ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA.

(1)

HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIA

Oleh :

Yulia Emri Tambusai 110120110002

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Magister Hukum

Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2013


(2)

HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIA

Oleh :

Yulia Emri Tambusai 110120110002

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Magister Hukum

Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Hukum ini Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal

Seperti tertera di bawah ini

Bandung, Mei 2013

Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S,H., M.S Rohaenah Padmadinata, S.H. M.H Ketua Tim Pembimbing Anggota Tim Pembimbing


(3)

1. Karya tulis saya, tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana dan magister, baik di Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukkan Tim Peguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karna karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku diperguruan tinggi ini.

Bandung, Mei 2013

Yulia Emri Tambusai 110120110002


(4)

interest of the process of law enforcement corruption a criminal offence which is an extra ordinary crime that requires law enforcement in extraordinary through the establishment of specialized agencies that have broad authority, but a debate when the other hand, it is considered contrary to the principle of the law of criminal procedure that applies the principle of presumption of innocence. In addition, there is a concern when there are no limits, rules and or benchmarks that can be made into a reference on overseas prevention reasons that surely will open the opportunity of discrimination that ultimately broke the basic equality before the law and the legal certainty of a fair which is set in the Constitution, Act No. 8 of 1981 on the KUHAP and Act No. 39 of 2009 on human rights. The aspects influenced the problems in research of this thesis by raising some of the problems which are blocking against the KPK authority conduct a witness in the inquiry process is contrary to HUMAN RIGHTS and how can benchmarks KPK to conduct blocking against a witness in the inquiry process.

To address all the problems that exist, research is done by using the juridical normative approach which is a method of research conducted with drip at a series of data libraries called secondary data through legal principles and legal norms contained in the legislation.

Departing from the results of research of these problems then you can take the conclusion that the authorities of the KPK to conduct blocking against a witness in the proceedings is not incompatible with HUMAN RIGHTS as freedom of movement is not a HAM that can not be reduced under any circumstances. There is no legislation governing the benchmark subject anyone who should not have been prevented in this stage. That is, all a person's status of witnesses then people can be prevented from exiting the country. In connection with the above, the expected use of authorities blocking KPK has to do with reason and rasionil based on the law for reasons of national security, public order, health and morals of society and the interests of the community. In addition, the required presence of the setting of benchmarks or criteria of the KPK to conduct blocking against someone in the status as a witness in the investigation so as not to conflict with the principle of presumption of innocence or the presumption of innocence, the principle of equality before the law and guarantee a fair legal certainty for citizens and the public at its Indonesia for a person who is a witness to the crime of corruption in particular.


(5)

dalam tahap penyelidikan ini dilakukan demi kepentingan proses penegakan hukum tindak pidana korupsi yang merupakan extra ordinary crime yang membutuhkan penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, namun menjadi perdebatan ketika disisi yang lain hal ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Selain itu,adanya kekhawatiran apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri hal tersebut tentunya akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas equality before the law dan kepastian hukum yang adil yang diatur dalam Konstitusi, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia. Hal yang melatarbelakangi permasalahan dalam penelitian tesis ini dengan mengangkat beberapa masalah yaitu apakah kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan bertentangan dengan HAM dan bagaimanakah tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan.

Untuk menjawab semua permasalahan yang ada, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan menitik beratkan pada data kepustakaan atau disebut dengan data sekunder melalui asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.

Berangkat dari hasil penelitian terhadap permasalahan ini kemudian dapat di ambil kesimpulan bahwa kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan terhadap saksi pada proses penyelidikan tidak bertentangan dengan HAM sebab kebebasan bergerak bukanlah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tolok ukur perihal siapa saja yang tidak boleh dicegah dalam tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Sehubungan dengan hal diatas, diharapkan penggunaan kewenangan pencekalan KPK ini harus dilakukan dengan alasan yang kuat dan rasionil yang berlandaskan hukum untuk alasan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan dan moral masyarakat dan kepentingan masyarakat. Selain itu, diperlukan adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai tolok ukur atau kriteria KPK untuk melakukan pencekalan terhadap seseorang dalam status sebagai saksi dalam tahap penyelidikan agar tidak bertentangan dengan yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, asas equality before the law dan menjamin adanya kepastian hukum yang adil bagi masyarakat Indonesia pada umum nya dan bagi seseorang yang berstatus saksi tindak pidana korupsi pada khususnya.


(6)

tesis ini dalam rangka untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar

Magister Hukum (MH), Strata 2 (S2) pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Adapun judul dari tesis ini adalah :

ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP

PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari bahwa banyak kesulitan dan hambatan karena kurangnya pengetahuan penulisan mengenai masalah yang hendak diungkapkan, Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, petunjuk, pengarahan, dan ilmu pengetahuan serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini dengan tulus penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Rektor Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Ganjar Kurnia, Ir DEA., yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut ilmu di Pascasarjana Universitas Padjajaran.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Dr. Ida Nurlinda,S.H.,M.H, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesai tesis ini.

3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Dr. Ali Abdurahman, S.H,.M.H.

4. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, S,H., M.H selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran serta dengan sabar memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.


(7)

6. Bapak Dr. Sigid Suseno, S.H,.M.H., Bapak Aman sembiring Meliala,S.H,.M.H., Ibu Widati Wulandari, S.H., M.Crim. yang telah memberikan petunjuk-petunjuk dan saran berkenaan dengan materi tesis ini pada saat Seminal Usulan Penelitian.

7. Seluruh Guru Besar, Dosen dan staf sekretaris Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, pada Program Pendidikan Magister Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Pidana, yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan menumbuhkan semangat keilmuan bagi penulis, sehingga mempertajam analisa penulis terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan keilmuan yang dipelajari.

8. Bapak Rooseno selaku Biro Hukum KPK yang telah memberikan arahan dan atau pengetahuan terkait kewenangan institusi KPK pada saat wawancara penulis berkaitan dengan pengembangan materi dalam penelitian tesis ini.

Selanjutnya, selain kepada Civitas Akademika tersebut diatas, ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis haturkan kepada :

1. Kedua orangtua penulis yakni Drs. Emrizal Mahidin Tamboesai, MSc,. M.H. dan Elvita Indra yang selalu memberikan doa dan restu nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Kedua adik-adik penulis yakni Awang Tambusai dan Nina Emri Tambusai yang telah memberikan dorongan semangat dan telah menjadi motivasi terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

3. Rekan-rekan mahasiswa Program Pendidikan Magister Studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Pidana Universitas Padjadjaran


(8)

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan penulisan tesis ini dan dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Bandung, Mei 2013

Yulia Emri Tambusai 110120110002


(9)

PERNYATAAN... iii

ABSTRACT... iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR SINGKATAN... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikansi Masalah... 17

1.3. Tujuan Penelitian ... 17

1.4. Kegunaan Penelitian ... 17

1.5. Kerangka Pemikiran ... 18

1.6. Metode Penelitian. ... 34

1.7. Sistematika Penulisan ... 38

BAB II TINJAUAN UMUM PENCEKALAN SAKSI KPK DALAM TAHAP PENYELIDIKAN 2.1. Korupsi Sebagai Extra ordinary crime ... 41

2.2. Teori Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 50


(10)

2.7. Teori HAM ... 83

BAB III KASUS PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KPK DALAM TAHAP PENYELIDIKAN

3.1. Pencekalan Gubernur Riau terkait PON XVIII di Provinsi Riau ... 97 3.2. Pencekalan Mahfud Suroso Terkait Kasus Hambalang... 106 3.3. Pencekalan Ridwan Hakim terkait kasus Pengurusan Kuota Impor Daging

Sapi ... 118

BAB IV ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

4.1. Kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM ... 129 4.2. Tolok ukur KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses

penyelidikan ... 151

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 169 5.2. Saran ... 171

DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP


(11)

Aspidi : Asosiasi pengusaha importir daging Indonesia Baleg : Badan Legislatif

BNN : Badan Narkotika Nasional BPN : Badan Pertanahan Nasional BUMD : Badan Usaha Milik Daerah BUMN : Badan Usaha Milik Negara

CICP : Centre for International Crime Prevention

CAC : Commission of Anty Corruption

CV : Comanditaire Venootschap

Depdikbud : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dispora : Dinas Pemuda dan Olahraga

DPP : Dewan Pimpinan Pusat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Ditjen : Direktorat Jendral

Golkar : Golongan Karya HAM : Hak Asasi Manusia

ICCPR : International Covenant on Civil and Political Rights

ICW : Indonesia Corruption Watch IMB : Izin Mendirikan Bangunan


(12)

Kemendikbud : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemenkeu : Kementerian Keuangan

KemenkumHAM : Kementerian Hukum dan HAM Kemenpora : Kementerian Pemuda dan Olahraga Kementan : Kementerian Pertanian

Kepres : Keputusan Presiden

KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi KKN : Korupsi KolusiNepotisme KSO : Kerjasama Operasi

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana PAN : Partai Amanat Nasional

Pansus : Panitia Khusus

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

PEPERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perda : Peraturan Daerah


(13)

PT : Perseroan Terbatas

Ranperda : Rancangan Peraturan Daerah RI : Republik Indonesia

SOP : Standard Operational Prosedure

SPN : Sekolah Polisi Negara Sprindik : Surat perintah penyidikan TPI : Tempat Pemeriksaan Imigrasi UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar

UDHR : Universal Declaration of Human Right

WamenkumHam : Wakil Mentri Hukum dan HAM WIKA : Wijaya Karya


(14)

ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI

YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN

HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIA

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata secara materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera diperlukan peningkatkan secara terus menerus dalam berbagai bidang salah satunya adalah dalam hal pemberantasan dan penanganan tindak pidana korupsi. Korupsi merupakan tindak pidana yang unik, multi dimensi, dan sangat merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1 Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Korupsi merupakan sebuah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)2, untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.

1

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.98.

2

Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance & Komisi anti Korupsi di Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm.9.


(15)

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum khususnya mengenai tindak pidana korupsi, pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah yang dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan. Istilah korupsi pertama sekali hadir dalam khasanah hukum di Indonesia yakni dalam Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindang Pidana Korupsi, yang kemudian tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 (dua) tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.3

Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama yaitu sejak berlakunya KUHP pada tanggal 1 januari 1918. KUHP sebagai suatu kodifikasi dan unifikasi berlaku bagi semua golongan di Indonesia sesuai dengan asas konkordansi.4 Ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi dengan harapan dapat menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP.

3

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.1.

4

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Ditinjau Dari Hukum Pidana, Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, 2002, hlm.29.


(16)

Salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah guna memberantas tindak pidana korupsi yang diharapkan mampu menyempurnakan kekurangan dari peraturan yang bersifat konvensional tersebut adalah dengan dibentuknya Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dibentuk badan khusus yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mana dalam Pasal 43 Undang-undang ini berbunyi sebagai berikut :

“Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”

“Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

“Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat”

“Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang”

Badan khusus yang selanjutnya disebut KPK memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dalam hal tugas dan wewenang dari instansi KPK ini juga diatur dalam Pasal 6 Huruf c Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi (KPK) yang berbunyi :


(17)

“Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”

Melakukan penyelidikan merupakan salah satu kewenangan dari KPK dalam rangka untuk mengetahui suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau bukan. Kewenangan penyelidikan dilakukan oleh aparat penegak hukum yang disebut penyelidik. Berkenaan dengan hal diatas dapat kita ketahui bahwa pengertian penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 5 butir (1) yang berbunyi sebagai berikut :

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”

Guna memberantas tindak pidana korupsi yang semakin merajalela ini KPK diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Dalam rangka melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK diberikan kewenangan untuk dapat melakukan tindakan pencekalan, baik pencekalan yang dilakukan dalam tahap penyelidikan maupun dalam tahap penyidikan guna membantu proses penegakan hukum.

Berkenaan dengan hal diatas, penulis akan membatasi penelitian ini pada tahap penyelidikan. Adapun yang menjadi alasan pembatasan penelitian hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan


(18)

boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Namun menjadi hal yang menarik adalah ketika dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat prematur dan dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan tentunya akan dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi oleh konstitusi negara kita.

Tindakan pencekalan merupakan serangkaian tindakan dalam rangka mencegah pihak yang diduga terlibat kasus pidana korupsi untuk pergi ke luar negeri. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk keluar negeri dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu, sedangkan penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-orang tertentu untuk masuk kewilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu.5 Berdasarkan putusan No. 40/PUU-IX/2011, majelis MK menyatakan pencekalan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas sebuah perkara pidana sebagai inkonstitusional. Dalam sidang putusan uji materi terhadap Pasal 16 ayat 1 huruf (b) Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, MK menyatakan pencegahan yang dilakukan oleh penegak hukum bagi seseorang untuk berpergian ke luar negeri sementara kasusnya masih dalam tahap penyelidikan bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Menurut MK, hal itu berpotensi melanggar hak konstitusi

5

Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indoneisa, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 1996, hlm.80.


(19)

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E UUD 1945.6 Namun KPK masih diperbolehkan mengajukan pencekalan dalam proses penyelidikan karena Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memang mengatur secara khusus soal itu. KPK boleh mencekal karena UU KPK bersifat khusus atau disebut lex spesialis. Putusan MK yang membatalkan kata “penyelidikan” dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menyangkut tindak pidana umum, sehingga putusan MK itu bukan untuk kasus korupsi yang ditangani KPK.UU KPK bersifat khusus yang berarti memiliki kewenangan khusus pula, sama halnya seperti KPK tak berwenang mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dan diperbolehkan menyadap. UU yang dilakukan yudicial review adalah Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian bukan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga secara otomatis KPK masih tetap berwenang melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan.

Di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut:

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” :

“Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri”

6

WebsiteGOOGLE,http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalan-saat penyelidikan(terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00).


(20)

Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pengaturan mengenai pencekalan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan bertentangan pula dengan kepastian hukum yang adil. Asas-asas hukum pidana tersebut yakni Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan asas kepastian hukum yang adil diatur dalam UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.7 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin

7

Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana, PT Gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm.283.


(21)

konstitusi yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi :

“Negara Indonesia adalah negara hukum”

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”

“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”

Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3 KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut:

“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum...”

Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah atau Presumption of innocent dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun.


(22)

Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”

“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”

“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Bila kita melihat dari logika hukum, pencekalan seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan dirasa tidak tepat, hal ini bertentangan dengan asas hukum pidana yang berlaku yakni asas praduga tak bersalah. Seseorang yang masih dalam tahap penyelidikan, indikasi keterlibatannya dalam suatu kasus tindak pidana korupsi masih sangat mentah. Hal ini berarti belum ada bukti yang cukup untuk diajukan ke pengadilan apabila cekal dilakukan pada saat proses penyelidikan. Tindakan pencekalan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi sebaiknya hanya dapat dilakukan bila kasusnya sudah masuk dalam tahap penyidikan, hal ini dikarenakan jika orang yang diduga melakukan tindak pidana sudah disidik itu berarti bukti awal sudah cukup.


(23)

Apabila seseorang dicekal dalam tahap penyelidikan, maka aturan itu akan merugikan banyak orang. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, "Kalau seseorang baru diselidiki sudah dicekal, akan ada ribuan orang yang dirugikan aturan itu. Oleh sebab itu, kalau memang sudah cukup bukti segera saja dijadikan tersangka, sehingga disidik, agar bisa langsung dicekal. Kalau masih kira-kira, diduga-duga, belum tersangka, tidak boleh dicekal, karena tindakan itu melanggar HAM”.8 Penegak hukum yang dalam hal ini adalah KPK dapat melakukan tindakan pencegahan ketika proses penyelidikan telah dimulai. Tidak ada batasan siapa saja yang tidak perbolehkan untuk dicegah pada tahap ini. Artinya, sepanjang seseorang berstatus sebagai saksi maka orang tersebut dapat dicegah keluar negeri. Berkenaan dengan hal ini sudah banyak tindakan pencekalan yang dilakukan oleh KPK pada tahap penyelidikan. Pada penelitian ini penulis akan memaparkan 3 (tiga) kasus pencekalan KPK pada tahap penyelidikan yakni Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal, pencekalan terhadap Direktur Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso dan pencekalan yang dilakukan institusi KPK pada kasus pengurusan kuora impor daging sapi

Berkenaan dengan pencekalan KPK pada tahap penyelidikan dapat dilihat pada kasus Pencekalan Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 yang terjadi di daerahnya. Tanpa penjelasan yang dapat dipahami oleh publik, Gubernur Provinsi Riau M. Rusli Zainal telah dicegah ke luar negeri oleh KPK. Penjelasan itu penting agar kemudian publik dapat mengetahui dan memahami tolok ukur yang dijadikan pegangan oleh

8

WebsiteGOOGLE,http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah


(24)

KPK dalam mencegah seseorang keluar negeri. Tanpa tolok ukur atau kriteria dan juga aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara dugaan suap pembangunan venue PON 2012 itu tidak dicegah ke luar negeri? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap para saksi seperti Ketua DPRD Johar Firdaus dari Fraksi Golkar beserta anggotanya, yakni Iwa dari Fraksi Golkar,Amri Ali dari Fraksi Gabungan, Adrian Ali dari Fraksi PAN, Zulfan Her dari Fraksi Golkar, serta Ketua Bapedda Ramli Walid.

Pada kasus berbeda KPK pun juga melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan terkait kasus hambalang, KPK menyelidiki proyek Hambalang sejak Agustus tahun 2011. Dalam kasus ini, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) telah melakukan cekal terhadap Direktur Dutasari Citralaras yakni Mahfud Suroso agar yang bersangkutan tidak bepergian ke luar negeri. Pencekalan Mahfud ini dilakukan atas permintaan KPK untuk kepentingan penyelidikan kasus Hambalang. Juru Bicara KPK, Johan Budi SP pada Selasa (22/05/2012) lalu mengatakan permintaan cekal tersebut diajukan KPK sejak tanggal 27 April. Pihak Imigrasi sendiri, lanjut Johan mencekal Mahfud selama enam bulan ke depan.9 Tanpa tolok ukur atau aturan yang dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara Hambalang itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama

9

Website GOOGLE, http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologis kasushambalang.html)


(25)

terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Menteri Pemuda dan Olahraga yakni Andi Mallarangeng, pengurus PT Dutasari Citralaras yakni istri Anas Urbaningrum bernama Athiyyah Laila, pejabat Partai Demokrat bernama Munadi Herlambang, mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional bernama Joyo Winoto, anggota Komisi II DPR yakni Ignatius Mulyono dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.10

Selain dua kasus diatas kemudian KPK juga melakukan pencekalan terhadap beberapa saksi terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi. Adapun nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan pada tahap ini yakni Ridwan Hakim (putra Ketua Majelis Syuro PKS bernama Hilmi Aminuddin), Ahmad Zaky (Swasta), Rudy Susanto (Swasta), Jerry Roger (Swasta), Soraya Kusuma Effendy (Komisaris PT. Indoguna Utama), Maria Elizabeth Liman (Dirut PT. Indoguna Utama). Sedangkan nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus ini seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta).

10

Website GOOGLE,http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang -kpk-dinilai-tidak-jelas)terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00).


(26)

Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK dapat melakukan pencekalan baik pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Dengan dipaparkannya nama saksi-saksi yang dikenai pencekalan dan nama-nama saksi yang tidak dikenai pencekalan pada kasus pengurusan kuota impor daging sapi ini, maka dapat kita simpulkan bahwa tidak semua saksi dalam kasus tindak pidana korupsi ini dapat dikenai pencekalan. Dengan tidak adanya tolok ukur atau kriteria yang diatur secara jelas dan transparan dalan peraturan perundang-undangan yang tentunya dapat dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, maka publik dapat pula mempertanyakan mengapa semua pihak yang menjadi saksi dalam perkara pengurusan kuota impor daging sapi itu tidak dicegah keluar negeri ? Mengapa kemudian KPK tidak melakukan tindakan pencegahan yang sama terhadap pihak-pihak yang juga diperiksa dalam tahap penyelidikan seperti Agus Suganda (Pegawai Negeri Sipil), Ahmad Junaedi (Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pasca panen Kementerian Pertanian), Syahrudin (swasta), Elda Deviane Adiningrat (swasta), Soewarso (swasta), Melani (karyawan PT. Indoguna Utama), Dina zelvia (swasta), Eka Pratiwi (swasta), Anna Retnowati (swasta), Mimin Juni Atin (swasta).

Berkenaan dengan penjelasan diatas, hal tersebut yang dimaksud dengan peluang untuk berbuat diskriminasi. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas persamaan di depan hukum atau equality before the law. Apalagi jika dipahami bahwa tidak setiap pemeriksaan pada tahap penyidikan memiliki relevansi untuk kemudian dimasukkan keterangannya dalam berkas perkara. Terlebih lagi bila dengan niat tertentu, penyidik memanggil seseorang untuk kemudian diperiksa lalu dikenakan tindakan pencegahan padahal orang yang sama tidak ada kaitannya


(27)

dengan penyidikan. Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut UUD 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing dan kesamaan dihadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh pemerintah.11

Masalah HAM merupakan masalah yang akan tetap berkembang selama manusia masih hidup didunia ini karena adanya rangkaian yang tidak terlepaskan antara yang memerintah dan yang diperintah, antara negara dan warga negaranya. Sementara pihak yang memerintah terkadang bahkan sering bertindak melampaui batas kewenangannya. Di pihak lain, pihak yang diperintah selalu menginginkan keadilan dan kemakmuran dirasakan oleh mereka.12

Pengenaan tindakan pencegahan dan penangkalan pada seorang saksi adalah tindakan yang sangat melanggar HAM dan bertentangan dengan konstitusi pada Bab khusus tentang HAM, KUHAP dan juga Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Seseorang yang hanya karena terkait (belum tentu pula jadi tersangka) dengan sesuatu masalah kemudian kehilangan hak untuk bepergian ke luar negeri. Mengingat hampir tidak ada upaya paksa dalam sistem hukum negara ini yang dapat dipaksakan pada seorang saksi selain keharusan untuk hadir apabila dipanggil bahkan harus melalui tahapan-tahapan yang manusiawi dan proses secara patut. Namun yang menjadi perdebatan adalah ketika pencekalan dalam proses penyelidikan ini dilakukan oleh KPK dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pada dasarnya pencegahan dan penangkalan seseorang untuk melakukan

11

Mien Rukmini, Perlindungan Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007, hlm.24.

12

Bambang Poernomo dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan HAM, Mandar Maju, Jakarta, 2001, hlm.72.


(28)

perjalanan dari dan ke wilayah Republik Indonesia merupakan pembatasan terhadap hak dan kebebasan seseorang yang dilindungi undang-undang. Namun dengan tujuan untuk melindungi kepentingan negara dan negara masyarakat, perlu dilakukan pencegahan dan penangkalan terhadap orang-orang yang mengganggu dan mengancam stabilitas nasional.13

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang, walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian sehingga pengertian law enforcement begitu popular, selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.14 Korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), karena korupsi berakibat secara signifikan terhadap segala aspek kehidupan khususnya aspek sosial dan ekonomi. Dengan demikian Masalah ini juga harus jadi prioritas negara untuk mengatasinya.

Berdasarkan penjabaran diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan atau analisa mengenai tolok ukur atau kriteria pencekalan yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia karena seperti yang penulis uraikan di atas KPK untuk melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan menggunakan dasar hukum yakni Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun hal ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Selain itu, adanya kekhawatiran apabila tidak ada batasan, aturan dan atau tolok ukur yang dapat

13

Ajat Sudrajat Havid, Formalitas Keimigrasian Dalam Perspektif Sejarah, Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2008, hlm.105.

14

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.7-8.


(29)

dijadikan rujukan perihal alasan pencegahan ke luar negeri, hal tersebut tentunya akan membuka peluang terjadinya diskriminasi yang pada akhirnya melanggar asas equality before the law dan kepastian hukum yang adil dan juga berujung pada pelanggaran HAM yang diatur dalam Konstitusi dan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut dalam bentuk tesis dengan judul :

ANALISIS YURIDIS TOLOK UKUR PENCEKALAN SAKSI

YANG DILAKUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

DALAM TAHAP PENYELIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN

HAK ASASI MANUSIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIA.


(30)

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan Pembahasan yang telah diuraikan diatas, identifikasi masalah yang penulis dapat kemukakan antara lain sebagai berikut :

1) Apakah kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan bertentangan dengan HAM ?

2) Bagaimanakah tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah:

1) Untuk mengkaji dan memahami kewenangan KPK melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan dikaitkan dengan HAM.

2) Untuk mengkaji dan memahami tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam proses penyelidikan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1. Kegunaan Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran yang dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya mengenai tolok ukur pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia.


(31)

1.4.2. Kegunaan praktis

Diharapkan penulisan tesis ini juga dapat memperluas dan meningkatkan pengetahuan penulis dalam hal yang berkaitan dengan karya ilmiah, serta mempunyai nilai kemanfaatan untuk kepentingan penegakan hukum sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan bertindak dalam melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh KPK.

1.5. Kerangka Pemikiran

Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Dengan kata lain, Para penyusun UUD 1945 secara tegas mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka atau machtsstaat yang dalam bahasa Jerman mengandung arti bahwa negara itu dijalankan semata-mata berdasarkan kekuasaan bukan berdasarkan atas hukum. Dalam machtsstaat penyelenggara negara dapat bertindak sewenang-wenang sesuai seleranya sendiri, Indonesia tentu bukan negara seperti itu. Digunakannya istilah rechtsstaat ini menunjukkan bahwa para penyusun UUD 1945 menggunakan konsep negara hukum.

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum tentunya negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin perlindungan terhadap hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh


(32)

cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat pada semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Penyebutan Indonesia sebagai sebuah negara hukum atau rechtsstaat ini mengandung implikasi bahwa di negara ini penyelenggara negara harus dilandaskan atas UUD 1945 dan penyelenggara negara juga tentunya berkewajiban melindungi HAM. Indonesia sebagai negara hukum tentunya wajib menjamin hak asasi warga negaranya secara konstitusional.15 Pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap HAM tentunya akan selalu menjadi bagian terpenting dalam sebuah negara hukum dan juga dalam rangka pelaksanaan pembangunan hukum karena masyarakat akan menilai keberhasilan pembangunan hukum dengan melihat pada implementasinya berupa pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia.

Berdasarkan penalaran yang logis dan pernyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara hukum juga membawa implikasi berkenaan dengan aparatur penyelenggara negara tidak diperbolehkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganegaranya. Pada saat yang sama, pernyataan sebagai negara hukum juga membawa implikasi bahwa di negara ini tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat membuka peluang bagi penyelenggara negara untuk dapat bertindak sewenang-wenang dan diberi landasan hukum oleh norma undang-undang tersebut untuk melakukannya.

15

Bagir Manan, Negara Hukum Yang Berkeadilan, Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH UNPAD), Bandung, 2011, hlm.355.


(33)

Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat dua belas prinsip pokok negara hukum. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara modern sehingga dapat disebut negara hukum dalam arti yang sebenarnya. Adapun dua belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut : Supermasi hukum (supermacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara (constitusional court), peradilan hak asasi manusia, bersifat demokratis (democratische rechtsstaat), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (welfare rechtsstaat), dan transparansi dan kontrol sosial.16

Berkenaan dengan dua belas prinsip pokok negara hukum yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie diatas dan dikaitkan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan, maka terdapat beberapa prinsip pokok yang berhubungan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan yakni berkenaan dengan supermasi hukum (supermacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (welfare rechtsstaat), transparansi dan kontrol sosial.

Aris toteles mengemukakan adanya perbedaan keadilan abstrak dan kepatutan yang mana menyatakan bahwa hukum terpaksa melakukan atau membuat aturan-aturan yang berlaku umum dan sering kali bertindak kejam terhadap soal-soal

16

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 154-161.


(34)

perseorangan.17 Sehingga yang dapat kita dipahami disini adalah hukum merupakan suatu kaidah tertulis yang berwujud perundang-undangan ataupun peraturan yang mengatur dan berlaku demi untuk kepentingan umum yang mana selanjutnya hukum tersebut memiliki sanksi, paksaan ataupun upaya paksa yang dapat memaksa seseorang atau perorangan untuk taat terhadap aturan yang ada pada hukum tersebut atau bahkan dapat menghapuskan hak-hak seseorang (kepentingan individu) demi tercapainya penegakan hukum guna melindungi kepentingan umum.Dari pemikiran Aristoteles diatas, dapat kita perluas pengertiannya yaitu bahwa hukum ataupun peraturan perundang-undangan adalah norma-norma yang berlaku untuk umum (masyarakat luas) dan mampu mengenyampingkan kepentingan individu sehingga disini posisi hukum tingkatannya lebih tinggi dari kepentingan individu. Hukum bertujuan guna menjamin kepentingan umum, maka hal tersebut sejalan dengan konsep hukum yaitu lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan perorangan atau individu.

Untuk mewujudkan suatu kepastian dan keadilan hukum tentunya harus menyelaraskan antara substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum dengan hukum yang dibutuhkan masyarakat. Realitas objektif didalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi benturan antara materi hukum (substansi) dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terkadang belum terakomodir dalam hukum positif Indonesia. Asas legalitas yang menjadi salah satu ciri negara hukum dimana suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi apabila telah ada pengaturannya.

17

Catatan perkuliahan pada mata kuliah Hukum Pidana, dengan dosen pengajar David Ramadhan, di Ruang E Fakultas Hukum UR, Pada hari Jumat pukul 14.00 WIB.


(35)

Asas legalitas merupakan asas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang merupakan terjemahan dari principle of legality. Asas legalitas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dengan perundang-undangan, Biasanya ini dikenal dalam bahasan Latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sina praevia lege” yang artinya “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu”.18Asas legalitas ini merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, asas legalitas merupakan asas yang esensiel di dalam penerapan hukum pidana. Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHP mencantumkan asas legalitas ini sebagai berikut : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Asas legalitas tersebut tercermin dari adanya pengaturan mengenai kewenangan KPK dalam melakukan pencekalan pada proses penyelidikan, hal ini di atur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini khususnya dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Komisi pemberantasan Korupsi mempunyai kewenangan untuk melakukan pencekalan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbunyi sebagai berikut:

18


(36)

“Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c” :

“Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri”

Selain substransi hukum, struktur atau aparat hukum juga merupakan suatu komponen yang penting dalam pembangunan hukum yang mana diciptakannya lembaga-lembaga hukum dengan personil-personil yang berkwalitas. Dalam artian bahwa bukan hanya memahami hukum namun diperlukan pula integritas moral yang tinggi, dapat dicari pada proses rekrutmen, dan kemudian dibentuk lebih lanjut dalam proses pendidikan, khusus dirancang untuk penugasan tersebut.19

Dengan banyaknya kasus korupsi saat ini, mengisyaratkan bahwa masih adanya perbuatan anggota masyarakat yang tidak sejalan dengan peraturan-peraturan. Hukum berfungsi sebagai social control yang bersifat memaksa agar masyarakat mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku untuk mengatur mengenai korupsi sebagai suatu pengaturan yang wajib ditaati. Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan undang-undang walaupun di dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya adalah demikian sehingga pengertian law enforcement begitu popular. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.20 Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan dengan penilaian yang mantap, mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir

19

Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002, hlm.160.

20


(37)

untuk menciptakan (sebagai “social engineering”, memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup.21

Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan karena :

1) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang,

2) Belum ada peraturan pelaksana yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang, dan

3) Ketidakjelasan arti kata-kata didalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran serta penerapannya.

Hukum adalah keseluruhan peraturan-peraturan bagi kelakuan atau perbuatan manusia di dalam masyarakat yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dan bertujuan mendapatkan tata atau keadilan. Hukum diadakan dengan tujuan agar menimbulkan tata atau damai dan yang lebih dalam lagi yaitu keadilan didalam masyarakat mendapatkan bagian yang sama.22 Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia agar kepentingan manusia terlindungi dan hukum harus dilaksanakan. Sejalan dengan perkembangan masyarakat bertambah banyak pula peraturan-peraturan yang disusun untuk menata kehidupan yang modern sehingga persoalan penegakan hukum atau masalah Law Enforcement dan Rule of Law menjadi sangat krusial.23

21

Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977, hlm.80.

22

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.27.

23

Asri Muhammad Saleh, Menegakkan Hukum atau Mendirikan Hukum, Bina Mandiri Press, Pekanbaru, 2003, hlm.29-30.


(38)

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia tampak tersendat dan bahkan sering terjadi stagnasi sehingga telah menimbulkan citra yang negatif terhadap aparatur penegak hukum pada khususnya dan pemerintah pada umumnya yang merupakan salah satu faktor yang melatar belakangi di bentuknya komisi-komisi untuk masing-masing instrumen atau sub sistem dalam sistem peradilan pidana.24 Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai tanggung jawab secara parsial dari pihak tertentu, hal tersebut dikarenakan adanya keterkaitan berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem. Oleh karenanya, sebagai suatu sistem perlu dipahami mengenai sistem peradilan pidana itu sendiri.

Sistem peradilan pidana mempunyai dimensi fungsional ganda. Di satu pihak berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan pada tingkatan tertentu, di lain pihak sistem peradilan pidana juga berfungsi untuk pencegahan. Efektivitas sistem peradilan pidana tergantung sepenuhnya pada kemampuan infrastruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya serta budaya hukum masyarakatnya25.

Pembentukan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dimaksudkan untuk memerangi korupsi sekaligus untuk menjawab tantangan ketidak berdayaan sistem peradilan pidana di Indonesia. Di Indonesia Sistem peradilan Pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mempunyai 4 (empat) subsistem, yaitu : subsistem Kepolisian yang secara administratif di bawah Presiden, Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan

24

Romli Atmasasmita, Op.cit. 25


(39)

di bawah Mahkamah agung dan Lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman. Dengan dibentuknya KPK berdasarkan Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai komisi yang dibentuk guna memberantas korupsi secara otomatis KPK yang juga berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tentunya dapat dinyatakan sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Sistem peradilan pidana di Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang No.8 Tahun 1981, memiliki sepuluh asas sebagai berikut26 :

1) Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2) Asas praduga tak bersalah.

3) Hak untuk memperoleh kompensasi(ganti rugi)dan rehabilitasi. 4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum.

5) Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan.

6) Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7) Peradilan yang terbuka untuk umum.

8) Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis).

9) Hak seorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan terhadapnya.

26

Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen & Peaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, 2009, hlm.67.


(40)

10) Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan putusannya.

Berkenaan dengan tolok ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan asas-asas dalam sistem peradilan pidana, KPK dalam melakukan pencekalan pada tahap penyelidikan dapat dikatakan bertentangan dengan asas perlakuan yang sama dimuka hukum (equality before the law) dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent).

Sebagaimana yang telah penulis bahas diatas, KPK sebagai sebuah lembaga penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan pidana Indonesia merupakan suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan secara lebih dalam diatur dalam Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Secara tegas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku.

Pada penelitian ini, penulis akan mengerucutkan pembahasan dari seluruh kewenangan yang dmiliki KPK dan terfokus pada tolak ukur KPK untuk melakukan pencekalan dalam tahap penyelidikan. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP mencantumkan bahwa :

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan/ penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”


(41)

Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan dimulai. Kemudian hal yang perlu digaris bawahi kalimat “mencari dan menemukan” tersebut adalah “suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana”. Dengan kata lain, “mencari dan menemukan” berarti penyelidik berupaya atas inisiatif sendiri untuk menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.27

Pembatasan penelitian ini hanya pada tahap penyelidikan dikarenakan tindakan penyelidikan merupakan pintu gerbang mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana atau bukan. Pencekalan KPK dalam tahap penyidikan dirasa wajar karena sudah ada bukti awal yang cukup dan ketika penegak hukum telah menetapkan tersangka, pencekalan boleh dilakukan karena kekhawatiran ada upaya menghilangkan barang bukti atau melarikan diri ke luar negeri. Namun yang menarik ketika dilakukannya pencekalan dalam tahap penyelidikan yang mana indikasi keterlibatan seseorang terhadap suatu tindak pidana masih sangat mentah dan dengan tidak adanya tolak ukur yang jelas mengenai pencekalan seseorang dalam tahap penyelidikan tentunya akan dapat menimbulkan gesekan antara kepentingan proses penegakan hukum dengan masalah HAM seorang individu yang dilindungi oleh UUD 1945.

Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dikatakan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan

27

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan), Sinar Grafika, 2008, hlm.6.


(42)

setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Dimana ada manusia disitu ada HAM yang harus dihargai dan dijunjung tinggi.28 Ketika kita berbicara mengenai HAM tentunya akan menjadi pembahasan yang sangat luas, namun dalam penelitian ini penulis akan berfokus kajian pelanggaran HAM yang diakibatkan pada pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan dalam sistem peradilan pidana. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, "Kalau seseorang baru diselidiki sudah dicekal, akan ada ribuan orang yang dirugikan aturan itu. Oleh sebab itu, kalau memang sudah cukup bukti segera saja dijadikan tersangka, sehingga disidik, agar bisa langsung dicekal. Kalau masih kira-kira, diduga-duga, belum tersangka, tidak boleh dicekal, karena tindakan itu melanggar HAM”.29

28

Gunawan Setiadirdja, Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.75.

29

WebsiteGOOGLE,http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah


(43)

APTB atau Presumption of innocent dan APKDH atau equality before the law bersumber dan berakar dari sumber atau akar yang sama yaitu HAM yang bersifat universal serta mendapat pengaturan baik di dalam peraturan perundang-undangan nasional maupun di dalam dokumen internasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengaturan suatu asas dalam hal ini APTB atau Presumption of innocent dan APKDH atau equality before the law sebagai HAM untuk menegakkan dan melindunginya sesuai dengan negara hukum yang demokratis adalah diperlukan.30

Pencekalan dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh instansi KPK dianggap sah dan dapat dilakukan oleh KPK berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun pengaturan mengenai pencekalan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam proses penyelidikan yang diatur dalam Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini dinilai bertentangan dengan asas hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yakni asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan bertentangan pula dengan kepastian hukum yang adil.

Pencekalan yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan yang mana keterlibatan seseorang atas suatu kasus masih mentah namun sudah dilakukan pembatasan hak nya untuk bepergian keluar negri dapat dinilai bertentangan dengan asas praduga tak bersalah atau Presumption of innocent. Selain itu, Pencekalan yang dilakukan KPK tanpa adanya batasan atau tolak ukur yang jelas mengenai siapa saja

30


(44)

yang diperbolehkan untuk dicekal menurut analisis penulis akan bertentangan dengan APKDH atau equality before the law dan juga kepastian hukum yang adil.

Asas-asas hukum pidana tersebut yakni Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law, dan asas kepastian hukum yang adil diatur dalam UUD tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan diatas, asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence dan asas persamaan didepan hukum atau Equality before the law juga dimuat dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga pada Pasal 10 Undang-Undang No. 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM.

HAM diartikan sebagai hak yang melekat pada sifat manusia yang tanpa hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.31 Mencegah seseorang pergi ke luar negeri dalam tahap penyelidikan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar penegakan hukum. Hal ini dinilai melanggar hak seseorang yang dijamin konstitusi, yaitu hak yang ditentukan dalam UUD 1945 yang terdapat pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D, Pasal 28 E ayat (1), Pasal 28I ayat (4) yang berbunyi :

“Negara Indonesia adalah negara hukum”

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”

31


(45)

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memili pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”

“Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”

Asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence, Asas persamaan didepan hukum atau equality before the law dan kepastian hukum yang adil tidak secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, namun asas-asas tersebut tersirat baik dalam bagian Menimbang huruf a, kemudian juga pada bagian Penjelasan Umum angka 2 dan angka 3 KUHAP. Pada bagian Menimbang huruf a dari KUHAP berbunyi sebagai berikut:

“Bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum...”

Pada bagian Penjelasan Umum KUHAP dikemukaan adanya sepuluh asas yang mengatur perlindungan KUHAP terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia. Dari kesepuluh asas tersebut, asas yang berkaitan dengan pencekalan KPK dalam tahap penyelidikan adalah Asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent) dan mengenai perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun.

Sehubungan dengan hal diatas, pengaturan yang juga mencantumkan ketentuan mengenai perlindungan HAM dihubungkan dengan pencekalan dalam tahap penyelidikan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM ialah pada Pasal 3 ayat (2) dan (3), kemudian Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :


(46)

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”

“Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”

“Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Tindakan pencegahan dan penangkalan terhadap seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka atau dalam proses penyelidikan merupakan tindakan yang melanggar HAM. Selain melanggar asas hukum pidana yakni asas Presumption of innocent dan asas equality before the law yang tersirat dalam pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, Hal ini juga tidak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang berbunyi :

“Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia”

“Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Selain melihat peraturan perundang-undangan diatas, terdapat pengaturan lain mengenai hal ini yang tercantum dalam Pasal 13 dari Universal Declaration Of Humas Rights yang mana Republik Indonesia sendiri sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sangat menjunjung tinggi United Declaration of Human Rights. Pasal 13 dari Universal Declaration Of Humas Rights yang berbunyi sebagai berikut :


(47)

“1) Everyone has the right to freedom of movement and residence. Within the borders of each state.

2) Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country.”

Terjemahan pasal di atas adalah sebagai berikut :

1) Setiap orang memiliki hak untuk bergerak dan memilih tempat tinggal sepanjang berada dalam batas-batas wilayah negara, negara masing-masing.

2) Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan negara mana pun, termasuk negaranya sendiri, serta untuk kembali kenegaranya sendiri. Di Indonesia, dalam praktik belum terdapat kesepakatan mengenai makna yang terkandung didalamnya dan sering terjadi penyimpangan atau pelanggaran ditambah lagi dengan pengaturan yang tidak jelas dan sering terjadi kerancuan bahkan perbenturan dengan adanya tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan.32

1.6. Metode Penelitian

Metode adalah tata cara atau prosedur yang harus ditempuh dalam melakukan suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan tersebut adalah kegiatan penelitian hukum.33 Berkenaan dengan penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian bersifat yuridis normatif yaitu penelitian yang digunakan dengan cara meneliti bahan hukum sekunder atau penelitian berdasarkan aturan-aturan baku yang telah dibukukan disebut juga dengan penelitian kepustakaan34. Dengan demikian, dalam penulisan tesis ini digunakan metode penelitian antara lain sebagai berikut :

32Ibid

, hlm.69.

33

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Atma Jaya, Jakarta, hlm.9.

34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.13-14.


(48)

1.6.1 Metode Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research) atau penelitian hukum dogmatik (dogmatic law research) atau biasa disebut penelitian doktrinal. Dikatakan sebagai suatu kegiatan penelitian hukum maka metode pendekatan yang diterapkan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian yuridis normatif yakni dengan melalui suatu pendekatan konseptual (analytical and conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan menggunakan pola penalaran deduktif guna menemukan kebenaran yang obyektif.

1.6.2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang berupa penggambaran, penelaahan dan penganalisaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Metode ini memiliki tujuan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh tentang tolok ukur pencekalan terhadap saksi yang dilakukan KPK dalam tahap penyelidikan dihubungkan dengan HAM dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

1.6.3. Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh penulis dalam proses tahapan sebagai berikut:

1) Studi kepustakaan, dalam hal ini penelitian dilakukan dengan mempelajari dan menelaah data sekunder yang berkaitan dengan objek penelitian.

2) Studi lapangan, dalam hal ini penelitian dilakukan dengan mempelajari dan menelaah data primer yaitu melalui wawancara (interview) untuk


(49)

mendengar pendapat dan pemikiran dari pihak KPK yang menjadi narasumber dalam penelitian ini. Instrumen yang digunakan dalam wawancara ini adalah pedoman wawancara (inverview guidelines), dimana instrumen tersebut disusun dengan mengacu pada masalah hukum yang akan di teliti.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Data-data penelitian yang telah diperoleh kemudian dikelompokkan dengan menggunakan pola atau teknik sebagai berikut :

1) Studi Dokumen

Studi ini dilakukan menggunakan teknik penelusuran secara sistematis terhadap data-data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat atau data pokok dari permasalahan yang akan diteliti antara lain sebagai berikut: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang keimigrasian, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan wewenang KPK untuk melakukan pencekalan dalam proses penyelidikan.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti : buku, catatan kuliah, artikel, internet dan lain


(50)

sebagainya yang tentunya berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia.

2) Wawancara

Dimaksudkan untuk melengkapi data yang bersumber dari data sekunder yakni : bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Teknik yang digunakan melalui wawancara terbuka (open interview) yang kemudian dipandu dengan serangkaian konsep dan subjeknya adalah para pakar hukum pidana dan aparat penegak hukum yang terkait dalam kewenangan KPK untuk melakukan pencekalan terhadap saksi dalam tahap penyelidikan.

1.6.5. Analisis Data

Berdasarkan rumusan permasalahan dan pembahasan atas permasalahan yang dipergunakan maka analisis data dilakukan secara kualitatif dalam artian suatu metode analisis data yang tidak menampilkan angka-angka sebagai hasil penelitiannya melainkan disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian kalimat-kalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan.35 Hasil penelitian akan dianalisis secara yuridis kualitatif dengan cara melakukan penggabungan data hasil studi literatur atau kepustakaan dan studi lapangan. Data tersebut kemudian diolah dan

35


(1)

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariatan Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi RI, Jakarta, 2006.

Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indoneisa, PT. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 1996.

Kunarto, Hak Asasi Manusia dan Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan& Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007.

Mansyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2005.

Mien Rukmini, Perlindungan Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2007.

Muladi, Kapita selekta Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995.

---, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

---, Makalah Konsep Total Enforcement dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Kerangka Politik Hukum, forum koordinasi dan konsultasi dalam rangka intersifikasi pemberantasan tindak pidana korupsi, Jakarta, 2006. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993.

---, Perbuatan Pidana dan Pertanggung-jawab Dalam Hukum Pidana, Gajah Mada, Yogyakarta, 1955.

---, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2001. ---, Asas–Asas Hukum Pidana, Cet. Ke – VII, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. Moh Hatta, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana

Khusus, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2002.

Mohammad Mahfud MD, Makalah “Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, Jakarta, 2005.

Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.

O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana, Alumni, Jakarta, 2006.


(2)

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet. III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2001.

---, Korupsi, Good Governance & Komisi anti Korupsi di Indonesia. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002.

---, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2004.

---, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010.

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, Sinar Baru, Jakarta, 1983.

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebagai Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999.

Soenarto, Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1977.

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

---, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Cetakan Keenam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Subhi Mahmassani, Konsep Dasar Hak Asasi Manusia, Suatu Perbandingan Dalam Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1993.

Syed Husin Alatas, Korupsi, Sifat Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1991. ---, Sosiologi Korupsi, Jakarta, LP3ES, 1998.

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, Universitas Atma Jaya, Jakarta.

WJS. Poerwardarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1998.


(3)

Yesmil Anwar, Pembaharuan Hukum Pidana, PT Gramedia widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008.

--- & Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen & Peaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya Padjadjaran, 2009.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874. Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250. Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216.

C. Sumber Lain

Catatan perkuliahan pada mata kuliah Hukum Pidana, dengan dosen pengajar David Ramadhan, di Ruang E Fakultas Hukum UR, Pada hari Jumat pukul 14.00 WIB.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, dalam krisna harahap, Memberantas Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung, Grafiti, 2006.

Website GOOGLE, http//www.beritasatu.com/.../30595-mk-nyatakan-pencekalan-saat penyelidikan (terakhir kali dikunjungi tanggal 26 September 2012 Pukul 16.00). Website GOOGLE, http//berita.liputan6.com/read/.../mahfud-md-kecam-masalah pencekalan.../ (terakhir kali dikunjungi tanggal 7 Mei 2012 Pukul 17.00).


(4)

Website GOOGLE, http//www.beritabogor.com/2012/06/kronologis kasushambalang.html (terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 15.00).

Website GOOGLE, http//www.beritawmc.com/2012/06/.../soal-hambalang-kpk-dinilai-tidak-jelas)terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Oktober 2012 Pukul 14.00). Website GOOGLE, http//www.haluankepri.com › News › Andalas (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00).

Website GOOGLE, http//m.skalanews.com/.../gubernur-riau-dicekal-terkait-kasus-suappon.ht. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 13.45). Website GOOGLE, http//Kompas.com/KPK periksa 7 tersangka kasus PON Riau(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 21.35).

Website GOOGLE, http//www.sindonews.com/.../13/.../dua-tersangka-kasus-pon-riau-segera-d.. (terakhir kali dikunjungi tanggal 22 September 2012 Pukul 14.00). Website GOOGLE, http//metrotvnews.com/metronews/vi...0725/Gubernur-Riau-Tersangka -Kasus-Pon.(terakhir kali dikunjungi tanggal 10 Februari 2013 Pukul 11.35).

Website GOOGLE, www.riau terkini.com/hukumphp?arr=53414 (terakhir kali dikunjungi tanggal 13 Februari 2013 Pukul 13.25).

Website GOOGLE, www.seputarnusantara.com/?p=13559 (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55)

Website GOOGLE, www.tempo.co/.../Terlibat-Kasus-Hambalang-Mahfud-Suroso Dicekal (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 16.35).

Website GOOGLE, www.news.liputan6.com/anas+urbaningrum (terakhir kali dikunjungi tanggal 11 Februari 2013 Pukul 17.55).

Website GOOGLE, http//www.businessnews.co.id›Headline(terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.00).

Website GOOGLE, http//www.tempo.co/read/.../Suap-Daging-PKS-Begini-Awal-Mulanya (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 16.40).

Website GOOGLE, http//www.koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113355 (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Maret 2013 Pukul 18.50).


(5)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Yulia Emri Tambusai, S.H.

NPM : 110120110002

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tgl lahir : Pekanbaru, 8 Juli 1989

Alamat : Jl.Ciheulang baru 15 D, Bandung.

No.Telp /HP : 0852 9595 0292

Email : yuliaemri@yahoo.co.id

PENDIDIKAN FORMAL

● Sekolah Dasar : SD 001 Depok.

● SLTP : SLTP 21 Pekanbaru.

● SMAN : SMAN 4 Pekanbaru.

●Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum, Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Riau

PENGALAMAN ORGANISASI

1. Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Raya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Riau.

2. Sekertaris Bidang Sosial dan Budaya Badan Eksekutif Mahasiswa


(6)

Demikianlah riwayat hidup atau data pribadi ini saya buat dengan sebenarnya.

Bandung, Juni 2013