Syarat-syarat Perkawinan RUKUN DAN SYARAT-SYARAT PERKAWINAN

54 2 Sighat Ijab dan Qabul Harus Kekal dan Tidak Temporal Jika pernikahan diberi batasan waktu maka pernikahan tersebut batal, seperti dilakukan dengan sighat tamattu’ bersenang-senang, misalnya, “Aku bersenang-senang denganmu sampai bulan sekian, “lantas si perempuan berkata, “Aku terima.”Atau juga dengan memberikan tenggang waktu yang telah diketahui maupun tidak, misalnya, “Aku menikahimu sampai bulan atau tahun sekian, atau selama aku tinggal di negeri ini. Macam yang pertama ini biasa d ikenal dengan nikah mut’ah. Sedangkan yang kedua dikenal dengan nikah muaqqat temporal. Akan tetapi para ulama Malikiah berkata, “nikah mut’ah atau nikah temporal, baik tepat waktu maupun tidak, suami-istri tetap berdosa. Menurut madzhab, mereka berdua tidak dikenakan had, dan pernikahannya secara otomatis rusak tanpa harus didahului perceraian talak. Ketika maksud menikah secara temporal itu diberitahukan kepada si perempuan ataupun walinya ketika akan, maka hal itu membahayakan status akad. Adapun jika si suami menyembunyikan maksud menikahi si perempuan dalam jangka waktu selama ia berada di negeri ini atau selama satu tahun kemudian menceraikannya, maka itu tidak membahayakan, sekalipun si perempuan memahami itu. 23 Para ulama Hanafiah juga berkata, “Barang siapa menikahi seorang perempuan dengan niat menceraikannya setelah berjalan satu tahun maka 23 Asy-Syarhush Shaagiir: 2387 55 itu bukan merupakan nikah mut’ah. 24 Pendapat yang dipegang di dalam kalangan Hanabilah, selain Ibnu Qudamah niat untuk menceraikan setelah tempo waktu tertentu dapat membatalkan akad, sebagaimana halnya ketika berterus-terang. 3. Kesaksian Ada empat hal yang akan dibicarakan dalam syarat ini; pendapat para ulama fikih dalam pensyaratan kesaksian dalam nikah, waktu kesaksian, hikmanya, dan syarat-syarat saksi. a. Pendapat para ulama fikih dalam pensyaratan saksi: Keempat madzhab telah bersepakat bahwa saksi merupakan syarat untuk sahnya pernikahan. Pernikahan tidak sah tanpa dua saksi selain wali, karena sabda Nabi saw. Yang diriwayatkan Aisyah, ْ َع َ ِه َشَ ّيِلَ ِب اِ َ َ ِ َا “Tidaklah ada pernikahan melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” HR Darul Qutni dan Ibnu Hibban Karena persaksian dapat menjaga hak-hak istri dan anak, agar tidak dizalimi oleh ayahnya sehingga nasabnya tidak jelas. Demikian juga dapat menghindarkan tuduhan atas suami-istri, serta memberikan penjelasan betapa pentingnya pernikahan tersebut. Para ulama Hanabilah berkata, “akad tidak dapat batal sebab berpesan untuk menyembunyikannya.Seandainya akad nikah tersebut disembunyikan 24 Syarhul Majallah lil Ataasi: 2415 56 oleh wali, para saksi dan kedua mempelai maka akadnya sah tapi makruh.” 25 b. Waktu Persaksian Jumhur ulama selain Malikiah berpandangan bahwasannya persaksian wajib hukumnya ketika melakukan proses akad, agar para saksi mendengar ijab dan qabul ketika diucapkan oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Jika akad tersebut usai tanpa dibarengi persaksian maka pernikahan itu rusak. Para ulama Malikiah berpandangan bahwa persaksian merupakan syarat sah nikah, baik itu ketika melangsungkan akad maupun setelah akad dan sebelum berhubungan suami-istri. Dianjurkan persaksian tersebut ada ketika akad nikah. Jika persaksian ketika akad atau sebelum terjadi hubungan suami-istri tidak sah, akad nikah tersebut dianggap rusak. Bersenggamanya dengan istri pun dihitung bermaksiat. Sebagaimana telah saya jelaskan, pernikahan tersebut harus dibatalkan. 26 Menurut mereka, persaksian merupakan syarat dibolehkannya bersenggama dengan si istri, bukan syarat sahnya akad. Inilah titik perbedaan antara para ulama Malikiah dan lainnya. c. Hikmah Persaksian Hikmah diisyaratkannya persaksian dalam pernikahan adalah memberi pengertian betapa pentingnya pernikahan tersebut dan 25 Ghaayatul Muntaha: 327 26 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 75 57 menampakkannya kepada orang-orang demi menangkis segala jenis prasangka dan tudungan atas kedua mempelai. Juga dikarenakan persaksian tersebut dapat membedakan antara halal dan haram. Biasanya sesuatu hal yang halal itu ditampakkan, sedangkan yang haram cenderung ditutup-tutupi. Dengan persaksian, pernikahan tersebut dapat dinotariskan sehingga dapat dikeluarkan catatannya saat dibutuhkan. d. Syarat-syarat Saksi Saksi hendaknya memiliki beberapa sifat tertentu; 1. Hendaknya mempunyai kapabilitas untuk mengemban persaksian; telah baligh dan berakal. 2. Dengan kehadiran mereka hendaknya terwujud makna pengumuman akan pernikahan tersebut. 3. Hendaknya mampu menghargai pernikahan ketika menghadirinya. 4. Menentukan Kedua Mempelai Para ulama Syafi’iah dan Hanabilah menyebutkan syarat ini. Akad nikah tidaklah sah melainkan atas dua mempelai yang telah ditentukan. Karena tujuan menikah adalah diri kedua mempelai tersebut, maka tidaklah sah tanpa menentukannya. Seandainya wali berkata, “Aku telah menikahkan putriku,” maka tidak sah hingga ia menyebutkan nama, sifat, atau memberi isyarat kepada putrinya tersebut. 58 Jika ia menyebutkan namanya atau menyifati dengan sifat yang membedakan dari lainnya, sekiranya sifat tersebut tidak dimiliki saudari- saudarinya yang lain, seperti putriku yang paling besar, yang paling kecil, atau yang tengah-tengah, atau juga yang berkulit putih dan semisalnya. Atau memberikan isyarat kepadanya dengan berkata, “yang ini,” maka akad nikahnya sah. Seandainya wali menyebutkan namanya ketika mengisyaratkan kepadanya dengan nama yang bukan namanya, atau ia hanya memiliki satu orang puteri, maka akadnya juga sah. Karena dengan isyarat tersebut, penyebutan nama tidak status hukumnya. 27 5. Salah Satu Mempelai Atau Wali Tidak Sedang dalam Keadaan Haji Atau Umrah Ini merupakan syarat menurut jumhur ulama selain Hanafiah. Pernikahan tidaklah sah jika salah satu dari kedua mempelai sedang dalam keadaan ihram haji atau umrah. Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan, karena sabda Nabi saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Utsman, ب ط ْ َي َاَ ِ ْ َي َا ِ ْح ْل “Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah atau menikahkan.” HR Muslim Dalam riwayat lain, tidak boleh mengkhitbah untuk dirinya maupun orang lain. Ini merupakan larangan yang jelas bagi orang yang berihram haji atau umrah untuk menikah atau menikahkan orang lain. Larangan tersebut menunjukkan akan rusaknya hal yang dilarang. Karena 27 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 81 59 ihram adalah keadaan yang memang dikhususkan untuk beribadah, sedangkan pernikahan merupakan jalan menuju kesenangan, maka bertolak belakang dengan ihram itu sendiri. Oleh karena itu, pernikahan dilarang dilakukan di tengah-tengah berihram. 28 Para ulama Malikiah menambahkan bahwa pernikahan dalam keadaan ihram batal sekalipun telah terjadi persenggamaan dan si perempuan melahirkan. Pembatalan pernikahan tersebut tanpa harus dengan talak. 6. Mahar Maskawin Jika melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan memberi sesuatu kepada si istri, baik berupa uang ataupun barang harta benda. Pemberian inilah yang dinamakan mahar maskawin. 29 Firman Allah SWT Surah An-nisa Ayat 4: ْ ت َءَ َءٓ َس لٱ سۡفَ هۡ م ٖء ۡيَش َع ۡم َل َ ۡ ِط ِ َف ۚ َل ۡحِ ِ ِتَٰق َص ٓيِ َه ل َف ٓيِ م ٤ Artinya: Berikanlah maskawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah ambillah pemberian itu sebagai makanan dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya. Syarat ini dan dua syarat setelah ini termasuk syarat menurut ulama Malikiah. Yaitu pernikahan harus dilakukan dengan mahar. Jika tidak disebutkan keika akad maka harus disebutkan ketika hendak bersenggama, atau ditetapkan mahar mistil setelah persenggamaan. Syarat menurut malikiah adalah adanya mahar. Pernikahan tidaklah sah tanpa mahar. Akan 28 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 81 29 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet Ke-64 Bandung: Sinar Baru Algesindo, h.393 60 tetapi tidak diisyaratkan menyebutkannya ketika akad, hanya saja dianjurkan, karena hal itu mengandung ketenangan jiwa dan mencegah terjadinya sengketa di kemudian hari. Jika mahar tidak disebutkan ketika akad maka pernikahannya sah. Dalam keadaan demikian, pernikahannya dinamakan dengan pernikahan tafwidh, pernikahan tafwidh yaitu akad nikah tanpa menyebutkan mahar, pun tidak menafikkannya. 30 7. Wali Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al- Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum agama, adat diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria. Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya wali.

C. Nikah Fasakh Beda Agama Atau Campuran

Di antara seruan jahat dan pemikiran sesat yang kulitnya penuh rahmat dan kebenaran tapi isinya penuh dengan siksa dan kebatilan, adalah seruan yang digembor-gemborkan oleh organisasi Rahasia Yahudi Free Masonry, via organisasi-organisasinya dan mass medianya, untuk mempersamakan antar agama-agama kontemporer, dalam artian tidak 30 Wahbah Az-zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Cet. Ke 1 Jakarta : Gema Insani, h. 82 61 memberikan batas perbedaan sama sekali antara suatu agama dengan agama yang lainnya. Tapi yang menjadi masalah, Nabi Isa a.s., Nabi Musa a.s. dan Nabi-nabi lainnya, telah meninggal dunia tanpa membukukan terlebih dahulu ajaran-ajaran yang diturunkan kepada mereka. Sehingga apa yang tertulis dalam kitab-kitab agama mereka sebenarnya merupakan hasil renungan dan khayalan dari pengikut-pengikut mereka serta beberapa reaksi dan opini yang timbul setelah meninggalnya Nabi pembawa agama tersebut. Misalnya Kitab Talmud yang muncul dikalangan Babilonia, Kitab Injil baik yang diakui gereja atau pun yang tidak dan beberapa tafsir- tafsir masalah agama yang timbul akibat pertentangan dan pergesekan antara ajaran penyembah berhala Romawi dengan sekte-sekte itu sendiri. 31 Tegasnya, sudah tidak ada agama samawi yang masih orisinil terpelihara selain Agama Islam yang memang terjaga, baik dalam dada pengikutnya ataupu dalam lembaran kitab suci Al- Qur’an, sejak saat diturunkannya ayat pertama dari langit sampai sekarang. 32 Ibnu Hazm berkata: Haram hukumnya wanita muslimah dikawini laki-laki non muslim. Dan pula orang kafir tidak boleh memiliki budak 31 Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Cet. Ke 3. Jakarta: PT. Bulan Bintang, h. 2 32 Abdul Mutaal Muhammad Al Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam, Cet. Ke 3. Jakarta: PT. Bulan Bintang, h. 2 62 laki-laki beragama Islam atau budak-budak wanita muslimah. 33 Dasar pendapat ini adalah firman Allah Swt: َاَ ْ حِ َت ِت َٰ ِ ۡش ۡلٱ ٖ َ ِ ۡشم م ٞ ۡيَخ ٌ َ ِم ۡ م ٞ َمَ َََ ۚ ِم ۡ ي ٰىتَح ْ حِ ت َاَ ۗۡم ۡتَ َ ۡعَأ ۡ َلَ َ يِ ِ ۡش ۡلٱ ٞ ۡيَخ ٌ ِم ۡ م ٞ ۡ َعَلَ ْۚ ِم ۡ ي ٰىتَح ۡشم م َۡي َ ِ َٰٓلْ أ ۗۡم َ َ ۡعَأ ۡ َلَ ٖ ِ َ ع ىَلِ ِ لٱ َ ّٱ ىَلِ ْ ٓ ع ۡ َي ِ َ ۡلٱ َ َِ ِف ۡغَ ۡلٱ ِهِ ِۡ ِب ۦ ِهِتَٰي َء يَ يَ ۦ َ َ َتَي ۡم لَعَل ِس لِل ل 2 : 221 Artinya : Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. QS. Al-Baqarah 2:221. Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin yang dalam, kuat dan kekal antara dua insan, suatu ikatan yang mencakup hubungan timbal balik yang luas antara keduanya, maka tidak boleh tidak, harus terdapat kesatuan hati yang dipertemukan dalam suatu ikatan yang tidak mudah lepas. Untuk itu harus ada kesamaan dasar dan tujuan antara kedua mempelai. Dalam konteks ini, kepercayaan agama merupakan suatu landasan yang mengisi setiap jiwa, mempengaruhinya, menggambarkan perasaannya, membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan kehidupan yang bakal ditempuhnya. Walaupun demikian masih banyak orang yang kadang-kadang terkecoh dengan masalah kepercayaan agama yang tersembunyi dalam hati ini sehingga mereka menduga bahwa masalah 33 Al Muhalla, Juz XI masalah nomor 1822.