang dikenal memiliki perilaku yang buruk, sehingga tidak ada alasan untuk dapat mempercayainya. Namun pada sekali waktu, ternyata ia adalah orang yang sangat jujur, tidak seperti yang disangkakan orang terhadapnya.
148 Lihat Muhammad Musa Nasr, Munafik Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2004), h. 96
149 Ibid ., h. 5-6
Berkenaan dengan ini, kewaspadaan yang harus dibangun orang-orang mukmin meliputi seluruh komponen yang ada pada lingkungan pergaulannya. Bahkan terhadap keberadaan dirinya sendiri. Kewaspadaan dimaksud direalisasikan dengan sikap hati-hati dalam mencari teman bergaul, yang bukan berarti senantiasa berprasangka buruk terhadap setiap orang. Kewaspadaan berarti menyadari bahwa setiap orang, bahkan diri sendiri dapat saja berperilaku buruk sebagaimana perilaku
orang munafik. Oleh karenanya, segala upaya preventif untuk mengatasi agar hal itu tidak muncul harus dilakukan.
Al-Qur`an menginformasikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan antara satu dengan lainnya. Yaitu potensi yang menggerakkan seseorang untuk melakukan keburukan (fujûr) dan potensi untuk berbuat kebaikan (taqwâ). Sebagaimana firman Allah Swt:
ﻦﻣ ﺏﺎﺧ ﺪﹶﻗﻭ ( ٩ ) ﺎﻫﺎﱠﻛﺯ ﻦﻣ ﺢﹶﻠﹾﻓﹶﺃ ﺪﹶﻗ ( ٨ ) ﺎﻫﺍﻮﹾﻘﺗﻭ ﺎﻫﺭﻮﺠﹸﻓ ﺎﻬﻤﻬﹾﻟﹶﺄﹶﻓ ( ٧ ) ﺎﻫﺍﻮﺳ ﺎﻣﻭ ٍﺲﹾﻔﻧﻭ ( ١٠ - ٧ : ٩١ / ﺲﻤﺸﻟﺍ ) .( ١٠ ) ﺎﻫﺎﺳﺩ
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),(7) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,(8) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,(9) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,(10) (Qs. Al- Syams/91: 7-10)
Berdasarkan ayat ini potensi yang ada pada diri manusia itu perlu dijaga dan dikembangkan. Yaitu, menjaga potensi yang cenderung pada keburukan untuk dipertahankan agar tidak muncul dan menjadi dominan dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Sebaliknya, mengembangkan potensi yang cenderung pada kebaikan -yang merupakan potensi dasar manusia- agar senantiasa dominan berpengaruh sebagai penggerak bagi perilakunya. Untuk ini, jalan terbaik yang harus
dilakukan adalah melalui kegiatan pendidikan. Potensi-potensi yang dimiliki oleh diri manusia itulah yang menjadikan manusia dapat dan perlu dididik. Dalam al-Qur`an potensi dasar manusia itu disebut fithrah yang disebutkan pada surat al-Rûm/30 ayat 30:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui . (Qs. Al-Rûm/30: 30)
Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan pengembangan dari potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia untuk tetap pada fitrahnya itu. Dimana potensi-potensi manusia menurut pandangan al-Qur`an tersimpul pada al-Asmâ` al-Husnâ, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah sembilan Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan pengembangan dari potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia untuk tetap pada fitrahnya itu. Dimana potensi-potensi manusia menurut pandangan al-Qur`an tersimpul pada al-Asmâ` al-Husnâ, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah sembilan
baiknya pada diri manusia. Dan itulah pendidikan menurut pandangan Islam. 150 Dengan begitu, menurut penulis, pendidikan yang harus dijalankan oleh
orang-orang mukmin adalah dalam rangka untuk mengembangkan dan menumbuhsuburkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia agar berbuah ketaqwaan sebagaimana tujuan pendidikan Qur`ani. Secara bersamaan berupaya untuk mengubur dan menekan potensi untuk berbuat buruk agar tidak muncul dan berkembang dalam diri seseorang sampai akhir hayatnya. Dengan demikian pendidikan senantiasa harus dilaksanakan dengan tidak mengenal waktu dan batas tertentu dalam kehidupan manusia.
Keburukan-keburukan yang ada pada pada manusia itulah yang harus diwaspadai kemunculannya pada diri seseorang. Sebagaimana sifat kemunafikan, sesungguhnya muncul akibat dorongan-dorongan dari potensi buruk yang dimiliki. Itu berarti kemunafikan merupakan penyelewengan dari fitrah dasar manusia. Oleh karenanya, mewaspadai kemunafikan dapat diwujudkan melalui pendidikan. Baik pendidikan itu diarahkan untuk diri pribadi mukmin, atau diarahkan pada orang-orang munafik secara langsung, membina mereka, mendakwahinya agar mau berubah dan kembali kepada Islam dengan keyakinan yang benar dan sungguh-sungguh.
150 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan;…, h. 262-263
Dari uraian di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa membangun kewaspadaan dikalangan orang-orang mukmin sebagai strategi dalam menghadapi orang munafik adalah dengan senantiasa bersikap hati-hati dan tidak lalai terhadap setiap konspirasi atau pergerakan yang mereka lakukan dalam mengecoh orang-orang mukmin. Kewaspadaan juga harus dibangun meliputi sikap penolakan terhadap kemunafikan agar tidak muncul pada diri mukmin sendiri, serta terus berusaha untuk
mengantisipasinya. Termasuk usaha untuk mengajak mereka, mendidiknya agar menghentikan segala bentuk kemunafikan yang ada pada diri mereka sesuai manhaj Qur`ani.