Menolak Mereka Sebagai Teman Dekat
B. Menolak Mereka Sebagai Teman Dekat
Setelah menyeru orang-orang mukmin untuk bersatu dan meningkatkan loyalitas di antara mereka dalam menghadapi orang-orang munafik, al-Qur`an juga memperingatkan mereka untuk mengambil sikap penolakan terhadap orang-orang munafik dalam menjadikan mereka sebagai teman karib dan penolong. Strategi seperti ini disebutkan dalam surat al-Nisâ/4 ayat 89, lanjutan ayat 88 pada surat al- Nisâ /4 yang telah dibahas sebelumnya di atas. Allah Swt. berfirman:
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong. (Qs. Al- Nisâ`/4: 89)
Pada ayat ini, Allah Swt. kembali membimbing hamba-hamba-Nya yang beriman dengan pengajaran yang sangat logis untuk difahami. Dimana sebelum Dia memerintahkan orang-orang mukmin dengan larangan-Nya mengambil orang-orang munafik sebagai teman dekat dan penolong –sebagai salah satu sikap yang harus diambil oleh orang-orang mukmin terhadap orang-orang munafik- Dia terlebih dahulu menjelaskan kembali keburukan kepribadian orang-orang munafik –sebagai
tambahan deretan panjang catatan hitam perilaku mereka- yang tidak hanya berbuat kekufuran atas diri mereka sendiri, tetapi juga berusaha untuk menjadikan orang- orang mukmin berpaling dari keimanannya menuju kekufuran sebagaimana mereka telah kufur.
Dengan kata lain, mereka (orang-orang munafik) adalah “virus” yang membinasakan dan “wabah” yang menggerogoti tubuh masyarakat Islam dalam membina, menjaga dan mempertahankan keimanannya. Sehingga tidak ada alasan bagi orang-orang Islam yang beriman untuk tidak menolak mereka menjadi teman dekat. Dan adalah sikap yang sangat tidak pantas kalau kemudian orang-orang mukmin meminta pertolongan kepada mereka.
Keinginan orang-orang munafik untuk mengkafirkan orang-orang mukmin – sebagaimana tersebut pada ayat di atas- membuktikan betapa hebatnya rasa permusuhan mereka, hingga mereka berusaha untuk menyesatkan orang-orang mukmin supaya mereka dan orang-orang mukmin sama-sama berada dalam kesesatan. Oleh karenanya orang-orang mukmin dilarang menjadikan mereka sebagai penolong bahkan ketika dalam memerangi musuh-musuh Allah sebelum perilaku Keinginan orang-orang munafik untuk mengkafirkan orang-orang mukmin – sebagaimana tersebut pada ayat di atas- membuktikan betapa hebatnya rasa permusuhan mereka, hingga mereka berusaha untuk menyesatkan orang-orang mukmin supaya mereka dan orang-orang mukmin sama-sama berada dalam kesesatan. Oleh karenanya orang-orang mukmin dilarang menjadikan mereka sebagai penolong bahkan ketika dalam memerangi musuh-musuh Allah sebelum perilaku
diperangi dengan cara ditangkap dan dibunuh. 27 Muhammad ’Alî Al-Shâbûnî menafsirkan ”maka janganlah kamu jadikan di
antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah” yaitu jangan menjadikan satupun di antara mereka sebagai penolong dan teman
hingga mereka beriman dan membuktikan keimanannya dengan hijrah dan jihad di jalan Allah. 28 Dalam konteks kekinian kata hijrah dalam ayat ini difahami sebagai
sikap dan perilaku yang menunjukkan kemantapan iman dan keseriusan dalam melaksanakan ajaran Islam. 29 Dengan kata lain apabila mereka (orang-orang
munafik) itu telah bertobat dari kemunafikannya dengan bukti-bukti yang nyata bahwa mereka telah berubah maka larangan untuk menjadikan mereka sebagai teman tidak lagi berlaku.
Lebih lanjut, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini bukan berarti melarang orang-orang mukmin menjalin hubungan dengan orang-orang munafik. Ia hanya melarang menjalin hubungan akrab. Itupun hanya dengan orang-orang yang
26 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz II, h. 225 27 Ibid ., Tentang memerangi orang-orang munafik ini akan dibahas lebih lanjut pada
pembahasan sub berikutnya. 28 Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr; Tafsîr Lil-Qur ’ ân al-Karîm , (Beirut: Dâr
al-Fikr, 1416 H/ 1996 M), Cet. ke-1, Juz I, h. 271 29 Pemahaman ini diambil karena kewajiban hijrah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah
sebelum kota Mekah dikuasai oleh kaum muslimin. Ketika itu perjuangan Islam sangat membutuhkan kehadiran semua umatnya dalam satu lokasi,dan karena itu pula –ketika itu- Nabi saw. bersabda: ”Saya berlepas diri dari setiap muslim yang berdomisili bersama orang-orang musyrik.” Disisi lain, konteks ini perlu juga diingat bahwa Nabi saw dalam sabdanya menyatakan: ”Tidak ada lagi hijrah setelah Fath (pembebasan kota Mekah dari kekuasaan kaum musyrik) tetapi yang ada (sesudah itu) adalah jihad dan niat yang tulus (untuk menegakkan ajaran Islam).” Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , Vol. 2, h. 521 sebelum kota Mekah dikuasai oleh kaum muslimin. Ketika itu perjuangan Islam sangat membutuhkan kehadiran semua umatnya dalam satu lokasi,dan karena itu pula –ketika itu- Nabi saw. bersabda: ”Saya berlepas diri dari setiap muslim yang berdomisili bersama orang-orang musyrik.” Disisi lain, konteks ini perlu juga diingat bahwa Nabi saw dalam sabdanya menyatakan: ”Tidak ada lagi hijrah setelah Fath (pembebasan kota Mekah dari kekuasaan kaum musyrik) tetapi yang ada (sesudah itu) adalah jihad dan niat yang tulus (untuk menegakkan ajaran Islam).” Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh , Vol. 2, h. 521
Kendati demikian, menurut penulis perlu diperhatikan bahwa larangan untuk menjadikan mereka sebagai teman dekat dengan meminta pertolongan kepada mereka dalam ayat ini disebutkan oleh Allah secara berulang. Yaitu ketika Allah Swt. terlebih dahulu mengungkap sisi buruk perilaku mereka terhadap orang-orang
mukmin dan mengulangi larangan itu lagi setelah memberi penegasan akan pembangkangan mereka yang harus disikapi dengan cara menawan dan membunuh mereka. Ini berarti bahwa larangan untuk menolak orang-orang munafik sebagai teman dekat dan penolong merupakan larangan yang sangat keras, hingga Allah harus mengulangnya dua kali. Pengulangan itu sekaligus menunjukkan bahwa arti dari larangan itu memiliki nilai yang sangat penting dalam menjaga dan menyelamatkan kaum muslimin dari akibat negatif perilaku orang-orang munafik yang tidak henti- hentinya menimbulkan kemudaratan bagi kaum muslimin.
Hal ini sebelumnya telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti- hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
30 Ibid.
disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (Qs. Âli 'Imrân/3: 118)
Beberapa ahli tafsir, seperti Ibn ’Abbâs, mujâhid dan Qatadah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang di luar kalanganmu pada ayat tersebut adalah orang munafik, meskipun juga bisa berlaku untuk setiap non muslim
lainnya. 31 Adapun kalimat bathânah yang diterjemahkan sebagai teman kepercayaan,
berarti teman khusus atau teman dekat yang mengetahui rahasia pribadi. 32 Dengan demikian, ia merupakan orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan rahasia
yang tidak boleh diketahui orang lain. Lebih lanjut Ibn Katsîr menjelaskan bahwa ayat ini mengandung larangan terhadap orang-orang mukmin agar tidak menjadikan orang-orang munafik sebagai teman dekat karena mereka akan membongkar rahasia-rahasia dan apa yang disembunyikan oleh kaum mukmin kepada pihak musuh. Orang-orang munafik, dengan upaya dan kemampuan yang mereka miliki, senantiasa berusaha untuk merugikan dan memudharatkan orang-orang mukmin dengan berbagai strategi, termasuk menggunakan cara-cara muslihat serta tipu daya yang dapat mereka terapkan. Mereka menyenangi sesuatu yang dapat menyusahkan, menyengsarakan,
dan memberatkan orang-orang mukmin. 33
31 Lihat Abî Ja’far Muhammad bin Jarîr al-Thabarî, Jâmi ’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân , (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1420 H/1999 M), Cet. ke-3, Jilid III, h. 407; Ibn Katsîr, Tafsîr al-
Qur ’ ân …, Juz III, h. 63-64 32 Ibid ., h. 63, Lihat Hasanain Muhammad Makhluf, Kamus al-Qur`an, terj. Hery Noer Aly,
(Bandung: Gema Risalah Press, 1996), cet. ke-11, h. 35 33 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz II, h. 63
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa ’Umar bin al-Khaththâb pernah mendapat laporan bahwa di kalangan kaum transisional waktu itu ada pemuda yang cakap menghafal dan ahli menulis. Kemudian ’Umar disarankan menjadikannya sebagai mitra. Maka ’Umar berkata, ”Jika demikian berarti saya telah mengambilnya sebagai mitra dari nonmukmin.” Ayat dan atsar tersebut jelas menunjukkan bahwa orang nonmukmin –bahkan zhimmi (nonmukmin yang dilindungi) sekalipun- tidak
boleh dipekerjakan dalam kegiatan tulis menulis (administrator) yang dapat menimbulkan fitnah terhadap kaum mukmin serta dapat mengetahui urusan internmereka sehingga dikhawatirkan dia akan menyebarkannya kepada pihak
musuh. 34 Ayat tersebut memperingatkan orang-orang mukmin agar tidak memberikan
pertolongan kepada musuh-musuh agama dari kalangan orang-orang munafik dan menjadikan mereka sebagai teman karib, sehingga orang-orang mukmin itu mencintai dan bahu membahu dengan mereka yang memandang kekufuran di dalam hati,
kejahatan dan permusuhan. 35 Jadi secara tegas orang-orang mukmin harus menolak orang-orang munafik menjadi teman dekat.
Cara ini merupakan upaya preventif (pencegahan) agar tidak terjadi pengkhianatan dalam tubuh gerakan kaum muslimin yang dapat menghancurkan perjuangan dan cita-cita mereka. Dan pada dasarnya Allah Swt juga telah
34 Ibid . 35 Al-Shâbûnî, Cahaya Al-Qur`an…, Jilid I, h. 158 34 Ibid . 35 Al-Shâbûnî, Cahaya Al-Qur`an…, Jilid I, h. 158
Sayyid Quthb memperingatkan tentang karakter orang munafik ini sebagai musuh yang tidak pernah berbuat tulus kepada orang-orang mukmin sama sekali. Kaum mukminin harus benar-benar memperhatikan hakikat masalah ini, serta dapat merenungkan dan memikirkan tipu daya mereka. Kecintaan dan kesetiakawanan
orang-orang mukmin tidak akan pernah dapat mencuci dendam dan kebencian mereka kepada orang-orang mukmin. Hal ini tidak hanya berlangsung pada satu masa tertentu saja dalam sejarah. Tetapi ini adalah hakikat yang abadi dan menjadi realitas
kehidupan sepanjang masa. 36 Pada ayat tersebut di atas juga dijelaskan oleh Allah Swt. alasan mengapa Dia
melarang orang-orang mukmin menjadikan orang-orang munafik sebagai mitra kerja kepercayaan. Ini merupakan sisi lain dari manhaj (metode) pendidikan yang
ditunjukkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. 37 Bahwa agar dalam setiap aktivitas pendidikan yang dilakukan oleh manusia pun dalam menyampaikan suatu larangan
untuk kebaikan dan perbaikan harus disertai argumentasi atau alasan yang dapat membuka jiwa setiap orang untuk dapat menerima dan mematuhinya. Dengan konsep pengajaran seperti itu akan dapat meminimalisir terjadinya penolakan atas suatu perintah atau aktivitas yang dikehendaki untuk dikerjakan.
36 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid I, h. 452 37 Lihat 'Abdurrahmân Nashîr as-Sa’dî, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur`an, terj. Marsuni Sasaki
dan Mustahab Abdullah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. ke-2, h. 27-28
Pada ayat selanjutnya Allah menyayangkan sikap orang-orang mukmin yang berkasih sayang terhadap orang-orang munafik. Padahal mereka bersikap sebaliknya terhadap orang-orang mukmin. Kalaupun mereka menunjukkan kasih sayangnya, sesungguhnya itu hanya pada lahirnya saja, di hati mereka sesungguhnya dipenuhi kebencian terhadap orang-orang mukmin. Sehingga mereka selalu berperilaku sebaliknya dari apa yang diperbuat oleh orang-orang mukmin sebagai wujud
pertentangan dan permusuhan yang tertanam dalam diri mereka. Allahlah yang Maha Tahu apa yang telah mereka sembunyikan dari kebenaran yang sesungguhnya. Inilah kandungan makna yang terdapat pada firman Allah berikut:
Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: "Kami beriman"; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati. (Qs. Âli 'Imrân/3: 119)
Dengan manhaj yang sama ayat ini melarang orang-orang mukmin untuk berkasih sayang dengan orang-orang munafik (termasuk non mukmin lainnya) dengan alasan bahwa sesungguhnya mereka juga tidak berkasih sayang terhadap orang-orang mukmin, tidak beriman sebagaimana iman orang-orang mukmin. Kalaupun mereka mengatakannya untuk meyakinkan orang-orang mukmin, itu Dengan manhaj yang sama ayat ini melarang orang-orang mukmin untuk berkasih sayang dengan orang-orang munafik (termasuk non mukmin lainnya) dengan alasan bahwa sesungguhnya mereka juga tidak berkasih sayang terhadap orang-orang mukmin, tidak beriman sebagaimana iman orang-orang mukmin. Kalaupun mereka mengatakannya untuk meyakinkan orang-orang mukmin, itu
Islam tidak membolehkan berkasih sayang dengan orang-orang non mukmin yang memusuhi Islam. Dan tidak pula diperbolehkan untuk menjadikan mereka sebagai teman kesayangan, kendatipun mereka adalah bapak, anak, saudara atau famili kaum muslimin sendiri. Dan al-Qur`an memandang orang yang berbuat
demikian terlepas dari iman. Teman yang baik adalah mereka yang senantiasa mendukung di saat senang maupun susah. Ikut merasa bahagia di saat temannya memperoleh kebaikan dan nikmat, sebaliknya ikut prihatin di saat temannya mendapat kesusahan. Namun tidak demikian halnya orang-orang munafik dan kafir itu, sehingga sangat wajar bila mereka harus ditolak sebagai teman dekat. Ayat selanjutnya membongkar kedok mereka sebagai berikut:
Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan. (Qs. Âli 'Imrân/3: 120)
38 Abdul Qadir Audah, Islam dan Perundang-Undangan, terj., (Jakarta: Mulya, 1965), h. 90
Ayat ini menjelaskan keburukan sikap orang-orang munafik yang justru melampiaskan kegembiraannya ketika orang-orang Islam ditimpa bencana. Sebaliknya mereka bersedih hati jika orang-orang Islam mendapat kemenangan,
keberhasilan, dukungan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. 39 Bagi orang-orang munafik kesuksesan orang-orang Islam adalah petaka.
Mereka menganggapnya sebagai satu kekalahan yang menghinakan karena kerja
keras mereka untuk melemahkan dan menggerogoti kaum muslimin gagal berantakan. Namun langkah mereka merancang strategi yang lebih licik tidak akan pernah surut untuk menghadang dan mengkandaskan setiap langkah perjuangan umat Islam. Untuk itu Allah membimbing orang-orang Islam untuk selalu meningkatkan
kesabaran dan ketakwaan dalam mengahadapi makar mereka. 40 Ayat-ayat tersebut menjadi dasar yang tegas dan jelas dalam mengatur
ketentuan-ketentuan dalam etika pergaulan dalam bidang kehidupan dan kemasyarakatan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang munafik (termasuk dengan orang-orang non mukmin lainnya), yaitu tidak dibenarkannya orang mukmin mengambil mereka menjadi teman kepercayaan, teman dekat atau orang
kesayangan. 41 Sekaligus ayat-ayat tersebut juga memberikan gambaran yang jelas tentang watak dan sifat orang-orang kafir (munafik) dalam menghadapi orang-orang
Islam yang beriman. Rasa permusuhan dan kebencian yang ada dalam dada mereka
39 Ahzami Sami’un Jazuli, Fiqh Al-Qur`an; Kajian Atas Tema-tema Penting dalam Al-Qur`an, (Jakarta: Kilau Intan, 1426 H/ 2005 M), Cet. ke-1, h. 158
40 Ibid . 41 Abdul Qadir Djaelani, Jihad Fi Sabilillah dan Tantangan-tantangannya, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1416 H/ 1995 M), h. 316 Ilmu Jaya, 1416 H/ 1995 M), h. 316
internasional. Juga dilakukan lewat lembaga-lembaga yang dibentuk atas nama agama atau ideologi tertentu, politik, ekonomi, sosial, seni dan budaya yang semuanya memiliki misi tersembunyi dibalik misi suci kemanusiaan yang dengan sengaja mereka gaungkan untuk menutupi kemunafikan sejatinya.
Dalam mengomentari rangkaian ayat-ayat di atas (Qs. Âli 'Imrân/3: 118-120), Sayyid Quthb memprihatinkan sikap orang-orang Islam yang belum sadar juga. Padahal sudah berulang kali orang-orang Islam menyingkap tipu daya dan persekongkolan musuh-musuh Islam itu dalam berbagai persoalan, tetapi orang-orang Islam tidak menjadikannya sebagai pelajaran. Akibatnya umat Islam mengalami kemunduran, menjadi hina, lemah dan tidak percaya diri. Kesusahan dan penderitaanpun akhirnya dialami oleh orang-orang Islam akibat kemudaratan yang
mereka sisipkan ke dalam barisan kaum muslimin. 43 Demikianlah Allah Swt. memberitahukan dan mengajarkan kepada kaum
muslimin –sebagaimana Dia telah memberitahukan dan mengajarkan kepada kaum
42 Ibid ., h. 317 43 Sayyid Quthb, Fî Zhîlâl al-Qur`ân, Jilid I, h. 452-453 42 Ibid ., h. 317 43 Sayyid Quthb, Fî Zhîlâl al-Qur`ân, Jilid I, h. 452-453
mereka. 44 Oleh karenanya memilih teman bergaul haruslah selektif, sebab ia bisa saja
memiliki pengaruh yang dapat membahayakan bagi kehidupan, dapat menghancurkan
pergerakan dan cita-cita. Rasulullah saw. memperingatkan hal ini sebagaimana sabdanya: ﺮﹸﻈﻨﻴﹾﻠﹶﻓ ِﻪِﻠﻴِﻠﺧ ِﻦﻳِﺩ ﻰﹶﻠﻋ ﹸﻞﺟﺮﻟﺍ : ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ : ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ
Dari Abi Hurairah, telah berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.: ” Seseorang itu berada pada agama teman karibnya. Maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang menjadi temannya.”
Berhubungan dengan hadis ini Ibn Qudamah menerangkan secara global syarat-syarat orang yang dapat dijadikan sebagai teman karib sebagai berikut:
1. Orang yang berakal. Karena akal (kecerdasan) merupakan modal yang utama. Tidak ada kebaikan bergaul dengan orang yang bodoh, karena bisa saja dia hendak memberikan manfaat tapi justru memberi mudarat. Yang dimaksudkan orang yang berakal disini ialah orang yang mengetahui segala
44 Ibid ., h. 453 45 HR. Al-Tirmidzî dalam Kitâb al-Zuhud No. 2300; Abû Dâwud dalam Kitâb al-Adab No.
2. Baik akhlaknya. Ini merupakan keharusan, sebab berapa banyak orang berakal yang dirinya lebih banyak dikuasai oleh amarah dan nafsu, lalu dia tunduk kepada nafsunya, sehingga tidak ada manfaat bergaul dengannya.
3. Bukan orang fasik. Sebab orang fasik tidak pernah merasa takut kepada Allah,
sehingga tentu sulit dipercaya dan sewaktu-waktu orang lain tidak aman dari tipu dayanya.
4. Bukan ahli bid’ah. Persahabatan dengannya harus dihindari karena bid’ah yang dilakukannya. Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, ”Hendaklah engkau mencari teman-teman yang jujur, niscaya engkau akan hidup aman dalam lindungan-Nya. Mereka merupakan hiasan pada saat gembira dan hiburan pada saat berduka. Letakkan urusan saudaramu pada tempat yang paling baik, hingga ia datang kepadamu untuk mengambil apa yang dititipkan kepadamu. Hindarilah musuhmu dan waspadailah temanmu kecuali orang yang bisa dipercaya. Tidak ada orang yang bisa dipercayai kecuali orang yang takut kepada Allah. Janganlah engkau berteman dengan orang keji, karena engkau bisa belajar dari kefasikannya. Jangan engkau bocorkan rahasiamu kepadanya dan mintalah pendapat dalam menghadapi masalahmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah.”
5. Tidak rakus terhadap dunia. Berdasarkan persyaratan di atas orang munafik merupakan orang yang
karakternya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan teman karib. Kalaupun satu syarat ada padanya, yaitu syarat pertama sebagai orang yang berakal. Namun, itupun telah rusak oleh tarikan amarah dan hawa nafsunya yang selalu cenderung berbuat kerusakan dan kehancuran akibat telah rusak akhlaknya. Orang-orang munafik adalah
orang fasik, ahli bid’ah yang jauh dari kejujuran, suka berkhianat, dan tamak terhadap kehidupan dunia. Keburukan-keburukan dalam berperilaku di tengah-tengah kehidupan sosial dan masyarakat selalu disandarkan pada mereka sebagaimana karakteristik mereka yang telah diuraikan dalam pembahasan pada bab-bab terdahulu.
Menolak mereka sebagai teman dekat merupakan strategi Qur`ani yang harus dijalankan orang-orang mukmin untuk menghindari dan mengantisipasi akibat buruk yang ditimbulkan oleh mereka. Perilaku orang-orang munafik tidak hanya merugikan mereka sendiri, tetapi juga dapat menghancurkan kehidupan kaum mukmin. Memasukkan mereka ke dalam lingkungan kehidupan orang-orang mukmin, ibarat memasukkan virus yang membahayakan dan wabah penyakit yang tersebar di dalam tubuh kaum mukmin, akan menggerogoti seluruh kebaikan dari berbagai kehidupan kaum mukmin baik secara individu, keluarga, masyarakat sampai pada kehidupan bernegara. Karena bagaimanapun mereka adalah bagian dari unsur-unsur yang
46 Ahmad bin 'Abdurrahmân bin Qudamah al-Maqdisî, Minhajul Qashidin; Jalan Orang- orang yang Mendapat Petunjuk , terj. Kathur Sukardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997), Cet. ke-1,
h. 121-122 h. 121-122
Itu berarti setiap individu memiliki peran yang sangat urgen bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang baik. Itu pulalah yang menjadikan urgennya menseleksi setiap orang untuk dijadikan teman bergaul.
Berkenaan dengan masalah ini manhaj qur’ani mengajarkan bahwa untuk
menciptakan masyarakat yang baik harus bermula dengan menciptakan manusia (sebagai individu) yang baik, sebab individu itulah sebagai unit terkecil dalam masyarakat, adalah penting mengakui bahwa masyarakat menurut pandangan Islam memiliki perbedaan asasi dengan masyarakat menurut pandangan sosiologi modern yang berdasar pada pandangan Rousseau tentang adanya perjanjian sosial (le contract social). Pada pandangan Islam yang ada adalah perjanjian perseorangan (le
contract individual) antara tiap manusia dengan Tuhan. 47 Sehingga apapun yang berlaku pada masyarakat, naik atau buruk, bergantung kepada anggota-anggotanya
yang merupakan individu-individu. 48 Jadi individu itulah sumber segala sesuatu yang berlaku di masyarakat, apapun namanya, seperti perubahan sosial, keserasian sosial,
organisasi sosial, perpaduan sosial, ketertiban sosial dan lain-lain sebagainya. 49 Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Muhammad Quthb, bahwa dalam
menciptakan masyarakat Islam harus memulainya dari seorang atau kumpulan
47 Lihat Qs. Al-A’râf/7: 172 48 Lihat Qs. Al-Ra’d/13: 12 49 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi, Filsafat dan
Pendidikan , (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), Cet. ke-2, h. 81 Pendidikan , (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), Cet. ke-2, h. 81
dipungkiri keberadaannya dan telah mengambil bagiannya dalam sejarah. Dengan demikian, kendatipun Islam menekankan tanggung jawab perseorangan dan pribadi bagi manusia dan menganggapnya sebagai azas, ia tidaklah mengabaikan tanggung jawab sosial yang menjadikan masyarakat sebagai masyarakat solidaritas, berpadu dan bekerjasama membina dan mempertahankan kebaikan. Semua anggota masyarakat memikul tanggung jawab membina, memakmurkan, memperbaiki, mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar dimana tanggung jawab manusia melebihi perbuatan-perbuatannya yang khas, perasaannya, pikiran-pikirannya, keputusan- keputusannya dan maksud-maksudnya, sehingga mencakup masyarakat tempat ia
hidup dan alam sekitar yang mengelilinginya. 52 Hubungannya dengan pembahasan tentang strategi menghadapi orang
munafik sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur`an di atas adalah bahwa
50 Muhammad Quthb, Manhaj al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Syurûq, tt), h. 265 51 Lihat Ibid., h. 265-266 52 Zakiyah Daradjat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. ke-3, h.
Namun demikian penolakan terhadap orang-orang munafik sebagai teman dekat bukan berarti menjauhi mereka secara total. Pergaulan dan kerjasama untuk tolong-menolong atau bergotong royong dengan mereka tetap dapat dilakukan dalam
kehidupan masyarakat, selama umat Islam harus tunduk pada kriteria-kriteria Islam dalam menentukan bentuk-bentuk kerjasama. Sebab tidak semua kegiatan dan aktivitas di dalam masyarakat dapat dilakukan kerjasama antara kaum muslim dengan golongan kafir (munafik).
Adapun kriteria-kriteria itu terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Kegiatan yang bernilai ”kebajikan dan ketaatan” kepada Allah, maka kaum muslimin dibolehkan untuk melakukan kerjasama dengan golongan non muslim.
2. Kegiatan yang bernilai ”dosa dan permusuhan” kaum muslimin dilarang ikut bekerjasama untuk melakukannya. 53
Ketentuan ini tertuang di dalam firman Allah Swt. pada surat al-Mâidah/5: 2 sebagai berikut:
53 Abdul Qadir Djaelani, Jihad Fi Sabilillah…, h. 323
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Qs. Al-Mâidah/5: 2)
Ayat ini mengandung pengertian bahwa tolong menolong yang diperintahkan itu ialah bertolongan dalam pekerjaan yang baik-baik yakni yang berkaitan dengan
segala bentuk kebajikan dan meninggalkan kemungkaran (dosa dan maksiat) yakni dalam bentuk melakukan ketaqwaan. Adapun tolong menolong yang dilarang itu adalah saling tolong menolong dalam kebathilan dan dalam segala bentuk dosa serta
hal-hal yang haram. 54 Semua usaha yang dilakukan dalam kegiatan itu hendaknya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. 55
Dan perlu ditegaskan di sini, bahwa tolong menolong antara orang mukmin dengan orang non mukmin adalah tidak sama pengertiannya dengan orang mukmin yang meminta atau menjadikan mereka sebagai penolong semata. Tolong menolong mengandung arti bahwa antara kedua belah pihak saling bergantung satu sama lainnya dalam aktivitas pekerjaan yang sedang dilakukan. Hasil dari pekerjaan itupun memiliki manfaat untuk dinikmati dan merupakan kepentingan bersama yang hendak dicapai. Sedangkan meminta tolong atau menjadikan seseorang menjadi penolong berarti memposisikan orang yang minta tolong sebagai pihak yang lemah yang bergantung dengan pihak yang menolong. Sehingga kendatipun pertolongan yang
54 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân..., Juz III, h. 8 55 Lihat Al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, Juz I, h. 301 54 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân..., Juz III, h. 8 55 Lihat Al-Shâbûnî, Shafwah al-Tafâsîr, Juz I, h. 301
Dalam hal terakhir inilah orang-orang mukmin dilarang, yaitu menjadikan orang-orang munafik sebagai teman dekat dan penolong. Namun tetap dibolehkan
untuk menjadikan mereka sebagai teman bergaul dalam kehidupan sosial dan masyarakat, selama hal itu dalam rangka menjalankan dakwah Islam terhadap mereka yang merupakan satu kewajiban pula yang harus dijalankan sebagai wujud pelaksanaan amar makruf nahi mungkar sesuai dengan petunjuk al-Qur`an dan ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya. Namun pada sisi lain, pergaulan itupun harus dihentikan apabila dikhawatirkan orang-orang munafik itu lebih berpengaruh menyeret orang-orang mukmin pada kekufuran seperti mereka.