Hukum Kebohongan Atau Penipuan Dalam Islam

21 Islam mengharamkan segala bentuk macam kebohongan atau penipuan, baik dalam masalah jual beli maupun dalam seluruh macam mu‟amalah, seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam segala urusannya, sebab keikhlasan dalam beragama, nilainya lebih tinggi daripada seluruh usaha duniawi. Ibnu Sirin pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: „Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat. Begitu juga al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan jariyah, kemudian ia berkata kepada si pembelinya: Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali. Walaupun hanya sekali, tetapi jiwa seorang mumin merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga. 19 “Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan akan kebaikan dan kebaikan itu akan menghantarkan kepada surga. Seseorang yang berbuat jujur oleh Allah akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya bohong itu membawa kelaliman, dan kelaliman itu akan menghantarkan ke arah neraka. Seseorang yang terus menerus berbuat bohong akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong.”Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim. Pertanda orang yang munafik itu ada tiga: apabila berbicara berbohong, apabila berjanji mengingkari janjinya dan apabila dipercaya berbuat khianat” Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim. 19 Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari http:islamiwiki.blogspot.com201203bahaya- berbohong-dan-hukumnya-dalam.html.UvtKq85qMz0 22 1. Dalam ajaran agama Islam ada beberapa kebohongan yang diperbolehkan diantaranya seperti berikut : a. Keadaan Perang atau Marabahaya Ketika Rasulullah Saw membonceng Abu Bakar radhiyallahu‟anhu diatas kendaraan beliau, maka jika ada seseorang yang bertanya kepada Abu Bakar radhiyallahu‟anhu tentang Rasulullah Saw di tengah perjalanan, beliau mengatakan, “ini adalah seorang penunjuk jala nku.” maka orang bertanya tersebut mengira bahwa jalan yang dimaksud adalah makna hakiki, padahal yang dimaksud oleh Abu Bakar radhiyallahu‟anhu adalah jalan kebaikan sabilul khair. Semata-mata demi kemaslahatan Rasulullah Saw dari ancaman musuh-musuh beliau. HR. al-Bukhari b. Mendamaikan Manusia Sebagaimana sabda Rasulullah shallallah „alaihi wasallam dalam hadits Ummu Kultsum radhiyallahu‟anha, sesungguhnya ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah dikatakan pendusta orang yang mendamaikan manusia yang berseteru, melainkan apa yang dikatakan adalah kebaikan.” Mutaffaq „Alaih c. Mendamaikan suami istri Imam Muslim menambahkan dalam suatu riwayat, berkata Ummu Kultsum radhiyallahu „anha, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah Saw memberikan keringanan rukhshah pada apa yang 23 diucapkan oleh manusia berdusta kecuali dalam tiga perkara, yakni : perang, mendamaikan perseteruan atau perselisihan diantara manusia, dan ucapan suami kepada istrinya atau sebaliknya.” 20 2. Beberapa Faktor-faktor yang mempengaruhi untuk berdusta atau berbohong : a. Sedikitnya rasa takut kepada Allah SWT dan tak adanya perasaan bahwa Allah SWT selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, baik yang kecil maupun yang besar. 21 b. Upaya mengaburkan fakta, baik bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau mengurangi takaran, dengan maksud menyombongkan diri atau untuk memperoleh keuntungan dunia, atau karena motif-motif lainnya. Misalnya saja: orang yang berdusta tentang harga beli tanah atau mobil, atau menyamarkan data-data yang tak akurat tentang wanita yang akan dipinang yang dilakukan pihak keluarganya. c. Mencari perhatian dengan membawakan cerita-cerita fiktif dan perkara-perkara yang dusta. d. Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan, baik dalam kondisi sulit atau kondisi lainnya. e. Terbiasa melakukan dusta sejak kecil. Ini merupakan hasil pendidikan yang buruk. Karena, sejak tumbuh kuku-kukunya sejak kecil, sang 20 Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari http:salafytobat.wordpress.com20130107berbohong-yang-diperbolehkan-menurut-hukum- islam 21 Diakses pada tgl 14 maret 2014 dari http:tarekatqodiriyah.wordpress.com20100128hukum-berbohong-dalam-islam 24 anak biasa melihat ayah dan ibundanya berdusta, sehingga ia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial semacam itu. f. Merasa bangga dengan berdusta, ia beranggapan bahwa kedustaan menandakan kepiawaian, tingginya daya nalar dan perilaku yang baik. 22 Diantara sebab terbanyak yang menjerumuskan anak Adam ke lembah kemaksiatan adalah mereka yang tak menjaga dua hal yaitu lidah dan kemaluannya. Sehingga Rasulullah bersabda, ْ َم ْ َ ْضَي يِل َم َ ْيَب ِهْيَيْحَل َمَ َ ْيَب ِهْيَلْجِ ْ َ ْضَأ هَل َ َ ْل Artinya : “Barangsiapa siapa yang mampu menjaga apa yang terdapat diantara dua janggutnya dan apa yang ada diantara dua kakinya, maka aku jamin akan masuk surga .” HR. Bukhari no. 0474. At-Tirmidzi, no. 2408. Kemaksiatan yang ditimbulkan dari kemaluan adalah zina dan kemaksiatan yang ditimbulkan oleh lisan adalah dusta. Terkadang dengan lisannya seseorang mengucapkan kata-kata tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan sebelumnya, sehingga menimbulkan fitnah dan kemudharatan yang banyak bagi dirinya maupun bagi orang lain. Oleh karena itu jelaslah bahwa diantara keselamatan seorang hamba adalah tergantung pada penjagaannya terhadap lisannya. Nabi sendiri pernah menasehati „Uqbah bin Amir ketika dia bertanya tentang keselamatan lalu beliau bersabda, “Peliharalah lidahmu, betahlah tinggal dirumahmu dan tangisilah dosa- dosamu.” HR. Tirmidzi, Hadits Hasan. 22 Diakses pada tgl 14 Maret 2014 dari http:tarekatqodiriyah.wordpress.com20100128hukum-berbohong-dalam-islam 25

E. Hukum Pernikahan Fasakh Menurut Para Ulama

Pernikahan antara Non muslim kepada wanita Muslimah sebagaimana isyarat surat al-Baqarah ayat 221 adalah haram. Dengan demikian, selama seorang laki-laki masih berstatus Non Muslim, maka selama itu pula haram hukumnya seorang perempuan Muslimah menjadi isterinya. Sesudah itu juga merupakan sesuatu yang terang bahwa ia meninggalkan agamanya yang lama dengan menjadi pemeluk agam Islam, maka menjadilah ia seorang Muslim. Dan karena sudah menjadi seorang Muslim, maka halal-lah seorang perempuan Muslimah menjadi isterinya. 23 Apabila orang seorang masuk Islam sekedar “bersiasat”, maka sesungguhnya ia bersiasat kepada Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT Maha Mengetahui terhadap niat seorang itu dan kelak akan mempertanggungkan perbuatannya di hadapan Allah SWT. Seseorang yang ingin menikahi wanita Muslimah dengan cara menyatakan diri masuk ke dalam agama Islam, adalah seseorang yang ingin mengambil sesuatu dari diri orang Muslim yang pada mulanya tidak ada hak darinya untuk hal tersebut. Karena pada mulanya pernikahan antara dia pria non muslim dan wanita Muslimah itu dianggap tidak pernah terjadi fasakhbatal demi hukum. Kemudian dengan masuknya ia ke dalam agama Islam, merubah kedudukan “batal” menjadi “sah”. 24 Menurut hukum Islam, akad perkawinan suatu perbuatan hukum yang sangat penting dan mengandung akibat-akibat serta konsekuensi- konsekuensinya tentu sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. 23 Ahmad Sudirman abbas. Problematika Pernikahan dan Solusinya, Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006 h. 60-61. 24 Ibid, h. 65. 26 Oleh karena itu, pelaksanaan akad pernikahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam adalah perbuatan yang sia- sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapa pun yang mengetahuinya, atau dengan cara pembatalan apabila pernikahan itu telah dilaksanakannya. Hukum Islam menganjurkan agar sebelum pernikahan dibatalkan perlu terlebih dahulu diadakan penelitian yang mendalam untuk memperoleh keyakinan bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam sudah terpenuhi. Jika persyaratan yang telah ditentukan masih belum lengkap atau masih terdapat halangan pernikahan, maka pelaksanaan akad pernikahan haruslah dicegah. 25 Menurut Al-Jaziri 26 jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum terjadi persetubuhuan, maka perkawinan tersebut harus dibatalkan, yang melakukan perkawinan itu dipandang tidak berdosa, jika telah terjadi persetubuhan maka itu dipandang sebagai wathi’ syubhat, tidak dipandang sebagai perzinaan, yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi zina, istri diharuskan ber-iddah apabila pernikahan telah dibatalkan, anak yang dilahirkan dari perkawinan itu dipandang bukan sebagai anak zina dan nasabnya tetap dipertalikan kepada ayah dan ibunya. Tetapi jika perkawinan yang dilakukan oleh seorang sehingga perkawinan itu menjadi tidak sah karena sengaja melakukan kesalahan memberikan keterangan palsu, persaksian palsu, surat-surat palsu atau hal-hal lain yang tidak sesuai dengan ketentuan berlaku, maka perkawinan yang demikian itu wajib dibatalkan. Jika 25 Abdul Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia Jakarta: Kencana, 2008, h. 42. 26 Abdurrahman Al-Jaziri, jilid IV, h. 119. 27 perkawinan yang dilaksanakan itu belum terjadi persetubuhan, maka istri tersebut tidak wajib ber-iddah, orang melaksanakan perkawinan itu dipandang bersalah dan berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana, persetubuhan itu dipandang sebagai perzinahan dan dikenakan had, nasab anak yang dilahirkan tidak dapat dipertalikan kepada ayahnya, hanya dipertalikan kepada ibunya. 27 Problema nikah fasakh rusak menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Fiqh Islam Wafadilatuhu bahwa nikah yang bisa dianggap rusak atau nikah fasakh sifatnya dapat dikategorikan beberapa kelompok yaitu kapan terjadinya perpisahan dikategorikan fasakh: 1. Menurut Imam Hanafi a. Menurut Imam Hanafi terjadinya nikah yang fasakh apabila istri kembali menjadi kafir setelah ia masuk Islam atau setelah suaminya mengIslamkannya. Menurut Imam Abu Hanifa dan Muhammad apabila suami yang kembali menjadi kafir maka jatuhnya talak sedangkan menurut Abi Yusuf jatuhnya fasakh. 28 b. Murtadnya suami atau istri sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa jika salah satu dari pasangan suami istri tersebut ada yang berpindah agama maka terputuslah akad pernikahan mereka, begitu juga jika salah satu dari pasangan tersebut berpindah keyakinan, misal : menyekutukan Allah, membandingkan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya, dll. 29 27 Ibid, h. 42-43 28 Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu Beirut: Dar al-fikr, t.th, h. 6866 29 Ibid, h. 6866