Persoalan yang paling menonjol dalam cerita Si Buyung Besar adalah Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita Si Buyung Besar Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita Si Buyung Besar adalah Alur

Adapun kegiatan untuk menafsirkan tema sebuah karya sastra memang bukan pekerjaan yang mudah. Berhubung tema tersembunyi di balik cerita, penafsiran terhadapnya haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang sacara keseluruhan membangun cerita itu. Lubis 1998:25 untuk mengetahui tema sebuah karyasastra maka dapat dilihat dari tiga hal yang saling berkaitan, yaitu: a melihat persoalan yang paling menonjol; b menghitung waktu penceritaan; c melihat konflik yang paling banyak hadir. Setelah membaca dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Si Buyung Besar termasuk cerita yang tegolong ke dalam jenis tema tingkat sosial. Dalam cerita rakyat ini menceritakan tentang kehidupan sosial seorang anak. Masalah dalam cerita ini adalah masalah hubungan manusia dengan manusia. Atau hubungan kasih sayang antara seorang datuk dan seorang anak yang selalu mematuhi perintah sang datuk sehingga muncul keegoisan dari sang datuk. Untuk menentukan tema dalam cerita rakyat Si Buyung Besar ini maka penulis menggunakan pendapat Mochtar Lubis yang menentukan tema sebuah karya sastra berdasarkan tiga hal yaitu :

a. Persoalan yang paling menonjol dalam cerita Si Buyung Besar adalah

masalah tingkah laku.

b. Dari awal cerita sampai akhir cerita dalam cerita Si Buyung Besar

menceritakan tentang sosial dan kepahlawanan.

c. Konflik yang paling banyak hadir dalam cerita Si Buyung Besar adalah

tentang tingkah laku dan keegoisan. Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 Berdasarkan ketiga hal diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tema dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah tentang sosial dan kepahlawanan.

2.3 Alur

Alur merupakan unsur karya sastra yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur karya sastra yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya sastra pun sering lebih ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Alur sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan waktu, baik ia dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karana itu dalam sebuah cerita, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian berikutnya, dan barangkali ada pula akhirnya Nurgiyantoro, 2001:141. Namun, plot sebuah cerita sering tidak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengakhiri dengan kejadian awal dan kejadian akhir. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita atau dibagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian manapun. Pada dasarnya, alur sebuah cerita haruslah bersifat padu. Antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Alur yang memiliki sifat keutuhan dan kepaduan, tentu saja akan menyuguhkan cerita yang bersifat utuh dan padu pula. Untuk memperoleh keutuhan sebuah alur cerita, Tasrif dalam Lubis 1998: 10 mengemukakan bahwa sebuah alur haruslah terdiri dari lima tahapan. Kelima Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 tahapan tersebut penting untuk dikenali, terutama jika kita bermaksud menelaah alur pada sastra yang bersangkutan. Kelima tahapan tersebut adalah : a. Tahap penyituasian tahap situation, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain. Berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya. b. Tahap pemunculan konflik tahap generating circumstances, masalah- masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai mencuat. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan akan dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. c. Tahap peningkatan konflik tahap rising action, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita yang menjadi inti cerita bersifat semakin mencekam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari. d. Tahap klimaks tahap climax, konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui atau ditimpakan kepada para tokoh cerita pencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. e. Tahap penyelesaian tahap denouement, konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 lain, sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri. Setelah penulis membaca, menghayati, dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar maka dapat digambarkan alur yang terdapat dalam cerita tersebut adalah plot lurus atau plot progresif. Artinya, bahwa dalam ceria rakyat Si Buyung Besar pelukisan alur cerita diawali dengan awal situasi sampai dengan akhir situasi dan tidak terdapat alur sorot balik flashback pada setiap bagian dari alur cerita tersebut. Adapun pentahapan alur dalam cerita Si Buyung Besar adalah sebagai berikut : a. Tahap penyituasian tahap situation , ini pengarang mulai menceritakan maupun melukiskan situasi latar, tokoh cerita, dan pembukaan cerita. Hal ini dapat kita lihat dari petikan cerita pada awal cerita ini, yaitu : Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun masih kuat. Tinggallah sepasang suami istri yang hidup rukun dan damai. Mereka bercocok tanam dan mempunyai seorang anak yang diberi nama Si Buyung Besar. Pertumbuhan anak ini jauh berbeda dari anak-anak lain karena badannya lekas besar itulah sebabnya dia diberi nama demikian. Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya. Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 16-17 Pada awal cerita ini pengarang sudah memainkan atau memulai cerita dari lingkungannya dahulu. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan di atas “Pada zaman dahulu penduduk pantai pun masih jarang, kepercayaannya kepada takhyul pun masih kuat tinggallah seorang...” pada penggalan ini pengarang mencoba memulai awal ceritanya. Lalu pengarang mengaitkannya dengan tokoh yang akan dimasukkan di dalam cerita yang dapat kita lihat pada penggalan berikut ini, Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Hal : 17 Lalu terjadinya satu kesatuan yang utuh pada awal cerita ini. Sedikit demi sedikit pengarang mulai memasukkan tokoh ke dalam isi cerita sehingga tampaklah cerita akan segera dimulai oleh pengarang. Dari penggalan cerita di atas pengarang sudah memasukkan unsur-unsur yang selalu ada dalam sebuah karya sastra yaitu, waktu, tempat dan lingkungan kejadian cerita. Adanya faktor- faktor di atas yang membentuk sebuah cerita yang saling berkaitan merupakan kesatuan yang bulat dalam cerita rakyat Si Buyung Besar. b. Tahap pemunculan konflik tahap generating circumstances, tahap ini dimulai dengan masalah dan peristiwa-peristiwa yanga akan mencuatkan konflik seperti, keanehan yang dilakukan oleh Si Buyung Besar yang setiap harinya ia sering bermain-main di atas pohon dengan kapak kecilnya Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 kesayangannya dengan memukul-mukul dan bernyanyi yang aneh dan lucu kedengarannya. Maka kedua orang tuanya ingin menyerahkannya kepada datuk Penghulu. Hal ini dapat kita lihat pada penggalan cerita berikut, Sehari-harian anak itu bermain-main di atas pohon dan mempunyai sebuah kapak kecil yang amat disayanginya. Dengan kapak kecil itulah sang anak bermain-main di atas pohon itu. Tidak ada sebatang pohonpun yang tidak kena kampaknya. Sambil menetak-netakkan kapaknya, Si Buyung Besar bernyanyi dan lucu kedengarannya. “Tidak ada paksa dicari-cari; ada paksa dibuang-buang”. Begitulah dia bernyanyi setiap hari dan baru turun dari atas pohon setelah dipanggil ibunya untuk makan. Sehabis makan, segera naik ke atas pohon lainnya, sambil menetak-netak. Lama-kelamaan ayahnya menjadi heran dan bertanya “Apa arti nyanyianmu itu, Buyung Besar? Ayah dengar setiap hari engkau menyanyikan itu-itu juga”. Sang anak tidak mendengarkan kata-kata ayahnya dan terus menetakkan kapaknya sambil bernyanyi. Segera ibunya memanggil untuk makan karena sudah tengah hari. Si anak pun turun lalu pergi makan bersama dengan orang tuanya. Seperti biasa, sehabis makan, ia pergi ke atas pohon lalu menyanyikan lagunya. Pada suatu hari sang ayah berpikir tentang maksud nyanyian anaknya itu. Hal itu ditanyakan kepada istrinya dan dijawab istrinya “Manalah aku tahu”. Sang suami berniat menyerahkan si anak Si Buyung Besar, kepada Datuk Penghulu agar dibimbing karena menurut dia Datuk Penghululah yang mampu membimbingnya. Sang istri menurut keinginan suaminya. Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik. Hal : 16-17 Dari penggalan cerita di atas sudah terlihatlah permasalahan dan peristiwa yang menyebabkan konflik mencuat dari sifat Si Buyung Besar sehingga Si Buyung Besar pun diserahkan kepada Datuk Penghulu untuk dididik dan dibesarkan. Dari gambaran dan penggalan cerita ini jelas bahwa penulis mulai menggerakkan jalan cerita sehingga pembaca atau penikmat karya sastra ingin lebih mengetahui jalannya ataupun isi cerita selanjutnya. c. Tahap peningkatan konflik tahap rising action, pada tahap ini penulis sudah ingin menampakkan maksud dan tujuan penulis terhadap cerita rakyat Si Buyung Besar ini. Keadaan cerita peningkatan konflik ini ketika Si Buyung Besar Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 melakukan pelayaran yang diperintah Datuk Penghulu, dari awal pelayaran dengan sikap dan sifat yang aneh sampai akhir dari pelayarannya. Hal ini dapat kita lihat dari penggalan cerita berikut : Satu malam, dua malam, minggu berganti bulan, mereka berada diatas lautan. Suatu hari berkatalah awak kapal kepada Si Buyung Besar seraya menunjukkan sebuah pulau. Buyung Besar memerintahkan agar kapal ditujukan kesana. Kini mereka sampai pada sebuah negeri. Buyung Besar berkata kepada penduduk negeri itu. “Hai penduduk kampong, siapa yang hendak membeli barang daganganku ini. Aku membawa buah kelapa”. Segera penduduk kampung itu dating beramai-ramai dan berkata bahwa mereka tidak mempunyai uang untuk membayarnya. “Barang siapa yang ingin mengerjakan buah kelapa ini saya berikan. Minyak kelapanya ambillah untuk kalian. Sabut-sabut dan tempurungnya isikan kembali kedalam kapal hamba”. Katanya. Mendengar ucapan demikian penduduk kampung sangat gembira dan senang hati. Beberapa minggu berselang, selesai pekerjaan mereka itu. Seluruh sabut- sabut dan tempurung kelapa telah diisikan kembali kedalam kapal Si Buyung Besar. Penduduk kampung itu mengucapkan terima kasih kepada Si Buyung Besar atas kebaikan hatinya seraya memohon agar dibawakan kembali buah kelapa yang lain kalau masih ada. Kembali mereka berlayar mengarungi lautan menuju kampung halamannya. Berbulan-bulan lamanya mereka di laut barulah sampai ditempat asalnya. Meriam dibunyikan pertanda bahwa mereka telah kembali dengan selamat. Mendengar dentuman itu Datuk Penghulu segera menjumpainya ditambatan kapal seraya menanyakan kabar Buyung Besar. Buyung Besar menyampaikan kabar baik serta memberitahu bahwa hasil dagangannya itu “Pulang Pokok saja”. Datuk Penghulu tidak ambil pusing walaupun Si Buyung Besar yang dimodalinnya itu kembali tanpa untung. Di tempat Datuk Penghulu Buyung Besar menyerahkan kebijaksanaan selanjutnya kepada Datuk Penghulu. Segera isi kapal itu dibersihkan, dikeluarkan dari dalam kapal serta menanyakan apakah Buyung Besar ingin berlayar lagi. Buyung Besar mengiakan dengan syarat kalau ada modal lagi ia akan menyanggupinya. Kali ini yang dibawa adalah padi. Para kuli memuat kapal itu penuh dengan padi, tetapi orangnya telah berganti bukan lagi mereka yang ikut berlayar pertama kali. Hal : 18-19 Dari awal pelayaran dengan sikap dan sifat yang aneh sampai akhir dari pelayaran yang membuat para kuli-kuli yang pertama ikut tidak lagi mau ikut dan digantikan dengan kuli-kuli yang baru dengan kepandaian yang berbeda pada pelayaran berikutnya. Hal ini dipertegas dengan penggalan cerita, Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 Malam itu Buyung Besar bersama pembantu-pembantunya berangkat menuju lautan dengan barang dagangan padi. Pelayaran ini lebih lama dari yang pertama. Akhirnya mereka sampai di sebuah negeri lain bukan negeri persinggahan semula. Buyung Besar berkata, “Hai penduduk kampung, saya ingin berjumpa dengan kalian”. Penduduk negeri itu menanyakan diri Si Buyung Besar dantentang tujuan mereka datang di tempat itu. Setelah menjelaskan diri dan kedatangannya, ia pun berkata, “Kalau kalian hendak menumbuk padi yang kami bawa, silahkan. Berasnya kami hadiahkan kepada kalian tetapi segala kulit-kulitnya keluarkan lalu masukkan kembali kedalam kapal ini”. Dengan senang hati penduduk negeri itu bekerja keras menumbuk padi. Setelah dua bulan berselang selesailah pekerjaan menumbuk padi itu dan kulitnya pun telah masuk kedalam kapal Buyung Besar yang baik hati. Mereka mengharapkan Buyung Besar kembali membawa dagangan serupa itu dan mengucapkan terimakasih atas kebaikan hatinya. Setelah pamit dari penduduk kampung itu mereka pun kembali berlayar menuju kampung halaman. Antara sesama kuli-kuli terdengar ocehan, “Alangkah bodohnya dan bencinya aku melihat tingkah Si Buyung Besar ini. Seenaknya saja memberikan padi-padi itu kepada orang lain. Kita telah bekerja keras menolongnya, mematuhi segala perintahnya tetapi tidak diberi apa-apa. Beras dikasih kepada orang itu dan kulitnya dibawa pulang. Mati aku melihat kebodohan Si Buyung ini”. Mereka tidak berani membantah atau mencela terus terang karena takut kepada Datuk. Setelah hampir dua bulan mereka berlayar pulang, tibalah kapal itu dengan selamat. Dentuman meriam pun dibunyikan tanda mereka telah tiba kembali. Datuk Penghulu menyuruh menterinya melihat siapa yang membunyikan meriam itu. Ia melihat akan Si Buyung Besar telah pulang dari pelayarannya. Datuk mendapat berita baik- baik dan jawaban yang serupa dengan pelayaran pertama yakni, “Pulang pokok saja”. Hal : 20-21 Penggalan cerita ini memperlihatkan bahwa penulis sudah ingin mencapai klimaks cerita sehingga memunculkan alur yang semakin memuncak dan mendekati klimaks, terlihat dari adanya tingkah laku Si Buyung Besar yang aneh dalam pelayaran yang membuat semua para kuli tidak suka dengan tingkah lakunya yang aneh tersebut. d. Tahap puncak tahap climax, puncak cerita ini yaitu ketika kepulangan Si Buyung Besar yang disambut oleh Datuk Penghulu. Hal ini diketahui dengan Datuk Penghulu yang menginginkan peti emas yang berisikan isteri dari Si Buyung Besar yang dibawanya sejak awal, dan terlihat oleh Datuk Penghulu. Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 Kemudian Datuk Penghulu yang pada akhirnya memutuskan pembagian dimana hasil berupa kapal emas dan hasil lainnya diserahkan kepada Si Buyung Besar dan isi dari peti emas yang tidak lain adalah isteri Si Buyung Besar menjadi bagian Datuk Penghulu dan ingin dinikahi oleh Datuk Penghulu. Akhirnya, Si Buyung Besar pun menuruti semua perintah Datuk Penghulu. Hal ini dapat kita lihat pada penggalan cerita berikut, Menurut hamba, Datuk tidak sukar membaginya. Barang-barang tumpukan kecil itu dibagikan kepada para pekerja. Yang lainnya, yakni kapal emas dan sebuah peti adalah untuk kita. Bagi hamba cukuplah peti yang kecil itu saja, “Kata Buyung Besar, tetapi Datuk sangat tertarik akan peti itu sejak dilihatnya tadi dan ingin mengetahui istrinya. Mendengar itu Datuk Penghulu bertanya lagi, “Sebelum pembagian yang kau usulkan itu, bolehkah aku mengetahui isi peti emas itu? “Buyung Besar tidak merasa keberatan lalu dibukanya dan menyatakan bahwa isinya itu adalah istrinya sendiri. Setelah tiga kali ketukan, terbukalah peti itu dari dalam lalu keluarlah istrinya, Putri Raja Lautan. Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Buyung Besar tidak menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak dapat berkata-kata selain menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, dia menyetujui keputusan Datuk Penghulu. Hal : 28-29 Dari penggalan cerita di atas sudah terlihatlah puncak climax dari cerita rakyat Si Buyung Besar. e. Tahap penyelesaian cerita tahap denouement ini adalah ketika tidak dapatnya melakukan pernikahan dengan sempurna dan bahkan Datuk Penghulu tidak dapat menguasai diri seperti orang gila. Pada akhirnya Si Buyung Besar pun meletakkan tangan dan memaafkannya Datuk Penghulu. Akhirnya Datuk Penghulu benar-benar sadar lalu menikahkan Si Buyung Besar dengan Puteri Raja Laut dan mengumumkan ia mundur dari jabatan sebagai seorang Datuk. hal ini terlihat pada penggalan cerita berikut, Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008 Waktu berlangsung akad nikah itu, tiba-tiba Datuk Penghulu berubah pikiran. Ia tidak dapat melakukan akad nikah dengan sempurna walaupun ditunjuki Tuan Kadhi berulang kali. Bahkan Datuk Penghulu tidak dapat menguasai dirinya lalu berdiri sambil mencak-mencak. Adakalanya kalanya tiarap seperti orang berenang. Demikianlah ia untuk beberapa saat lamanya disaksikan oleh orang yang hadir disitu. Dalam keadaan demikian Tuan Kadhi turun kehalaman menjumpai Buyung Besar. Ia berkata,’’kiranya cukuplah sudah hukuman yang ditimpakan Tuhan kepada Datuk Penghulu. Kuharap ampunilah dia.“ Buyung Besar pun tersentak dari lamunannya lalu memandang Tuan Kadhi seraya berdiri. Buyung Besar berkata, “barangkali benar kata Bapak, marilah kita menemuinya ke ruangan.” Terlihatlah oleh mereka Datuk Penghulu sedang kepayahan. Didekatinya Datuk itu seraya meletakkan tangannya di atas kepalanya. Begitupun mulai sadar. Beberapa saat kemudian Datuk Penghulu benar-benar telah sadar, lalu berucap kepada hadirin bahwa ia tidak jadi melangsungkan pernikahannya dengan Tuan Putri. Saat itu juga diumumkan bahwa Buyung Besar dinikahkan kepada Tuan Putri Raja Lautan dan saat itu pula ia mengundurkan diri dari jabatan Datuk seraya menunjukkan Buyung Besar sebagai penggantinya. Demikianlah pesta untuk perkawinan Datuk Penghulu itu beralih menjadi pesta perkawinan Buyung Besar dengan Putri Raja Lautan. Kemudian Buyung Besar menjadi Datuk dan memerintahkan negeri dengan adil dan bijaksana. Mereka hidup bahagia, demikian juga masyarakatnya bertambah makmur adanya. Hal : 30

2.2 Latar