Bahaya Orang Munafik
A. Bahaya Orang Munafik
1. Terhadap Keimanan
Yang dimaksud dengan pembahasan tentang masalah ini adalah pengaruh
negatif yang ditimbulkan oleh sebab sifat kemunafikan yang ada pada diri orang munafik terhadap kualitas dan status keimanannya. Termasuk juga pengaruh yang
ditimbulkan oleh orang munafik terhadap orang-orang mukmin 1 akibat propaganda dan konspirasi jahat yang mereka lakukan di tengah-tengah interaksi sosial yang
berlangsung di antara mereka (orang-orang munafik dan orang-orang mukmin). Hal ini penting, karena keimanan merupakan masalah pokok dan pertama yang diperbincangkan dari masalah-masalah agama yang besar. Ibarat sebuah bangunan, keimanan merupakan dasar pondasi bagi tegak dan bertahannya bangunan tersebut. Dimana sebuah bangunan, betapa pun megah dan indah arsitekturnya, jika ia berada di atas pondasi yang tidak sesuai dengan semestinya, pastilah akan mengalami kehancuran yang fatal. Kemegahan dan keindahan yang dimiliki oleh bangunan tersebut hanya dapat dinikmati sesaat, atau bahkan akan menimbulkan kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang ada di dalam dan sekitarnya apabila tidak segera menghindar dan menjauh dari lokasi tempat bangunan itu berada.
1 Dalam tesis ini sebutan untuk orang-orang mukmin terkadang ditulis dengan orang-orang muslim dengan makna yang sama.
Seperti itu pulalah iman, ia merupakan dasar utama bagi setiap perilaku manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan dan antar sesamanya. Perilaku-perilaku yang muncul dan akibat yang dihasilkan oleh perilaku-perilaku manusia beriman diharapkan –dan memang diarahkan- untuk dapat menciptakan kebahagiaan hakiki dalam kehidupan. Baik kebahagiaan bagi pelakunya (orang beriman) maupun bagi sesamanya dan juga lingkungan sekitarnya. Dan kebahagiaan yang dicapai itu tidak
hanya untuk kehidupan di dunia kini, tetapi juga untuk kehidupan di akhirat nanti sebagaimana yang diyakini.
Berkenaan dengan itu, -sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya- orang munafik merupakan salah satu sosok manusia yang memiliki perilaku ganda yang terkadang pada satu sisi kelihatannya berbuat kebaikan tetapi pada sisi yang lain sesungguhnya ia telah berbuat kerusakan dan kehancuran. Padahal dalam berbagai kesempatan ia selalu menyatakan bahwa ia orang beriman. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang akan marah besar dan sangat tempramental bila ada orang yang menyinggung status keimanannya tersebut. Bagaimana sesungguhnya status keimanannya tersebut?
Iman secara etimologi berarti "percaya", yaitu percaya dengan hati. 2 Dalam menjelaskan tentang ini, Ibn Taimiyyah membedakan pengertian antara îmân dengan
tashdîq sampai dari segi bahasa, sehingga tidak ada orang yang membatasi makna îmân hanya dengan tashdîq. Hal ini dimaksudkan untuk tidak sembarangan
2 'Alî bin Muhammad bin 'Alî al–Husainî al–Jurjânî, Al-Ta'rîfât, (Beirut: Dâr al-Kutub al- '’Ilmiyyah, 1424 H/ 2003 M), Cet. ke-2, h. 43 2 'Alî bin Muhammad bin 'Alî al–Husainî al–Jurjânî, Al-Ta'rîfât, (Beirut: Dâr al-Kutub al- '’Ilmiyyah, 1424 H/ 2003 M), Cet. ke-2, h. 43
nash syar'i. 3 Adapun secara terminologi syari'at Islam, Iman adalah tunduknya jiwa kepada
kebenaran dengan membenarkannya dan mempunyai syarat yang integral; yaitu
pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota tubuh. Masing-masing dari ketiga perkara ini; yaitu akidah, perkataan yang benar dan
amal saleh dapat dikatakan iman. 4 Dengan demikian, iman dapat diartikan sebagai pengakuan hati dan lisan yang
direalisasikan dengan perbuatan. Karena sumber pengakuan itu berasal dari petunjuk dalil-dalil syar'i, maka perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam apa yang disebut iman itu juga harus bersumber dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar'i dimaksud.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa iman menuntut keterkaitan antara perkataan dan perbuatan. Iman tidak hanya cukup dengan memenuhi salah satu dari keduanya, karena iman tersebut terletak pada pengakuan atau kepercayaan pada seluruh ajaran yang dibawa Nabi saw. dari Allah dengan niat, pernyataan dan perbuatan. Sebab, orang yang percaya dan tidak menyatakannya secara lisan serta
3 Lihat Abdur Razzaq Ma'asy, Mengupas Kebodohan Dalam Aqidah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 1422 H/ 2001 M), h. 27-28
4 Lihat Al-Râghib al-Ashfahânî, Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al- Fikr, tt), h. 22 4 Lihat Al-Râghib al-Ashfahânî, Mu'jam Mufradât Alfâzh al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al- Fikr, tt), h. 22
menyandang predikat mukmin. 5 Uraian di atas sangat berkenaan dengan sifat orang munafik. Sebagaimana
telah dijelaskan pada bab terdahulu, itu berarti bahwa sifat nifâq merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi status keimanan seseorang.
Menurut riwayat, para sahabat begitu sangat takutnya kalau-kalau dirinya terjerumus ke dalam nifâq. Ibn Abî Mulaikah berkata: "Aku bertemu dengan 30
sahabat Rasulullah saw., mereka semua takut kalau-kalau ada nifâq dalam dirinya." 6 Oleh karena itu para ulama sangat mewaspadai nifâq. Hasan Al- Bashri mengatakan,
"Nifâq tidak diwaspadai kecuali oleh mukmin, dan tidak merasa aman kecuali munafik". 7 Bahkan ada yang menyatakan "Barang siapa yang tidak takut terhadap
nifâq 8 berarti ia munafik". Menurut al-Qur`an sifat nifâq dapat memutuskan status keimanan seseorang.
Orang munafik oleh Allah Swt. telah dicap sebagai kafir. Hal ini berdasarkan firman- Nya:
5 Abdur Razzaq Ma'asy, Mengupas Kebodohan…, h. 30 6 Lihat Ibn Hajar al-Asqalâni, Fathul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhârî, (Beirut: Dâr al Fikr, tt),
Jilid I, h. 109-110 7 `Â'idh 'Abdullâh Al-Qarnî, Bahaya Kemunafikan Di Tengah Kita, (Jakarta: Qisthi Press,
2003), h. 67 8 Lihat Abî Bakr al-Firyâbî, Shifah al-Nifâq wa Dzamm al-Munâfiqin, Tahqîq: Muhammad
'Abd al-Qâdir 'Athâ, (Beirut: Dâr al-Kutub 'Ilmiyyah, 1408 H/1987 M), Cet. ke-2, h. 60
Dan mereka berkata: "Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami mentaati (keduanya)." Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. (Qs. Al-Nûr/24: 47)
Orang munafik divonis kafir karena mereka telah mempermainkan keimanannya. Mereka mengatakan dengan lisannya telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itu memang merupakan pokok dari pernyataan iman. Namun dihatinya sesungguhnya ia telah mengingkarinya. Padahal hakekat keimanan itu adalah keyakinan yang letaknya dihati. Mereka telah berdusta dengan lisannya, sehingga syahadat yang mereka ikrarkan sia-sia dan tidak ada iman bagi mereka karena perbuatannya itu.
Jadi dalam hal ini, kemunafikan yang dianggap telah keluar dari keimanan secara total adalah mencakup kemunafikan besar yang bernuansa akidah (keyakinan),
dimana pelakunya akan menampakkan keislaman serta menyembunyikan kekufuran. 9 Allah Swt. menyifati orang-orang munafik seperti itu dengan sifat-sifat yang
buruk, seperti dengan kekufuran, tidak memiliki iman, mempermainkan agama dan mengolok-olok penganut agama (kaum muslimin), dan lebih cenderung serta berpihak kepada musuh-musuh, karena adanya kesamaan di antara mereka dengan
9 Lihat dalam pembahasan tentang arti munafik yang membagi sifat nifâq menjadi 2 bagian/tingkatan, pada bab II.
musuh-musuh Allah dalam memusuhi agama Islam. Mereka selalu ada dalam setiap masa (tanpa kecuali pada masa sekarang), dimana mereka mencap dirinya dengan
sekulerisme, materialisme, atheisme, dan liberalisme. 10 Adapun kemunafikan dalam bentuk kedua, yaitu kemunafikan dalam bentuk
perbuatan, meskipun kemunafikan amali ini tidak sampai menyebabkan pelakunya dianggap keluar dari keimanan (baca: Islam) secara total, tetapi ia merupakan lorong
menuju kekufuran. Orang munafik yang divonis kufur, karena telah membalikkan keimanan mereka kepada kekafiran akibat perbuatan mereka sendiri yang tidak mencerminkan sikap hidup sebagai mukmin. Bahkan mereka cenderung berusaha untuk mengkafirkan orang-orang yang beriman. Cukuplah ini menjadi hujjah atas kekafiran mereka. Sebagaimana firman Allah: ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻞﺿﹶﺃ ﻦﻣ ﺍﻭﺪﻬﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﹶﻥﻭﺪﻳِﺮﺗﹶﺃ ﺍﻮﺒﺴﹶﻛ ﺎﻤِﺑ ﻢﻬﺴﹶﻛﺭﹶﺃ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ِﻦﻴﺘﹶﺌِﻓ ﲔِﻘِﻓﺎﻨﻤﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺎﻤﹶﻓ ﺎﹶﻠﹶﻓ ًﺀﺍﻮﺳ ﹶﻥﻮﻧﻮﹸﻜﺘﹶﻓ ﺍﻭﺮﹶﻔﹶﻛ ﺎﻤﹶﻛ ﹶﻥﻭﺮﹸﻔﹾﻜﺗ ﻮﹶﻟ ﺍﻭﺩﻭ ( ٨٨ ) ﺎﹰﻠﻴِﺒﺳ ﻪﹶﻟ ﺪِﺠﺗ ﻦﹶﻠﹶﻓ ﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻞِﻠﻀﻳ ﻦﻣﻭ ﹸﺚﻴﺣ ﻢﻫﻮﹸﻠﺘﹾﻗﺍﻭ ﻢﻫﻭﹸﺬﺨﹶﻓ ﺍﻮﱠﻟﻮﺗ ﹾﻥِﺈﹶﻓ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻞﻴِﺒﺳ ﻲِﻓ ﺍﻭﺮِﺟﺎﻬﻳ ﻰﺘﺣ َﺀﺎﻴِﻟﻭﹶﺃ ﻢﻬﻨِﻣ ﺍﻭﹸﺬِﺨ ﺘﺗ
( ٨٩ - ٨٨ : ٤ / ﺀﺂﺴﻨﻟﺍ ) .( ٨٩ ) ﺍﲑِﺼﻧ ﺎﹶﻟﻭ ﺎﻴِﻟﻭ ﻢﻬﻨِﻣ ﺍﻭﹸﺬِﺨﺘﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﻢﻫﻮﻤﺗﺪﺟﻭ
Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.(88) Mereka ingin supaya kamu
10 Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, Ketentraman Hati Orang-orang Shalih dan Kesejukan Batin Orang-orang Pilihan , terj. Asep dan Kamal, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), Cet. ke-1, h. 31
11 Ibid.
menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong (mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong.(89) (Qs. Al-Nisâ`/4: 88-89)
Kekafiran orang-orang munafik lebih dipicu lagi oleh perbuatan-perbuatan mereka yang banyak melanggar syari'at ajaran agama (baca: Islam) secara sengaja,
bahkan mereka menyibukkan diri untuk mempengaruhi dan mengajak orang-orang mukmin kepada kemungkaran dan menjauhi kebaikan. Dengan kepiawaiannya bersilat lidah, kemampuannya dalam pendanaan (baca: uang) dan kekuasaan yang dimilikinya, mereka merubah keburukan menjadi kebaikan di mata masyarakat. Bahkan tidak segan-segan mereka berani merubah atau membatalkan hukum-hukum Allah yang telah jelas (Qath'i) kedudukannya, dengan alasan tidak sesuai dengan kajian ilmiah (akal) atau tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Semua itu mereka lakukan dengan motivasi tersembunyi yang ada pada nafsu keduniawiannya, yaitu demi uang, kedudukan dan popularitas. Mereka sanggup mengingkari kebenaran yang sesungguhnya mereka yakini, menggantinya dengan kehinaan dimata Allah dan orang-orang yang beriman.
Orang-orang munafik seperti itu tergolong kepada orang fasik berdasarkan firman Allah:
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. (Qs. Al- Tawbah/9: 67)
Ibn Katsîr menjelaskan makna fâsiq pada ayat di atas maksudnya: "Orang- orang yang keluar dari jalan kebenaran dan masuk kejalan kesesatan". 12 Oleh Al-
Jurjânî kata fâsiq didefinisikan adalah "Orang yang telah menyaksikan (bersyahadat) tetapi tidak mengamalkan dan tidak juga mengi'tiqadkannya". 13
Dari definisi di atas orang munafik dihukum sebagai fasik karena apa yang telah ia ikrarkan lewat kesaksian lisannya tidak sesuai dengan amal atau perbuatan yang ia lakukan. Dan hal itu sesungguhnya merupakan bukti bahwa keyakinannya (akidahnya) juga tidak sesuai dengan pengakuan lisannya. Keimanan orang munafik baru sampai pada pernyataan lisan yang penuh dengan kedustaan. Itu sebabnya orang munafik tidak pantas disebut sebagai orang yang beriman.
Al-Qur`an telah menginformasikan bahwa pada hakikatnya orang munafik yang seperti itu adalah orang kafir. Oleh karenanya diharamkan hukumnya menshalatkan jenazah orang munafik. Hal ini telah ditegaskan Allah Swt. dalam firman-Nya: ﺍﻮﺗﺎﻣﻭ ِﻪِﻟﻮﺳﺭﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ ﺍﻭﺮﹶﻔﹶﻛ ﻢﻬﻧِﺇ ِﻩِﺮﺒﹶﻗ ﻰﹶﻠﻋ ﻢﹸﻘﺗ ﺎﹶﻟﻭ ﺍﺪﺑﹶﺃ ﺕﺎﻣ ﻢﻬﻨِﻣ ٍﺪﺣﹶﺃ ﻰﹶﻠﻋ ﱢﻞﺼﺗ ﺎﹶﻟﻭ
12 'Imâduddîn Abî al-Fidâ` Ismâ'îl bin Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân al-'Azhîm, (Kairo: Maktabah al- Shafâ, 1425 H/2004 M), Cet. ke-1, Juz 4, h. 102
13 Al-Jurjânî, Al-Ta'rîfât, h. 166
Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo`akan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (Qs. Al-Tawbah/9: 84)
Mengomentari ayat di atas Imam Syafe'i berkata: "Allah menyuruh agar Nabi tidak menshalati mereka, karena shalat Nabi saw. berbeda dari shalat orang lain. Aku
berharap bahwa Allah menetapkan -apabila Dia menyuruh Nabi tidak menshalati orang-orang munafik- Nabi tidak menshalati seseorang kecuali pasti Allah mengampuni dosanya, dan menetapkan bahwa Allah tidak mengampuni orang yang berpijak pada syirik. Karena itu, Allah melarang Nabi menshalati orang yang tidak
diampuni-Nya." 14 Demikian itu halnya, karena haram hukumnya berdo'a memohon keampunan
bagi mereka. Karena Allah tidak akan pernah memberikan ampunan bagi mereka, sekalipun mereka dido'akan tujuh puluh kali. Allah menegaskan hal ini dalam firman- Nya pada ayat sebelumnya: ﻢﻬﻧﹶﺄِﺑ ﻚِﻟﹶﺫ ﻢﻬﹶﻟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺮِﻔﻐﻳ ﻦﹶﻠﹶﻓ ﹰﺓﺮﻣ ﲔِﻌﺒﺳ ﻢﻬﹶﻟ ﺮِﻔﻐﺘﺴﺗ ﹾﻥِﺇ ﻢﻬﹶﻟ ﺮِﻔﻐﺘﺴﺗ ﺎﹶﻟ ﻭﹶﺃ ﻢﻬﹶﻟ ﺮِﻔﻐﺘﺳﺍ
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah
14 Majdi bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafe'i, terj. M. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), Cet. ke-1, h. 216 14 Majdi bin Manshur bin Sayyid Asy-Syuri, Tafsir Imam Syafe'i, terj. M. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), Cet. ke-1, h. 216
Dari penjelasan dan dalil-dalil di atas dapat difahami bahwa betapa sangat buruk dan hinanya kedudukan orang munafik dalam pandangan Allah Swt.. Sifat nifâq telah membawa mereka pada kekafiran yang tidak pernah mendapat ampunan dari Allah Swt. Hal ini menunjukkan bahaya yang sangat besar bagi status keimanan seseorang.
Dengan demikian diharapkan orang mukmin menjauhi dan berhati-hati terhadap mereka. Mereka pada dasarnya adalah kafir. Hal ini termasuk persoalan yang sangat berbahaya sekali, menganggap orang jahat sebagai orang baik hanya karena melihat perbuatan lahiriyahnya saja. Karena itu, untuk mengenali orang
munafik tidaklah dapat selain melalui ciri-ciri dan bualan-bualannya. 15 Seperti firman Allah:
Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan
mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. (Qs. Muhammad/47: 30)
15 Sa'îd Hawwâ, Al-Asâs fî al-Tafsîr, (Beirut: Dâr al-Salâm, 1405 H/1985 M), Cet. ke-1, Jilid I, h. 70
Melalui ayat di atas Allah menjelaskan hakikat orang munafik itu dengan memberikan contoh dari perbuatan dan perkataannya, kemudian menyajikan beberapa sampel agar jelas betul hakikatnya. Hal ini mengingat kemunafikan merupakan
sesuatu yang sangat berbahaya terhadap umat. 16 Bahaya orang munafik terhadap keimanan orang-orang di sekitarnya tidak
hanya berupa usaha langsung dari orang munafik untuk menyeret orang-orang
mukmin kepada kekufuran. Tetapi juga dapat berupa pengaruh negatif yang timbul dari sifat nifâq yang kerapkali muncul di dalam interaksi mereka dengan orang-orang mukmin. Tanpa disadari kebiasaan-kebiasaan nifâq yang muncul dari orang-orang munafik akan menjadi suatu tradisi yang dianggap lumrah dan wajar, sehingga diikuti atau diterima oleh orang-orang mukmin yang pada awalnya sangat menentang tabi'at (sifat nifâq) tersebut.
Dewasa ini, dapat disaksikan di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin yang disadari atau tidak telah terseret pada sikap dan pola hidup materialistis dan hedonistis. Kecintaan terhadap duniawi (materi) dan dorongan untuk hidup berpoya- poya (hedonis) telah membutakan mata hati keimanan mereka. Untuk mencapai itu mereka rela menggadaikan keimanannya, namun tidak berani secara terang-terangan. Sikap sembunyi-sembunyi seperti itulah yang telah memasukkan mereka ke dalam kemunafikan. Perbuatan nifâq itu mereka lakukan untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya telah bertentangan dengan keimanan.
16 Ibid . 17 Lihat pada pembahasan sebelumnya pada bab II tentang usaha-usaha orang munafik.
Pada gilirannya, karena hampir semua mereka telah bersikap yang sama seperti tersebut, maka seakan-akan apa yang mereka lakukan itu adalah masalah biasa yang tidak lagi dianggap tabu dan tercela. Mereka telah menceburkan diri ke dalam kemunafikan yang seakan dilegalkan oleh karena kebiasaan yang telah mereka anggap lumrah dan wajar dalam menjalani hidup di era modern yang menurut mereka tidak mungkin untuk dihindari.
Gambaran seperti tersebut di atas mengindikasikan betapa bahayanya apa yang ditimbulkan orang munafik terhadap keimanan mereka dan juga keimanan orang-orang di sekitar mereka. Pada satu sisi, mereka telah berdosa dengan merusak keimanannya sendiri dan pada sisi yang lain mereka bahkan menambah dosa dengan merusak keimanan orang lain.
2. Terhadap Peribadatan
Al-Qur`an menginformasikan bahwa orang munafik dalam beribadah kepada Allah Swt. adalah bersikap malas, riyâ' dan lalai. Hal ini diungkap Allah dalam firman-Nya:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
Berkenaan dengan firman Allah ﺱﺎﻨﻟﺍ ﹶﻥﻭُﺀﺍﺮﻳ , Ibn Katsîr berkata, "Inilah
gambaran orang munafik dalam melakukan amal yang paling utama, mulia lagi baik yaitu shalat. Jika mereka melakukannya mereka lakukan dengan malas, sebab tidak
disertai oleh niat, iman, takut (kepada Allah), dan merekapun tidak memahami maknanya (shalat). Mereka melakukan shalat hanya untuk tujuan perlindungan diri dan kepura-puraan. Mereka bermaksud riyâ' dihadapan manusia. Maksudnya mereka lakukan ibadah itu dengan tiada keikhlasan dalam diri mereka. Oleh karena itu mereka banyak meninggalkan shalat yang pelaksanaannya tidak terlihat oleh manusia, seperti shalat Isya dan Shubuh. Dalam Shahîh Bukhârî dan Muslim diriwayatkan, bahwa Nabi saw. bersabda: "Shalat yang paling berat bagi orang-orang
munafik adalah shalat Isya dan Shubuh". 18 Adapun firman Allah ﺎﹰﻠﻴِﻠﹶﻗ ﺎﱠﻟِﺇ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﻭﺮﹸﻛﹾﺬﻳ ﺎﹶﻟﻭ maksudnya adalah mereka ketika
shalat tidak merasa takut dan tidak memahami apa yang mereka katakan (bacaan dalam shalat), mereka lalai, main-main, dan berpaling hati mereka dari kebaikan. 19
Mereka tergesa-gesa dalam melakukan shalat sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah hadis:
18 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz. II, h. 266 19 Ibid , h. 267
"Dari Al-‘Alâ` bin Abdurrahmân dari Anas bin Mâlik berkata, telah bersabda Rasulullah saw.: "Itulah shalatnya orang munafik, itulah shalatnya orang munafik, itulah shalatnya orang munafik, dimana ia duduk-duduk mengawasi matahari, dan ketika matahari telah berada di antara dua tanduk syetan (telah menguning sinarnya), barulah dia berdiri untuk mengerjakan shalat (Ashar), lalu dia mematuk-matuk empat kali, sehingga dalam mengerjakannya dia tidak menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali".
Menurut Muhammad Al-Madani, firman Allah Swt. di atas menyifati orang- orang munafik dimana jika mereka mendirikan shalat, mereka melakukannya dengan penuh kemalasan. Mereka tidak mendirikan shalat kecuali sedikit sekali. Karena tujuan mereka mendirikan shalat itu semata-mata karena riyâ' (ingin dilihat orang), sehingga mereka melaksanakan shalat jika ada orang yang melihatnya. Dan mereka
meninggalkan dan mengabaikan shalat jika tidak ada orang yang melihatnya. 21 Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa orang munafik
dalam beribadah pada dasarnya semata-mata karena riyâ'. Orang riyâ' adalah orang yang ingin memperlihatkan superioritas dirinya kepada manusia, ingin mendapatkan bagian keduniawian dari amal perbuatannya, beramal dengan bertujuan kepada selain
20 HR. Muslim dalam Kitâb al-Masâjid wa Mawâdhi' No. 987; al-Tirmidzî dalam Kitâb al- Shalâh No. 148; al-Nasâ`î dalam Kitâb al-Mawâqît No. 508; dan Abû Dâwud dalam Kitâb al-Shalâh
No. 350 21 Muhammad Al-Madani, Masyarakat Ideal (Dalam Perspektif Surah An-Nisa'), terj.
Kamaluddin Sa'diyatulharamain, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. ke-1, h. 170-171
Dzat Allah Swt. dan selain kehidupan akhirat, ingin melakukan suatu ibadah yang telah diperintahkan Allah, akan tetapi ia melakukannya bukan karena Allah. 22
Orang munafik dalam beribadah kelihatannya rajin, padahal sebenarnya mereka malas. Mereka kelihatan sangat khusyu' dalam beribadah, padahal sesungguhnya mereka lalai. Mereka sengaja berusaha untuk memperlihatkan kerajinan dan kekhusyu'annya dalam beribadah dengan sangat terpaksa karena
disaksikan orang, agar mereka dipuji dan agar kebusukan mereka dapat tertutupi. Gambaran seperti itu dapat disaksikan seperti orang shalat yang memperpanjang waktu berdiri, memperpanjang ruku' dan sujud, memperlihatkan kekhusyu'an dan ketundukan, dan memperindah shalatnya kalau mengetahui bahwa
ada orang yang sedang memperhatikannya. 23 Itulah gambaran riyâ' dalam beribadah. Riyâ' merupakan penyakit yang sangat berbahaya, terutama bagi ibadah dan
amal perbuatan seseorang. Kebalikan dari riyâ adalah ikhlas. Jadi orang yang riyâ dalam beribadah adalah orang yang tidak ikhlas dalam melakukan ibadah.
Ikhlas sangat berpengaruh dalam lubuk hati, mendorong untuk melakukan amal saleh, menerapkan sebuah metode yang dapat memperbaiki kehidupan manusia di dunia ini. Itu berarti ketidak ikhlasan (riyâ') dapat menyia-nyiakan ibadah dan amal
saleh dari pengaruh baiknya dan tujuan luhurnya. 24 Hal ini sekaligus sebagai penegasan bahwa orang munafik dalam beribadahpun, tidak hanya menimbulkan
22 Abu Salim Al-Hilaly, Riya', terj. Muhammad Nasri, (Jakarta: Darul Falah, 1423 H/2003 M), Cet. ke-1, h. 17
23 Ibid., h. 27 24 Ibid. , h. 56 23 Ibid., h. 27 24 Ibid. , h. 56
Oleh karena hakikat pendidikan yang penting ini, Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya:
ﻢﹸﻜﻨِﻣ ﺪﻳِﺮﻧ ﺎﹶﻟ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻪﺟﻮِﻟ ﻢﹸﻜﻤِﻌﹾﻄﻧ ﺎﻤﻧِﺇ ( ٨ ) ﺍﲑِﺳﹶﺃﻭ ﺎﻤﻴِﺘﻳﻭ ﺎﻨﻴِﻜﺴِﻣ ِﻪﺒﺣ ﻰﹶﻠﻋ ﻡﺎﻌﱠﻄﻟﺍ ﹶﻥﻮﻤِﻌﹾﻄﻳﻭ ( ٩ - ٨ : ٧٦ / ﻥﺎﺴﻧﻹﺍ ) .( ٩ )
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.(8) Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.(9) (Qs. Al-Insân/76: 8-9)
Petunjuk (isyarah) dari ayat al-Qur`an di atas diharapkan akan dapat menghancurkan kekerasan riyâ' yang menebarkan bau busuk pada hati pemiliknya, dan tidak akan membuka sesuatu kelemahan, meskipun pemiliknya menyerahkan sesuatu dengan segala kebanggaan. Adapun di jalan Allah, mereka akan melarang meskipun untuk hal yang sangat remeh, dan tidak mendatangi manusia karena menjadi pengikat. Hal ini dimungkinkan karena sesungguhnya orang yang ikhlas adalah ibarat oase, yang meneduhi riyâ' yang merusak. Orang ikhlas akan makan Petunjuk (isyarah) dari ayat al-Qur`an di atas diharapkan akan dapat menghancurkan kekerasan riyâ' yang menebarkan bau busuk pada hati pemiliknya, dan tidak akan membuka sesuatu kelemahan, meskipun pemiliknya menyerahkan sesuatu dengan segala kebanggaan. Adapun di jalan Allah, mereka akan melarang meskipun untuk hal yang sangat remeh, dan tidak mendatangi manusia karena menjadi pengikat. Hal ini dimungkinkan karena sesungguhnya orang yang ikhlas adalah ibarat oase, yang meneduhi riyâ' yang merusak. Orang ikhlas akan makan
Keikhlasan pada ayat tersebut di atas digambarkan sebagai sebuah misi suci untuk semata-mata mencari keridhoan Allah Swt. Semua itu dilakukan dengan niat yang tulus dan bersih serta sepenuh hati, jauh dari unsur riyâ', tidak untuk dipuji, bahkan tidak untuk sebuah ucapan terima kasih.
Firman Allah Swt. pada ayat yang lain memperingatkan bahaya riyâ' dalam beribadah –sebagaimana yang dipraktikan orang munafik-, tidak hanya menjadikan ibadah mereka sia-sia, tetapi juga dapat menimbulkan kecelakaan bagi mereka. Sebagaimana tersebut dalam surat al-Mâ'ûn/107 ayat 4-7:
ﹶﻥﻮﻌﻨﻤﻳﻭ ( ٦ ) ﹶﻥﻭُﺀﺍﺮﻳ ﻢﻫ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ( ٥ ) ﹶﻥﻮﻫﺎﺳ ﻢِﻬِﺗﺎﹶﻠﺻ ﻦﻋ ﻢﻫ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ( ٤ ) ﲔﱢﻠﺼﻤﹾﻠِﻟ ﹲﻞﻳﻮﹶﻓ ( ٧ - ٤ : ١٠٧ / ﻥﻮﻋﺎﳌﺍ ) .( ٧ ) ﹶﻥﻮﻋﺎﻤﹾﻟﺍ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(4) (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya,(5) orang-orang yang berbuat riya.(6) dan enggan (menolong dengan) barang berguna.(7) (Qs. Al-Mâ'ûn/107: 4-7)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalatnya lalai. Yaitu orang yang mengakhirkan shalat sehingga keluar dari waktunya. Mereka adalah orang-orang yang riyâ' dalam ibadahnya itu. Sehingga ibadahnya tidak memberikan pengaruh apa-apa yang seharusnya menggerakkan hatinya untuk melepas barang berguna atau apa yang dimilikinya untuk membantu
25 Ibid ., h. 57 25 Ibid ., h. 57
kepada Allah Swt. Kalaupun ada di antara orang-orang munafik yang mau memberikan barang berharga yang mereka miliki untuk menolong orang yang membutuhkannya dengan mensedekahkannya, amal tersebut pada dasarnya mereka lakukan adalah karena riyâ'. Hal itu menjadikan amal saleh tersebut batal, tidak ada pahalanya, bahkan mendatangkan dosa besar yang menunggu kejelekan yang berubah pada hari dimana harta dan anak tidak akan bermanfaat sama sekali kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang pasrah dan penuh pengharapan.
Allah Swt. berfirman:
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
26 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz VIII, h. 306-307 26 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân…, Juz VIII, h. 306-307
Berdasarkan ayat di atas dapat diambil pelajaran bahwa menyebut-nyebut sedekah dan menyakiti hati orang yang diberi sedekah itu haram hukumnya dan dapat merusak atau membatalkan pahalanya. Demikian juga apabila sedekah itu diberikan
karena pamer (riyâ), maka sedekahnya batal, tidak ada manfaatnya. Serta hukum pamer (riyâ) itu adalah haram, dan merupakan sebagian dari syirik. 27 Hal ini
diperingatkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadis:
Dari Mahmûd bin Labîd, bahwasanya telah bersabda Rasulullah saw.: "Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil". Mereka (para sahabat) bertanya: "Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Yaitu riya',"
Begitulah orang-orang munafik dalam beribadah. Mereka melakukan ibadah tidak dengan niat ikhlas, tetapi sebaliknya, karena riyâ dan dikotori pula oleh tujuan- tujuan buruk. Mereka menjadikan ibadahnya itu sebagai tameng dan alat untuk
27 Abî Bakr Jâbir al-Jazâirî, Aisar al-Tafâsîr Li Kalâm al-'Aliyy al-Kabîr, (Al-Madînah al- Munawwarah: Maktabah al-'Ulûm wa al-Hikam, 1422 H/2002 M), Cet.ke-5, Juz I, h. 123-124
28 HR. Ahmad dalam Kitâb Bâqî Musnad al-Anshâr No. 22523 28 HR. Ahmad dalam Kitâb Bâqî Musnad al-Anshâr No. 22523
… Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi .(QS. Al-Tawbah/9:69)
Melalui ayat ini diperingatkan bahwa semua kebaikan dan usaha orang-orang munafik dan orang-orang kafir akan menjadi sia-sia di dunia. Di akhiratpun tidak akan memperoleh ganjaran sedikitpun, karena amalan mereka yang secara lahiriyah tampak baik, sebenarnya semua itu dilakukan dengan riya' pamrih. Mereka itulah orang-orang yang rugi dengan kerugian yang sangat besar. Mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali hancur binasanya nilai pahala kebaikan dan azab yang pedih di dunia
dan di akhirat. 29 Padahal semestinya mereka menjadi orang-orang yang beruntung karena
mereka telah turut melakukan amal-amal sosial, jika amalan yang baik itu mereka lakukan disertai dengan kejujuran dan keikhlasan. 30 Mereka telah keliru menyangka
bahwa amal-amal baik mereka diterima Allah Swt. Padahal merekalah orang yang paling merugi amal perbuatannya sebagaimana digambarkan dalam firman Allah Swt.:
29 Wahbah al-Zuhailî, Tafsîr Munîr fî al-'Aqîdah wa Syarî'ah wa al-Manhaj, (Beirut: Dâr al- Fikr, tt), Juz IX, h. 298
30 Tim Penyusun Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1991), Jilid IV, h. 181
ﻢﻫﻭ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ِﺓﺎﻴﺤﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢﻬﻴﻌﺳ ﱠﻞﺿ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ( ١٠٣ ) ﺎﹰﻟﺎﻤﻋﹶﺃ ﻦﻳِﺮﺴﺧﹶﺄﹾﻟﺎِﺑ ﻢﹸﻜﹸﺌﺒﻨﻧ ﹾﻞﻫ ﹾﻞﹸﻗ ( ١٠٤ - ١٠٣ : ١٨ / ﻒﻬﻜﻟﺍ ) .( ١٠٤ ) ﺎﻌﻨﺻ ﹶﻥﻮﻨِﺴﺤﻳ ﻢﻬﻧﹶﺃ ﹶﻥﻮﺒﺴﺤﻳ
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"(103) Yaitu orang-orang yang telah sia- sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.(104) (Qs. Al-Kahfi/18: 103-104)
Jika demikian, bahaya riyâ', merupakan masalah yang sangat besar. Ia bisa merasuki apa saja, seluruh peribadatan, mulai dari memberi nafkah atau sedekah, shalat, dzikir, puasa, haji dan lainnya.
Oleh karenanya riyâ' perlu diantisipasi agar tidak muncul dalam diri. Dan dalam hal ini dapat dilakukan dengan jalan sebagai berikut :
1. Seseorang harus meyakini, bahwa tidak ada yang memberikan manfaat seperti kesehatan , kehidupan rizki, pahala dan lainnya selain Allah Swt. Juga tidak ada yang menghindarkan dari kemudharatan, seperti sakit, kematian, sulitnya rizki, siksaan dan lainnya selain Allah Swt.
2. Seseorang harus menyadari kemampuan dirinya sebagai makhluk. Dimana, tabiat makhluk adalah lemah, tak berdaya, tidak bisa berbuat apapun baik itu hal manfaat, hal buruk, kematian, kehidupan, pahala, siksa dan lainnya. Ini yang harus benar-benar diperhatikan.
3. Seseorang harus senantiasa berdoa kepada Allah Swt. dengan do'a yang baik memohon perlindungan kepada-Nya, agar dijauhkan dari perbuatan syirik dan 3. Seseorang harus senantiasa berdoa kepada Allah Swt. dengan do'a yang baik memohon perlindungan kepada-Nya, agar dijauhkan dari perbuatan syirik dan
diajarkan kepada para sahabatnya. 31
Selain tiga jalan di atas, ada yang memberi solusi mengatasi riyâ' terdiri dari ilmu dan amal yang dirinci sebagai berikut:
1. Mengetahui bermacam-macam tauhid tentang Keagungan Allah Swt.
2. Mengetahui balasan kenikmatan dan kenikmatan yang dijanjikan Allah di akhirat.
3. Takut terhadap riyâ'.
4. Menghindari celaan Allah.
5. Mengetahui hal-hal yang dihindari oleh syetan.
6. Menyembunyikan amal kebaikan.
7. Tidak berlebihan dalam mencela dan memuji orang.
8. Berdo'a mohon perlindungan dari perbuatan syirik dan termasuk sifat riyâ' di dalamnya.
9. Berteman dengan orang ikhlas dan bertakwa.
10. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan riyâ'. 32
31 'Â`idh 'Abdullâh Al Qarnî, Bahaya Kemunafikan …, h. 12-13. Di antara do'a Rasulullah yang diajarkan kepada sahabatnya agar terlindung dari perbuatan syirik (termasuk sifat riyâ') adalah
sebagai berikut :
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari perbuatan syirik yang aku lakukan dengan kesadaran. Dan aku memohon ampun dari syirik, yang aku tidak tahu melakukannya." (HR. Ahmad)
Dari uraian di atas, dapat diambil pelajaran sebagai peringatan bahwa bahaya orang munafik terhadap peribadatan adalah menjadikan ibadah mereka tidak hanya batal, tertolak, dan sia-sia. Bahkan ibadah yang mereka kerjakan itu merupakan dosa yang mengakibatkan laknat Allah Swt. untuk mereka. Itu semua dikarenakan tidak adanya keikhlasan mereka dalam beribadah akibat telah rusaknya iman yang menyeret mereka dalam kesyirikan, kekufuran dan kemaksiatan. Mereka enggan taat
kepada Allah dan Rasul-Nya, bahkan menentangnya, serta selalu berupaya menghindar dari syariat Allah dengan beragam alasan. Dengan demikian, setiap amal kebaikan yang mereka kerjakan tidak bermanfaat, lenyap begitu saja di hadapan Allah. Sebagaimana firman-Nya:
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa
yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka. (Qs. Muhammad/47: 9)
Kalaupun nanti di akhirat amal-amal kebaikan yang mereka perbuat diperlihatkan, maka Allah akan menjadikannya laksana debu yang beterbangan. Hal ini dikabarkan dalam firman-Nya:
32 Lihat penjelasan masing-masing rincian tersebut pada Abu Salim al-Hilaly, Riyâ', h. 80-97. Khusus untuk penjelasan tentang faktor-faktor penyebab riyâ'. Lihat, Ibid, h. 29-45
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Qs. Al-Furqân/25: 23) Amal mereka dijadikan bagaikan debu yang beterbangan maksudnya tidak
akan dibalas oleh Allah Swt. dengan balasan kebaikan sedikitpun. Sungguh sia-sia amal-amal kebaikan yang mereka lakukan.
3. Terhadap Kehidupan Masyarakat
Keberadaan orang-orang munafik di dalam masyarakat adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dideteksi. Hal ini karena kepiawaian mereka dalam merubah topeng kepribadiannya yang ganda untuk menutupi setiap aksi dan kejelekannya di tengah-tengah ummat. Ini merupakan sesuatu yang sangat membahayakan bagi kelangsungan kehidupan suatu masyarakat.
Bahaya orang munafik terhadap kehidupan masyarakat dapat dilihat dan dirasakan dari pengaruh atau akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat-sifat kemunafikan yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Di antara sifat orang munafik yang telah menjadi karakter dasar mereka adalah berdusta. Sifat ini merupakan salah satu perangai yang bernilai rendah, sifat yang tercela dan dasar bagi segala kejahatan dan keburukan. Karenanya, hukum- hukum menjadi rusak, kehormatan terinjak-injak dan berbagai kejahatan merajalela.
Dusta memang menimbulkan pengaruh yang buruk bagi individu dan masyarakat. 33
33 Muhammad Ahmad Arif, "Kejujuran", Wasiat Taqwa Ulama-Ulama Al-Azhar Kairo, terj. Husein Muhammad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), Cet. ke-1, h. 114
Pendusta-pendusta itu merupakan penyakit yang merusak masyarakat dan menghancurkan pembangunan sebuah bangsa. Jika para pengusaha berdusta, pedagang berdusta, dokter berdusta, pendidik berdusta dan pegawai berdusta, maka jelas masyarakat akan hancur. Dari dusta ini pula akan muncul perbuatan-perbuatan tercela lainnya, seperti pengkhianatan. Melalui berita bohong atau ucapan-ucapan menipu, orang dapat berkhianat, baik berkhianat dalam masalah harta benda maupun
akal fikiran. Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda:
Dari Syufyân bin Asîd al-Hadhramiy berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Adalah pengkhianatan yang besar, jika kamu berbicara dengan kawanmu yang meyakini kejujuranmu, padahal kamu sebetulnya mendustainya."
Dalam kehidupan masyarakat sikap pengkhianatan akan menimbulkan dampak yang amat buruk, apalagi jika hal itu dilakukan oleh para pemimpin yang seharusnya menjaga amanat untuk mewujudkan kebaikan di masyarakatnya. Mengkhianati amanat adalah bagian dari sifat orang munafik yang berbahaya terhadap kehidupan individu dari masyarakatnya. Menolak untuk menunaikan amanat adalah dosa, karena Allah telah memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya:
34 Ibid . 35 HR. Abî Dâwud dalam Kitâb al-Adab No. 4320
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs. Al-Nisâ`/4: 58)
Di antara yang dinamakan menjaga amanat ialah tidak menggunakan kesempatan kedudukannya atau jabatannya untuk mencari keuntungan pribadi atau keluarganya. Karena menggunakan harta rakyat adalah perbuatan kriminil. Suatu masyarakat yang ingin membangun dirinya hingga menjadi masyarakat yang kuat dan moralistis, harus mau membersihkan aparatnya dari perbuatan-perbuatan buruk dan hendaklah mereka memiliki moral yang luhur. Karena itu, di dalamnya harus tidak boleh ada orang yang menggunakan sesuatu yang bukan menjadi miliknya dengan cara menipu atau korupsi. Orang yang melakukan tindakan itu adalah termasuk orang yang menghambat pembangunan masyarakatnya. 36
Di dalam Islam bidang amanat sangatlah luas, mencakup semua bidang kehidupan. Mencakup dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan Al-Khâliq (Allah Swt.), hubungan antar sesama, dengan keluarga, dan dengan masyarakat. Termasuk
36 Abdurrahmân Najjâr, "Amanat", Wasiat Taqwa..., h. 128 36 Abdurrahmân Najjâr, "Amanat", Wasiat Taqwa..., h. 128
Berkenaan dengan itu, termasuk dalam kewajiban menjalankan amanat ialah melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Setiap orang, apapun profesi, tugas dan kedudukannya, semuanya adalah orang-orang yang memikul tanggung jawab dan pemegang amanat yang menuntut dikerahkannya tenaga, diikhlaskannya kerja demi
melaksanakan hak-hak orang lain yang diletakkan di hadapan mereka. Jika setiap pribadi tersebut mengabaikan amanat yang dibebankan kepadanya niscaya hak-hak
orang lain akan tersia-siakan dan kerusakanpun merajalela. 38 Sebagai contoh, apabila guru telah rusak moralnya, maka murid-muridnya
akan tersia-siakan dalam kebodohan dan kehancuran akhlak. Apabila program- program yang dicanangkan untuk suatu pemerintahan rusak, maka bangsa itu akan tersia-siakan pembangunannya. Apabila hati nurani telah rusak, maka semua orang menjadi merosot moralnya, dan bila para ulama telah rusak dan amanat diserahkan
kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah terjadinya kebinasaan. 39 Jelaslah, bahwa dusta atau kebohongan dapat membawa seseorang pada
perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Dan itulah karakter dasar orang munafik yang menyeret mereka kepada karakter-karakter buruk lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
37 Ibid ., h. 130 38 Mushthafâ Muhammad al-Thahhân, Pribadi Muslim Tangguh, terj. Marsuni Sasaky,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. ke-1, h. 156 39 Ibid ., h. 156-157
Kebohongan seringkali mengakibatkan permusuhan dan merusak hubungan kasih sayang. Pembohong-pembohong itu adalah perusak-perusak masyarakat. Hal ini oleh al-Qur`an memang telah disinyalir bahwa mereka (orang munafik) yang suka berbohong itu adalah orang-orang yang suka berbuat kerusakan. Sebagaimana firman Allah Swt.:
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan,
tetapi mereka tidak sadar . (Qs. Al-Baqarah/2: 12)
Dengan demikian apa yang mereka lakukan pada hakekatnya adalah menebar kerusakan dan permusuhan di muka bumi. Merusak iman, agama, moral, fisik, ketentraman masyarakat. Walaupun begitu mereka tetap bersikukuh bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk perbaikan umat, padahal tidak demikian halnya.
Dalam sejarah, banyak sekali fakta yang menceritakan tentang bahaya orang- orang munafik dengan berbagai manuvernya menimbulkan kerusakan dan kehancuran terhadap masyarakat. Bahkan pada kehidupan masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah Muhammad saw. Dan tidak sedikit akibat tingkah laku mereka itu menjadi penyebab turunnya beberapa ayat al-Qur`an.
Sebagai contoh adalah manuver yang dilakukan oleh 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl, pemimpin orang-orang munafik dalam perang Uhud dengan kembalinya dia pulang ke Madinah bersama sejumlah orang munafik. Dan kemudian dia menghasut Sebagai contoh adalah manuver yang dilakukan oleh 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl, pemimpin orang-orang munafik dalam perang Uhud dengan kembalinya dia pulang ke Madinah bersama sejumlah orang munafik. Dan kemudian dia menghasut
diceritakan bahwa 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl memasang tendanya menyendiri di bawah Rasulullah saw. menghadap ke Gunung Dzubab. Para ulama berkata bahwa jumlah 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl dan kawan-kawannya itu banyak. Ketika Rasulullah saw. meneruskan perjalanan, 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl bersama orang-
orang munafik dan orang-orang yang ragu tidak ikut berangkat bersama Rasulullah saw. 41 Padahal jika berada dihadapan Rasulullah saw., merekalah orang-orang yang
mencari muka menunjukkan kesetiaan kepada Rasulullah saw. Dari peristiwa di atas turunlah ayat 47 surah At-Tawbah/9. 42
Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh Al-Jadd bin Qais, simunafik. Ketika Rasulullah saw. bersiap-siap untuk berperang pada peperangan Tabuk, beliau bersabda: "Hai Abu Wahab, apakah engkau punya kemampuan menghadapi Bani Al- Ashfar (Romawi) untuk menjadikan mereka tawanan dan pelayan?" Al-Jadd menjawab: "Wahai Rasulullah, sungguh kaumku telah mengenal aku, bahwa aku adalah laki-laki yang mudah jatuh cinta kepada perempuan. Aku takut tidak tahan ketika melihat anak-anak perempuan Bani al-Ashfar, maka izinkanlah aku untuk tetap tinggal di sini, jangan engkau menjadikan aku terkena fitnah karena mereka. Dan aku
40 Lihat Abû Muhammad Abd al-Malik bin Hisyâm Al-Mu'âfirî, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Tahqîq: Sayyid Ibrâhîm, Jamâl Tsâbit dan Muhammad Mahmûd, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1424 H/2004
M ), Juz IV, h. 20 41 Ibid. , Juz IV,h. 400
42 Ibid. , h. 397-398; Abî Hasan 'Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâbûrî (selanjutnya ditulis Al- Wâhidî), Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 138 42 Ibid. , h. 397-398; Abî Hasan 'Alî bin Ahmad al-Wâhidî al-Naisâbûrî (selanjutnya ditulis Al- Wâhidî), Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 138
Kejahatan perilaku orang-orang munafik bahkan sempat menerpa kehidupan keluarga Rasulullah saw. dan menimbulkan kabut hitam yang hampir saja merusak
kehidupan keluarga Rasulullah saw. dan mengacaubalaukan iklim interaksi sosial masyarakat Madinah yang dipimpin oleh Rasulullah saw.
Mereka (orang munafik) sengaja membuat dan menyebar fitnah, mengambil kesempatan dengan apa yang menimpa isteri Rasulullah saw., ummul mukminin Aisyah binti Abû Bakr Al-Shiddîq pada peperangan dengan Bani Al-Musthaliq. Ketika rombongan Rasulullah saw. berhenti sebentar untuk istirahat di suatu tempat dekat Madinah dan akan melanjutkan perjalanan pada awal siang. Maka Aisyah ra., turun dari sekedupnya untuk memenuhi hajat dengan memakai kalung yang di dalamnya terdapat batu akik dari Dzafar. Saat kembali ke rombongan ia kehilangan kalungnya tersebut. Maka ia kembali ke tempat ia memenuhi hajatnya tadi untuk mencarinya. Sementara rombongan melanjutkan perjalanan dan membawa sekedup yang disediakan untuk ummul mukminin. Mereka tidak tahu kalau Aisyah ra. belum masuk ke sekedup itu. Ketika Aisyah ra. datang setelah menemukan kalungnya, ternyata rombongan telah berangkat. Maka ia duduk di tempat tersebut sendirian, sambil berharap mereka (rombongan yang telah berangkat) kembali untuk
43 Ibid.
menyusulnya. Namun Allah Swt. adalah pengatur segala perkara. Atas skenario-Nya lah Ummul Mukminin Aisyah ra. mengantuk sehingga tertidur dan tidak terbangun kecuali setelah Shafwan bin Muaththal Al- Sulami lewat di dekat tempat ia tertidur. Melihat yang tertidur itu adalah Ummul Mukminin Aisyah ra., Shafwan tersentak dan berkata, "Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji'ûn, isteri Rasulullah." Ketika itu Aisyah menutup dirinya dengan jilbab. Shafwan berkata lagi, "Kenapa engkau tertinggal
wahai ummul mukminin?" seraya mendekatkan untanya kepada Aisyah ra. Aisyah ra. tidak menjawab pertanyaan shafwan. Sambil berkata, "naiklah ke atasnya". Shafwan menjauh dari Aisyah ra. dan ia (Aisyah ra.) menaiki untanya. Lalu Shafwan memegang kepala unta dan berjalan cepat menyusul rombongan kaum muslimin yang telah lebih dahulu berangkat meninggalkannya. Akhirnya mereka dapat menyusul rombongan tersebut yang sedang beristirahat di Madinah. Sebelumnya rombongan tidak ada yang tahu dan menyadari akan tertinggalnya ummul mukminin Aisyah ra. sampai mereka melihat kedatangannya bersama Shafwan bin al-Muaththal al-Sulami. Ketika melihat peristiwa itu, orang-orang munafik memperbincangkannya. Mereka mulai membuat fitnah dan menyebarkan berita bohong, hingga orang-orangpun gempar. Abdullâh bin Ubay bin Salûl dan teman-temannya adalah pelaku aktif dalam penyebaran berita bohong tersebut. Sejak beredarnya berita bohong itu, Rasulullah berada dalam kegalauan dan sempat mendiamkan Aisyah ra. beberapa saat. Aisyah ra. jatuh sakit, keluarga Abû Bakr al-Shiddîq ayah Aisyah ra., yang juga merupakan mertua Rasul saw. juga mengalami kegalauan dan kegelisahan atas berita bohong yang disebar oleh orang-orang munafik itu. Bahkan tidak sedikit di kalangan kaum wahai ummul mukminin?" seraya mendekatkan untanya kepada Aisyah ra. Aisyah ra. tidak menjawab pertanyaan shafwan. Sambil berkata, "naiklah ke atasnya". Shafwan menjauh dari Aisyah ra. dan ia (Aisyah ra.) menaiki untanya. Lalu Shafwan memegang kepala unta dan berjalan cepat menyusul rombongan kaum muslimin yang telah lebih dahulu berangkat meninggalkannya. Akhirnya mereka dapat menyusul rombongan tersebut yang sedang beristirahat di Madinah. Sebelumnya rombongan tidak ada yang tahu dan menyadari akan tertinggalnya ummul mukminin Aisyah ra. sampai mereka melihat kedatangannya bersama Shafwan bin al-Muaththal al-Sulami. Ketika melihat peristiwa itu, orang-orang munafik memperbincangkannya. Mereka mulai membuat fitnah dan menyebarkan berita bohong, hingga orang-orangpun gempar. Abdullâh bin Ubay bin Salûl dan teman-temannya adalah pelaku aktif dalam penyebaran berita bohong tersebut. Sejak beredarnya berita bohong itu, Rasulullah berada dalam kegalauan dan sempat mendiamkan Aisyah ra. beberapa saat. Aisyah ra. jatuh sakit, keluarga Abû Bakr al-Shiddîq ayah Aisyah ra., yang juga merupakan mertua Rasul saw. juga mengalami kegalauan dan kegelisahan atas berita bohong yang disebar oleh orang-orang munafik itu. Bahkan tidak sedikit di kalangan kaum
berbagai persoalan yang timbul dari berita bohong itu, Allah Swt. menjaga dan membersihkan ummul mukminin Aisyah ra. dari segala tuduhan orang-orang munafik itu dengan menurunkan wahyu-Nya sebagaimana tersebut dalam surat al-Nûr/24 ayat 11-22. Melalui ayat-ayat itu pula Allah Swt. memberikan pengajaran kepada kaum muslimin dalam menyikapi persoalan-persoalan hidup mereka di masyarakat. Termasuk menegur dan memperbaiki kesalahan sikap Abû Bakr al-Shiddîq dalam hal enggan menafkahi Misthah hanya karena kekesalannya atas peristiwa yang menimpa
putrinya Aisyah ra. 44 Bahaya orang munafik terhadap kehidupan masyarakat dengan melakukan
konspirasi melalui pembangunan masjid di Madinah untuk memecah belah kaum muslimin bahkan terjadi pada masa Rasulullah saw. Hal ini diperingatkan oleh Allah melalui firman-Nya dalam surah Al-Tawbah/9 ayat 107:
44 Lihat Ibn Hisyâm, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Juz III, h. 221-226; Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, h. 177-181
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan mesjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu'min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu'min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul- Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (Qs. Al-Tawbah/9: 107)
Ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafik yang membangun masjid untuk menyaingi masjid Quba dan dalam rangka memecah belah kaum muslimin. Menurut riwayat, jumlah orang-orang munafik yang membangun masjid yang dikenal dengan nama masjid dhirar itu ada dua belas orang. Setelah selesai membangun masjid, mereka mendatangi Rasulullah saw. yang tengah bersiap- siap akan pergi ke Tabuk seraya berkata, "Wahai Rasulullah kami telah membangun masjid untuk mereka yang sakit, yang punya keperluan dan yang mau berlindung dari hujan di malam hari. Kami berharap engkau datang dan shalat di masjid itu sekaligus mendo'akan keberkahan untuk kami." Maka Rasulullah saw. berkata, "Aku akan berangkat, Insya Allah setelah pulang nanti, kami akan datang dan shalat di masjid
kalian." 45 Sepulangnya Rasulullah saw. dari Tabuk sebelum sampai ke Madinah,
turunlah ayat tersebut di atas dan rangkaian ayat berikutnya yang mengungkap
45 Ibn Hisyâm, Sîrah al-Nabawiyyah…, Juz IV, h. 409-410 45 Ibn Hisyâm, Sîrah al-Nabawiyyah…, Juz IV, h. 409-410
masjid Dhirâr itu atas ide Abu Amir Al-Rahib yang bergelar "si Fasik." 46 Demikian itulah orang-orang munafik pada masa awal pembentukan Daulah
Islam di Madinah. Orang-orang mukmin mendapat cobaan dengan keberadaan mereka, yang menjadikan Islam sebagai tameng agar mereka tidak dihabisi, namun
dibalik itu mereka juga menjadikannya sebgai tempat berlindung untuk menyemburkan racun, agar bangunan Islam menjadi rusak, lalu merekapun
bergabung dengan orang-orang kafir. 47 Orang-orang munafik adalah orang-orang oportunis yang menjalankan
aktivitas kehidupannya atas dasar mengambil manfaat dari setiap peristiwa yang terjadi di masyarakat, menunggu-nunggu kesempatan dan berusaha untuk mengambil keuntungan dari setiap kejadian. Mereka memiliki kemampuan untuk mengubah gaya penampilannya dan pandai mengobral analisa dan persepsinya sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Semua itu mereka lakukan untuk mengelabui kaum muslimin,
bahkan juga kelompoknya sendiri untuk mengambil keuntungan dari keduanya. 48 Kemunafikan dan bahaya yang ditimbulkan orang-orang munafik terhadap
kehidupan masyarakat pada masa awal pembentukan Daulah Islam di Madinah merupakan suatu fenomena yang akan terus hidup dan terus berkembang mengikuti
46 Ibid ., Lihat Al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, h. 145-146 47 Muhammad 'Alî Ash-Shâbunî, Cahaya Al-Qur`an; Tafsir Tematik Surah Al-Baqarah-Al-
An'am , terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. Ke-1, h. 211 48 Muhammad Al-Madani, Masyarakat Ideal…, h.168-169 An'am , terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), Cet. Ke-1, h. 211 48 Muhammad Al-Madani, Masyarakat Ideal…, h.168-169
Bahkan orang-orang munafik dewasa ini lebih buruk dari orang-orang munafik terdahulu. Pernyataan tersebut diungkap oleh Hudzaifah ra. 49 Ia berkata,
"Orang-orang munafik yang ada di zamanmu ini lebih jelek dari orang-orang munafik yang ada pada masa Rasulullah saw." Mengapa demikian wahai Abû Abdillâh?"
Hudzaifah ditanya, "Dahulu mereka menyembunyikan kemunafikannya, sekarang mereka memperlihatkannya," jawabnya." 50
Sehubungan dengan hal itu, Muhammad Musa Nasr mengomentarinya sebagai berikut: "…Lalu kalau Hudzaifah masih hidup, apa komentarnya tentang munafik di
zaman kita sekarang ini. Jika pada zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam , nifak merayap ke ummat manusia, bukankah ia lebih dahsyat di masa
berkuasanya para tahghut (sic) dan terasingnya agama? Semakin asing Islam, dan berkurang pembelaannya, semakin banyaklah nifak, na'udzu billah. Dan nifak di masa kita sekarang bentuknya semakin banyak dan terorganisir dalam bentuk yayasan, organisasi dan klub-klub walaupun seperti menggunakan nama: yayasan kemanusiaan, perkumpulan penyayang binatang dan yang lainnya yang semuanya
tidak lain adalah penularan penyakit nifak yang dikembangkan…" 51
Kemunafikan pada masa Rasulullah saw. adalah kemunafikan yang disembunyikan, akan tetapi dapat dibedakan dan diungkap oleh wahyu yang masih turun kepada Rasulullah saw. Sehingga bahaya yang ditimbulkannya masih dapat teratasi dan kadangkala hal ini merupakan proses pengajaran dari "Guru Yang Maha
49 Ia adalah sahabat Rasulullah saw. yang sangat tahu tentang keadaan orang munafik. Ia adalah pemegang rahasia Rasulullah saw dan kepadanyalah Rasulullah saw. menitipkan daftar nama-
nama orang munafik. 50 Lihat Abî Bakr al-Firyâbî, Shifah al-Nifâq…, h.49
51 Muhammad Musa Nasr, Munafik Menurut Al-Qur`an dan As-Sunnah, terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2004), Cet.ke-1, h. 152
Pengasih" untuk menetapkan hukum dari aturan-Nya dalam membimbing kehidupan manusia. Sedangkan kemunafikan pada masa sekarang ini, walaupun dilakukan dengan cara terang-terangan namun sulit untuk dibedakan dan diungkap sejatinya. Mereka melakukannya dengan cara yang sangat halus, dengan berbagai macam dalih dan alasan untuk menutupi kemunafikannya. Misalnya mereka berdalih atas nama menjunjung tinggi kemanusiaan untuk menolong orang-orang miskin dan yang
memerlukan bantuan, tetapi dibalik itu ada misi untuk menggiring mereka pada satu keyakinan tertentu, baik yang berkaitan dengan agama atau cara pandang terhadap sesuatu yang mendukung tujuan yang hendak dicapai oleh orang-orang munafik tersebut.
Pada sisi lain, di kalangan orang-orang berilmu, orang-orang munafik mengembangkan manuvernya lewat pengembangan keilmuan yang metodologinya sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mengaburkan hakekat kebenaran yang dianut oleh Islam. Keikhlasan tidak lagi menjadi landasan yang ditekankan untuk melakukan setiap perbuatan. Semua dilakukan secara bebas menurut versi mereka yang sesungguhnya hal itu telah membatasi makna bebas itu sendiri. Sehingga dengan dalih kebebasan berfikir, kebebasan berkreasi dan sebagainya mereka sanggup menentang ayat-ayat Al-Qur`an yang sudah Qath'i (jelas dan tegas hukumnya) demi memenuhi ambisi yang tidak jarang hal ini dijadikan sebagai alat provokasi, walaupun sejatinya disadari bahwa hal tersebut sesungguhnya sangat bertentangan dengan hati nurani.
Dengan gambaran seperti itu, dapat dikatakan bahwa kemunafikan pada masa sekarang ini telah dipenuhi oleh berbagai macam cara yang sengaja dikaburkan eksistensinya melalui berbagai bidang kehidupan sesuai dengan zaman dan trend yang sengaja diformat sedemikian rapi dengan berbungkuskan nilai-nilai yang dianggap suci.
Akibat propaganda itu menjadikan kaum muslimin semakin sulit
menempatkan posisi jati dirinya. Kebingungan dan ketidakpastian menyelimuti mereka. Disadari atau tidak terkadang kemunafikan bahkan telah menjadi bagian dari gaya hidupnya sehari-hari yang tidak dapat dihindari, menjadikan mereka semakin jauh dari nilai-nilai Islami yang semestinya harus dijunjung tinggi demi terwujudnya kehidupan masyarakat Islam yang sejati.
Benarlah apa yang dikemukakan oleh Sa'îd Hawwâ, sebagai berikut: "Dewasa ini banyak sekali kaum muslimin dianggap muslim hanya karena
lingkungan yang membesarkannya. Zaman sekarang penuh dengan propaganda yang menyesatkan dan membingungkan. Karena itu mereka tidak gampang mengikuti jalan iman, sampai iman itu mantap dalam diri mereka. Hati mereka disinari oleh cahaya iman dan juga dinodai oleh kemunafikan atau kekafiran. Kadang –kadang mereka mendapat petunjuk Islam dan sebagian hatinya disinari oleh cahaya iman, lalu dia mengikuti cahaya iman itu. Kemudian mereka kembali dihinggapi keraguan dan kebingungan, sehingga cahaya iman yang menyinari sebagian hatinya itu redup dan mati lalu mereka berdiri kebingungan. Dalam kondisi seperti ini, mereka sangat takut kalau hakikat mereka diketahui oleh orang mukmin atau pemuka-pemuka kafir. Selain itu mereka juga takut akan hukuman Allah atas kemunafikan mereka. Begitulah keadaan kebanyakan kaum muslimin
di zaman sekarang." 52
Berdasarkan pada uraian-uraian terdahulu, pada hakikatnya Al-Qur`ân al- Karîm –dalam banyak ayat- ketika menjelaskan tentang ciri-ciri orang-orang munafik
52 Sa'îd Hawwâ, Al-Asâs fî al-Tafsîr, Jilid I, h. 76 52 Sa'îd Hawwâ, Al-Asâs fî al-Tafsîr, Jilid I, h. 76