Konsep Stres Analisa Faktor Penyebab Stres Dan Mekanisme Koping Pada Mahasiswa Profesi Keperawatan USU Angkatan 2006 Dalam Menghadapi Pendidikan Profesi NERS

2.1.2 Gejala stres

Cooper dan Straw 1995 mengemukakan gejala stres fisik, perilaku, dan dalam bentuk watak. Bentuk gejala fisik oleh Cooper dan Straw 1995 ditandai dengan adanya kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. Sementara dalam bentuk perilaku umumnya ditandai dengan perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain. Dalam bentuk gejala watak dan kepribadian biasanya tanda yang dapat dilihat adalah sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, dan kurang percaya diri menjadi rawan Cooper dan Straw, 1995. Tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Cooper dan Straw 1995 adalah pendapat Braham dalam Handoyo 2001:68, dimana gejala stres dapat dibedakan atas gejala fisik, emosional, intelektual, dan gejala interpersonal. Gejala fisik ditandai dengan adanya sulit tidur atau tidur tidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, selera makan berubah, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, dan kehilangan energi. Sementara gejala stres yang bersifat emosional ditandai dengan marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental. Braham sebagaimana dikutip oleh Handoyo 2001 menambahkan bahwa gejala stres yang bersifat intelektual umumnya ditandai dengan mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, dan pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja. Sedangkan tanda stres yang bersifat interpersonal adalah acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain Braham dalam Handoyo, 2001.

2.1.3 Faktor-faktor Penyebab Stres

Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal Dwiyanti, 2001. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwapengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga dimana pribadi berada dan mengembangkan diri, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum faktor yang menyebabkan terjadinya stres oleh Dwiyanti 2001 adalah akibat tidak adanya dukungan sosial, tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, kondisi lingkungan kerja, manajemen yang tidak sehat, tipe kepribadian, dan pengalaman pribadi. Penyebab stres yang pertama menurut Dwiyanti 2001 yaitu tidak adanya dukungan sosial diartikan bahwa stres akan cenderung muncul pada para individu yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka. Dukungan sosial bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, individu yang mengalami stres kerja adalah mereka yang tidak mendapat dukungan khususnya moril dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya. Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sejawatnya akan cenderung lebih mudah terkena stres. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan sosial yang menyebabkan ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. Tidak adanya kesempatan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan sebagai penyebab stres yang kedua menurut Dwiyanti 2001 berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya. Stres juga bisa terjadi ketika seorang tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. Kondisi lingkungan kerja juga dapat memicu terjadinya stres. Kondisi fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin Margiati, 1999. Manajemen yang tidak sehat diidentifikasi juga dapat mengakibatkan seseorang mengalami stres. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain khususnya bawahan, perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu mencurigai bawahan, membesarkan peristiwakejadian yang semestinya sepele dan semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan stres http:lensakomunika.com. Tipe kepribadian seseorang dapat juga memicu terjadinya stres. Seseorang dengan kepribadian tipe A cenderung mengalami stres dibanding kepribadian tipe B. Beberapa ciri kepribadian tipe A ini adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran, konsentrasi pada lebih dari satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak puas terhadap hidup apa yang diraihnya, cenderung berkompetisi dengan orang lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu, bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema ketika mengambil pegawai dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai yang mendapat resiko serangansakit jantung http:lensakomunika.com. Peristiwapengalaman pribadi dianggap dapat juga memicu terjadinya stres. Stres kerja sering disebabkan pengalaman pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi masalah pelanggaran hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu, ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman juga termasuk kategori ini. Baron Greenberg dalam Margiati, 1999. Davis dan Newstrom dalam Margiati 1999 stres kerja disebabkan tugas yang terlalu banyak, terbatasnya waktu, kurang mendapatkan tanggungjawab, ambiguitas peran, perbedaan nilai, frustasi, perubahan tipe pekerjaan, dan perubahan atau konflik peran. Adanya tugas yang terlalu banyak memang tidak selalu menjadi penyebab stres, namun akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi individu. Sementara terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan mampu memicu terjadinya stres karena bila seseorang yang biasanya mempunyai kemampuan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Kemampuan berkaitan dengan keahlian, pengalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang terbatas. Akibatnya, individu dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai waktu yang ditetapkan atasan. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai dapat menyebabkan terjadinya stres pada seseorang terutama jika hal ini menyangkut dengan hak dan kewajiban. Sementara itu ambiguitas peran menjadi penyebab stres bila seseorang agar menghasilkan performan yang baik, perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. Perbedaan nilai sebagai penyebab stres karena umumnya situasi ini biasanya terjadi pada individu yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi altruisme. Kondisi frustasi seseorang juga mampu memunculkan stres, dalam arti bila dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi adalah, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaianevaluasi staf. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum juga mampu memicu terjadinya stres terutama situasi ini bisa timbul akibat tugas atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian. Konflik peran juga mampu menimbulkan stres pada seseorang. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu a konflik peran intersender, dimana individu berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; b konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada individu yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternatif. Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pemicu tetapi dari beberapa pemicu stres. Sebagian besar dari waktu manusia ditempat mereka bekerja. Lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pemicu stres dipekerjaan berperan besar terhadap kurang berfungsinya atau jatuh sakitnya seseorang yang bekerja. Menurut Munandar 2001 faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres dalam pekerjaan adalah: 1 Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan seperti tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan, dan faktor tugas mencakup kerja malam, beban kerja, dan resiko dan bahaya, 2 Faktor struktur dan iklim kelompok adalah terpusat pada sejauh mana individu dapat berperan serta pada support sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik, 3 Faktor ciri-ciri individu sebagai faktor lainnya yang dapat memicu terjadinya stres artinya stres ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai kondisi stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya, mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola- pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, keadaan kehidupan dan kecakapan antara lain inteligensi, pendidikan, pelatihan, pembelajaran. Faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang menentukan bagaimana individu bereaksi terhadap pembangkit stres potensial Davis dan Newstrom dalam Margiati, 1999.

2.1.4 Tahapan Stres

Seseorang yang stres akan mengalami beberapa tahapan stres. Menurut Amberg 1979, sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari 2001 bahwa tahapan stres adalah sebagai berikut: a. Stres tahap pertama paling ringan, yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam. b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, cepat lelah pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung dan perut tidak nyaman bowel discomfort, jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai. c. Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan susah tertidur lagi, bangun terlalu pagi dan sulit tidur lagi, koordinasi tubuh terganggu, akan jatuh pingsan. d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dngan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidakadekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan. e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik. f. Stres tahap keenam paling berat, yaitu tahapan stres dengan tanda- tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, lemah, serta pingsan. Sementara menurut Holmes Rehe 1976 dan Wiebe Williams 1992, tahapan stres dibagi menjadi tiga yaitu: a. Stres ringan Adalah stresor yang dihadapi seseorang secara teratur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari orang lain. Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam. b. Stres sedang Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari, seperti perselisihan dengan teman. c. Stres berat Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan perkawanan terus menerus, penyakit fisik jangka panjang. Berdasarkan tahapan stres diatas, maka harus dipahami pula tentang bagaimana cara mengatasi stres.

2.1.5 Cara Mengatasi Stres

Menurut Agus Hardjana 1994 ada 2 cara mengatasi stres yaitu: a. Mengatasi secara negatif, seperti lari ke tempat- tempat hiburan bioskop, diskotik, minum- minuman keras, makan banyak, minum obat penenang, gelisah, kacau pikiran, menghisap rokok berlebihan dan acuh tak acuh, menyalahkan peristiwa dan menyimpan dendam. b. Mengatasi stres secara positif a Tindakan langsung direct action, berbuat yang nyata secara khusus dan langsung, seperti meminta nasehat, mempelajari ilmu atau kecakapan baru b Mencari informasi dengan pengetahuan yang membuat stres sehingga dapat mengetahui dan memahami situasi stres yang dialami. c Berpaling pada orang lain. Misal orang tua, saudara, sahabat. d Menerima dengan pasrah, yaitu berusaha menerima peristiwa atau keadaan apa adanya, karena dengan cara apapun kita tidak dapat mengubah sumber penyebab stresnya, kita hanya bisa melepaskan emosi dan mengurangi ketegangan seperti menangis, berteriak atau melucu, bisa juga melakukan tindakan meloncat- loncat, memukul- mukul meja atau berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. e Proses interpsikis yaitu dengan memanfaatkan strategi kognitif atau usaha pemahaman untuk menilai kembali situasi stres yang dialami, berupa strategi merumuskan kembali secara kognitif bentuk lain dari proses intrapsikis adalah apa yang disebut oleh Sigmund Frued yaitu mekanisme pertahanan defence mechanisme, denial penyangkalan, penekanan suppresi.

2.2 Konsep Mekanisme Koping

2.2.1 Pengertian Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dari perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam Kelliat, 1999. Jika individu berada pada kondisi stres ia akan menggunakan berbagai cara untuk mengatasinya, individu dapat menggunakan satu atau lebih sumber koping yang tersedia Rasmun, 2001. Sedangkan menurut Stuart 1998, mekanisme koping dapat didefenisikan sebagai segala usaha untuk mengatasi stres.

2.2.2 Penggolongan Mekanisme Koping

Mekanisme koping juga dibedakan menjadi dua tipe menurut Kozier, 2004 yaitu : a. Mekanisme koping berfokus pada masalah problem focused coping, meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat. b. Mekanisme koping berfokus pada emosi emotional focused coping, meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distres emosional. Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki situasi tetapi seseorang sering merasa lebih baik. Mekanisme koping juga dilihat sebagai mekanisme koping jangka pendek dan jangka panjang. Mekanisme koping jangka panjang merupakan cara konstruktif dan realistik. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu berbicara dengan orang lain tentang masalah dan mencoba untuk menemukan lebih banyak informasi tentang situasi. Mekanisme koping yang selanjutnya adalah mekanisme koping jangka pendek, cara ini digunakan untuk mengurangi stres untuk sementara tetapi merupakan cara yang tidak efektif untuk menghadapi realitas. Sedangkan metode koping menurut Folkman Lazarus; Folkman et al, dalam Afidarti 2006 adalah : 1. Planful problem solving problem-focused Individu berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh solusi dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah.