Karakteristik Orang Munafik
B. Karakteristik Orang Munafik
Karakteristik orang munafik menurut al-Qur`an terdapat dalam surat-surat yang diturunkan di Madinah. Hal inilah yang mendasari sebahagian besar ulama tafsir berpendapat bahwa orang munafik baru muncul pada periode Madinah. Ibn Katsîr di antaranya menjelaskan bahwa kemunafikan pertama kali muncul di Madinah setelah terjadi peristiwa Badar al-‘Uzhma (hebat) dan Allah menampakkan kalimah-Nya
14 Ibid.
serta memuliakan Islam dan pemeluk-Nya, maka masuk Islamlah 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl, yang dahulunya sebagai penguasa Madinah, berasal dari kabilah Khazraj. Ia adalah pemimpin kabilah Aus dan Khazraj pada masa jahiliah yang dahulunya mereka pernah akan menjadikannya sebagai raja mereka. Akan tetapi, datanglah kepada mereka kebaikan, lalu mereka masuk Islam sehingga keinginan mereka terlupakan. Dalam diri Ubay tersimpan dendam terhadap Islam dan pengikutnya.
Setelah kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar, 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl berkata, “Ini adalah perkara yang unggul”. Maka dia pura-pura masuk Islam bersama golongan yang mengikuti jejak dan pola hidupnya serta beberapa orang Ahli Kitab. Dari peristiwa itu, timbullah kemunafikan pada penduduk Madinah dan yang ada di sekitarnya. Adapun kaum muhajirin tidak ada seorangpun yang munafik, sebab dia berhijrah bukan karena dipaksa oleh kaumnya, namun karena pilihannya sendiri. Dia meninggalkan harta, anak, dan lahannya karena mengharapkan apa yang ada pada
sisi Allah di negeri akhirat. 15 Jadi fenomena nifâq berdasarkan uraian di atas, baru muncul dan terjadi
dalam sejarah Islam setelah Rasulullah saw. beserta kaum muslimin berada di Madinah, setelah kaum muslimin memiliki negara. Mereka (kaum munafik) berasal dari kabilah Aus dan Khazraj yang waktu itu disebut sebagai kaum Anshor. Sifat munafik ini muncul disebabkan oleh rasa iri, dengki serta rasa dendam terhadap
15 'Imâduddîn Abî al-Fidâ` Ismâ'îl bin Katsîr (selanjutnya ditulis Ibn Katsîr), Tafsîr al-Qur`ân al- ‘ Azhîm , (Kairo: Maktabah al-Shafâ, 1425 H/2004 M), Cet. ke-1, Juz I, h. 65
Rasulullah dan para sahabatnya (kaum Anshâr) yang mendapat perlakuan baik dan istimewa di tengah-tengah masyarakat Madinah kala itu.
Namun dalam hal ini al-Thabâthabâ’î berpendapat bahwa orang munafik sudah mulai muncul di Mekkah dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa orang munafik baru muncul di Madinah. Menurutnya, surat al-‘Ankabût/29, secara keseluruhan termasuk Makkiyyah, termasuk sebelas ayat dipermulaannya. Kata jihâd
dan munâfîq yang terdapat di dalamnya (ayat 5 dan 11) tidak dapat dijadikan alasan untuk mengklaimnya sebagai Madaniyyah. Jihad yang dimaksud di sana bukanlah perang melainkan jihâd al-nafs (memerangi hawa nafsu dan keinginan-keinginan
jahat dalam diri). 16 Sejalan dengan pendapat di atas, Fazlur Rahmân mengemukakan bahwa
konsep “munafik” di periode Mekkah berbeda dengan konsep “munafik” di periode Madinah. Menurutnya, munafik sudah muncul di periode Mekkah, dan sebelas ayat di awal surat al-‘Ankabût/29 jelas sekali tergolong ayat-ayat Makkiyah. Orang munafik di periode Mekkah berarti orang yang mempunyai iman yang lemah dan berpendirian goyah. Mereka adalah orang-orang yang menyerah pada tekanan atas diri mereka dan tidak memiliki iman yang cukup untuk menahan tekanan tersebut. Sedang orang- orang munafik di periode Madinah adalah sekelompok orang, khususnya pengikut
16 Lihat Al-Thabâthabâ’î, Al-Mîzân fî Tafsîr…, Jilid XIX, h. 334-335; Jilid XVI, h. 110
'Abdullâh bin Ubay yang sengaja menyusup ke dalam tubuh kaum muslimin untuk menyingkirkan Muhammad saw. dan meruntuhkan Islam dari dalam. 17
Menyikapi perbedaan pendapat di atas, menurut penulis orang munafik sudah muncul dan ada di masa Mekkah. Hanya saja dalam konteks sejarah –sebagaimana telah dikemukakan di atas- fenomena nifâq memang baru kentara pada masa Rasulullah Muhammad saw. di Madinah. Dimana sejak kedatangan Rasulullah
Muhammad saw. di Madinah dan Islam berkembang di sana, penduduk Madinah dari kalangan Yahudi (Ahli Kitab) kian hari semakin merasa terdesak, padahal merekalah yang selama itu menjadi tuan di Madinah. Demikian juga 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl yang dipandang sebagai pemuka masyarakat Arab Madinah dari suku Aus dan Khazraj merasa bahwa sejak kedatangan Rasulullah Muhammad saw., dia kian hari semakin ditinggalkan orang. Jadi mereka, penduduk Madinah dari suku Aus dan Khazraj serta orang Yahudi merasa tersingkir dan iri sejak kedatangan Rasulullah Muhammad saw. beserta para pengikutnya (kaum Muhajirin) dari Mekkah. Karena sadar apabila mereka mengkonfrontasi Rasulullah Muhammad saw. secara kasar dan terang-terangan, mereka pasti mengalami kekalahan, sebab kebanyakan masyarakat Madinah saat itu telah menerima Rasulullah Muhammad saw. dan mendukung perjuangan beliau. Mereka tidak berani berhadapan secara terang-terangan menentang Rasulullah karena takut mereka akan disisihkan orang. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan mereka menggunakan strategi khusus dalam menghadapi Rasulullah
17 Lihat Fazlur Rahmân, Major Themes of The Qur`an, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), h. 151-160 17 Lihat Fazlur Rahmân, Major Themes of The Qur`an, (Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980), h. 151-160
Orang munafik pada periode Mekkah adalah orang yang menyembunyikan kebenaran imannya atau berpaling dari kebenaran itu dikarenakan oleh tekanan dan ketidaksanggupan mereka dalam menghadapi tekanan itu. Dimana itu mereka lakukan untuk menyelamatkan diri dari rasa takut dan sakit akan siksaan yang mereka
alami dikarenakan lemahnya iman mereka, tetpi mereka tidk melakukan suatu tindakan atau konspirasi untuk meruntuhkan Islam dari dalam. Sedangkan orang munafik pada periode Madinah adalah orang yang menyembunyikan imannya yang sebenarnya dan cenderung melakukan konspirasi untuk mengecoh kaum muslim agar ambisi mereka untuk menyingkirkan Muhammad saw. dan meruntuhkan Islam dapat tercapai. Dengan begitu orang munafik pada periode Madinah lebih kentara untuk dikenali daripada orang munafik pada periode Mekkah.
Adapun pendapat Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa fenomena nifâq tersebut belum atau tidak terdapat pada masa Rasulullah di Mekkah. Karena Islam di Mekkah saat itu belum mempunyai kekuasaan dan belum mempunyai kekuatan, bahkan belum mempunyai kelompok yang ditakuti oleh penduduk Mekkah sehingga mereka perlu bersikap nifâq. Bahkan sebaliknya, Islam selalu ditindas, dakwah ditolak, dan diusir. Orang-orang yang bergabung dalam barisan Islam itulah orang- orang yang tulus akidahnya, yang lebih mengutamakan akidah itu dari sesuatu, dan Adapun pendapat Sayyid Quthb yang menyatakan bahwa fenomena nifâq tersebut belum atau tidak terdapat pada masa Rasulullah di Mekkah. Karena Islam di Mekkah saat itu belum mempunyai kekuasaan dan belum mempunyai kekuatan, bahkan belum mempunyai kelompok yang ditakuti oleh penduduk Mekkah sehingga mereka perlu bersikap nifâq. Bahkan sebaliknya, Islam selalu ditindas, dakwah ditolak, dan diusir. Orang-orang yang bergabung dalam barisan Islam itulah orang- orang yang tulus akidahnya, yang lebih mengutamakan akidah itu dari sesuatu, dan
Yang jelas adalah bahwa keberadaan orang munafik telah ada pada masa
Rasulullah Muhammad saw. mengembangkan risalahnya di tengah-tengah umat. Dan Allah Swt. melalui firman-Nya dalam al-Qur`an banyak memberikan informasi, baik dalam konteks menceritakan tentang keadaan dan ciri-ciri mereka, maupun ancaman yang Allah tujukan kepada mereka. Hal ini sekaligus menunjukkan kejelekan sikap mereka dan bahayanya bagi kehidupan umat.
Berkenaan dengan itu, Sayyid Quthb ada menegaskan ketika dia mengawali penafsiran ayat 8-16 dalam surat Al-Baqarah/2 tentang gambaran orang-orang munafik sebagai berikut:
Ini adalah gambaran yang realistis dan kenyataan faktual di Madinah, akan tetapi ketika kita melewati suatu masa dan tempat, kita jumpai bahwa gambaran ini merupakan contoh yang berulang-ulang terjadi pada semua generasi manusia. Kita dapati bahwa manusia jenis ini adalah golongan munafik yang merasa sok tinggi tetapi tidak memiliki keberanian untuk menghadapi kebenaran dengan iman yang sahih, dan tidak pula berani mengemukakan pengingkaran secara transparan terhadap kebenaran itu. Tetapi pada waktu yang sama mereka memposisikan dirinya sebagai manusia yang tertinggi kedudukannya dibandingkan semua golongan manusia, dan persepsi mereka terhadap semua urusan juga dianggap paling tinggi dibandingkan dengan yang lain. Oleh karena itu, kami cenderung untuk membicarakan nash-nash ini secara khusus terhadap golongan munafik ini pada setiap generasi dengan tidak
18 Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al- Syurûq, 1419 H/1998 M), Cet. ke- 27, Jilid I, h. 31 18 Lihat Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, (Kairo: Dâr al- Syurûq, 1419 H/1998 M), Cet. ke- 27, Jilid I, h. 31
Jadi adalah penting untuk mengetahui secara mendalam tentang karakteristik orang munafik. Karena dia senantiasa akan dapat muncul dalam perjalanan sejarah umat manusia sampai akhir zaman, maka mereka perlu diidentifikasi dan selanjutnya dihadapi dengan cara yang benar. Sehingga kekhawatiran terhadap bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh mereka akan dapat diantisipasi sebelumnya.
Secara umum, al-Qur`an menjelaskan tentang karakteristik orang munafik di antaranya dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Berdusta dalam perkataan Berdusta atau berkata bohong merupakan ciri orang munafik yang paling menonjol. Sifat ini muncul akibat orang munafik tidak berani secara terang-terangan menunjukkan sikap dan pernyataan di depan orang karena takut dan khawatir akan keberadaannya atau demi tujuan tertentu yang dimaksudnya. Hal ini akan begitu mudah muncul pada diri orang munafik, karena kepada Allah sajapun dia berani berbohong, yaitu ketika dia mengatakan beriman kepada Allah padahal di dalam hati ia mengingkari. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur`an surat al-Baqarah/2 ayat 8-10:
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﻮﻋِﺩﺎﺨﻳ ( ٨ ) ﲔِﻨِﻣﺆﻤِﺑ ﻢﻫ ﺎﻣﻭ ِﺮِﺧﺂﹾﻟﺍ ِﻡﻮﻴﹾﻟﺎِﺑﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ ﺎﻨﻣﺍَﺀ ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ ﻦﻣ ِﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦِﻣﻭ ﺎﺿﺮﻣ ﻪﱠﻠ ﻟﺍ ﻢﻫﺩﺍﺰﹶﻓ ﺽﺮﻣ ﻢِﻬِﺑﻮﹸﻠﹸﻗ ﻲِﻓ ( ٩ ) ﹶﻥﻭﺮﻌﺸﻳ ﺎﻣﻭ ﻢﻬﺴﹸﻔﻧﹶﺃ ﺎﱠﻟِﺇ ﹶﻥﻮﻋﺪﺨﻳ ﺎﻣﻭ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ( ١٠ - ٨ : ٢ / ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ ) .( ١٠ ) ﹶﻥﻮﺑِﺬﹾﻜﻳ ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ ﺎﻤِﺑ ﻢﻴِﻟﹶﺃ ﺏﺍﹶﺬﻋ ﻢﻬﹶﻟﻭ
19 Ibid., h. 42
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.(8) Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.(9) Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.(10) (Qs. Al- Baqarah/2: 8-10)
Ayat tersebut menjelaskan tentang sifat orang munafik yang tidak memiliki pendirian yang kokoh dan tegas dalam akidah. Dia menyatakan beriman kepada Allah
dan hari kemudian, padahal hakekatnya dia tidak beriman. Sifat seperti ini tentu akan sangat mempengaruhi sikapnya terhadap manusia dalam pergaulan sehari-hari.
Dengan berdusta, dia mengira telah menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, bahkan sebenarnya dialah yang telah menipu dirinya sendiri. Orang-orang seperti itu mengira bahwa mereka itu adalah orang-orang yang cerdas dan pandai serta mampu melakukan tipu daya dan rekayasa terhadap orang-orang yang lapang dada itu.
Oleh Sayyid Quthb dijelaskan bahwa mereka menipu diri sendiri, ketika mereka menganggap bahwa mereka akan beruntung dan berhasil dengan tindakan dan dana yang mereka keluarkan, serta memeliharanya dengan menyembunyikan kekafiran dikalangan kaum mukminin. Akan tetapi pada waktu yang sama, sebenarnya mereka membinasakan dirinya sendiri dengan melakukan kekafiran yang mereka sembunyikan dan kemunafikan yang mereka nyatakan itu. Akibatnya mereka mendapatkan tempat kembali yang amat buruk. Mereka melakukan penipuan semacam ini dikarenakan mental mereka sakit, dalam hati mereka ada penyakit, dan inilah yang memalingkan mereka dari jalan yang terang dan lurus, serta menyebabkan Oleh Sayyid Quthb dijelaskan bahwa mereka menipu diri sendiri, ketika mereka menganggap bahwa mereka akan beruntung dan berhasil dengan tindakan dan dana yang mereka keluarkan, serta memeliharanya dengan menyembunyikan kekafiran dikalangan kaum mukminin. Akan tetapi pada waktu yang sama, sebenarnya mereka membinasakan dirinya sendiri dengan melakukan kekafiran yang mereka sembunyikan dan kemunafikan yang mereka nyatakan itu. Akibatnya mereka mendapatkan tempat kembali yang amat buruk. Mereka melakukan penipuan semacam ini dikarenakan mental mereka sakit, dalam hati mereka ada penyakit, dan inilah yang memalingkan mereka dari jalan yang terang dan lurus, serta menyebabkan
sesuatu dan dalam semua urusan, serta pada perasaan dan perilaku. 20 Hamka menjelaskan, bahwa ciri orang munafik yang pertama ini adalah orang
yang pecah di antara hatinya dengan mulutnya. Mulutnya mengakui percaya, tetapi
hatinya tidak, dan pada perbuatannya lebih terbukti lagi bahwa pengakuan mulutnya tidak sesuai dengan apa yang tersimpan dihatinya. Walaupun dia memaksakan dirinya berbuat suatu perbuatan yang hanya diakui oleh mulut, padahal tidak dari hati, maka
tidaklah akan lama dia dapat mengerjakan perbuatan itu. 21 Hal itu dijelaskan juga dalam firman-Nya pada surat al-Tawbah/9 ayat 77:
Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta. (Qs. Al-Tawbah/9: 77)
Lebih tegas lagi Allah Swt. menjelaskan tentang orang munafik sebagai pendusta adalah sebagaimana firman-Nya:
20 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid I, h. 43 21 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), Juz I, h. 135
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (Qs. Al-Munâfiqûn/63: 1)
Bahkan sabda Rasulullah saw. pun semakin menegaskan bahwa berdusta adalah salah satu sifat munafik, sebagaimana dalam hadis berikut:
Dari Abî Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: “Tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila ia berkata ia dusta; bila ia berjanji ia ingkar; dan bila ia diberi amanat ia khianat” . Berdasarkan hadis di atas dijelaskan bahwa selama seseorang tetap berada
pada sifat dusta –sebagaimana telah diuraikan di atas- maka selama itu berarti dia berada dalam kemunafikan yang tercela. Dan pada dasarnya, apabila seseorang telah
22 HR. Bukhârî dalam Kitâb al-Îmân No. 32; Muslim dalam Kitâb al-Îmân No. 89; al-Tirmidzî dalam Kitâb al-Îmân No. 2555; dan al-Nasâ'î dalam Kitâb al-Îmân wa Syarâi'ih No. 4935 22 HR. Bukhârî dalam Kitâb al-Îmân No. 32; Muslim dalam Kitâb al-Îmân No. 89; al-Tirmidzî dalam Kitâb al-Îmân No. 2555; dan al-Nasâ'î dalam Kitâb al-Îmân wa Syarâi'ih No. 4935
Hadis tersebut juga menerangkan tentang karakter orang munafik yang suka ingkar janji dan mengkhianati amanat. Kedua sifat tersebut pada hakekatnya memiliki hubungan yang erat dengan sifat dusta yang merupakan sifat menonjol orang munafik. Dari sifat dusta itulah sesungguhnya muncul sifat ingkar janji dan berani
mengkhianati amanat. Dimana orang yang suka berdusta, maka mudah baginya untuk ingkar janji dan akan merasa tidak bersalah ketika mengkhianati amanat yang diberikan padanya.
Dalam al-Qur`an, karakter orang munafik yang suka mengingkari janji disebutkan pada surat al-Tawbah/9 ayat 75-77:
( ٧٧ - ٧٥ : ٩ / ﺔﺑﻮ ﺘﻟﺍ ) .( ٧٧ ) ﹶﻥﻮﺑِﺬﹾﻜﻳ ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ ﺎﻤِﺑﻭ ﻩﻭﺪﻋﻭ ﺎﻣ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺍﻮﹸﻔﹶﻠﺧﹶﺃ ﺎﻤِﺑ ﻪﻧﻮﹶﻘﹾﻠﻳ
Dan di antara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.(75) Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).(76) Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.(77) (Qs. Al-Tawbah/9: 75-77)
Ingkar janji atau melanggar ikrar yang telah diucapkan adalah sifat yang sangat tercela sebab sifat itu menggambarkan pribadi yang tidak bisa dipercaya. Ia tidak bisa memikul amanah dan tanggung jawab. Kepercayaan yang diberikan kepadanya pasti disalahgunakan untuk kepentingan pribadi meskipun dengan
mengorbankan orang lain. 23 Jadi ingkar janji dan mengkhianati amanat merupakan dua sifat yang
sesungguhnya saling berkait satu sama lain. Seseorang ingkar janji karena ia tidak dapat menunaikan amanat (kepercayaan) yang diberikan kepadanya. Sebaliknya seseorang mengkhianati amanat karena ia telah mengingkari janji yang telah ia ikrarkan.
2. Keras kepala dan suka berbuat kerusakan Orang munafik tidak hanya berhenti pada berbuat dusta dan menipu saja, akan tetapi mereka tambah lagi dengan perbuatan tercela lainnya. Sebagaimana firman Allah Swt. pada lanjutan surat al-Baqarah/2 di atas:
ﹶﻥﻭﺪِﺴﹾﻔﻤﹾﻟﺍ ﻢﻫ ﻢﻬﻧِﺇ ﺎﹶﻟﹶﺃ ( ١١ ) ﹶﻥﻮﺤِﻠﺼﻣ ﻦﺤﻧ ﺎﻤﻧِﺇ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ﺍﻭﺪِﺴﹾﻔﺗ ﺎﹶﻟ ﻢﻬﹶﻟ ﹶﻞﻴِﻗ ﺍﹶﺫِﺇﻭ ( ١٢ - ١١ : ٢ / ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ ) .( ١٢ ) ﹶﻥﻭﺮﻌﺸﻳ ﺎﹶﻟ ﻦِﻜﹶﻟﻭ
Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."(11) Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-
23 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr….., h. 131 23 Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr….., h. 131
Ayat di atas menggambarkan ciri lainnya dari orang munafik. Yaitu memiliki sifat keras kepala dan cenderung berbuat kerusakan. Orang-orang munafik menurut ayat itu kerap kali memiliki pandangan picik yang tidak mau diberi peringatan. Mereka selalu menyangkal setiap kali diingatkan untuk tidak melakukan perbuatan yang buruk yang telah mereka lakukan. Bahkan dengan sangat lihai mencoba untuk meyakinkan bahwa merekalah sesungguhnya yang telah melakukan perbaikan, yang merupakan kebalikan dari kerusakan yang mereka lakukan.
Diriwayatkan dari beberapa sumber, Ibn Katsîr menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “kerusakan” disini ialah kekafiran, kemunafikan dan kemaksiatan. Jadi maksud firman Allah, Dan apabila dikatakan kepada mereka, “ Janganlah kamu berbuat kerusakan dimuka bumi” , maksudnya ialah kekafiran, kemunafikan, dan kemaksiatan di muka bumi. Sebab orang yang menentang perintah Allah atau menyuruh berbuat maksiat, berarti ia telah berbuat kerusakan di muka bumi, karena
kemaslahatan hanya terwujud dengan ketaatan. 24 Berkenaan dengan itu, Sayyid Quthb mengingatkan bahwa orang-orang
munafik sebagaimana yang digambarkan pada ayat tersebut, yang membuat kerusakan di bumi dengan serusak-rusaknya sambil mengatakan bahwa mereka melakukan perbaikan atau melakukan tindakan yang baik itu banyak sekali
24 Lihat, Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân..., Juz I, h. 67-68 24 Lihat, Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân..., Juz I, h. 67-68
pada kaidah Rabbaniyah. Dapat dipahami, bila keikhlasan telah hilang dari seseorang, maka kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu akan semakin kuat. Inilah yang akan menjadikan seseorang memiliki sifat keras kepala, merasa benar sendiri, enggan diperingatkan. Sehingga dengan tegas Allah Swt. mengklaim, merekalah sesungguhnya pembuat kerusakan itu, tetapi mereka tidak sadar. Boleh jadi karena memang hati mereka telah tertutup untuk memperoleh hidayah akibat sifat mereka sendiri yang cenderung menolak kebenaran.
3. Sombong dan Angkuh Akibat sifat keras kepala yang telah bercokol dalam diri orang-orang munafik seperti telah diuraikan di atas, maka biasanya akan diikuti oleh sifat sombong dan angkuh, merasa lebih tinggi kedudukannya daripada manusia lain. Inilah ciri berikutnya dari karakter orang munafik seperti yang diinformasikan oleh Allah melalui firman-Nya:
25 Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur`ân, Jilid I, h. 44
Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang- orang lain telah beriman", mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (Qs. Al-Baqarah/2: 13)
Jelas digambarkan bahwa orang-orang munafik tersebut memandang rendah Rasulullah dan orang-orang yang beriman bersama beliau. Mereka menganggap diri mereka lebih pintar. Padahal sudah sangat jelas merekalah orang-orang bodoh yang merasa pintar, perusak yang merasa berbuat perbaikan, mulut mereka pandai bersilat lidah sehingga terdengar sangat manis perkataannya yang dapat menarik hati lawan bicaranya.
Dengan sikap yang demikian itu, apabila mereka diajak untuk berbuat baik dalam kerangka bertaqwa kepada Allah Swt., maka timbullah kesombongannya yang menyebabkan mereka berbuat kejahatan-kejahatan yang lebih buruk.
Karakter orang munafik seperti diatas kembali dijelaskan oleh Allah melalui firman-Nya pada ayat yang lain di surat al-Baqarah/2 sebagai berikut:
ﺲﹾﺌِﺒﹶﻟﻭ ﻢﻨﻬﺟ ﻪﺒﺴﺤﹶﻓ ِﻢﹾﺛِﺈﹾﻟﺎِﺑ ﹸﺓﺰِﻌﹾﻟﺍ ﻪﺗﹶﺬﺧﹶﺃ ﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻖﺗﺍ ﻪﹶﻟ ﹶﻞﻴِﻗ ﺍﹶﺫِﺇﻭ ( ٢٠٥ ) ﺩﺎ ﺴﹶﻔﹾﻟﺍ ﺐِﺤﻳ ( ٢٠٦ - ٢٠٤ : ٢ / ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ )( ٢٠٦ ) ﺩﺎﻬِﻤﹾﻟﺍ
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.(204) Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.(205) Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.(206) (Qs. Al- Baqarah/2: 204-206)
Ayat di atas sekaligus memperingatkan akan kejelekan sifat dan perbuatan orang munafik untuk diwaspadai. Sekaligus mengancam mereka dengan neraka jahannam sebagai tempat tinggal yang sangat buruk untuk mereka pada kehidupan mendatang di akhirat.
4. Berperilaku ganda Ciri berikutnya dari orang munafik adalah berperilaku ganda yang dapat dilihat dari sikapnya yang bermuka dua. Sikapnya ini masih sangat memiliki hubungan yang kuat dengan sifatnya yang suka berdusta sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah bermuka dua diartikan orang yang tidak jujur dan tidak satu pendiriannya 26 . Orang munafik dengan ciri ini, mudah
26 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Ed. 2, Cet. ke-4, h.
dapat berpihak pada dua kelompok atau lebih yang saling berlawanan, padahal semuanya tidak sesuai dengan pendirian dan hati nuraninya. Semua itu dia lakukan untuk mendapatkan simpati dan dukungan demi tercapainya tujuan yang dia harapkan memberikan keuntungan baginya atau bagi kelompoknya.
Al-Qur`an menggambarkan ciri munafik seperti itu, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Baqarah/2 ayat 14:
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok". (Qs. Al-Baqarah/2: 14)
Ayat di atas turun berkenaan dengan sikap yang ditunjukkan oleh 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl di Madinah. Melalui firman-Nya tersebut Allah mengecam sikap 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl yang menyanjung-nyanjung Abû Bakr al-Shiddîq ra., 'Umar bin al-Khaththâb ra. dan 'Alî bin Abî Thâlib ra. ketika ia diperingatkan agar jangan bermuka dua ia berkata, “Aku tidak mengucapkan apa yang telah kukatakan kecuali karena Iman kita sama”. Namun setelah berpisah, 'Abdullâh bin Ubay bin
Salûl berkata kepada rekan-rekannya sesama munafik, “Lakukanlah terhadap kaum muslimin seperti apa yang kuperbuat itu”. 27
Persekongkolan 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl dengan rekan-rekannya, yang oleh ayat disebut dengan “Setan-setan” mereka, yang pada umumnya adalah kaum Yahudi, para pemuka kaum kafir, musyrik dan munafik untuk menghancurkan Islam, memang merupakan sejarah masa lalu yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut di atas. Namun tujuan dari ayat di atas tidaklah terbatas hanya bagi kelompok yang memiliki persekongkolan jahat itu. Dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan konteks yang sama, hal tersebut akan senantiasa dapat terjadi di tengah-tengah kehidupan umat pada masa kini, bahkan sampai pada masa mendatang.
Prilaku ganda atau sifat bermuka dua orang munafik oleh al-Qur`an dijelaskan pula pada surat al-Hasyr/59 ayat 11-13, sebagai berikut: ﻢﺘﺟِﺮﺧﹸﺃ ﻦِﺌﹶﻟ ِﺏﺎﺘِﻜﹾﻟﺍ ِﻞﻫﹶﺃ ﻦِﻣ ﺍﻭﺮﹶﻔﹶﻛ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﻢِﻬِﻧﺍﻮﺧِﺈِﻟ ﹶﻥﻮﹸﻟﻮﹸﻘﻳ ﺍﻮﹸﻘﹶﻓﺎﻧ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﻰﹶﻟِﺇ ﺮﺗ ﻢﹶﻟَ أ ﻢﻬﻧِﺇ ﺪﻬﺸﻳ ﻪ ﱠﻠﻟﺍﻭ ﻢﹸﻜﻧﺮﺼﻨﻨﹶﻟ ﻢﺘﹾﻠِﺗﻮﹸﻗ ﹾﻥِﺇﻭ ﺍﺪﺑﹶﺃ ﺍﺪﺣﹶﺃ ﻢﹸﻜﻴِﻓ ﻊﻴِﻄﻧ ﺎﹶﻟﻭ ﻢﹸﻜﻌﻣ ﻦﺟﺮﺨﻨﹶﻟ
27 Lihat, Abî al- Hasan 'Alî bin Ahmad al- Wâhidî, Asbâb al- Nuzûl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 12
( ١٣ - ١١ : ٥٩ / ﺮﺸﳊﺍ )( ١٣ ) ﹶﻥﻮﻬﹶﻘﹾﻔﻳ
Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli Kitab: "Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu". Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.(11) Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tiada akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi; niscaya mereka tiada akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan.(12) Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tiada mengerti.(13) (Qs. Al-Hasyr/59: 11-13)
Yang dimaksud dengan orang-orang munafik pada ayat tersebut ialah 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl dan orang-orang yang sejalan dengannya. Dan yang
dimaksud dengan ahli kitab di atas ialah Banî al-Nadhîr. 28 Dari sini diperoleh gambaran bagaimana sifat picik, khianat dan suka
melanggar janji orang-orang munafik yang sama persis dengan prilaku kaum Yahudi. Tipe pembohong dan bermuka dua pada ayat di atas diungkap, berawal ketika Nabi saw berhasil mengalahkan Yahudi Banî al-Nadhîr sebagai balasan pengkhianatan mereka terhadap poin-poin perjanjian, ternyata 'Abdullâh bin Ubay bin Salûl sama sekali tidak membantu mereka. Ketika orang-orang Yahudi itu diusir, ternyata dia
28 Abû Muhammad ‘Abd al-Malik bin Hisyâm al-Mu’âfiri, Sîrah al-Nabawiyyah, Tahqîq: Sayyid Ibrâhîm, Jamâl Tsâbit dan Muhammad Mahmûd, (Kairo: Dâr al-Hadîts ), Juz III, h. 132 28 Abû Muhammad ‘Abd al-Malik bin Hisyâm al-Mu’âfiri, Sîrah al-Nabawiyyah, Tahqîq: Sayyid Ibrâhîm, Jamâl Tsâbit dan Muhammad Mahmûd, (Kairo: Dâr al-Hadîts ), Juz III, h. 132
Sejarah telah membuktikan bahwa sifat-sifat demikian ternyata terus menerus, silih berganti, telah menghiasi panggung kehidupan umat manusia. Ia masuk kesemua aspek kehidupan, tidak hanya pada persoalan akidah, tetapi telah berkembang
merasuk ke seluruh persoalan hidup umat manusia yang diboncengi oleh kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan.
Di suatu negara, seperti Indonesia misalnya –yang disebut sebagai negara demokrasi-, fenomena kemunafikan seperti dijelaskan di atas kerapkali akan dapat disaksikan dipanggung-panggung kampanye untuk meraih simpati dan suara rakyat agar dapat mendukung mereka dalam meraih jabatan dan kekuasaan. Atau dengan cara gerilya menemui calon pemilih satu persatu. Tidak jarang perilaku-perilaku licik dengan berpura-pura berpihak sebagaimana digambarkan melalui ayat di atas dipraktikkan. Bila ketahuan bahwa mereka juga ternyata melakukan hubungan dengan pihak atau golongan lain yang dibenci oleh satu pihak, mereka bahkan tidak segan berbual dengan mengatakan “mereka hanya mengolok-olok belaka”. Atau dengan kata lain mereka hanya berpura-pura saja untuk mengetahui dan menghinakan mereka. Demikian disebutkan pada ujung ayat 14 surat al-Baqarah di atas.
Orang-orang munafik itu mengira bahwa mereka sungguh-sungguh telah berhasil meyakinkan korbannya untuk memperoleh apa yang menjadi tujuannya.
Padahal tidaklah demikian halnya, sampai Allah Swt. berfirman untuk menanggapi perbuatan mereka sebagaimana firman-Nya pada ayat selanjutnya:
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Qs. Al-Baqarah/2: 15)
Ibn Jarîr al-Thabarî menafsirkan bahwa maksud Allah mengolok-olok mereka pada ayat di atas adalah Dia memperlihatkan sebagian dari hukum-Nya di dunia. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Dhahhak dari Ibn 'Abbâs. Berkaitan dengan ayat tersebut, dengan mengatakan bahwa Allah mengolok-olok mereka untuk menghukum
mereka. 29 Tidak hanya sampai disini, Allah Swt. juga menambahkan bahwa orang-orang
yang bermuka dua itu akan dibiarkan terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Maksudnya Allah menambahi mereka dengan cara melamakan dan membiarkan
dalam kesesatan dan kedurhakaannya. 30 Sebagaimana firman Allah dalam surat al- An’âm/6 ayat 110: . ﹶﻥﻮﻬﻤﻌﻳ ﻢِﻬِﻧﺎﻴﻐﹸﻃ ﻲِﻓ ﻢﻫﺭﹶﺬﻧﻭ ٍﺓﺮﻣ ﹶﻝﻭﹶﺃ ِﻪِﺑ ﺍﻮﻨِﻣﺆﻳ ﻢﹶﻟ ﺎﻤﹶﻛ ﻢﻫﺭﺎﺼﺑﹶﺃﻭ ﻢﻬﺗﺪِﺌﹾﻓﹶﺃ ﺐﱢﻠﹶﻘﻧﻭ
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (al-Qur'an) pada permulaannya,
29 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân … , Juz I, h. 69-70 30 Ibid. , h. 70 29 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`ân … , Juz I, h. 69-70 30 Ibid. , h. 70
Begitu hinanya mereka (orang-orang yang bermuka dua) dalam pandangan Allah, sampai-sampai kemudian Allah mengunci mati hati mereka dan membiarkan mereka mengikuti hawa nafsu mereka. Hingga akhirnya mereka terperosok dan terus terperosok kepada kejahatan-kejahatan lainnya yang menggiring mereka kepada kehinaan yang semakin jauh dari hidayah Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah: ﺎﹰﻔِﻧﺍَﺀ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺍﹶﺫﺎﻣ ﻢﹾﻠِﻌﹾﻟﺍ ﺍﻮﺗﻭﹸﺃ ﻦﻳِﺬﱠﻠِﻟ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ ﻙِﺪﻨِﻋ ﻦِﻣ ﺍﻮﺟﺮﺧ ﺍﹶﺫِﺇ ﻰﺘﺣ ﻚﻴﹶﻟِﺇ ﻊِﻤﺘﺴﻳ ﻦﻣ ﻢﻬﻨِﻣﻭ
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. (Qs. Muhammad/47: 16)
5. Suka mencela dan mengejek Orang munafik selalu merasa dirinya orang yang paling pintar dan saleh. Sehingga ketika melihat orang lain melakukan kebaikan, ia merasa terusik dan membalasnya dengan celaan dan ejekan. Ia merasa paling suci, padahal jiwanya telah kotor. Ia merasa paling pintar, padahal akalnya telah rusak. Penghinaan yang mereka limpahkan kepada orang lain sesungguhnya adalah kehinaan yang ada pada diri mereka yang akan berbuah azab dari Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:
(Orang-orang munafik) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih . (Qs. Al- Tawbah/9: 79)
Ayat di atas menerangkan bagaimana ejekan dan hinaan orang-orang munafik terhadap orang-orang mukmin yang dengan penuh kepatuhan memberikan sedekah mereka kepada Rasulullah untuk dana tentara Islam berperang. Kepada yang memberikan banyak, mereka mengejek dengan perbuatan riyâ` dan kepada yang memberikan sedikit, mereka hina pula, padahal orang-orang mukmin memberikan sedekah itu, adalah dengan hati ikhlas semata-mata karena mengharapkan keridhoan
Allah. 31 Kata al-Lamzu ( ﺰ ﻤّﻠﻟا ) pada ayat tersebut artinya menohok kehormatan dan
melecehkan mereka dengan olok-olok. Sosok-sosok taat adalah mereka yang serius dalam ketaatan dan mengorbankan diri mereka di jalan Allah (fî sabîlillâh). 32
Dalam kehidupan, kerapkali akan ditemukan sosok-sosok munafik dalam berbagai kesempatan yang disibukkan untuk mencemooh manusia-manusia saleh. Terlontarlah istilah atau sebutan sok taat, sok alim, ekstrimis, kaku dan lainnya.
31 Tim Penyusun Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1991), Jilid IV, h. 200
32 ‘Â’idh 'Abdullâh Al-Qarnî, Bahaya Kemunafikan Di Tengah Kita, terj. Nandang Burhanuddin, (Jakarta: Qisthi Press, 1421 H/2001 M), Cet. ke-1, h. 18
Mereka sama sekali tidak tergerak untuk mengomentari perbuatan Yahudi dan Kristen, tidak pula untuk mencemooh komunis atau orang-orang zindik. Yang menyibukkan benak mereka dari pagi hingga pagi lagi, hanyalah mempermalukan
orang-orang saleh yang taat beribadah kepada Allah Swt.. 33 Demikian itu orang munafik mencela orang-orang mukmin yang berbuat
kebaikan. Seakan-akan dialah yang telah berbuat kebaikan. Bahkan orang munafik
tidak segan-segan mencaci dan melecehkan kehormatan orang lain dengan ghîbah yang keluar dari lisannya. Hal ini dijelaskan Allah melalui firman-Nya: ﻦِﻣ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ﻰﺸﻐﻳ ﻱِﺬﱠﻟﺎﹶﻛ ﻢﻬﻨﻴﻋﹶﺃ ﺭﻭﺪﺗ ﻚﻴﹶﻟِﺇ ﹶﻥﻭﺮﹸﻈﻨﻳ ﻢﻬﺘﻳﹶﺃﺭ ﻑﻮﺨﹾﻟﺍ َﺀﺎﺟ ﺍﹶﺫِﺈﹶﻓ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﹰﺔﺤِﺷَ أ ﺍﻮﻨِﻣﺆﻳ ﻢﹶﻟ ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺃ ِﺮﻴﺨﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹰﺔﺤِﺷﹶﺃ ٍﺩﺍﺪِﺣ ٍﺔﻨِﺴﹾﻟﹶﺄِﺑ ﻢﹸﻛﻮﹸﻘﹶﻠﺳ ﻑﻮﺨﹾﻟﺍ ﺐﻫﹶﺫ ﺍﹶﺫِﺈﹶﻓ ِﺕﻮﻤﹾﻟﺍ
Mereka bakhil terhadapmu apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Qs. Al- Ahzâb/33: 19)
Penafsiran bi-alsinatin hidâdin ( داﺪﺣ ﺔﻨﺴﻟﺄﺑ ) pada ayat di atas artinya : dengan perkataan yang fasih, lantang dan tajam seperti besi 34 . Hidâdin ( داﺪﺣ ) artinya seolah- olah pedang. Kita dapati, sosok munafik sehabis bertemu orang-orang saleh mereka
33 Ibid. 34 Hasanain Muhammad Makhlûf, Kamus Al-Qur`an, terj. Hery Noer Aly, (Bandung: Gema
Risalah Press, 1996), Cet. ke-11, h. 232 Risalah Press, 1996), Cet. ke-11, h. 232
Yang lebih dasyat lagi, bahkan orang munafik berani mencemooh dan mengejek ayat-ayat Allah Swt. Fenomena seperti itu dewasa ini kerapkali dapat disaksikan dalam kehidupan kita. Orang-orang munafik menjadikan ayat-ayat Allah Swt. sebagai bahan cemoohan dan ejekan. Sudah merupakan kebiasaan orang-orang
munafik bahwa mereka mengingkari dan mencemoohkan ayat-ayat Allah Swt. Mereka menganggap bahwa ayat-ayat Allah tidak masuk akal, padahal akal merekalah yang telah rusak. Mereka duduk bersama mendiskusikan ayat-ayat Allah Swt. dengan memenangkan akal yang ceroboh dan nafsu yang tak terkendali. Ini adalah bahasa lain dari pelecehan terhadap agama (baca: Islam). Padahal Allah Swt. telah memperingatkan melalui firman-Nya: ﺍﻭﺪﻌﹾﻘﺗ ﺎﹶﻠﹶﻓ ﺎﻬِﺑ ﹸﺃﺰﻬﺘﺴﻳﻭ ﺎﻬِﺑ ﺮﹶﻔﹾﻜﻳ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺕﺎﻳﺍَﺀ ﻢﺘﻌِﻤﺳ ﺍﹶﺫِﺇ ﹾﻥﹶﺃ ِﺏﺎﺘِﻜﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﹶﻝﺰﻧ ﺪﹶﻗﻭ ﻦﻳ ِﺮِﻓﺎﹶﻜﹾﻟﺍﻭ ﲔِﻘِﻓﺎﻨﻤﹾﻟﺍ ﻊِﻣﺎﺟ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥِﺇ ﻢﻬﹸﻠﹾﺜِﻣ ﺍﹰﺫِﺇ ﻢﹸﻜﻧِﺇ ِﻩِﺮﻴﹶﻏ ٍﺚﻳِﺪﺣ ﻲِﻓ ﺍﻮﺿﻮﺨﻳ ﻰﺘﺣ ﻢﻬﻌﻣ
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok- olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam. (Qs. Al-Nisa`/4: 140)
Firman-Nya dalam ayat lain:
35 Al-Qarnî, Bahaya Kemunafikan ….., h. 28
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Qs. Al-An'âm/6: 68)
Bagi mereka yang suka mengolok-olok ayat-ayat Allah dan sunnah-sunnah Rasul-Nya, Allah Swt. mengancam mereka tidak akan mendapat ampunan dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang kufur. Sebagaimana firman- Nya: ﻢﺘﻨﹸﻛ ِﻪِﻟﻮﺳﺭﻭ ِﻪِﺗﺎﻳﺍَﺀﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑﹶﺃ ﹾﻞﹸﻗ ﺐﻌﹾﻠﻧﻭ ﺽﻮﺨﻧ ﺎﻨﹸﻛ ﺎﻤﻧِﺇ ﻦﹸﻟﻮﹸﻘﻴﹶﻟ ﻢﻬﺘﹾﻟﹶﺄﺳ ﻦِﺌﹶﻟﻭ
ﹰﺔ ﹶﻔِﺋﺎﹶﻃ ﺏﱢﺬﻌﻧ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ٍﺔﹶﻔِﺋﺎﹶﻃ ﻦﻋ ﻒﻌﻧ ﹾﻥِﺇ ﻢﹸﻜِﻧﺎﳝِﺇ ﺪﻌﺑ ﻢﺗﺮﹶﻔﹶﻛ ﺪﹶﻗ ﺍﻭﺭِﺬﺘﻌﺗ ﺎﹶﻟ ( ٦٥ ) ﹶﻥﻮﹸﺋِﺰﻬﺘﺴﺗ ( ٦٦ - ٦٥ : ٩ / ﺔﺑﻮﺘﻟﺍ ) .( ٦٦ ) ﲔِﻣِﺮﺠﻣ ﺍﻮﻧﺎﹶﻛ ﻢﻬﻧﹶﺄِﺑ
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?"(65) Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema`afkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang- orang yang selalu berbuat dosa.(66) (Qs. Al-Tawbah/9: 65-66)
6. Bersumpah Palsu Orang munafik sangat mudah mengucapkan sumpah palsu. Ini adalah buah dari kebiasaannya yang suka berdusta. Untuk meyakinkan orang lain akan pembicaraannya, ia tidak segan bersumpah palsu sebagai topeng utuk menutupi kedustaan dan keburukan yang ia lakukan. Atau sebagai pelindung untuk menyelamatkan dirinya dari hukuman akibat kesalahan yang dilakukannya. Bahkan
juga digunakannya sebagai penguat alasan untuk tidak berbuat kebaikan sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Swt. Karakteristik seperti itu digambarkan Allah melalui firman-Nya:
( ٢ - ١ : ٦٣ / ﻥﻮﻘﻓﺎﻨﳌﺍ ) .( ٢ ) ﹶﻥﻮﹸﻠﻤﻌﻳ
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.(1) Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.(2) (Qs. Al-Munâfiqûn/63: 1-2)
Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang munafik dalam menguatkan pengakuan palsunya itu berani bersumpah, tetapi sumpahnya itu hanya sebagai perisai untuk menyelamatkan diri dari hukuman bunuh, dan pengambilan harta benda mereka sebagai ghanimah, sebagaimana hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang kafir. Setiap akan dijatuhkan hukuman kepada orang-orang munafik, mereka selalu Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang munafik dalam menguatkan pengakuan palsunya itu berani bersumpah, tetapi sumpahnya itu hanya sebagai perisai untuk menyelamatkan diri dari hukuman bunuh, dan pengambilan harta benda mereka sebagai ghanimah, sebagaimana hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang kafir. Setiap akan dijatuhkan hukuman kepada orang-orang munafik, mereka selalu
daripada iman, dan tidak ragu menampakkan apa yang berbeda dalam hatinya. 36 Fenomena kemunafikan sebagaimana diterangkan di atas juga dapat dilihat di
tengah-tengah kehidupan politik di suatu negara. Dimana pada saat-saat berkampanye
untuk menarik simpatik rakyat agar berpihak dan memilihnya sebagai pemimpin atau wakil mereka, seorang yang munafik tidak segan dan begitu mudahnya mengucapkan sumpah untuk meyakinkan para pemilihnya. Padahal ia telah berdusta, karena ia sesungguhnya memiliki tujuan lain dari maksud sumpahnya itu. Bahkan kemudian, ketika baru beberapa saat ia kembali bersumpah ketika dilantik sebagai pemimpin atau wakil rakyat, ia telah melanggar sumpahnya. Keadilan yang ia janjikan dahulu berubah menjadi kezhaliman, kepedulian terhadap ummat yang ia tunjukkan sebelumnya berubah menjadi kepedulian terhadap diri, keluarga dan kelompoknya saja. Hal tersebut terjadi, karena memang sejak awal sumpah yang mereka ikrarkan itu semata-mata mereka gunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Mereka menjadikan sumpah (palsu) sebagai alat penipu.
Terhadap orang-orang munafik seperti itu Allah swt. mengingatkan melalui firman-Nya:
36 M. Sonhaji dan Zaini Dahlan, Al-Qur`an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990), Jilid X, h. 158-159
Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah: dan bagimu azab yang besar. (Qs. Al-Nahl/16:
94) Menjadikan sumpah sebagai alat untuk menipu berarti melakukan sumpah
yang menyimpang, yaitu sumpah yang dilakukan dengan maksud untuk suatu kemungkaran atau perbuatan dosa. Sumpah seperti ini akan menenggelamkan pelakunya ke dalam neraka. Dan lebih dari itu, sumpah seperti ini dikategorikan
termasuk dosa besar. 37 Demikian di antara sifat-sifat yang menjadi ciri-ciri khas yang menjelaskan
tentang karakteristik orang munafik dalam al-Qur`an. Secara lebih terperinci, Muhammad Utsman Najati meringkas sifat-sifat orang munafik yang terdapat dalam al-Qur`an adalah sebagai berikut:
1. Sifat-sifat yang berhubungan dengan akidah: Sesungguhnya mereka tidak mengambil posisi tertentu dari akidah tauhid. Mereka hanya menampakkan keimanan jika berada diantara orang-orang muslim dan menampakkan kemusyrikan jika berada diantara orang-orang musyrik.
37 Mushthafâ Muhammad 'Imarah, Jawâhir al-Bukhârî wa Syarh al-Qasthalânî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 298
2. Sifat-sifat yang berhubungan dengan ibadah: Mereka menunaikan ibadah dengan riya’ dan dengan ketidakrelaan. Jika melaksanakan shalat, mereka melaksanakannya dengan penuh kemalasan.
3. Sifat-sifat yang berhubungan dengan interaksi sosial: Memerintahkan kemungkaran dan melarang perbuatan ma’ruf, melakukan provokasi- provokasi anatara barisan-barisan kaum muslim dan menggunakan penyiaran-
penyiaran dalam hal itu. Cenderung kepada memperdaya orang-orang, memaniskan ucapan guna mempengaruhi para pendengar, memperbanyak sumpah serapah untuk mencegah orang-orang, mengklarifikasikan kebenaran mereka, dan memperbagus penampilan-penampilan dengan ekspresi yang bagus dalam pakaian mereka, guna menarik perhatian orang-orang serta mempengaruhi mereka.
4. Sifat-sifat yang berhubungan dengan moral mereka: Lemahnya kepercayaan terhadap diri sendiri, ingkar janji, riya’, pengecut, pembohong, kikir, hedonis dan opurtunis, dan tunduk kepada hawa nafsu.
5. Sifat-sifat yang berhubungan dengan emosional dan sensual (simpati): Takut, mereka takut pada orang-orang muslim dan orang-orang musyrik, kecut dan takut pada kematian, hal yang menjadikan mereka absen dari berperang bersama kaum muslim, benci serta dengki kepada orang-orang muslim.
6. Sifat-sifat yang berhubungan dengan intelektual dan kognitif: Kebimbangan dan keraguan serta ketidakmampuan untuk menetapkan serta mengambil keputusan, dan tidak mampu berfikir sehat. Untuk itu, al-Qur`ân al-Karîm 6. Sifat-sifat yang berhubungan dengan intelektual dan kognitif: Kebimbangan dan keraguan serta ketidakmampuan untuk menetapkan serta mengambil keputusan, dan tidak mampu berfikir sehat. Untuk itu, al-Qur`ân al-Karîm
alasan dengan membaguskan tindakan-tindakan mereka. 38
Dari sejumlah sifat yang diilustrasikan al-Qur`an mengenai orang-orang munafik, sesungguhnya telah memberi gambaran yang jelas bagi kepribadian orang- orang munafik. Ciri-ciri substantif bagi kepribadian orang-orang munafik adalah kebingungannya antara iman dan kufur. Juga kelemahannya untuk mengambil posisi yang pasti dan jelas berhubungan dengan akidah tauhid. Hal itu mungkin juga karena mereka itu adalah orang-orang yang pengecut, dan lemahnya kepercayaan pada diri mereka sendiri, serta takut terhadap orang-orang mukmin. Sebagaimana pula mereka
takut pada orang-orang musyrik. 39 Karenanya mereka mengambil posisi yang cukup membingungkan. Di antara
mereka tidak mampu mengeluarkan keputusan yang jelas ke golongan manakah dari orang-orang muslim dan atau musyrik pada hakekatnya mereka akan berafiliasi. Sesungguhnya pengambilan seperti posisi ini menjadikan orang munafik memproteksi diri dengan kedustaan, riyâ`, muslihat, penutupan perasaan-perasaan sebenarnya dari kebenciannya terhadap orang-orang muslim, juga kedengkian dan iri
38 Muhammad Utsman Najati, Al-Qur`an dan Ilmu Jiwa, terj. Ahmad Rofi' 'Usmani, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1402 H/1985 M), Cet. ke-1, h. 264-265
39 Ibid. , h. 265 39 Ibid. , h. 265
Sesungguhnya ilustrasi yang menggambarkan kepribadian orang munafik menurut al-Qur`an adalah ilustrasi yang cermat dan hidup. Ia sesuai secara seksama atas tipe tertentu dari manusia yang terdapat dalam seluruh masyarakat manusia. Dan berdasarkan itu, adalah mungkin untuk mengenal mereka dengan jelas melalui ciri-
ciri yang membedakan mereka dari kelompok lainnya. Dengan mengetahui bahwa pada diri seseorang terdapat salah satu atau beberapa di antara ciri-ciri atau karakter –sebagaimana dijelaskan di atas-, maka setidaknya hal itu dapat menjadi petunjuk dini untuk mengetahui sosok pribadi seseorang itu apakah termasuk dalam golongan orang munafik. Atau barangkali dapat dikatakan bahwa pada diri seseorang itu telah terdapat “virus-virus” nifâq yang bila tidak segera disadari untuk dihilangkan akan menyeretnya kepada munafik tulen.
Ciri-ciri kemunafikan sebagaimana dirinci di atas apabila berkaitan dengan keyakinan (akidah) maka dapat digolongkan pada tingkat nifâq yang besar yang dapat mengeluarkan pelakunya dari keimanan dan dianggap telah memasukkan dirinya pada kekufuran. Hal itulah yang menjadikan kemunafikan dianggap sama dengan kekufuran. Sedangkan bila berkaitan dengan perbuatan (amal) maka ia tergolong pada tingkat nifâq kecil. Orang munafik pada tingkat ini tidak dianggap telah keluar dari keimanan. Akan tetapi tetap harus diwaspadai, karena hal itu merupakan lorong atau
40 Ibid. 41 Ibid ., h. 266 40 Ibid. 41 Ibid ., h. 266