Memperkokoh Loyalitas Sesama Mukmin
A. Memperkokoh Loyalitas Sesama Mukmin
Untuk menghadapi orang munafik yang melakukan konspirasi-konspirasi buruk dan perilaku-perilaku tercela yang membahayakan orang-orang mukmin
sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, Allah Swt. mengajarkan kepada orang-orang mukmin agar memperkokoh loyalitas sesama mukmin dalam bingkai persatuan Islam. Ini merupakan salah satu tarbiyyah Ilâhi yang terkandung dalam al- Qur`an sebagaimana diungkap pada surat al-Nisâ/4 ayat 88 sebagai berikut:
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya. (Qs. Al-Nisâ`/4: 88)
Terdapat tiga riwayat yang menerangkan tentang sebab turunnya (sabab al- nuzûl) ayat ini. Diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim dan lainnya yang bersumber dari Zaid bin Tsâbit, bahwa ketika Rasulullah saw. berangkat untuk perang Uhud, beberapa Terdapat tiga riwayat yang menerangkan tentang sebab turunnya (sabab al- nuzûl) ayat ini. Diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim dan lainnya yang bersumber dari Zaid bin Tsâbit, bahwa ketika Rasulullah saw. berangkat untuk perang Uhud, beberapa
menurunkan ayat ini. 1
Dikemukakan oleh Ahmad yang bersumber dari 'Abdurrahmân bin 'Auf, bahwa ayat 88 surat al-Nisâ'/4 ini turun berkenaan dengan peristiwa adanya suatu kaum Arab yang datang menghadap Rasulullah saw. di Madinah dan masuk Islam. Mereka terkena wabah penyakit demam Madinah. Lalu mereka pulang dan kembali kufur. Di tengah jalan mereka bertemu dengan serombongan sahabat yang bertanya: "Mengapa kalian pulang?" Mereka menjawab: "Kami terserang wabah Madinah." Para sahabat tersebut bertanya lagi: "Apakah kalian tidak mendapat teladan yang baik dari Rasulullah?" Sebagian sahabat berkata: "Mereka telah munafik." Tapi sebagiannya lagi berkata: "Mereka tidak munafik, mereka adalah orang-orang Islam."
Maka turunlah ayat ini. 2 Riwayat lain tentang sebab turunnya ayat ini dikemukakan oleh Sa'îd bin
Manshûr dan Ibn Abî Hâtim yang bersumber dari Sa'ad bin Mu'adz berkata: "Pernah Rasulullah saw. berkhutbah di hadapan manusia demikian: "Siapakah pembelaku terhadap orang yang berbuat jahat dan berkomplot merencanakan kejahatan
1 Abî al-Hasan 'Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâbûrî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 93
2 Ibid. , h. 93-94 2 Ibid. , h. 93-94
Berdirilah Muhammad bin Muslimah dan berkata: "Diamlah kalian hai manusia, karena sesungguhnya di hadapan kita ada Rasulullah saw. yang berhak memberi perintah dan akan kita laksanakan perintah itu." Maka Allah menurunkan ayat
tersebut. 3 Ibn Katsîr mengomentari ayat ini, bahwa Allah Swt. melalui firman-Nya ini
mengingkari perselisihan orang-orang mukmin yang berbeda sikap dan pandangan dalam mengahadapi kaum munafik. 4
Itu berarti sebaliknya, bahwa Allah Swt. memerintahkan orang-orang mukmin untuk merapatkan barisan, bersatu dalam visi dan misi dalam menghadapi orang- orang munafik.
Muhammad 'Alî Al-Shâbûnî menegaskan bahwa dengan kata lain, ayat ini seakan bertanya kepada orang-orang mukmin dengan penuh keheranan. Mengapa mereka terbagi menjadi dua golongan dalam menghadapi orang-orang munafik?
3 Jalâluddîn al-Suyûthî, Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, Riwayat Turunnya Ayat-ayat Suci Al-Qur`an , terj. M. Abdul Mujieb AS, (Surabaya: Mutiara Ilmu, tt), h. 171
4 ‘Imâduddîn Abî al-Fidâ' Ismâ'îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, (Kairo: Maktabah al- Shafâ, 1425 H/ 2004 M), Cet. ke-1, Juz II, h. 224
Yang satu berkata, "Kita harus memerangi mereka karena mereka adalah musuh." Sementara yang satunya lagi berkata, "Kita tidak boleh memerangi mereka karena mereka saudara kita dalam agama." Padahal pada ayat sebelumnya dan juga ayat-ayat sesudahnya dalam surat al-Nisâ/4 ini Allah Swt. telah mengungkap sikap orang-orang munafik yang hina dan cara-cara mereka yang licik, meletakkan batas yang jelas antara orang yang beriman dan orang munafik yang sesat, untuk memperingatkan
orang-orang Mukmin agar tidak saling berselisih di antara mereka sendiri tentang keberadaan orang-orang munafik itu. Meskipun mereka menampakkan keislamannya, namun pada hakikatnya mereka adalah orang-orang kafir dan keji, yang selalu
menginginkan bencana bagi orang-orang mukmin. 5 Sejalan dengan penjelasan di atas, M. Quraish Shihab mengomentari ayat
tersebut dengan menambahkan penegasan bahwa Allah Swt. dengan firman-Nya di atas mengecam orang-orang mukmin yang berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi orang-orang munafik. Mengapa masih terjadi perbedaan pendapat ini padahal Allah Swt. telah membalikkan mereka kepada kekafiran, yakni menilai mereka telah masuk kembali ke dalam lingkungan kufur dan meninggalkan keimanan disebabkan usaha mereka sendiri, yakni ucapan dan perbuatan mereka. Apakah kamu berkehendak memberi petunjuk, yakni menilai mereka orang-orang yang memperoleh petunjuk Allah atau menciptakan petunjuk ke dalam hati orang-orang yang telah disesatkan Allah karena keinginan dan upaya mereka sendiri untuk sesat? Barang
5 Muhammad ‘Ali Al-Shâbûnî, Cahaya Al-Qur`an; Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-al- An'am , terj. Kathur Sukardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. ke-1, Jilid I, h. 212 5 Muhammad ‘Ali Al-Shâbûnî, Cahaya Al-Qur`an; Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-al- An'am , terj. Kathur Sukardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. ke-1, Jilid I, h. 212
Kalau begitu halnya, tidak ada gunanya membela orang-orang munafik yang sudah sampai pada tingkat nifak besar itu dengan bersikap lembek atas mereka, mengharapkan mereka agar mendapat hidayah Allah Swt., hingga mereka berbalik untuk berpihak dan mendukung perjuangan orang-orang mukmin. Karena Allah Swt.
sendiri telah menyatakan kekufuran mereka dan menegaskan bahwa sekali-kali tidak ada seorangpun yang dapat memberikan jalan untuk mereka guna memperoleh petunjuk, bahkan Rasulullah Muhammad saw. pun tidak. Mereka telah tersesat akibat perbuatan mereka sendiri yang berkeinginan dan berusaha untuk sesat.
Oleh karenanya orang-orang mukmin harus mengambil sikap tegas terhadap mereka, membangun visi dan misi yang sama dalam menghadapi berbagai konspirasi dan usaha mereka yang senantiasa dan secara terus menerus berusaha menghancurkan Islam dan umat Islam. Disinilah persatuan di kalangan sesama mukmin harus dinyatakan dalam realitas gerakan (‘amali), bukan semata-mata dalam teori ('ilmi) belaka.
Persatuan seperti itu akan terwujud apabila orang-orang mukmin memiliki loyalitas yang sama di antara mereka. Tidak ada pengkhianatan dan kecurangan sebagaimana yang telah diperlihatkan oleh orang-orang munafik dalam menghancurkan barisan kaum mukmin pada masa Rasulullah saw.
6 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1421 H/ 2000 M), Cet. ke-1, Vol. 2, h. 519
Terwujudnya persatuan Islam bukanlah suatu keniscayaan yang mustahil, karena agama Islam menurut wataknya adalah menyatukan bukan memecah belah. Islam adalah pemersatu umat. Ia menjadikan umat dalam satu wadah yang sama, sejalan dalam akidah, satu cara beribadat, satu kiblatnya dan satu tujuan hidupnya. Apa yang menjadi musuh persatuan, apa yang mengancam persatuan (menggoncangkan persatuan), dianggap penyelewengan yang bukan pada tempatnya.
Sesungguhnya perpecahan itu merupakan krisis agama dan dunia. Sebagaimana juga diketahui bahwa orang-orang Islam memiliki Nabi yang satu, yaitu Nabi Muhammad saw. Juga memiliki kitab yang satu yaitu al-Qur`an yang agung yang tidak dimasuki oleh kebatilan dari arah mana saja. Pun mempunyai kiblat yang satu, yaitu ka'bah yang diagungkan di Makkah al-Mukarramah. Setiap sehari semalam 5 kali orang-orang Islam menghadap ke arahnya ketika menunaikan shalat-
shalat fardhu dan shalat-shalat yang lain serta dalam setiap kesempatan. 8 Orang-orang Islam juga berhaji ke sana setiap tahun. Menghadapnya mereka
ke sana merupakan isyarat dari Tuhan atas perintah-Nya kepada mereka agar tujuan mereka satu, sehingga tidak menyimpang dan tidak pula berselisih. 9
Orang-orang Islam juga bersepakat mengenai segala sesuatu yang telah diketahui dengan pasti (qath'i) dari ajaran agama, baik berupa perintah-perintah maupun larangan-larangan. Dengan demikian tidak ada pertentangan di antara
7 Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika Dalam Islam, terj. Haryono S. Yusuf, (Jakarta: PT. Intermasa, 1981), Cet. ke-1, h. 183
8 Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, Persatuan Islam, terj. Ali Yahya, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1418 H/1997 M), Cet. ke-1, h. 13
9 Ibid.
madzhab-madzhab dan firqah-firqah Islam dalam prinsip-prinsip ini dan tidak juga ada pertentangan dalam masalah-masalah pokok (ushûl) agama mereka yang
merupakan tempat mereka kembali kepadanya. 10 Adalah tidak pantas kalau kemudian orang-orang Islam saling berselisih dan
bermusuhan. Karena hal tersebut sangat tidak sesuai dengan watak agama Islam. Dimana kedatangan Islam adalah untuk menyelesaikan perselisihan menjadi pertalian
kasih dan menghentikan permusuhan untuk diarahkan menjadi perdamaian yang saling asuh dengan penuh belas kasih persaudaraan.
Sebelum kedatangan Islam, permusuhan satu sama lain di antara orang-orang Arab telah membentuk suatu lembaran gelap dalam sejarah umat manusia. Mereka bertengkar dan berkelahi hanya karena soal-soal kecil. Aus dan Khazraj adalah suku yang terkenal di Madinah. Nenek moyang mereka adalah saudara kandung baik dari ayah maupun ibu. Perkelahian demi perkelahian telah terjadi di antara mereka dan bahkan terus berlangsung sampai generasi ke generasi. Permusuhan ini berlanjut selama 120 tahun dan menurut catatan para ahli sejarah, perkelahian kecil dan besar
antara mereka berjumlah 1.700 kali. 11 Dalam situasi demikian itulah Islam hadir membawa perdamaian sebagai
nikmat dan rahmat bagi umat manusia. Memerintahkan mereka untuk bersatu, berpegang teguh pada ajaran yang satu yaitu Islam. Al-Qur`an mengingatkan hal ini, sebagaimana tersebut dalam surat Âli Imrân/3 ayat 103 sebagai berikut:
10 Ibid ., h. 14 11 Maulana Kausar Niazi, Towards Understanding The Qur`an (Menuju Pemahaman Al-
Qur`an) , terj. Agus Wahidin, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), Cet. ke-1, h. 54
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat- ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Qs. Ali 'Imran/3: 103)
Ayat ini memperingatkan kaum mukmin akan nikmat Allah yang besar yang telah merobah situasi permusuhan dengan mendatangkan rasa cinta dan persahabatan di antara mereka sebagai ganti dari rasa saling benci dan permusuhan. Akibatnya, yang tadinya menjadi musuh kemudian berubah menjadi sahabat/saudara.
Dari ajaran al-Qur`an ini orang-orang Islam yang beriman seharusnya dapat mengambil pelajaran bahwa mereka harus menghindari suatu keadaan dimana - setelah nikmat Tuhan yang khusus ini- mereka mungkin akan bercerai lagi. Titik berat telah diletakkan berdasarkan fakta bahwa persatuan kaum muslim harus ditempah atas dasar agama. Lagi, setelah mengatakan bahwa kamu harus berpegang teguh pada tali Allah , kata "semuanya" ditambahkan untuk ditekankan lebih jauh. Kata-kata itu sendiri menyerukan persatuan. Seakan-akan kata-kata ini tidak cukup, al-Qur`an menambahkan "Janganlah kamu bercerai berai." Ini dilakukan untuk Dari ajaran al-Qur`an ini orang-orang Islam yang beriman seharusnya dapat mengambil pelajaran bahwa mereka harus menghindari suatu keadaan dimana - setelah nikmat Tuhan yang khusus ini- mereka mungkin akan bercerai lagi. Titik berat telah diletakkan berdasarkan fakta bahwa persatuan kaum muslim harus ditempah atas dasar agama. Lagi, setelah mengatakan bahwa kamu harus berpegang teguh pada tali Allah , kata "semuanya" ditambahkan untuk ditekankan lebih jauh. Kata-kata itu sendiri menyerukan persatuan. Seakan-akan kata-kata ini tidak cukup, al-Qur`an menambahkan "Janganlah kamu bercerai berai." Ini dilakukan untuk
Kalimat "tali Allah" pada ayat tersebut oleh Ibn Katsîr dijelaskan ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti "janji dengan Allah" sebagaimana disebutkan dalam ayat yang sesudahnya yang berbunyi, "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang teguh pada janji dengan Allah dan
janji manusia". (Qs. Âli-'Imrân/3: 112). Pendapat lain dari beberapa riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "tali Allah" ialah "al-Qur`an". 13
Mengikuti pendapat terakhir di atas dapat difahami bahwa persatuan yang harus ditegakkan oleh kaum muslim adalah persatuan yang didasari dengan ketaatan dalam mengamalkan ajaran al-Qur`an. Itu berarti membawa konsekwensi bahwa apapun yang dilakukan oleh orang-orang muslim haruslah sesuai dengan perintah dan ajaran al-Qur`an.
Berdasarkan itu pula adalah tidak pantas bagi orang-orang mukmin untuk saling berselisih dalam sesuatu hal yang telah tegas dan jelas terdapat dalam al- Qur`an, termasuk berselisih dalam bersikap menghadapi orang-orang munafik sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat-ayatnya.
Mengenai perbedaan dalam memaknai "tali Allah" sebagaimana disebutkan di atas, menurut penulis kedua makna yang tersebut bukanlah perbedaan yang harus diperdebatkan. Karena pada dasarnya kedua makna itu ("janji dengan Allah" atau "al-
12 Ibid ., h. 54-55 13 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz II, h. 52-53
Qur`an") merupakan dua hal yang tidak berbeda ditinjau dari segi aksi atau 'amali yang timbul karenanya. Bukankah berpegang teguh pada janji dengan Allah juga termasuk di dalamnya janji untuk menjadikan al-Qur`an (Kalam-Nya) sebagai pedoman hidup? Dan berpegang teguh pada al-Qur`an dengan beramal sesuai yang termaktub pada ayat-ayatnya sesungguhnya juga merupakan realisasi dari penunaian janji muslim kepada Allah Swt.
Allah Swt. memerintahkan orang-orang mukmin untuk tetap menjaga persatuan di bawah naungan aqidah mereka, dan memperingatkan jangan sampai bercerai-berai karena hal ini akan menghancurkan kesatuan keyakinan ini, akan merusak persatuan dan merapuhkan kekuatan yang ada serta memutuskan tali persaudaraan. Firman Allah Swt. Qs. Al-Anfâl/8: 46:
Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah- bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Qs.Al-Anfâl/8: 46) Syeikh 'Alî Abdul Halîm Mahmûd menjelaskan bahwa pada ayat ini Allah
Swt. memerintahkan orang-orang Islam yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya secara mutlak disetiap tempat dan keadaan, baik berkenaan dengan perintah maupun larangan, baik saat damai ataupun perang, baik di waktu suka Swt. memerintahkan orang-orang Islam yang beriman untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya secara mutlak disetiap tempat dan keadaan, baik berkenaan dengan perintah maupun larangan, baik saat damai ataupun perang, baik di waktu suka
berainya persatuan dan kekuatan lalu mengalami kekalahan. 14 Ayat ini mengandung nilai dan prinsip pendidikan (tarbiyah) yang mesti
diambil, yaitu bahwa pertentangan dan bantah-bantahan antara orang-orang Islam
merupakan dosa besar yang dilarang. Karena hal ini akan menjurus kepada permusuhan dan saling benci, melahirkan kegagalan dan melumatkan kekuatan di
hadapan musuh. Padahal orang-orang Islam itu harus kuat bersatu dan berwibawa. 15 Orang-orang Islam telah dinasehati untuk mempertahankan persatuan di
antara mereka bersama dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka dilarang untuk saling bertengkar. Boleh saja mereka berbeda pendapat pada masalah tertentu, tetapi perbedaan pendapat ini tidak boleh dibiarkan sehingga menimbulkan permusuhan dan konflik satu sama lain. Apabila ini dilakukan, mereka pasti akan mengalami dua akibat. Pertama, secara interen mereka akan menjadi lemah dan dilemahkan, karena kalau kekuatan telah menjadi retak konsekwensinya ialah timbulnya moral yang rendah. Kedua, kehormatan dan kehebatan yang diperlihatkan kaum muslim kepada musuhnya akan sirna disebabkan tak adanya solidaritas dan persatuan di antara mereka. Demikianlah, apabila kaum muslim terlena dalam konflik
14 Ali Abd. Halim Mahmud, Prinsip-prinsip Tarbiyah dalam Surat al-Anfâl, terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Islamuna Press, 2006), Cet. ke-1, h. 218-219
15 Ibid ., h. 227 15 Ibid ., h. 227
Apabila perbedaan pendapat terjadi di antara orang-orang Islam yang kemudian menimbulkan bantah-bantahan di antara mereka, al-Qur`an telah mencanangkan ajaran pencegahan yang akan dapat menutup terjadinya suatu akibat yang tidak diinginkan dari pertentangan itu. Yakni hendaklah mereka kembali kepada
hukum Allah dan Rasul-Nya. Karena hal ini akan dapat memberikan keputusan yang adil dan merupakan jalan ke arah kebaikan. Sebagaimana firman Allah Swt.: ٍﺀﻲـﺷ ﻲِﻓ ﻢﺘﻋﺯﺎﻨﺗ ﹾﻥِﺈﹶﻓ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ِﺮﻣﹶﺄﹾﻟﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃﻭ ﹶﻝﻮﺳﺮﻟﺍ ﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. Al-Nisâ`/4: 59)
Disini seakan-akan Allah Swt. telah mengetahui bahwa kaum muslim terkadang mau menang sendiri terhadap yang lainnya, lalu mereka terbawa oleh emosi pertentangan akibat perbedaan pendapat yang masing-masing pihak bertahan membela untuk memenangkan pendapatnya.
16 Maulana Kausar Niazi, Towards Understanding…, h. 139-140
Dan apabila kemudian perselisihan ini menimbulkan peperangan di antara mereka, Allah Swt. juga memberikan solusi pemecahannya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Qs. Al-Hujurât/49: 9)
Jika orang-orang Islam masih juga menempuh jalan perselisihan, menyia- nyiakan tujuan umat, bercerai berai, berkelompok-kelompok dan terkoyak-koyak, maka tidak ada suatu balasan yang lebih berat dan lebih keras kecuali yang telah diperingatkan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya berikut: Qs. Al-An’âm/6 ayat 159:
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah
(terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Qs. Al-An'âm/6: 159)
Oleh karenanya mewujudkan persatuan di kalangan umat Islam memiliki urgensi yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Karena kepentingan akan hal ini sangat erat kaitannya dengan kemaslahatan yang harus dicapai oleh umat, baik hubungannya dengan individu, kelompok masyarakat bahkan bagi alam sekitarnya. Itulah hakekat dari misi ajaran agama Islam, yaitu untuk terciptanya perdamaian dalam hidup sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ’âlamîn).
Berdasarkan uraian di atas, persatuan di kalangan kaum muslim hanya akan dapat terwujud apabila dilakukan dengan campur tangan agama (baca: ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur`an dan al-Hadis). Artinya adalah mustahil persatuan dikalangan orang-orang muslim akan terwujud, apabila dalam memandang atau menyikapi sesuatu di antara mereka menggunakan sudut pandang lain, selain yang telah Allah Swt. dan Rasul-Nya tetapkan.
Fenomena seperti itulah yang saat ini dapat disaksikan di negara Indonesia tercinta ini. Dimana sebagai kaum mayoritas, umat Islam telah menjadi kelompok- kelompok yang saling berselisih dan bertentangan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun dalam pentas politik kenegaraan. Akibatnya, hal itu merugikan umat Islam sendiri, bahkan menjadikan mereka sasaran penyebab kehancuran perekonomian negara yang sedang terjadi. Dan tidak sedikit di antara mereka yang saling tuduh satu dengan lainnya. Padahal sesungguhnya mereka sedang Fenomena seperti itulah yang saat ini dapat disaksikan di negara Indonesia tercinta ini. Dimana sebagai kaum mayoritas, umat Islam telah menjadi kelompok- kelompok yang saling berselisih dan bertentangan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun dalam pentas politik kenegaraan. Akibatnya, hal itu merugikan umat Islam sendiri, bahkan menjadikan mereka sasaran penyebab kehancuran perekonomian negara yang sedang terjadi. Dan tidak sedikit di antara mereka yang saling tuduh satu dengan lainnya. Padahal sesungguhnya mereka sedang
Realitas kehidupan seperti itu telah dijadikan sebagai salah satu alasan bagi pihak-pihak tertentu untuk berpendapat bahwa dalam mengatur kehidupan bernegara dan untuk terwujudnya persatuan di kalangan muslim tidaklah harus dilakukan
dengan campur tangan agama. Sehingga undang-undang atau peraturan yang hendak dirumuskan tidak harus mengakomodir ketentuan agama (baca: Islam) yang dianggap tidak aspiratif dengan kepentingan masyarakat banyak. Padahal mayoritas masyarakat Indonesia adalah mereka yang mengaku muslim.
Yang anehnya lagi, bahwa pendapat seperti itu bahkan diucapkan oleh mereka yang mengaku muslim, yang mengaku berjuang untuk menolong dan menyelamatkan orang-orang Islam. Mereka menyibukkan diri dengan mengadakan pengkajian ilmiah, melalui seminar, penerbitan tulisan-tulisan lewat media cetak, yang semua itu mereka lakukan atas nama agama. Padahal merekalah yang lebih dulu menolak ajaran agama dengan menyatakan bahwa al-Qur`an itu tidak relevan lagi dengan kehidupan masa kini. Sehingga kaum muslim dilarang untuk membentuk persatuan atas nama Islam; tidak boleh menyatakan bahwa hanya agamanya yang benar. Karena itu dianggap egois, mau menang sendiri, dan penyebab perpecahan dalam kehidupan bernegara yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Oleh karenanya, untuk menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi oleh umat Islam, termasuk di dalamnya untuk menghadapi orang-orang munafik, maka Oleh karenanya, untuk menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi oleh umat Islam, termasuk di dalamnya untuk menghadapi orang-orang munafik, maka
Di antara sumber kekuatan dan persatuan yang paling penting adalah:
1. Kesatuan tujuan dan sasaran. Yaitu taat kepada Allah dan beribadah kepada- Nya dengan sebenar-benarnya, sebagai tanda tunduk kepada perintah-Nya. 17
Menjadikan jalan Allah dan berpegang dengan manhaj Islam dalam aqidah, ibadah, peraturan dan meninggalkan selainnya baik dalam bentuk peraturan, prinsip-prinsip dan tujuan, itu semua jalan menuju persatuan kalimat kalimat
serta menyatunya kekuatan. 18
2. Kesatuan tasyri’ (pembuatan hukum) dan konsisten terhadap batasan-batasan Allah serta tidak melanggarnya 19 . Ini merupakan jaminan untuk menyatukan
barisan dan kesatuan, karena Allah Swt. yang menciptakan manusia telah membuatkan baginya syariat yang sesuai dengan tabi’atnya. Sesungguhnya tidak mungkin bagi syariat manusia untuk menempati posisi syariat-Nya. Dengan banyaknya tasyri’ (penetapan hukum) dan undang-undang di suatu umat merupakan penyebab utama umat menjadi tercabik-cabik dan tercerai berai, karena umat dipaksa untuk tunduk kepada hukum yang tidak ada kaitannya dengan agamanya.
17 Lihat Qs. Al-Dzâriyât/51: 56 18 Lihat Qs. Al-An’âm/6: 153 19 Lihat Qs. Al-Nisâ`/4: 65
3. Kesatuan kepemimpinan. Yaitu dasar yang penting dalam mengikat umat atas satu kepemimpinan. Yaitu kepemimpinan Rasulullah saw. dan meniti manhaj
dan sunnahnya. 20 Bila kaum muslim berpegang teguh dengan kepemimpinan ini, maka mereka akan selamat dan mereka akan melindungi diri mereka dari
bercerai berai dan perselisihan. 21
Ini merupakan metode (manhaj) pendidikan Qur`ani yang ditegakkan atas dasar keimanan pada hakekat kesatuan di dalam jagad raya ini. 22 Dengan asas ini
maka seorang mukmin akan merasa dirinya menyatu dalam barisan orang mukmin. Ia akan merasa bahwa dirinya merupakan salah seorang dari keluarga orang-orang beriman yang tersebar luas disepanjang kehidupan pada setiap zaman. Ia merupakan neraca keseimbangan yang dilengkapi dengan seperangkat kelemah lembutan, kekuatan, kesabaran, kebulatan tekad (determinasi), perasaan mulia dan superioritas atas setiap sisi kehidupan dari kebatilan serta naluri untuk memiliki kekuatan dan kemuliaan –sekalipun ia hanya seorang diri dalam kehidupan- karena ia merupakan
satu bagian dari kejernihan dan kesucian anak manusia. 23
20 Lihat Qs. Al-Nisâ`/4: 115 21 Hamad Hasan Ruqaith, Problematika Kontemporer dalam Tinjauan Islam, terj. Team
Azzam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), Cet. ke-1, h. 178-180 22 Seluruh kesatuan komprehensif di atas merupakan asas-asas akidah di dalam al-Qur`an yang
menetapkan batas-batas kesatuan secara sempurna. Ia membatasi hubungan antara manusia dan Rabbnya, antara jagad raya dengan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya. Al-Qur`anlah yang pertama kali memproklamirkan kesatuan yang murni (al-Wahdâniyyah al-Shâfiyah) yang tidak terdapat di dalamnya keraguan atau ketidakjelasan serta menghilangkan setiap prasangka bahwa Allah Swt. memiliki sekutu dan anak. Qs. al-Ikhlâsh/112 ayat 1-4 dengan tegas membantah prasangka itu. Ini merupakan hujjah yang kuat, akidah yang tegas dan garis pembeda yang jelas antara orang mukmin dengan lainnya. Lihat Muhammad Syadîd, Manhaj al-Qur`ân fî al-Tarbiyyah, (Beirut: Mu-assasah al- Risâlah, 1408 H/ 1987 M), h. 100-101
23 Ibid ., h. 125
Ini semua merupakan unsur pendidikan yang berkaitan erat dengan akidah. Sehingga agama tidak dianggap sebagai sebab bagi timbulnya perselisihan golongan-
golongan dan fanatisme (ta’ashshub). 24 Sebagaimana anggapan sebagian orang yang mendiskreditkan agama (baca: akidah) sebagai akar penyebab perselisihan dan
perpecahan umat manusia. Ini merupakan salah satu konspirasi melalui perang pemikiran (Ghazw al-Fikr) yang sengaja digaungkan oleh orang-orang munafik
dalam melemahkan akidah dan memporakporandakan barisan kaum mukminin. Sejarah mencatat sebab kekalahan yang diderita oleh orang-orang Islam dalam peperangan Uhud adalah karena ketidak konsistenan mereka mendengar dan mematuhi nasehat Rasulullah sebagai pemimpin perang waktu itu. Disamping juga karena pembelotan (disersi) yang dilakukan oleh orang-orang munafik yang dipimpin oleh 'Abdullâh bin Ubay. Dalam barisan pasukan muslim yang berperang waktu itu terjadi perdebatan dan perselisihan, telah terjadi terpecahnya misi, dimana sebagian pasukan pemanah berhamburan keluar dari posisinya semula untuk berebut harta rampasan perang milik orang-orang Quraisy yang lari ketakutan. Padahal pada waktu itu Rasul saw. telah melarang mereka untuk beranjak dari tempatnya. Keadaan itu dimanfaatkan baik oleh pihak musuh yang waktu itu dipimpin oleh Khalîd bin Walîd (sebelum memeluk Islam) untuk menggempur pasukan muslim dari arah belakang. Akhirnya kekalahan pahit dialami oleh orang-orang muslim dan menjadikan
24 Ibid . Fanatisme (ta ’ ashshub ) artinya tidak menerima kebenaran sebab tak sesuai dengan pendiriannya. Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1411 H/
1990 M), Cet. ke-8, h. 268 1990 M), Cet. ke-8, h. 268
Orang-orang mukmin hendaknya memperkokoh loyalitas di antara mereka atas dasar kesatuan yang mempersatukan mereka. Bersatu dalam kesatuan tujuan (visi) dan sasaran (misi) untuk mengabdikan diri hanya kepada Allah, mentaati hukum-hukum-Nya secara konsisten dan bersatu dalam ketaatan untuk menteladani
kepemimpinan Rasulullah saw. Pengingkaran terhadap kesatuan itu merupakan sifat yang harus ditentang. Inilah komitmen yang harus dimiliki oleh orang-orang Islam yang beriman sebagai salah satu bukti pengabdiannya kepada Allah. Sebaliknya, orang-orang munafik pada dasarnya adalah orang yang enggan mengabdikan dirinya kepada Allah, menolak hukum-hukum-Nya dan menganggap rendah Rasul-Nya Muhammad saw. Walaupun pada lahiriahnya mereka cukup piawai menutup-nutupi kemunafikannya dengan berusaha menunjukkan loyalitasnya terhadap orang-orang mukmin, sesungguhnya kepiawaian mereka itulah yang sejatinya akan membuka kedok mereka yang sebenarnya. Allah Swt. telah menegaskan bahwa mereka sesungguhnya telah kufur dan orang-orang mukmin diperintahkan harus tegas dalam bersikap terhadap mereka.
Bersatu padu dan terus menjaga loyalitas sesama mukmin merupakan strategi yang harus dilakukan dalam menghadapi orang-orang munafik. Strategi ini harus
25 Muhammad Ahmad Barrani dan Muhammad Yusuf al-Mahjub, Muhammad dan Konspirasi Yahudi , terj. Wawan Djunaedi Soffandi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), Cet. ke-1, h. 139-140, Lihat
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1414 H/ 1994 M), Cet. ke-6, Jilid 4, h. 113-133 Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1414 H/ 1994 M), Cet. ke-6, Jilid 4, h. 113-133