121
B. Aspek Sosiologis
Sekolah adalah lembaga sosial yang turut menyumbang dalam proses sosialisasi individu agar menjadi anggota masyarakat seperti yang diharapkan.
22
Oleh karena itu, kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah harus
mencerminkan keinginan, cita-cita dan kebutuhan masyarakat. Maka kurikulum harus memperhatikan aspirasi masyarakat dan harus memberikan jawaban tekanan-tekanan
yang datang dari tekanan kekuatan sosio-politik-ekonomi yang dominan pada saat ini.
Dipandang dari perspektif fungsional
23
–sebuah teori yang berpandangan bahwa masyarakat merupakan kesatuan sistem yang saling tergantung dan berhubungan –
pendidikan dituntut melakukan penyesuaian terus menerus dengan perkembangan masyarakat. Selain itu, pendidikan juga harus memainkan peran yang terarah sejalan
dengan karakteristiknya selaku institusi teleologis. Disinilah dituntut kemampuan proyektif dari pendidikan dalam menangkap kecenderungan-kecenderungan yang
akan terjadi dimasa depan. Sekolah mempunyai fungsi membantu memecahkan masalah-masalah sosial.
24
Masalah-masalah sosial diharapkan dapat diatasi dengan mendidik generasi muda untuk mengelakkan atau mencegah penyakit-penyakit sosial seperti kejahatan,
pertumbuhan penduduk yang melewati batas, pengrusakan lingkungan, kecelakaan lalu lintas, dan narkotika. Persolan-persoalan yang berkaitan dengan anak ini sangat
penting diperhatikan,
25
sebab masa yang akan datang itu terletak pada generasi muda.
22
Menurut S. Nasution, pendidikan merupakan proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat. Lihat. S Nasution, Sosiologi Pendidikan,
Jakarta: Bumi Aksara, 1994, Ed. 2, h. 16
23
Lihat. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, h. 75
24
Sebagaimana dikatakan Harold G Shane bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah dapat dipakai untuk menanggulangi masalah sosial tertentu. Lihat. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, h. 36.
25
Koestoer Partowisastro, Dinamika Psikologi Sosial, Jakarta: Erlangga, 1983, h. 37
122 Artinya bahwa baik buruknya masa yang akan datang itu tergantung pada baik
buruknya keadaan generasi muda saat ini. Menurut Al Syaibany, pendidikan dan masyarakat mempunyai hubungan yang
erat. Masyarakat mempunyai cita-cita, kebutuhan-kebutuhan, tuntutan-tuntutan, dan masalah-masalah. Dalam hal ini pendidikan harus menguatkan pertaliannya dengan
masyarakat tempat pendidikan berlangsung, memelihara masyarakat dalam menentukan tujuan-tujuannya, menyusun kurikulum dan perubahan-perubahan yang
terjadi di masyarakat.
26
Pada akhir-akhir ini dalam masyarakat Indonesia muncul adanya gejala-gejala yang kurang baik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam kehidupan,
yakni timbulnya kenakalan remaja. Berkaitan dengan hal ini, data yang diperoleh dari paparan akhir tahun Polda Metro Jaya mengungkapkan bahwa di wilayah Jakarta saja
dan sekitarnya sepanjang tahun 2007 tingkat kriminalitas meningkat dari tahun sebelumnya sebanayak 59.376 kasus menjadi 60.983 kasus tindak kejahatan atau rata-
rata 167 kasus kriminalitas setiap harinya. Kenaikan tertinggi adalah ”kenakalan remaja”, yaitu hingga 36,36 persen.
27
Menanggapi persoalan kenakalan remaja tersebut di atas, maka pengembangan pendidikan tentang nilai-nilai moral di sekolah merupakan sangat penting. Salah satu
upaya dalam membina pendidikan moral masyarakat tersebut adalah melalui pendidikan agama.
26
Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 531
27
Kriminalitas di Jakarta Meningkat pada 2007, Harian Kompas: Rabu, 2 Januari 2008. Lihat juga ungkapan Sutiyoso dalam dialog bertema “Pemuda dan Masa Depan Bangsa; Antara Harapan
dan Tantangan, Pemuda Indonesia Kehilangan Jati Diri, Berita UIN No. 76Th.V16-31 Januari 2008
123 Pendidikan Islam dituntut dalam melakukan fungsi yang bersifat reflektif dan
progressif.
28
Dalam fungsi yang pertama, pendidikan Islam harus mampu menggambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung. Sedang dalam
funsgi yang
kedua pendidikan
Islam dituntut
mampu memperbarui
danmengembangkan kebudayaan agar dicapai kemajuan. Pada fungsi yang kedua ini pendidikan islam menjalankan kegiatan transformasi.
Berkenaan dengan landasan sosial bagi kurikulum sebagai isi dari pendidikan, menurut Harold G Shanel 1973
29
sebagaimana dikutip oleh A Malik Fajar menyebutkan posisi strategis pendidikan dalam konteks sosial dan signifikansinya
dengan kehidupan masa depan, yaitu: Pertama, pendidikan menyediakan wahana yang teruji untuk implementasi
nilai-nilai masyarakat yang berubah, hasrat masyarakat yang muncul dan menimbulkan nilai-nilai baru. Hal ini disebabkan pendidikan dikemas dengan sebuah
kurikulum yang dinamis, seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat. Kedua, pendidikan dapat dipakai untuk menanggulangi masalah-masalah sosial
tertentu. Artinya bahwa yang dikembangkan dalam pendidikan tidak sekedar aspek kognisi saja, tetapi juga mengembangkan aspek afeksi dan psikomotorik siswa.
Dengan demikian, disamping anak memiliki pengetahuan, juga memiliki kepribadian dan keterampilan untuk siap hidup di tengah masyarakatnya, sehingga dengan
pendidikan yang berhasil sesuai dengan yang diharapkan, output yang dihasilkan tidak menjadi beban dalam masyarakat, tetapi sebaliknya dapat menggerakkan
masyarakat ke arah yang lebih positif. Ketiga, pendidikan telah memperlihatkan kemampuan yang tinggi untuk
menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru. Dengan pengetahuan,
28
Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, h. 36
29
A Malik Fajar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2008.
124 kematangan pribadi dan juga keterampilan yang diperoleh dari suatu lembaga
pendidikan dapat memberikan kontribusi memecahkan berbagai persoalan yang ada dalam lingkungannya. Berdasarkan teori dan kemampuan analisis yang di dapat dari
lembaga pendidikan. Keempat, pendidikan merupakan cara terbaik yang dapat ditempuh oleh
masyarakat untuk membimbing perkembangan manusia, sehingga pengalaman dari dalam berkembang pada setiap anak. Maka terdorong untuk memberikan kontribusi
pada kebudayaan manusia yang lebih baik serta dapat dikembangkan. Kurikulum pendidikan Islam harus mengacu ke arah realisasi individu dalam
masyarakat. Pola yang demikian ini berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat. Manusia
sebagai makhluk sosial harus mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar output yang dihasilkan pendidikan Islam adalah manusia-
manusia yang mampu mengambil peran dalam masyarakat dan kebudayaan dalam konteks kehidupan zamannya.
Masing-masing masyarakat tentu akan membuat dan mengembangkan kurikulum pendidikan agar lebih relevan bukan hanya dari kondisi dan kebutuhan
masyarakat semata, melainkan agar mampu menyiapkan program-program yang akan dilalui peserta didik sehingga peserta didik tersebut menjadi manusia yang mampu
berkompetensi dengan masa yang akan datang. Yang terakhir inilah yang akan mewarnai manusia dalam hidupnya di dunia ini.
Menurut Hasim Amir yang dikutif oleh A Malik Fadjar,
30
pendidikan Islam adalah pendidikan yang integralistik yang mengandung komponen-komponen
kehidupan yang meliputi: Tuhan, manusia dan alam pada umumnya sebagai suatu
30
Lihat. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, h. 81
125 yang integral bagi terwujudnya kehidupan yang baik, serta pendidikan yang
menganggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individu sosial. Pendidikan integralistik ini diharapkan bisa menghasilkan
manusia yang memiliki integritas tinggi, yang bisa bersyukur dan menyatu dengan kehendak Tuhannya, yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri, bersatu dengan
masyarakatnya, dan bisa menyatu dengan alam sehingga tidak membuat kerusakan. Sebagai agama penyempurna sekaligus penutup agama-agama wahyu, Islam
adalah pedoman hidup universal, eternal, dan kosmopolitan.
31
Universal artinya ajaran Islam berlaku dan merahmati seluruh alam dengan segala isinya yang meliputi
manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda planret lainnya. Eternal artinya, berlaku sepanjang masa selama kehidupan dunia masih berlangsung, selalu kontekstual, dan
up to date dengan segala persoalan hidup dan kmanusiaan. Sedangkanm kosmopolitan artinya secara secara garis besar dan dalam beberapa persoalan, secara
rinci ajarannya mencakup semua aspek kehidupan manusia atau paling tidak memberi arah dan nilai agar manusia tidak lepas kendali dan tetap mempunyai keterikatan
primordial dengan niali-nilai ketuhanan yang merupakan idealitas fitrahnya. Bahkan pendidikan Islam perlu membuat suatu proyeksi tentang kecenderungan
besar yang akan terjadi di masa depan. Dalam studi sosiologi agama Thomas O’deo dalam ”The Sociology of Religion” 1966 membagi dua peran penting agama, yaitu
peran directive system dan defensive system.
32
Dalam peran pertama, agama ditempatkan sebagai referensi utama dalam proses perubahan, yaitu sebagai supreme
morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik spritual bagi masyarakat, ketika berdialketika dalam proses perubahan. Adapun dalam perannya yang kedua,
agama menjadi semacam kekuatan resistensial bagi masyarakat ketika berada dalam
31
Lihat. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, h. 40.
32
Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, h. 130.
126 lingkaran persoalan kehidupan yang semakin kompleks di tengah derasnya arus
perubahan. Dalam konteks demikian, masyarakat akan mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan tidak ada rasa khawatir serta ragu dalam menghadapi
kehidupan. Dalam perkembangan kehidupan yang ditandai dengan semakin derasnya arus
perubahan sosial dan budaya, pendidikan agama menghadapi tantangan berat untuk tetap bertahan dan meningkatkan perannya. Dalam sistem pendidikan nasional,
pendidikan agama mempunyai posisi formal yang kuat. Sebab pendidikan diwajibkan untuk diajarkan mulai dari jenjang pendidikan terendah sampai ke jenjang pendidikan
tertinggi. Dalam hal ini yang terpenting bukan pada kedudukan formalnya, tapi pada substansi atau muatan keagamaan yang ditransformasikan dalam aktivitas pendidikan.
Menyadari akan tantangan dan harapan terhadap peran agama, maka persoalan yang dihadapi oleh pendidikan agama adalah bagaimana ia mampu menghadirkan
suatu konstruksi wacana keagamaan yang kontekstual dengan perubahan masyarakat. Menurut Malik Fadzar,
33
praktek pendidikan selama ini kurang menarik, terutama dari sisi materi yang diberikan serat cara penyampaian yang digunakan. Kemudian
terisolasinya atau kurang terintegrasinya pendidikan agama dengan materi pelajaran yang lain. Berdasarkan faktor inilah sekolah alam School of Universe ingin
menghadirkan konsep pembelajaran yang selama ini jadi permasalahan dalam dunia pendidikan, yaitu dengan mengedepankan konsep pembelajaran berbasis realitas.
34
Dalam hal materi, pendidikan agama terlalu didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritualistik dan eskatologis. Apalagi materi ini kemusdian
disampaikan dengan semangat ortodoksi keagmaan yang memaksa peserta didik
33
Lihat. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, h. 132.
34
Berdasarkan wawancara dengan Asmuni Marzuki, konsep pembelajaran berbasis realitas atau kontekstual learning ini dilakukan dengan mengaitkan materi pembelajaran yang diberikan dengan
melihat realita yang sedang terjadi.
127 tunduk pada suatu meta narasi yang ada, tanpa diberi peluang untuk melakukan
tela’ah secara kritis. Pada akhirnya, agama dipandang sebagai suatu yang final yang harus diterima secara taken for granted.
Maka tidak mengherankan jika pendidikan agama tidak fungsional dalam kehidupan sehari-hari, kecuali hanya sebagai aktivitas verbal dan formal untuk
menghabiskan materi atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Penekanan pembinaan aspek akhlak di School of Universe merupakan salah satu peran School of Universe dalam memperhatikan keadaan masyarakat saat ini.
Hal ini menunjukkan bahwa sekolah alam School of Universe memperhatikan asas sosiologis.
Kurangnya pendidikan lingkungan, atau kurang sadarnya atas segala aktivitas manusia terhadap lingkungan sekitarnya merupakan suatu fenomena yang tidak kita
sadari selama ini merupakan suatu keprihatinan bagi kita semua. Krisis lingkungan global yang terjadi di berbagai belahan bumi disebabkan
karena krisis spiritual. Pendapat ini diusung oleh Nasr 1968
35
, Sponsel 1998, Crites 2007,
36
Hope and Young 2007,
37
Berry 2007,
38
dan beberapa tokoh lainnya.
35
Lihat Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man London: George Allen and Unwin, 1978. Lihat Nasr, “Islam and the Environmental Crisis”, dalam The Islamic Quaterly. Vol.
XXXIV. No. 4 1994, hal. 217-234.
36
Crites, “A New Movement Finds Commonality in Religious Tenets and Environment Causes”, dalam http:www.edumalamalama200709f1-ecology.htm. Download pada 7 Juni 2008.
37
Lihat Hope and James Young, “Islam and Ecology”, dalam http:www.crosscurrents.org islamecology.htm Download pada 7 Juni 2008.
38
Hope and James Young, “Islam”, Download pada 7 Juni 2008.
128 Krisis spiritual mengantarkan pada pola hidup “serba materi”. Menurut
Merchant dalam Nurjaya
39
bahwa pola-pola pembangunan yang dikembangkan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Pola ini, pada gilirannya
mengakibatkan disorientasi dalam hidup. Hal senada juga dikatakan oleh Contanza et. al. 1997, Hamilton 2004, dan Ozkaynak et. al. 2004 dalam William Konchak
and Unai Pascual 2005
40
yang mengatakan bahwa sistem sosial dan lingkungan memiliki hubungan yang erat dalam pembentukan “pola pikir” manusia dan pola
interaksinya terhadap lingkungan. Menurut penulis, memberikan pendidikan lingkungan sedini mungkin bagi
anak-anak sekolah mulai dari tingkat SD, SLTP dan SLTA, yang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka, merupakan suatu solusi yang mungkin nantinya timbul
kader-kader lingkungan yang cinta terhadap lingkungannya dan senantiasa selalu menjaga kelestarian lingkungan sekitarnya.
Di sekolah alam School of Universe, salah satu tujuannya adalah ingin membudayakan cinta melestarikan lingkungan, maka sekolah alam School of
Universe memberikan muatan materi dan menerapkan menanamkan rasa cinta pada alam dan lingkungan.
41
Upaya pelestarian lingkungan ini sangat sejalan dengan yang ditargetkan oleh Millenium Development Goals,
42
yaitu ensure environmental sustainability atau pelestarian lingkungan hidup.
39
Nurjaya, “Kearifan Lokal dan Pengelolaan SDA”, dalam http:www.manifesmaya. blogspot.com 2008kearifan-lokal-dan-pengelaan .html Download pada 7 Juni 2008.
40
William Konchak and Unai Pascual, “Converging Paradigm fo a Co-evalutionary Enveronmrntal Limit Discourse”, dalam Environmental Economy and Policy Research. Discussion
Paper Series University of Cambridge. Number 14. 2005, hal. 3.
41
Teguh Iman Perdana dan Vera Wahyudi edit, Sekolah Yang Membebaskan, Jakarta: Dewan Sekolah Alam, 2003, h. 30-31
42
Millenium Development Goals MDGs adalah sebuah inisiatif pembangunan yang dibentuk pada bulan September tahun 2000 oleh perwakilan-perwakilan dari 189 negara. 8 poin tujuan yang
ingin digarap salah satunya adalah Ensure environmental sustainability Pelestarian lingkungan hidup. Selain itu adalah: Eradicate extreme poverty and hunger Penghapusan kemiskinan, Achieve universal
129 Pembinaan akhlak tersebut, diantaranya adalah akhlak terhadap alam atau
lingkungan. Hal ini menjadi penting, karena untuk saat ini alam merupakan hal yang perlu diperhatikan. Banyak kejadian-kejadian alam yang melanda bangsa ini, itu
semua disebabkan oleh manusia itu sendiri. Data tentang kerusakan lingkungan di Indonesia dapat dilihat pada kerusakan
ekologis akumulatif
43
pada dua dekade terakhir ini telah memberikan sinyal sangat kritis. Laporan Walhi misalnya menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan antara
tahun 1998 sampai pertengahan tahun 2003 tercatat telah terjadi 647 bencana di Indonesia yang menelan korban 2.022 orang. Sebagian besar bencana yang terjadi
85 adalah banjir dan tanah longsor. Banjir terjadi secara berulang-ulang dalam skala besar di 302 lokasi dengan 1.066 jiwa, longsor terjadi di 245 lokasi dengan
korban sebanyak 645 jiwa.
44
Lebih mengkhawatirkan lagi ketika FAO, badan internasional yang menangani masalah pangan, menyuguhkan data laju kerusakan hutan di Indonesia tahun 2000-
2005 yang merupakan laju kerusakan tercepat dan terparah di dunia. Dilaporkan bahwa setiap tahun rata-rata 1.871 juta hektar hutan dua persen dari luas hutan
hancur. Kenyataan ini menjadikan Indonesia masuk dalam Guinnes World Record mencatat Indonesia sebagai “Negara penghancur hutan tercepat 2008”. Dua persen
primary education Pendidikan untuk semua, Promote gender equality Persamaan gender, Combat HIVAIDS, malaria, and other diseases Perlawanan terhadap penyakit, Reduce child mortality
Penurunan angka kematian anak,, Improve Naternal Health Peningkatan kesehatan ibu, Develop a global partnership for development Kerjasama global. Lihat. http:www.undp.orgmdg
43
Krisis sosial ekologis Indonesia dapat dilihat dari beberapa sisi di antaranya adalah 1 krisis tata kelola ruang dan sumber daya alam 2 tata kelola energi, 3 krisis agraria dapat disaksikan proses
penciutan lahan produksi pangan dan hutan akibat alih fungsi industri dan pemukiman. Lihat Sudarsono, Bumiku Semakin Panas Jogjakarta: PPLHRJ, 2008, hal. 471-480
44
Sudarsono. 2008. Bumiku Semakin Panas, Jogjakarta: PPLHRJ, 2008, h. 129
130 dari total hutan atau 1.871 juta hektar, atau rata-rata 51 kilometer hutan rusak antara
tahun 2000-2005 setiap tahun.
45
Krisis lingkungan global yang terjadi di berbagai belahan bumi disebabkan karena krisis spiritual. Pendapat ini diusung oleh Nasr 1968, Sponsel 1998,
Evanoff 2005, Rice 2006, Crites 2007, Hope and Young 2007, Berry 2007, dan beberapa tokoh lainnya.
46
Krisis spiritual mengantarkan pada pola hidup “serba materi”. Menurut Merchant dalam Nurjaya
47
bahwa pola-pola pembangunan yang dikembangkan semata-mata untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Pola ini, pada gilirannya
mengakibatkan disorientasi dalam hidup. Hal senada juga dikatakan oleh Contanza et. al. 1997, Hamilton 2004, dan Ozkaynak et. al. 2004 dalam William Konchak
and Unai Pascual 2005
48
yang mengatakan bahwa sistem sosial dan lingkungan memiliki hubungan yang erat dalam pembentukan “pola pikir” manusia dan pola
interaksinya terhadap lingkungan. Lebih spesifik, Konchak dan Pascual mengatakan bahwa kebijakan ekonomi termasuk di dalamnya ekploitasi minyak fosil seringkali
dikaitkan sebagai penyebab serius kerusakan lingkungan.
45
Kerusakan alam yang dahsyat ini mengancam keselamatan jiwa manusia dan masyarakat, yang secara prinsipil bertentangan dengan kebutuhan kehidupan yang nyaman. Oleh karena itu, dalam
Islam ada lima prinsip al-kulliyat al-khams yang harus dijaga. Lihat `Ali Hasaballâh, Ushûl al- Tasyrî` al-Islâmî Kuwait: Dâr al-Ma`ârif, TT, hal. 179. Larangan merusak dalam Islam dapat
ditelusuri dari beberapa ayat, di antaranya QS. 2: 11-12, 205, QS. 5: 32-33, 64; QS. 8: 73; QS. 11: 116; QS. 28: 77, 83; QS. 30: 41; QS. 40: 26; QS. 89: 12.
46
Lihat Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man London: George Allen and Unwin, 1978. Lihat Nasr, “Islam and the Environmental Crisis”, dalam The Islamic Quaterly. Vol.
XXXIV. No. 4 1994, hal. 217-234.
47
Nurjaya, “Kearifan Lokal dan Pengelolaan SDA”, dalam http:www.manifesmaya. blogspot.com 2008kearifan-lokal-dan-pengelaan .html Download pada 7 Juni 2008.
48
William Konchak and Unai Pascual, “Converging Paradigm fo a Co-evalutionary Enveronmrntal Limit Discourse”, dalam Environmental Economy and Policy Research. Discussion
Paper Series University of Cambridge. Number 14. 2005, hal. 3.
131 Kerusakan lingkungan global direspon Barat dengan berbagai cara. Di
antaranya adalah: Pertama, kembali kepada sisi spiritual agama serta menggali nilai-nilainya. Hal
ini sebagaimana dilakukan White, Brown, Callicott sebagaimana dikatakan Tucker and Grim 2001,
49
Hollenbach 2002,
50
Hart 2006,
51
Rose 2006,
52
dan tokoh- tokoh lain, yang gerakan ini melahirkan tradisi keilmuan spiritual ecology, green
spirituality, atau green hermiticism. Kedua, implementasi dan aksi cinta lingkungan yang koordinasi oleh gereja.
53
Kegiatan ini terekam dalam beberapa tulisan seperti Green Sisters 2007, dan Greening Religion.
Islam, sejak empat belas abad yang lalu telah menaruh perhatian tentang ini. Sekalipun temanya belum spesifik, Islam sebagaimana dalam al-Quran seperti yang
disitir Hope and Young ada tiga pilar etika berlingkungan dalam Islam, yakni, 1 tawhid unity, 2 khilafa trusteeship, 3 akhirah accountability, hereafter. Hope
and Young menyitir QS. 6:1; QS. 6:102; QS.17:44; QS.2:30; QS.7:56; QS.15:19
54
dan beberapa ayat lainnya, seperti larangan merusak dalam Islam dapat ditelusuri dari
52
Rose mengekplorasi alam, manusia, dan “kecantikan” Tuhan melalui perspektif etika teologi. Lihat Rose, For the Beauty of the Earth: Women, Sacramentality, and Justice New York: Paulist,
2006, .
53
Konferensi-konferensi bertemakan ekologi yang diselenggarakan oleh gereja sejak 1972 di Stockholm, “Conference on Environment and Development”. Gereja-gereja mulai menyusun
tantangan lingkungan; Tahun 1975 Nairobi World Council Churches WCC meletakdasarkan “just participatory”, Tahun 1979 Massachusetts “Conference Faith, Science, and the Future”, Tahun 1983
Vancouver, “Conference Justice, Peace, and the Integrity of Creation”, Tahun 1991 Canberra “Holy Spirit Renewing the Whole of Creation”, dan seterusnya.
54
Hope and Young, “Islam”, dalam http:www.crosscurrents.orgislamecology Download tanggal 7 Juni 2008.
132 beberapa ayat, di antaranya QS. 2: 11-12, 205, QS. 5: 32-33, 64; QS. 8:73; QS. 11:
116; QS. 28: 77, 83; QS. 30: 41; QS. 40: 26; QS. 89: 12. Disamping itu, sekolah juga turut mendidik peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa agar hidup dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang cepat akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan tersebut, sekolah memegang peranan penting sebagai agent of change untuk membawa perubahan-perubahan sosial.
55
Terutama pendidikan agama.
Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK selain mempunyai implikasi yang positif bagi manusia, juga mempunyai dampak negatif.
Ada beberapa nilai atau tingkah laku individu dan masyarakat modern yang sejalan dengan ajaran agama Islam dan mendukung keberhasilan pembangunan. Adapula
nilai dan sikap modernitas yang tidak kongruen berlawanan dengan ajaran Islam dan tidak mendukung keberhasilan pembangunan. Misalnya: munculnya pribadi-
pribadi yang lemah keyakinan keagamaan, hedonistik, materialistik, individualistik, dan konsumeristik.
56
Teknologi sebagai ilmu pengetahuan terapan adalah hasil kemajuan budaya manusia yang banyak bergantung kepada manusia yang menggunakannya. Dengan
kata lain, teknologi dapat diartikan sebagai suatu kekuatan kebudayaan yang bersifat netral dalam tugas dan fungsinya, tergantung pada manusianya dalam mengelola dan
memanfaatkannya.
55
Menurut S. Nasution, pendidikan merupakan proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat. Lihat. S Nasution, Sosiologi Pendidikan,
Jakarta: Bumi Aksara, 1994, Ed. 2, h. 22
56
Lihat. Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, Bandung: Mizan, 1991, h. 71. Lihat pula. Imam Tolkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan; Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi
Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, h. 2-3.
133 Pesatnya kemajuan IPTEK ditandai dengan ditemukan dan dikembangkannya
berbagai teori baik melalui proses eksperimentasi seperti rekayasa genetika, bioteknologi, aerodinamika, kedirgantaraan dan teknologi informasi maupun analisis
filosofis. Namun demikian IPTEK yang dikembangkan cenderung bermottokan ideology ilmu hanya untuk ilmu tanpa menaruh perhatian yang memadai dan
proporsional pada upaya mengaitkan IPTEK dengan segala persoalan kemanusiaan terutama dari sudut moralitas agama, iman dan taqwa.
Berkaitan dengan fenomena di atas, Pendidikan Agama Islam mempunyai peran untuk berdialog dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai
dengan kemajuan IPTEK serta mampu mengatasi dampak negatif dari kemajuan IPTEK tersebut. Menurut M. Quraish Shihab,
57
banyak sabda Rasul yang menggambarkan keterkaitan yang erat antara ilmu pengetahuan, teknologi dan moral.
Sebagaimana pengakuan Rasulullah bahwa: Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak
Begitu pentingnya keterhubungan antara IPTEK dan moral, Rasulullah dalam doanya selalu berlindung dari bahaya ilmu yang disalahgunakan. Beliau berdoa:
ﻞﺒﻘﻨﯾ ﻻ ﻞﻤﻋ ﻦﻣو ﻊﺸﺨﯾ ﻻ ﺐﻠﻗ ﻦﻣو ﻊﻔﻨﯾ ﻻ ﻢﻠﻋ ﻦﻣ ﻚﺑذﻮﻋا ﻲﻧا ﻢﮭﻠﻟا Ya Allah, Aku berlindung dengan-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, kalbu
yang tidak khusyu, serta amal yang tidak diterima
Hadis di atas tidak hanya mengisyaratkan keharusan adanya buah ilmu dan buah tersebut harus bermanfaat, tetapi juga mengaitkannya dengan amal secara jelas, ilmu
dan kalbu serta penerapannya yang diterima Allah. Karena dalam doanya Rasululah bersabda:
57
Harun Nasution dkk, IPTEK Berwawasan Moral, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press, 1997, h. 97
134 ﺎﻨﺘﻤﻠﻋ ﺎﻤﺑ ﺎﻨﻌﻔﻧاو ﺎﻨﻌﻔﻨﯾ ﺎﻣ ﺎﻨﻤﻠﻋ ﻢﮭﻠﻟا
ya Allah, ajarkanlah kami apa yang bermanfaat untuk kami dan anugerahkanlah kami kemampuan untuk memanfaatkan apa yang Engkau telah
ajarkan kepada kami Pada hadis lain, Rasulullah bersabda:
اﺪﻌﺑ ﻻا ﷲا ﻦﻣ دادﺰﯾ ﻢﻟ يﺪھ ددﺰﯾ ﻢﻟو ﺎﻤﻠﻋ دادزا ﻦﻣ Siapa yang bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk Allah
kepadanya, maka tidak bertambah baginya kecuali kejauhan dari Allah
Beliau juga menginformasikan bahwa ilmu dari sisi dampaknya terhadap manusia ada dua macam, yaitu ilmu yang berbekas di lidah dan benak dan ilmu yang
berada di dalam kalbu. Disebutkan dalam sebuah Hadis bahwa: ﻲﻓ ﻢﻠﻋ
مدا ﻦﺑا ﻲﻠﻋ ﷲا ﺔﺠﺣ ﻚﻟاﺬﻓ نﺎﺴﻠﻟا ﻲﻓ ﻢﻠﻋ و ﻊﻓﻻا ﻢﻠﻌﻟا ﻚﻟاﺬﻓ ﺐﻠﻘﻟا Ilmu di dalam kalbulah yang bermanfaat dan ilmu yang terbatas hanya di
lidah saja sebagai bukti pemberatan Allah terhadap manusia
Demikian beberapa banyak isyarat yang dapat ditemukan dalam sunnah Nabi dan para sahabatnya yang berbicara tentang kaitan ilmu dan moral atau nilai-nilai
spiritual. Isyarat tentang pertautan IPTEK dan moral dalam al-Quran juga banyak disinggung. Melalui wahyu pertama yang diterima Nabi dapat tercermin pandangan
Islam tentang ilmu dan teknologi. Dari wahyu pertama tersebut ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu.
Dengan iqra bismi rabbika digariskan bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu pengetahuan, demikian tujuan akhirnya haruslah karena Allah. Semboyan ilmu
untuk ilmu tidak dibenarkan dalam Islam, ilmu -apapun materinya pembahasannya-
135 harus bismi rabbika atau dengan kata lain harus diberi nilai rabbany, sehingga jika
ilmu pengetahuan pada kenyataannya bebas nilai, maka merupakan tugas ilmuwan muslim untuk memberinya nilai-nilai moral dan spiritual baik dalam metode, tujuan,
motivasi serta penerapannya. Menurut M Iqbal
58
bahwa agar ilmu pengetahuan tidak menjadi jahat dan menjadi rahmat bagi umat manusia di muka bumi maka harus dilandasi nilai-nilai
ajaran Islam. Kemudian BJ. Habibie
59
mengatakan bahwa betapa berbahayanya pemanfaatan dan pengembangan IPTEK dalam pembangunan jika terlepas dari nilai-
nilai iman dan taqwa IMTAQ. Sementara Harun Nasution,
60
IPTEK sebenarnya tidak berkaitan secara langsung dengan moral, yang berkaitan langsung dengan moral
adalah manusia secara individual atau masyarakat yang mempergunakan IPTEK. Maka Indonesia sebagai negara yang religius, moral yang bersumber dari ajaran
agama begitu diperhatikan yang mengakibatkan isu pengembangan IPTEK selalu dikaitkan dengan pengembangan kesadaran moral. Masyarakat Islam modern banyak
dipengaruhi oleh sekulerisme yang berkembang di Barat modern. Akibatnya isu dan fenomena sekulerisme tidak dapat dihindarkan di dunia Islam. Filsafat hedonisme dan
utilitarianisme juga telah merembes bahkan mewarnai dunia Islam. Kedua hal ini yang kemudian membuat IPTEK berwawasan moral menjadi isu krusial yang harus
ditangani termasuk di Indonesia. IPTEK sekuler akan menimbulkan pertentangan dalam diri orang-orang Islam
yang mempelajari dan menerapkannya. IPTEK sekuler sebagaimana telah berkembang di Yunani zaman Klasik dan dunia Barat zaman modern tidak mengenal
58
Lihat. H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, cet. Ke-3, h. 100
59
Lihat. Harun Nasution dkk, IPTEK Berwawasan Moral, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press, 1997, h. 3
60
Lihat. Harun Nasution dkk, IPTEK Berwawasan Moral, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press, 1997, h. 90
136 keberadaan Tuhan, tetapi hanya mengenal alam semesta. Dalam keyakinan sekuler,
yang mengatur alam ini adalah hukum-hukum alam yang diciptakan alam itu sendiri. Kebenaran hukum alam memang dapat dibuktikan. Sebaliknya, para pendakwa selalu
mengatakan bahwa yang mengatur alam adalah Tuhan. Namun sayang kebenaran religius ini tidak dapat dibuktikan, karena apa yang diajarkan itu hanya merupakan
keyakinan dogmatis, tentunya secara empiric keberadaan Tuhan seperti ini tidak dapat dibuktikan karena Tuhan sendiri bersifat infinite. Bagi orang muslim, dengan
IPTEK Tuhan memang tidak dapat dibuktikan, yang dapat ada hanyalah alam semesta. Menurut Nasutioan,
61
Hal ini menjadi dilema bagi remaja muslim yang sedang mempelajari IPTEK di sekolah. pengetahuan agama mereka masih dangkal
sekali dan mereka melihat kebenaran IPTEK. Hal ini dapat mendorong mereka lebih meyakinkan IPTEK ketimbang agama yang terus mengalami marjinalisasi peran.
Mereka dapat mengambil IPTEK lalu meninggalkan agama. Berkaitan dengan perlunya diciptakan IPTEK berwawasan moral, amak ada dua
hal yang harus dilakukan, yaitu:
62
Pertama, menyesuaikan filsafat dan IPTEK barat yang sekuler dengan filsafat dan ajaran dasar Islam, sehingga yang berkembang di dunia Islam bukanlah filsafat
dan IPTEK yang sekuler, tetapi filsafat dan IPTEK yang agamis. Ini akan dapat turut membendung sekulerisasi moral yang sedang terjadi. Kedua, umat harus
mengutamakan pendidikan moral disamping pengajaran ibadat formal dan syariat, sehingga terciptalah umat dan masyarakat yang berakhlak karimah, yaitu umat Islam
yang menjunjung tinggi ajaran moral.
61
Harun Nasution dkk, IPTEK Berwawasan Moral, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press, 1997, h. 94
62
Harun Nasution dkk, IPTEK Berwawasan Moral, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press, 1997, h. 6
137 Berkaitan dengan penerapan moral pada pembelajaran IPTEK tersebut di atas,
berdasarkan hasil observasi dan wawancara penulis, sekolah alam School of Universe selalu mengaitkan nilai-nilai akhlak dalam setiap kegiatan, termasuk dalam
mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi.
63
Guru akan mengkaitkan IPTEK yang sedang dipelajari dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Selain itu,
School of Universe selalu memberikan motivasi peserta didik dalam mendalami IPTEK, dan membekalinya dengan nilai-nilai ajaran Islam.
C. Aspek Organisatoris