2.4 Watak dan
Perwatakan
Dalam pembicaraan sebuah karya sastra, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut, sebenarnya, tidak menyaran pada pengertian yang persis
sama, walau ada diantaranya sinonim. Ada istilah yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada tehknik pengembangannya dalam sebuah cerita.
Istilah “tokoh” menunjukkan pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab terhadap pertanyaan : “ Siapakah tokoh utama cerita rakyat itu?”, atau “Ada
berapa orang pelaku dalam cerita rakyat itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan
karakter, menunjukkan pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan
dan karakterisasi, karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak
tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones dalm Nurgiyantoro, 2001:165, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seorang yang ditampilkan pada sebuah cerita. Penggunaan istilah “karakter” character sendiri dalam berbagai literatur
bahasa inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh- tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut Stanton dalam Nurgiyantoro, 2001:165. Dengan demikian, karakter dapat berarti ‘pelaku cerita’
dan dapat pula berarti ‘perwatakan’. Antara seorang tokoh dengan perwatakan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
yang dimilikinya, memang merupakan suatu kepaduan yang utuh. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang, langsung mengisyaratkan kepada kita
perwatakan yang dimilikinya. Hal itu terjadi terutama pada tokoh-tokoh cerita yang telah menjadi milik masyarakat, seperti Sampuraga dengan sifat-sifat
jahatnya dan lain-lain. Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya sastra dapat dibedakan ke dalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat saja
dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama-protagonis- berkembang-tipikal. Adapun jenis-jenis tokoh cerita
tersebut adalah : a. Tokoh utama dan tokoh tambahan
Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga
terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya di munculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun
mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama central character, main character, sedang
yang kedua adalah tokoh tambahan peripheral character. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam sebuah cerita yang
bersangkutan. b. Tokoh protagonis dan antagonis
Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam perkembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat dari fungsi penampilan
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis. Membaca sebuah karya sastra, pembaca, sering mengidentifikasikan diri dengan tokoh
tertentu, memberikan simpati, dan simpati melibatkan diri secara emosional terhadap tokoh tersebut. Tokoh yang disikapi demikian oleh pembaca disebut
sebagai tokoh protagonis Alterbend dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2001:178.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, tokoh yang mendahulukan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita. Demikian pula sebaliknya,
tokoh antagonis, adalah tokoh yang menampilkan seseuatu yang tidak sesuai dengan pandangan kita, tidak seseuai denhan norma-norma dan nilai-nilai
yang tidak ideal bagi kita. c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana simple atau flat character dan tokoh kompleks atau tokoh bulat
complex atau round character. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memilki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.
Sebagai seorang tokoh manusia, ia tidak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Dan tokoh bulat atau kompleks adalah tokoh yang memiliki
dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kpribadiannya, dan jati dirinya.
Setelah membaca dan memahami cerita rakyat Si Buyung Besar dapat
diketahui watak dan perwatakannya sebagai berikut :
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
1.. Watak atau Tokoh Cerita
Tokoh utama dari cerita rakyat Si Buyung Besar adalah Si Buyung Besar
karena tokoh ini adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dalam cerita rakyat tersebut. Mulai dari awal cerita sampai akhir cerita, fokus cerita lebih
banyak ditujukan kepada Si Buyung Besar.
Sedangkan tokoh tambahan dalam cerita rakyat Si Buyung Besar adalah
tokoh Datuk Penghulu. Tokoh ini merupakan tokoh yang melengkapi cerita saja, walaupun tokoh ini juga memiliki kapasitas yang hampir sama dengan
tokoh Si Buyung Besar namun porsinya lebih sedikit dibandingkan dengan tokoh Si Buyung Besar.
2. Perwatakan atau
Penokohan
Tokoh cerita dalam cerita rakyat Si Buyung Besar hanya ada dua yaitu Si
Buyung Besar dan Datuk Penghulu. Adapun perwatakan dari kedua tokoh ini adalah :
a. Si Buyung Besar
Si Buyung Besar adalah tokoh yang memiliki sifat yang sabar. Hal ini terlihat ketika ia mendapatkan seorang putri yang cantik dari hasil
pengembaraannya di dasar laut. Ketika sampai didaratan akan direbut oleh orang tua angkatnya sendiri Datuk Penghulu, Ia tetap sabar menerima apa
adanya dengan menjalankan wasiat mertua, dan akhirnya dia berbahagia. Hal ini dapat kita lihat dalam penggalan cerita berikut,
Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada
Buyung Besar, usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan
padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Buyung Besar tidak menduga demikian dan beberapa saat lamanya tidak
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
dapat berkata-kata selain menundukkan kepala sambil berpikir-pikir. Akhirnya, walaupun dengan berat hati, dia menyetujui keputusan Datuk
Penghulu. Hal : 29
Selain sabar, Si Buyung Besar juga adalah seorang anak yang berkemauan keras dan berbakti kepada orang tuanya. Dimana ia selalu mencoba suatu
pekerjaan yang diberikan tanpa adanya kebosanan. Hal ini terlihat ketika Si Buyung Besar diminta untuk pergi berlayar oleh orang tua angkatnya Datuk
Penghulu hingga terus menerus dan akhirnya berhasil. Hal ini dapat dilihat dari penggalan cerita berikut,
Suatu hari Datuk Penghulu menanyakan maksud nyanyian itu kepada si Buyung Besar. “Apa maksud tak ada paksa dicari-cari, ada paksa dibuang-
buang”. Buyung Besar menjelaskan bahwa ia tidak tahu artinya dan menyatakan bahwa itulah nyanyiannya setiap hari. Kemudian Datuk
Penghulu menanyakan apakah Si Buyung Besar mau berniaga ke luar negeri. Si Buyung Besar menurut saja segala keinginan Datuk Penghulu. Dan Si
Buyung Besar meminta dibuatkan sebuah kapal untuk dibawa berlayar. Hal : 17
b. Datuk Penghulu
Datuk Penghulu adalah tokoh yang memiliki sifat yang ambisius atau egois. Keegoisannya yaitu terlihat ketika ia ingin memiliki istri dari anak angkatnya
sendiri Si Buyung Besar. Namun akhirnya keinginannya gagal dan ia pun menyesal. Hal ini dapat kita lihat dari kutipan berikut,
Melihat kecantikan Putri Raja Lautan itu, Datuk Penghulu kagum dan tidak dapat berkata-kata. Setelah sadar dari lamunannya, ia pun berkata kepada
Buyung Besar, “usulan pembagian keuntungan itu tidak dapat kuterima. Akulah yang memutuskannya. Kapal emas dan peti emas kuserahkan
padamu, sedangkan istrimu itu hendaknya kau serahkan kepadaku, “ katanya. Hal : 29
Selain bersifat ambisius atau egois, tokoh Datuk Penghulu juga digambarkan
sebagai tokoh yang patut dipuji kekerasan dan ketabahan atau kesabarannya. Hal ini dapat terlihat ketika ia membimbing anak angkatnya dari kecil hingga
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
dewasa sehingga menjadi anak yang berguna. Hal ini dapat dilihat pada penggalan cerita berikut,
Dalam waktu dua tiga hari, si anak diserahkan mereka kepada Datuk Penghulu. Disana sang ayah menjelaskan maksud kedatangan mereka seraya
memberitahukan keganjilan perangai anaknya itu. Datuk Penghulu tidak keberatan dan berjanji akan mendidik Si Buyung Besar dengan baik.
Kemudian mereka permisi pulang sedang si anak tinggal bersama Datuk Penghulu. Setelah beberapa tahun berselang Si Buyung Besar pun telah
dewasa, perangainya telah jauh berubah. Hal : 17 Demikianlah paparan watak dan perwatakan dalam cerita rakyat Si Buyung
Besar. Berdasarkan paparan tersebut terlihat bahwa watak atau tokohnya
hanya dua orang saja, yaitu Si Buyung Besar dan Datuk Penghulu digambarkan pengarang dengan sangat baik sekali karena watak kedua tokoh
tersebut sangat hidup layaknya manusia dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pula dengan perwatakannya yang digambarkan oleh pengarang seperti sifat
dan perilaku manusia dalam kehidupan yang nyata.
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008
BAB III NILAI-NILAI SOSIOLOGIS TERHADAP CERITA RAKYAT
SI BUYUNG BESAR MASYARAKAT MELAYU SERDANG
3.1 Adat Istiadat Menjunjung Duli
Megahnya suatu gelar sebenarnya haruslah diakui dan kelihatannya sudah berakar bagi bangsa dan negara yang tinggal di kepulauan nusantara khususnya.
Karena hal tersebut berkaitan erat dengan tinggi rendahnya kedudukan sosial seseorang. Dalam kaitan ini gelar yang dimaksukan adalah gelar raja, karena
kedudukan bukan karena gelar kebangsawanan. Adanya unsur-unsur mitologis mengenai asal usul para raja dihubungkan dengan awal kehidupan manusia di
dunia ini. Misalnya seperti penghuni surgawi dari dunia khayangan, mereka dianggap sebagai nenek moyang raja-raja dan oleh karena itu mereka memperoleh
martabat yang tinggi. Mengingat kedudukan seorang raja yang istimewa itu, maka dalam histografi tradisional dimuatlah tentang geneologi raja-raja dengan
biografi mereka. Silsilah raja disusun tidak lagi secara historis realistis tetapi secara kosmis-religiomagis di luar kekuatan yang ada pada manusia biasa.
Kebudayaan Islam memabawa perubahan terhadap pengertian raja yang dipandangnya tidak lagi seperti Dewa, akan tetapi bagi manusia biasa.
Penghormatan terhadap raja tetap besar akan tetapi hanya sebatas berkewajiban menjalankan pemerintahan dengan adil dan bijaksana. Dalam kaitan ini hubungan
raja dengan rakyat digambarkan melalui daulat serta durhaka. Raja berdaulat diseluruh kerajaannya dan rakyat menjunjung daulat tersebut. Akan tetapi,
apabila raja tidak lagi bertindak sebagai pelindung rakyat, maka menjadi hak rakyat menggalah kedaulatan raja. Hal ini seseuai dengan pepatah Melayu,
Fuad Syarial : Nilai-Nilai Sosiologis Terhadap Cerita Si Buyung Besar Masyarakat Melayu Serdang, 2009 USU Repository © 2008