Rukun-rukun Perkawinan RUKUN DAN SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

37 ditempuh menjadi aman. Keseluruhan unsur dalam akad nikah ini disyariatkan karena akad nikah adalah persoalan yang besar dan urusan yang amat penting. Di dalamnya terdapat cakupan tuntutan menjaga kehormatan, kemuliaan, harta, dan nama baik dua keluarga. 3 Para ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul adalah rukun. Karena dengan keduanya salah satu dari kedua mempelai mengikat diri dengan yang lain, sedangkan keridhaan adalah syarat. Rukun pernikahan menurut para ulama Hanafiah hanya ijab dan qabul saja. Sedangkan menurut jumhur ulama ada empat, yaitu shigat ijab dan qabul, istri, suami, dan wali. Suami dan wali adalah dua orang yang mengucapkan akad. Sedangkan hal yang dijadikan akad adalah al- istimtaa’ bersenang-senang yang merupakan tujuan kedua mempelai dalam melangsungkan pernikahan. Sedangkan mahar bukan merupakan sesuatu yang sangat menentukan dalam akad. Mahar hanyalah merupakan syarat dalam akad nikah. Dengan demikian, saksi dan mahar dijadikan rukun menurut istilah yang beredar di kalangan sebagian ahli fiqh. 4 Menurut para ulama Hanafiah, ijab adalah perkataan yang pertama kali keluar dari salah satu kedua pihak yang berakad, baik dari pihak suami maupun istri. Sedangkan qabul menurut mereka adalah perkataan yang kedua dari salah satu pihak yang berakad. Adapun ijab menurut jumhur ulama adalah perkataan yang keluar dari wali istri atau orang yang 3 Syahrul Anam, Kado Untuk Sang Tunangan Risalah Nikah Untuk Remaja Cet. Ke 1, M2KD: Majelis Musyawarah Kutubuddiniyah PP. Mambaul Ulum Bata-bata, 2010, h. 45 4 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 45. 38 menggantikannya sebagai wakil. Karena qabul hanya merupakan reaksi dari adanya ijab. Jika qabul itu diucapkan sebelum ijab maka bukan namanya qabul karena sudah tidak bermakna lagi. Qabul adalah perkataan yang menunjukan akan keridhaan untuk menikah yang diucapkan oleh pihak suami. Jika seorang lelaki berkata kepada seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu kepadaku.”Kemudian si perempuan menjawab, “Aku terima.”Menurut para ulama Hanafiah, ucapan yang pertama merupakan ijab, sedangkan yang kedua merupakan qabul. Adapun menurut jumhur ulama justru sebaliknya. Karena wali perempuanlah yang memberikan hak milik kepada suami untuk bersenang-senang, maka perkataannya merupakan ijab. Sedangkan si suami yang menginginkan memiliki hak tersebut, oleh karenanya disebut qabul. Perundangan syiria pasal 5 telah mencantumkan bahwasannya pernikahan dapat terlaksana dengan ijab dari salah satu pihak yang melakukan akad dan qabul dari pihak yang lain. 5 1. Sighat Pernikahan a. Lafal-Lafal Pernikahan Pernikahan adalah akad peradaban yang tidak ada formalisasi di dalamnya. Sedangkan akad merupakan pengikat bagian-bagian perilaku, yaitu ijab dan qabul secara syar’i, yang dimaksud dengan akad disini adalah makna masdharnya, yaitu al-irtibaath keterikatan.Syariat 5 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 46. 39 menghukumi bahwa ijab dan qabul ada lahir, dan saling mengikat secara legal. Masing-masing dari ijab dan qabul terkadang berbentuk ucapan, terkadang juga berupa tulisan atau isyarat. Lafal-lafal ijab dan qabul, di antaranya ada yang disepakati sah untuk menikah, ada yang disepakati tidak sah, dan ada juga yang masih diperselisihkan. 6 Para ulama Syafi’iah dan Hanabilah berkata, “Tidak sah pernikahan dengan menggunakan lafal-lafal tersebut. Dan tidak sah kecuali dengan lafal nikah dan kawin, karena keduanya telah termaktub di dalam teks Al- Qur’an sebagaimana yang sudah dijelaskan. Oleh karenanya, harus mencukupkan shighat dengan kedua kata tersebut. Pernikahan tidak akan sah jika menggunakan lafal selain dua kata tersebut. Itu karena pernikahan merupakan sebuah akad yang mempertimbangkan niat dan lafal khusus baginya. Menurut para Ulama Hanafiah, 7 pernikahan sah dengan semua lafal kata yang menunjukkan akan pemberian hak milik sesuatu seketika itu, seperti lafal hibah memberi hadiah, tamliik memberi hak milik, sedekah, pemberian, pinjaman, jaminan, al- isti’jaar, perdamaian, pertukaran, al- ju’lu, menjual dan membeli, dengan syarat adanya niat atau indikasi untuk menikah dan dipahami oleh para saksi. Menurut pendapat yang paling benar, tidak sah menikah dengan mengucapkan, “Aku 6 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 46. 7 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 47. 40 menikahi separuh dirimu”, demi lebih hati-hati dalam masalah tersebut. Bahkan harus mengiringi dengan lafal yang menunjukkan akan keseluruhan jiwa dan raga si perempuan, seperti lafal adz-dzahr punggung dan al-bathn perut. 8 Sedangkan menurut para ulama Malikiah, 9 pernikahan sah dengan lafa l “at-tazwiij” mengawinkan dan “at-tamliik” memberi hak milik, dan lafal-lafal yang senanda dengan kedua lafal tersebut seperti, hibah, sedekah dan pemberian. Untuk melakukan akad tidak diperlukan penyebutan mahar, sekalipun mahar adalah suatu yang harus ada. Dengan demikian, mahar tersebut menjadi syarat akad nikah agar sah, seperti halnya saksi, kecuali jika memakai lafal hibah. b. Sighat Fi’il Bentuk Kata Kerja Terkadang bentuk fi’il dalam ijab dan qabul berupa maadhi lampau, mudhari’ masa sekarang dan amr kata perintah. Para ahli fiqh bersepakat akan sahnya akad nikah dengan menggunakan bentuk fi’il maadhi. Mereka berselisih mengenai fi’il mudhari’ dan amr’. 10 Sah akadnya menurut ulama Hanafiah dan Malikiah, jika terdapat indikasi yang menunjukkan keinginan melangsungkan akad seketika itu, bukan janji untuk masa yang akan datang. Indikasi tersebut seperti keadaan 8 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 47. 9 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 48. 10 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 49 41 tempat akad majelis yang telah siap untuk dilangsungkannya akad nikah. Keberadaan kesiapan tempat tersebut menghilangkan keinginan untuk sekedar melakukan pernajian atau tawar menawar pernikahan. Kesiapan itu juga menunjukkan adanya keinginan untuk melangsungkan prosesi akad nikah. Karena pernikahan kebalikan dari jual beli, yang memang telah didahului dengan khitbah. 11 Jika tempat akad nikah tidak siap untuk dilangsungkannya prosesi akad nikah, dan tidak ada indikasi yang menunjukkan keinginan untuk melangsungkan akad nikah pada saat itu, maka akad nikahnya tidak sah. Tidak boleh akad dilakukan dengan kata sindiran, seperti, “aku halalkan putriku.” Karena para saksi tidak dapat mengetahui akan niat orang yang mengucapkan kalimat tersebut. Seandainya wali perempuan mengatakan, “Aku Kawinkan Kamu,” lantas si lelaki menjawab, “aku terima,” maka tidak sah menurut para ulama Syafi’iah, dan sah menurut jumhur ulama selain Syafi’iah. Menurut para ulama Hanafiah dan Malikiah, akad nikah sah dengan menggunakan fi’il amr. Seperti seorang lelaki mengakatan kepada seorang perempuan, “Nikahkanlah dirimu denganku” dengan perkataan itu dia bermaksud untuk melakukan akad nikah bukan khitbah. Kemudian si perempuan menjawab, “Aku nikahkan kamu dengan diriku” maka pernikahan keduanya sah. Penjelasan mengenai hal itu dari para ulama 11 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 50 42 Hanafiah 12 adalah sesungguhnya perkataan si lelaki mengandung pemberian hak wakil kepada perempuan untuk menikahkan si lelaki dengan dirinya. Sedangkan jawaban si perempuan, “Aku nikahkan kamu dengan diriku” menempati posisi ijab dan qabul. Sedangkan penjelasan dari para ulama malikiah, bahwa sesungguhnya bentuk fi’il amr kata kerja perintah dianggap sebagai ijab dalam akad secara adat. Bukan merupakan kandungan dari pemberian hak wakil, dan pendapat ini lebih jelas. Pernikahan itu sah dengan adanya ijab atau istijab meminta ijab. Menurut jumhur ulama selain ulama hanabilah tidak diisyaratkan mendahulukan ijab dari pada qabul, akan tetapi hanya dianjurkan, seperti wali perempuan berkata, “aku kawinkan kamu dengannya atau aku nikahkan kamu dengannya.” Para ulama Hanabilah berkata, “jika qabul mendahului ijab maka akadnya tidak sah, baik itu diucapkan dengan memakai sighat fi’il madhi maupun fi’il amr.” 13 2. Mempelai Calon Suami atau Istri Mempelai adalah dua orang yang akan melangsungkan akad nikah. Kedua orang tersebut adalah calon suami dan calon istri. Mempelai merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan. Mempelai harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika tidak, maka akad yang dilaksanakan akan batal. 12 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 51 13 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 51 43 Adapun syarat-syarat mempelai antara lain ialah: a. Keduanya tidak ada ikatan mahram baik secara garis kekeluargaan nasab, susuan radla’ maupun faktor pernikahan mushaharah. b. Salah satu dari keduanya tidak sedang melakukan ihram. Baik ihram yang dilakukan dalam rangkaian ibadah haji atau umrah. Baik hajinya sah atau fasakh rusak. c. Wanita yang hendak dinikahi tidak berada dalam ikatan pernikahan dengan seorang lelaki manapun. Al- Qur’an telah melarang menikahi wanita yang telah bersuami. d. Bukan wanita yang sedang berada pada masa iddah atau ragu akan berakhirnya masa iddah. Baik iddah disebabkan kematian sang suami atau disebabkan perceraian. e. Wanita yang akan dinikahi harus ditentukan ta’yiin. Hal ini bias terjadi tatkala seorang wali hendak menikahkan kedua putrinya tanpa disertai penjelasan, baik dengan sifat atau identitas lain. Sementara dalam akad tersebut tidak diketahui mana yang hendak dinikahkan oleh wali. 3. Wali Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al- Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum agama, adat diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan 44 pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria. Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali. Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam, yaitu: 1. Wali Nasab Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Dalam menetapkan wali nasab terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini disebabkan oleh tidak adanya petunjuk yang jelas dari nabi, sedangkan Al-Qur ’an tidak membicarakan sama sekali siapa-siapa yang berhak menjadi wali. Jumhur ulama membaginya menjadi dua kelompok: Pertama: wali dekat wali qarib, yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan mutlak terhadap anak perempuan yang akan dikawinkannya. Kedua: wali jauh wali ab’ad, yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga selain dari anak dan cucu. Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut: a Saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada. b Saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada. c Anak saudara laki-laki kandung, kalau tidak ada pindah kepada. d Anak saudara laki-laki seayah, kalau tidak ada pindah kepada. e Paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada. 45 f Paman seayah, kalau tidak ada pindah kepada. g Anak paman kandung, kalau tidak ada pindah kepada. h Anak paman seayah, i Ahli waris kerabat lainya kalau ada. 2. Wali Hakim Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama sekali. a Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya. b Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada. c Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar yaitu 92,5 km. d Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai. e Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh. f Anak Zina dia hanya bernasab dengan ibunya. g Walinya gila atau fasik. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA Kecamatan. 46 3. Wali Muhakkam Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki. Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Pernikahan selain merupakan urusan kehendak yang lahir dari perasaan antara pribadi wanita dan lelaki yang akan menjalaninya, Allah juga menjadikan pernikahan sebagai representasi tanggung jawab seorang ayah atau seorang yang dapat menggantikan posisinya sebagai pihak dari wanita yang akan dinikahkan. Maka dari itu, seorang wanita tidak boleh melangsungkan akad nikahnya sendiri tanpa adanya persetujuan seorang wali.Pasalnya, seorang wanita memiliki pandangan yang terbatas meskipun telah dianggap dewasa. Seorang wanita mudah terjebak pada kata-kata rayuan dan tertipu oleh maneuver seorang lelaki. Sehingga dikhawatirkan ia menikah dengan seseorang yang tidak sesuai atau tidak kufu’ dengannya. 14 14 Syahrul Anam, Kado Untuk Sang Tunangan Risalah Nikah Untuk Remaja Cet. Ke 1, M2KD: Majelis Musyawarah Kutubuddiniyah PP. Mambaul Ulum Bata-bata, 2010, h. 47 47 Hikmah adanya rukun nikah yang berupa persetujuan seorang wali ini adalah dapat menghindarkan seorang anak dari dinikahi oleh lelaki fasik atau lelaki yang gemar melecehkan martabat seorang wanita.Dengan hikmah ini, maka diimbangi dengan kehadiran dan pemikiran seorang ayah atau orang yang dapat menggantikan posisinya dalam aspek wilayah perwalian. Seorang ayah atau yang dapat menggantikan posisinya dalam perwalian merupakan orang yang benar-benar mempunyai tanggung jawab terhadap wanita yang akan dinikahkan itu. Apabila seseorang perempuan telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang setingkat sekufu, dan walinya berkeberatan dengan tidak ada alasan, maka hakim berhak menikahkannya setelah ternyata keduanya setingkat sekufu, dan setelah memberi nasihat kepada wali agar mencabut keberatannya itu. Apabila wali tetap berkeberatan, maka hakim berhak menikahkan perempuan itu. 15 Setingkat dalam pernikahan antara laki-laki dengan perempuan ada lima sifat, yaitu menurut tingkat kedua ibu bapak. a. Agama b. Merdeka atau hamba c. Perusahaan d. Kekayaan e. Kesejahteraan. 15 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet Ke-64 Bandung: Sinar Baru Algesindo, h. 386 48 Kufu ini tidak menjadi syarat bagi pernikahan. Tetapi jika tidak dengan keridaan masing-masing, yang lain boleh mem-fasakh pernikahan itu dengan alasan tidak kufu setingkat. Kufu persamaan setingkat itu adalah hak perempuan dan walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan keridaan bersama. Menurut pendapat yang lebih kuat, ditinjau dari alasannya, kufu itu hanya berlaku mengenai keagamaan, baik mengenai pokok agama seperti Islam dan buku Islam maupun kesempurnaannya, misalnya orang yang baik taat tidak sederajat dengan orang yang jahat atau orang yang tidak taat. 16 Keberhakan yang dimiliki wali ini disebabkan orang tua lebih mengenali pandangannya. Dan memiliki pandangan luas, lebih mampu bersikap hati-hati dalam mencarikan pasangan hidup untuk anak- anaknya. 17 Dalam masalah wali tidak semua orang bias melakukannya, sebab ia memang harus mempunyai hak wewenang. Wewenang tersebut diperoleh dengan salah satu sebab dibawah ini. 18 a. Berstatus Sebagai Seorang Ayah atau Kakek al-ubuwwah Ini merupakan sebab yang paling kuat dalam masalah kekuasaan. Otoritas dan wewenang seorang ayah dan kakek lebih kuat dan lebih berhak daripada orang lain. Kedua wali ini oleh ulama 16 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet Ke-64 Bandung: Sinar Baru Algesindo, h. 391 17 Al-Bajuri, juz ll h. 106. 18 Raudlatut Thalibin, juz V h. 401 49 diistilahkan dengan wali mujbir, karena mereka mempunyai hak ijbar wewenang untuk mengawinkan anak gadisnya. Hak ijbar tersebut otoritas seorang wali untuk menikahkan anaknya meskipun masih kecil atau sedang mengalami gangguan mental, baik masih kecil atau sudah dewasa, yang masih perawan meskipun telah baligh dan berakal, yang hal itu dapat dibenarkan meski tanpa adanya persetujuan atau kerelaan dari wanita tersebut. Bagi wali mujbir diharuskan agar memperhatikan ketentuan dan syarat tertentu. Jika wali mujbir tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka pernikahannya tidak sah. Ketentuan tersebut adalah: 1. Tidak ada permusuhan secara terang-terangan antara wali dan anaknya. 2. Tidak ada permusuhan antara gadis yang hendak dinikahkan dan calon suaminya, baik secara terang-terangan maupun secara terselubung. 3. Gadis yang akan dinikahkan dan calon suaminya memang serasi atau kufu. 4. Calon suami mampu membayar maskawin. b. Berstatus sebagai „asobah Ini merupakan sebab kedua seseorang dapat menyandang status wali dari seorang wanita. Wali pada status ini berhak menjadi wali jika bapak atau kakek yang sudah disebutkan di atas 50 ada atau tidak memenuhi syarat. Adapun yang dimaksud berstatus wali yang disebabkan karena menjadi „asobah adalah: 1. Saudara Kandung 2. Saudara Sebapak 3. Anak Saudara Kandung Keponakan 4. Anak Saudara Seayah Keponakan 5. Paman 6. Sepupu Perlu diketahui bahwa semua wali yang dijelaskan di atas merupakan silsilah keluarga dari pihak ayah dari wanita yang akan dinikahkan. Dengan ketentuan penggunaan hak perwalian harus berurutan sebagaimana halnya dalam masalah waris. Selagi masih ada seorang ayah dan mencukupi syarat maka kakek tidak boleh menjadi wali dan menggantikan posisinya. Begitulah seterusnya. 19 c. Berstatus sebagai seorang yang pernah memerdekakan Seseorang yang pernah memerdekakan seorang wanita berhak menjadi wali jika wali dari wanita tersebut tidak ada. Kemudian yang berhak menggantikannya ada lah „asobahnya „asobah dari orang yang memerdekakan sebagaimana dalam urutan-urutan yang sudah ditentukan. Dengan catatan, orang yang 19 Syahrul Anam, Kado Untuk Sang Tunangan Risalah Nikah Untuk Remaja Cet. Ke 1, M2KD: Majelis Musyawarah Kutubuddiniyah PP. Mambaul Ulum Bata-bata, 2010, h. 51 51 memerdekakan tersebut berupa lelaki. Adapun, jika yang memerdekakan adalah seorang wanita, maka kewaliannya sebagai berikut: 1. Jika wanita yang memerdekakan masih hidup maka berhak menjadi wali dari wanita yang dimerdekakan adalah orang yang berhak menikahkan wanita yang memerdekakan 2. Jika wanita tersebut sudah mati maka yang menjadi wali adalah anaknya kemudian bapak, kakek, dan „asobah-„asobah yang lain. 20 Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali sebagai berikut: a. Beragama Islam b. Baligh c. Berakal d. Lelaki e. Bersifat adil 4.Kehadiran Dua Orang Saksi Kehadiran minimal dua orang lelaki dalam akad nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi. Karena pernikahan sifatnya tidak seperti akad yang lain. Dalam akad nikah diharuskan adanya kehati-hatian karena berkaitan dengan kehormatan dan lain semacamnya. Kedua saksi tidak diharuskan mengenali calon 20 Syarqowi Ala at-Tahrir, juz ll h, 227 52 mempelai. Cukup sekedar mendengar perkataan ijab qabul dari wali dan calon suami. Adapun syarat-syarat saksi yang harus dipenuhi: a. Islam. Persaksian seorang non muslim itu tidak sah, karena pengakuannya tidak dapat dibenarkan. b. Lelaki. Tidak boleh diganti dengan dua wanita, atau bahkan empat wanita sekalipun. Karena dalam ha-hal yang biasanya diketahui lelaki seperti nikah, talak, dan semacamnya, yang menjadi saksi itu diharuskan dua orang lelaki. 21

B. Syarat-syarat Perkawinan

Ada Beberapa syarat yang disyaratkan demi keabsahan sebuah pernikahan, diantaranya sebagai berikut: 1. Islam 2. Mengekalkan Shighat akad 3. Persaksian 4. Menentukan pasangan 5. Tidak sedang ihram haji dan umrah 6. Harus dengan mahar 7. Wali 1 Islam Islam berasal dari kata Arab aslama-yuslimu-islaman yang secara kebahasaan berarti menyelamatkan, misal teks assalamu 21 Syaikh Zainuddin al-Malibari, Fathu al-Muin, h. 146 53 alaikum yang berarti semoga keselamatan menyertai kalian semuanya. Islam atau Islaman adalah masdar kata benda sebagai bahasa penunjuk dari fiil kata kerja, yaitu aslama bermakna telah selamat kala lampau dan yuslimu bermakna menyelamatkan past continous tense. Kata triliteral semitik S-L-M menurunkan beberapa istilah terpenting dalam pemahaman mengenai keislaman, yaitu Islam dan Muslim. Kesemuanya berakar dari kata Salam yang berarti kedamaian. Kata Islam lebih spesifik lagi didapat dari bahasa Arab Aslama, yang bermakna untuk menerima, menyerah atau tunduk dan dalam pengertian yang lebih jauh kepada Tuhan. 22 Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah shahādatāin dua kalimat persaksian, yaitu asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah yang berarti Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah. Esensinya adalah prinsip keesaan Tuhan dan pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah menjadi seorang muslim dalam status sebagai mualaf orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya. 22 Diakses Pada tgl 21 Nov 2014 http:id.wikipedia.orgwikiIslam 54 2 Sighat Ijab dan Qabul Harus Kekal dan Tidak Temporal Jika pernikahan diberi batasan waktu maka pernikahan tersebut batal, seperti dilakukan dengan sighat tamattu’ bersenang-senang, misalnya, “Aku bersenang-senang denganmu sampai bulan sekian, “lantas si perempuan berkata, “Aku terima.”Atau juga dengan memberikan tenggang waktu yang telah diketahui maupun tidak, misalnya, “Aku menikahimu sampai bulan atau tahun sekian, atau selama aku tinggal di negeri ini. Macam yang pertama ini biasa d ikenal dengan nikah mut’ah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan nikah muaqqat temporal. Akan tetapi para ulama Malikiah berkata, “nikah mut’ah atau nikah temporal, baik tepat waktu maupun tidak, suami-istri tetap berdosa. Menurut madzhab, mereka berdua tidak dikenakan had, dan pernikahannya secara otomatis rusak tanpa harus didahului perceraian talak. Ketika maksud menikah secara temporal itu diberitahukan kepada si perempuan ataupun walinya ketika akan, maka hal itu membahayakan status akad. Adapun jika si suami menyembunyikan maksud menikahi si perempuan dalam jangka waktu selama ia berada di negeri ini atau selama satu tahun kemudian menceraikannya, maka itu tidak membahayakan, sekalipun si perempuan memahami itu. 23 Para ulama Hanafiah juga berkata, “Barang siapa menikahi seorang perempuan dengan niat menceraikannya setelah berjalan satu tahun maka 23 Asy-Syarhush Shaagiir: 2387