Etiologi Peranan Pemeriksaan Imunohistokimia COX-2 Pada Karsinoma Nasofaring

penduduknya tergolong ras Mongoloid, penduduk asli Canada, Alaska dan Afrika. 2 Penemuan kasus baru karsinoma nasofaring setiap tahun diberbagai penjuru dunia cukup bervariasi. Peneliti di 17 negara Eropa, menemukan rata-rata 187 kasus baru setiap tahun. Farias dkk 2003 di Rio de Janeiro menemukan 16 kasus baru, serta Nwaorgu dan Ogunbiyi 2004 di Nigeria menemukan 12 kasus baru setiap tahun, sedangkan Israel mempunyai insiden karsinoma nasofaring yang sedang, hanya menemukan 3 kasus baru karsinoma nasofaring setiap tahun. Kasus baru sangat banyak ditemukan di Hongkong yaitu sebanyak 1146 kasus karsinoma nasofaring setiap tahunnya. Umur dan sex, kelompok resiko tinggi insiden karsinoma nasofaring setelah usia 30 tahun dan rata-rata usia 40-60 tahun. Penelitian di Taipeh, menjumpai umur rata-rata penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Prasad dan Rumpal 1992 menjumpai insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah usia 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah usia 60 tahun. Kamal dan Samarrai 1999, menemukan 2 dari kasus karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan Huang 1990, menemukan 53 kasus 1 karsinoma nasofaring berusia dibawah 14 tahun di Guangzhou. Karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria dibanding wanita dan dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan penderita pria dan wanita adalah 4:1. Namun ada penelitian yang mengemukakan perbandingan pria dan wanita hanya 2:1. 2,3,18,28,33

2.4. Etiologi

Banyak faktor penyebab yang berperan pada karsinoma nasofaring ini yaitu faktor ras, faktor geografis, riwayat infeksi virus EBV dan bahkan karsinogenik dari lingkungan. Karsinoma nasofaring lebih jarang dijumpai Yayan Andrianto : Peranan pemeriksaan imunohistokimia cox-2 Pada karsinoma nasofaring, 2008. USU Repository©2008 pada orang yang kulit putih dibandingkan yang berkulit hitam. Beberapa penulis melaporkan adanya kecendrungan orang dengan tipe HLA tertentu dapat menderita karsinoma nasofaring. Analisa genetik pada etnis China menunjukkan Histo-Kompatibilitas Mayor pada lokus HLA-A2, B17 dan BW46 dengan peningkatan resiko terjadinya karsinoma nasofaring sebanyak dua kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa gen yang bertanggung jawab terhadap tumor, berhubungan erat dengan lokus HLA ini. Tetapi pada penelitian di Amerika Utara gagal menunjukkan hubungan lokus HLA dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Polimorfik genetik dari gen CYP -2 F1 menunjukkan dapat terjadi pada daerah Guang Dong-China. Ketika polimorfik genetik CYP -2 F1 diselidiki dan dibantu dengan polimorfik genetik yang multipel dari satu atau beberapa gen lain maka berpotensial untuk berkembang dan berprogresif menjadi karsinoma nasofaring. Gen XRCC -1 penting didalam DNA yang diperbaiki. Hipotesa bahwa nukleotida polimorfik tunggal XRCC -1 codons 194Arg → Trp dan 399Arg → Gln dihubungkan dengan resiko karsinoma nasofaring dan interaksi dengan rokok serta tembakau. Genotip XRCC -1 Trp yang bervariasi berhubungan dengan resiko perkembangan karsinoma nasofaring terutama pada pria yang merokok. Pada bagian lain, dengan adanya Cyclin D1 kunci regulasi dari siklus sel dan diubahnya aktifitas menunjukkan perkembangan karsinoma. Proporsi dari kasus karsinoma nasofaring dianggap berasal dari genotip GG Cyclin D1 sebanyak 15 dari orang Portugis dengan karsinoma nasofaring. Penderita karsinoma nasofaring terbukti terinfeksi EBV dan genom virus dapat diidentifikasi pada sel tumor tetapi infeksi yang disebabkan oleh EBV tidak dipengaruhi oleh faktor geografis. EBV merupakan onkogen Herpes Virus manusia yang persisten menginfeksi 90 manusia. Terbukti bahwa EBV agent penyebab dari karsinoma nasofaring yang sangat sering terjadi multistep dan multi faktor dari kanker. Gen encode EBV dapat terjadi pada Yayan Andrianto : Peranan pemeriksaan imunohistokimia cox-2 Pada karsinoma nasofaring, 2008. USU Repository©2008 immun dan diregulasi dari signal selluler yang bervariasi. Genom EBV terdapat pada seluruh jaringan karsinoma nasofaring yang mengambarkan suatu tumor marker yang ideal dari karsinoma nasofaring. Menurut banyaknya analisa dari antibody EBV dan DNA, EBV berguna secara klinis untuk deteksi awal, monitoring dan prognosa dari karsinoma nasofaring. Penilaian antibody IgA dan IgG merespon kompleks antigen EBV yang bervariasi, biasanya timbul pada serologi yang multifel dan penting untuk diagnosa awal dari karsinoma nasofaring. EBNA-1 merupakan protein viral di karsinoma nasofaring dan menggambarkan target imunoterapi sel-T. Walaupun kombinasi dari 2 sintesa peptide menggambarkan immunodominan Epitope dari EBNA-1 dan Viral Capsid Antigen VCA -p18, namun pada Elisa untuk deteksi spesifik dari EBV reaktif antigen IgA dan IgG di karsinoma nasofaring juga berkembang. In-vitro infeksi EBV menghasilkan aktifasi STAT-3 dan NF-kB signal cascade sel epitel nasofaring. Bertambahnya ekspresi dari target steam yang menurun c- Myc , bcl - xl , IL-6, SOCS -1, SOCS -3, VEGF dan Cox -2 di observasi. Infeksi laten EBV menginduksi supresor aktifitas dari P-38-MAPK tetapi tidak pada PCR cascade. Ukuran ekspresi dari gen EBV laten pada karsinoma nasofaring dan contoh jaringan nasofaring normal menunjukkan bahwa diregulasi dari kunci protein yang terjadi apoptosis bcl -2 berhubungan dengan protein A1 dan molekul inhibitor apoptosis FAS , cek poin siklus sel AKIP , SCYL -1 dan NIN dan metastase Metaloprotein Matrix yang dikolerasi dengan nilai dari ekspresi gen EBV pada karsinoma nasofaring. Paparan terhadap karsinogen dilingkungan, terutama Nitrosamin diduga berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring. Karsinogen lain yang berperan pada kejadian karsinoma nasofaring adalah asap rokok, asap industri, paparan terhadap formaldehid formalin, gas kimia dan radiasi.Lutan 2003, Wei dan Sham 2005, Thompson 2005. Adanya radang kronik pada daerah nasofaring akan lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan dan menyebabkan karsinoma nasofaring.Soetjipto 1989. 2,28,30 Yayan Andrianto : Peranan pemeriksaan imunohistokimia cox-2 Pada karsinoma nasofaring, 2008. USU Repository©2008 Beberapa klasifikasi karsinoma nasofaring telah dikemukakan oleh sebagian pengamat. Pada tahun 1921 Regaud dan Reverchon di Prancis dan Schmincke di Jerman mengemukakan bahwa karsinoma nasofaring berasal dari transformasi elemen epitel dan jaringan limfoid nasofaring yang disebut Limphoephitelioma. Svoboda pada tahun 1967 mendemonstrasikan adanya keratin dalam sitoplasma dan mengambil kesimpulan bahwa karsinoma nasofaring adalah varian dari karsinoma sel skuamous. Mukarwi tahun 1974 dari Indonesia mengajukan klasifikasi karsinoma nasofaring dalam 5 subtipe : 1. Karsinoma Epidermoid dengan tanpa keratin, 2. Adenocarsinoma, 3. Adenoid Cystic Carsinoma, 4. Mucoepidermoid Carcinoma, dan 5. Nasopharyngeal Carcinoma Small Cell Large Cell Type. Sedangkan pada tahun 1975 EORTC European Organisation of Reseach on Treatmen of Cancer, suatu group patologi yang menangani kasus- kasus tumor kepala dan leher, menyatakan bahwa lymphoepithelioma ini adalah sebagai sebutan anatomi kliniknya saja dan nama ini diubahnya menjadi UCNT Undifferentiated Carcinoma of Nasopharyngeal Type. Tahun 1978 pakat patologi Eropa meninjau kembali histopatologi dengan efek kemoterapi dan mengajukan konsep klasifikasi histopatologi karsinoma nasofaring dalam 2 subtipe : 1. Squamous Cell Carcinoma SCC dan 2. Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma UNC. Konsep ini disebut juga klasifikasi Micheau. Pada waktu hampir bersamaan WHO tahun 1978 mengajukan klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan konsep Shanmugartnam dan Sobin. Menurut WHO karsinoma nasofaring dibagi dalam 3 subtipe : 1. Keratinezing Squamous Cell Carcinoma KSC WHO tipe I, 2. Nonkeratinezing Squamous Cell Carcinoma NKCWHO tipe II, dan 3. Undifferentiated Carcinoma UCWHO tipe III. Tiga tahun kemudian pakar Jerman, Kruger dan Wustrow mengajukan klasifikasi baru yang merupakan penyempurnaan klasifikasi WHO dengan memperhitungkan ada infiltrasi limfosit sebagai berikut : 1. Squamous Cell Carcinoma. 2. Yayan Andrianto : Peranan pemeriksaan imunohistokimia cox-2 Pada karsinoma nasofaring, 2008. USU Repository©2008 Nonkeratinezing Squamous Cell Carcinoma ; 2a. Tanpa infiltrasi sel limfosit, 2b. Dengan infiltrasi sel limfosit. 3. Undifferentiated Carcinoma : 3a. Tanpa infiltrasi sel limfosit, 3b. Dengan infiltrasi sel limfosit. Pada tahun 1991, WHO kembali mengklasifikasikan karsinoma nasofaring atas; Squamous Cell Carcinoma dengan subtipe Keratinizing Squamous Cell Carcinoma , Non-Keratinizing Carcinoma yang dibagi atas Differentiated dan Undifferentiated . Selanjutnya terjadi penambahan 1 kategori yaitu Basaloid Squamous Cell Carcinoma . 2,3,5,17,18,19,26,28,30,33 2.5. Klasifikasi dari Karsinoma Nasofaring menurut WHO 2.5.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma